Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#102
Part 7

Sementara Lantang menerima siksaan tak terhingga. Perampok yang memfitnahnya melarikan diri secara diam-diam.

Jika beberapa saat saja Lantang dibiarkan dihajar orang-orang gelap mata itu, sudah bisa dipastikan nyawa mudanya akan melayang. Untunglah sebuah bayangan berkelebat cepat, menyambar di antara kerumunan penduduk. Lalu disambarnya tubuh Lantang pada saat hampir sekarat.

Gerakan bayangan itu begitu cepat bagai bayangan hantu. Setiap orang yang berada di sana mendadak takjub dan lupa pada kemarahan. Seakan, suatu kekuatan gaib telah menguasai diri mereka masing-masing. Memang, yang menyelamatkan Lantang bukanlah orang sembarangan. Dia adalah seorang pertapa tua yang hanya muncul dua puluh tahun sekali, untuk mencari seorang murid. Namanya Ki Gintung.

Karena Ki Gintung adalah seorang pertapa yang memiliki ketajaman mata batin, dia bisa menilai kalau Lantang sebenarnya memiliki hati baik. Hanya karena dikucilkan penduduk yang disebabkan kemelaratannya, dia menjadi seorang pemuda berjiwa pemberontak. Kejahatan-kejahatannya selama ini hanya cara untuk unjuk rasa terhadap sikap orang-orang desanya yang sudah menganggapnya seperti anjing geladak tak berarti. Ki Gintung juga bisa menilai kalau pemuda yang telah diselamatkannya memiliki kemauan keras dan bentuk tubuh yang bagus. Dengan semua pertimbangan itu, Ki Gintung membuat keputusan untuk mengangkat Lantang sebagai murid kelima.

Sejak saat itulah Lantang mendapat godokan lahir batin dari si Pertapa Tua. Godokan batin ini membuatnya menjadi seorang berjiwa matang dan bersih. Sedangkan godokan lahir. Membuatnya menjadi seorang tangguh. Maka, jadilah dia seorang ksatria.

Selama lima tahun menjalani didikan keras Ki Gintung, suatu saat Lantang diperkenalkan pada keempat kakak seperguruannya yang telah meninggalkan goa penggodokan terlebih dahulu. Betapa kagetnya Lantang, manakala melihat salah seorang kakak seperguruannya. Dari keempat lelaki itu, ada seorang yang dulu memfitnahnya hingga dihajar habis oleh penduduk!

Rupanya panggilan duniawi menyebabkan kakak seperguruannya itu mengkhianati seluruh petuah Ki Gintung, sekaligus mengkhianati amanat ilmu-ilmu yang telah diberikan. Karena tak ingin mengecewakan Ki Gintung, Lantang tak mengungkap makar yang dilakukan Artapati, kakak seperguruan yang melakukan perampokan waktu itu. Padahal, tanpa perlu diberitahu, mata batin Ki Gintung sendiri sudah bisa merasakan pengkhianatan Artapati.

Namun apa mau dikata? Ki Gintung tak bisa berbuat apa-apa, karena usianya yang kian lanjut. Dia tak ingin bergelimang darah lagi. Dan akibatnya, pertapa itu menderita sakit parah. Merasa dirinya sudah mendekat ajal, Ki Gintung pada suatu hari memanggil Lantang seorang diri. Di samping Lantang adalah murid satu-satunya yang masih tinggal di tempat, dia juga murid kesayangan Ki Gintung.

“Sepertinya ajalku akan segera tiba, Lantang,” ucap Ki Gintung tersendat. Napasnya terseret satu-satu.

“Saatnyalah aku memberimu wasiat....”

Lantang diam tanpa suara. Ditatapnya sang Guru tercinta dengan mata menahan bias bening.

“Di bawah batu tempat bertapaku,” lanjut Ki Gintung.
“Ada sebuah tempat penyimpanan rahasia. Di sana, aku menyimpan kitab berisi ajian-ajian ilmu hitam, lengkap dengan seluruh riwayatnya. Kuberikan kitab itu padamu. Pelajarilah. Tapi, jangan dipakai kecuali jika memang mendesak sekali....”

Wasiat Ki Gintung selesai. Dan saat itu pula, usianya pun tamat. Betapa kehilangannya Lantang. Baginya, Ki Gintung lebih dari sekadar guru. Ki Gintung juga sudah dianggap sebagai orangtuanya sendiri. Itu sebabnya, dia sempat pula menitikkan airmata kehilangan, meski sudah berusaha menahannya.

Selesai menguburkan jenazah gurunya, Lantang segera memeriksa batu tempat bertapa Ki Gintung. Di balik batu bundar serta datar itu, ditemukannya lubang tempat penyimpanan sebuah kitab kuno, seperti pernah dikatakan Ki Gintung.

Lalu, diambilnya kitab itu. Selama berminggu-minggu, mulai dipelajari seluruh riwayat ilmu hitam dalam kitab termasuk ajian ‘Rawe Rontek’. Sayang, sebelum ilmu-ilmu dalam kitab sempat dikuasai, Artapati datang secara diam-diam. Dengan licik, mata air yang biasa dipakai Lantang untuk minum dicampur racun. Dan ketika Lantang tak sadarkan diri, kitab kuno warisan mendiang Ki Gintung pun dicuri.

Sejak saat itu, Lantang tak pernah lagi bertemu Artapati. Suatu hari, Lantang pulang kembali kedesanya untuk melihat keadaan Saridewi, kembang desa yang dicintainya dulu hingga sekarang.

***


“Bagaimana dengan Lantang dan Artapati, Ki?” tanya Andika penasaran, karena Ki Lantanggeni memutuskan cerita.

“Keduanya bertemu kembali di desa itu. Artapati sudah berhasil menguasai ajian ‘Rawa Rontek’. Niat Artapati ke desa itu adalah menculik Saridewi. Artapati memang licik. Sengaja Saridewi diculik untuk memancing kemarahan Lantang,” papar Ki Lantanggeni meneruskan cerita.

Sementara dia dan Andika sudah tiba di tapal batas sebuah desa di dekat panlai barat Buleleng.

“Lalu?” tanya Andika untuk kedua kalinya.

“Dengan telengas, wanita yang dicintai Lantang dibunuh Artapati di depan matanya sendiri. Lantang tentu saja jadi amat murka. Dia pun melabrak Artapati. Saat itu, Lantang nyaris kehilangan nyawa. Untunglah, datang tiga saudara seperguruannya yang lain. Dengan penggabungan kepandaian, mereka bisa menandingi kemampuan Artapati. Rupanya, sejak lama ketiga kakak perguruan Lantang yang lain telah mengawasi setiap sepak terjang Artapati yang keji. Mereka bertarung habis-habisan. Dan satu persatu kakak perguruan Lantang bisa dibunuh Artapati. Namun begitu, Artapati harus membayar mahal nyawa ketiga saudara seperguruannya, dengan nyawanya sendiri. Pada saat puncak di mana Artapati dan Lantang sudah kehilangan tenaga, Lantang teringat pada rahasia kelemahan ajian ‘Rawe Rontek’. Dengan rahasia yang pernah dibaca dari kitab yang dicuri akhirnya Artapati bisa dibunuh.”

Ki Lantanggeni mengakhiri cerita. Napasnya terlihat agak memberat. Tampaknya dia terhanyut oleh ceritanya sendiri.

“Apakah Lantang adalah kau sendiri, Ki?” duga Andika, saat mendapati keadaan Ki Lantanggeni.

Lelaki tua bercaping kerucut itu mengangguk.

“Dan orang yang disebut Ki Rawe Rontek adalah saudara seperguruanmu yang bernama Artapati?” duga Andika lagi.

Kembali laki-laki tua itu mengangguk.

Malam semakin larut. Di langit, bulan sabit diselimuti awan tipis bagai serpihan-serpihan kain tembus pandang. Sementara di laut, suasana tak juga lekang dari debur ombak yang mulai meninggi.

Goa Karang Hitam yang terletak tak begitu jauh dari pantai barat Buleleng tampak diterangi cahaya kemerahan yang berasal dari api unggun. Di dalamnya, Sepasang Datuk Karang akan memulai suatu upacara. Mereka akan berusaha menyatukan kembali kepala Artapati, alias Ki Rawe Rontek dengan tubuhnya. Dengan penyatuan itu, Lalinggi dan Gumbala berharap Ki Rawe Rontek akan hidup kembali. Mereka percaya, ilmu ‘Rawe Rontek’ yang dimiliki Artapati masih tetap menyatu dengan jasadnya yang tak membusuk.

Setelah berhasil membuka peti kecil berukir tempat kepala Ki Rawe Rontek, Lalinggi memerintah Gumbala untuk membuka peti mati besar yang selama ini selalu dibawa-bawa. Di dalam peti itu tersimpan tubuh Ki Rawe Rontek. Mereka membawanya dari pemakaman di Pulau Jawa Dwipa, setelah melakukan pencarian selama bertahun-tahun.

Memang! Lantang yang kini dikenal Andika sebagai Ki Lantanggeni sengaja mengubur kepala dan tubuh kakak seperguruannya yang murtad itu, secara terpisah. Karena menurut kitab kuno warisan gurunya, orang penganut ilmu ‘Rawe Rontek’ akan bisa bangkit dari kematiannya, jika kepala dan tubuhnya tidak dikuburkan secara terpisah jauh. Semakin jauh, akan semakin menutup kemungkinan bagi si Pemilik ilmu sesat tersebut untuk bangkit kembali. Makanya Lantang mengubur tubuh Artapati di tanah Jawa Dwipa, sedangkan kepalanya dikuburkan di Pulau Bali. Untuk urusan penguburan kepala Artapati, dipercayakannya pada tiga tokoh
Pulau Dewata yang belum lama dibunuh oleh Sepasang Datuk Karang.

Kini Gumbala tampak telah membuka penutup peti mati. Kedua lelaki aliran sesat itu bersama-sama mengeluarkan tubuh Ki Rawe Rontek. Tanpa kesulitan, mereka bisa memindahkan tubuh besar berotot itu ke satu bagian lantai goa.

“Sekarang ambil kain hitam di dalam peti itu, Gumbala,” ujar Lalinggi.

Setelah menerima kain hitam yang dimaksud, Lalinggi menyatukan kepala Ki Rawe Rontek dengan tubuh kakunya. Kemudian dilanjutkan dengan menutup mayat si Tokoh penganut ilmu ‘Rawe Rontek’ dengan kain hitam lebar hingga seluruh bagian tubuhnya tertutup.

Sementara Gumbala diam memperhatikan dengan mata tak berkedip, Lalinggi melepas pundi-pundi kecil dari pinggangnya. Di dalam pundi-pundi tersebut, tersimpan serbuk dupa yang selanjutnya dibakar Lalinggi di seputar mayat Ki Rawe Rontek.

Asap dupa tampak menyebar. Harum namun berkesan menggidikkan, membuat orang yang mencium aromanya akan langsung merinding. Hal itu dialami Gumbala. Walau sebagai tokoh sesat yang sudah biasa melakukan hal mengerikan, tetap saja seluruh bulu di kuduknya terasa meremang hebat. Tanpa terasa tengkuknya diusap. Berbeda sekali dengan sikap Lalinggi yang tetap dingin dan tenang.

“Sekarang apa lagi yang harus kita lakukan, Kang?” tanya Gumbala mengetahui Lalinggi telah selesai membakar serbuk dupa.

“Darah....”
“Darah?”

“Ya! Kita perlu darah seorang perawan suci. Ki Rawe Rontek memerlukan itu, sebagai daya hidup karena telah begitu lama mati dan terkubur di perut bumi,” jelas Lalinggi nyaris mendesis bagai kerasukan.

“Aku akan cari ke desa terdekat....”

“Bodoh!” hardik Lalinggi.
“Cari di desa yang jauh dari tempat ini. Aku tak mau orang-orang di desa terdekat menemukan tempat persembunyian kita!”

“Ba... baik, Kang,” gagap Gumbala.

Lelaki buruk rupa itu pun segera beranjak lagi. Di luar goa, Gumbala bergumam sendiri.
“Hm, kenapa aku tak mencoba menculik seorang perawan dari desa tempat anak lelaki yang telah memberitahukan tempat pembuangan peti berukir itu....”

Dengan mengerahkan segenap kemampuan ilmu meringankan tubuh, tubuh Gumbala pun melesat bagai anak panah lepas dari busur. Tak begitu lama Gumbala keluar, Lalinggi menyusul. Rupanya, dia tak begitu yakin dengan kerja Gumbala yang dinilainya sering kali bertindak ceroboh.

“Aku harus pula mencari seorang perawan di desa lain,” bisik Lalinggi.
“Kalau Gumbala gagal, aku tetap bisa mendapatkan perawan sebagai tumbal Ki Rawe Rontek.”

***


Di luar malam purnama, Desa Umbuldadi diringkus sepi. Dini hari yang datang bersama dingin, membuat para penduduk lelap dalam selimut masing-masing. Jalan-jalan di desa sepi dan lengang. Temaram lampu bambu dari beberapa rumah di tepinya, hanya mampu menerangi sebagian jalan.

Di satu rumah panggung, Idayu Wayan Laksmi dan I Ktut Regeg terpulas dihanyut mimpi. Idayu Wayan Laksmi tidur di kamarnya. Begitu juga I Ktut Regeg. Kalau kamar Idayu Wayan Laksmi ada di tengah bangunan, kamar I Ketut Regeg berada di belakang bangunan.

Malam itu, entah kenapa I Ktut Regeg mendadak terjaga. Setelah mengerjap-ngerjap mata beberapa saat, anak muda tanggung itu duduk terpaku di tepi balai-balai. Pikiran dan hatinya resah, tanpa dia tahu penyebabnya.

“Sial! Nyamuk tak ngalor-ngidul, panas juga tidak. Tapi, kenapa aku tidak bisa tidur lagi. Padahal, aku baru saja mau bermimpi bercengkerama dengan bidadari. Apa bisa kuteruskan mimpinya, ya?” gumam I Ktut Regeg, setengah menggerutu. Digaruk- garuknya kepala dengan jengkel.

“Ayo..., ayo mengantuk lagi! Kalau tidak, bidadari itu bisa pulang lagi ke kampungnya!”
Namun, tetap saja I Ktut Regeg tak bisa tidur.

Dengan satu dengusan kesal, dia bangkit. Dibantingnya langkah ke lantai kayu, sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Anak muda tanggung berbadan kurus itu mondar-mandir tak karuan. Tiba-tiba....

Srek!

I Ktut Regeg terdiam. Telinganya dipasang tajam-tajam. Dia biasa mendengar suara-suara hewan malam dan sangat hafal. Tapi suara yang satu ini bukan dari binatang malam. I Ktut Regeg jadi curiga. Sambil mengendap-endap, didekatinya jendela kamar. Dari salah satu celahnya I Ktut Regeg mulai mengintip.

“Lho? Itu kan lelaki jelek yang memberiku uang untuk sebuah keterangan tentang peti berukir yang kubuang ke pantai?” bisik I Ktut Regeg kala melihat pengendap di luar.

“Mau apa dia datang ke sini lagi? Dan kenapa pula dengan cara mengendap-endap seperti maling ayam?”

I Ktut Regeg menjauhi jendela dengan hati-hati. Dia merasa kalau lelaki di luar itu hendak berniat tidak baik.

“Apa akalku supaya dia cepat-cepat pergi...,” desis pemuda tanggung itu, amat perlahan.
“Ah! Aku ada akal....”

Wajah anak muda tanggung itu berseri. Benaknya memunculkan rencana kecil. Akan diteriakinya lelaki itu sebagai maling! Tak peduli maling ayam, atau maling jemuran, maling sandal, atau maling sundal. Bergegas I Ktut Regeg menguak daun jendela. Mulutnya terbuka lebar, siap meneriakkan kata maling.

“Ma....”

Teriakan I Ktut Regeg tak dilanjutkan, terhenti begitu saja seperti orang tersedak. Dengan mulut masih menganga, I Ktut Regeg celingukkan ke sana kemari. Orang yang hendak diteriaki ternyata sudah tidak terlihat lagi, menghilang bagai hantu. I Ktut Regeg mengusap-usap mata tak percaya.

“Ah! Barangkali aku masih bermimpi. Dan lelaki jelek itu adalah penjelmaan bidadari. Hi hi hi..., bidadari malang,” ceracau I Ktut Regeg.

Dia menguap lebar-lebar, lalu melangkah kembali ke balai-balai kayunya. Baru saja I Ktut Regeg hendak merebahkan tubuh di sana, satu suara keras mengejutkannya.

Brak!

Kontan saja anak muda tanggung itu terlonjak sambil teriak-teriak kelimpungan.

“Maliiing! Maliiing! Ada bidadari jadi maliiing!”
“Aaa!”

Menyusul, suara jeritan Idayu Wayan Laksmi dari kamar tengah. I Ktut Regeg sekali lagi tersentak. Teriakannya macet seketika. Rasanya, sekarang ini dia tidak bermimpi! Untuk meyakinkan diri disiapkannya kepalan ke hidungnya, lalu segera dilayangkan tanpa ragu.

Bukh!

“Aduh... aduh! Sakit! Wah! Berarti aku tidak mimpi!” seru pemuda tanggung itu tersadar.

Hidung I Ktut Regeg yang berdenyut-denyut dipegangi seraya berlari ke kamar kakaknya.

“Mbok! Ada apa Mbok?.”

Setibanya di kamar Idayu Wayan Laksmi, I Ktut Regeg hanya menemukan balai-balai kayu Idayu Wayan Laksmi yang kosong berantakan. Idayu Wayan Laksmi tak ada lagi di sana.

Sementara, dinding bilik di sebelah timur kamarnya sudah jebol. I Ktut Regeg jadi teringat kejadian kemarin. Dinding bilik yang baru saja diperbaiki kemarin juga jebol sewaktu Idayu Wayan Laksmi diculik.

“Jangan-jangan Mbok diculik lagi,” duga I Ktut Regeg.

Tiba-tiba saja, pemuda itu berlari ke kamarnya kembali. Di dekat jendela kamarnya, dia berteriak sekali lagi.

“Tolooong! Bukan maliiing! Bukan maliiing! Eh... penculiiik! Penculiiik! Mbok-ku diculiiik!”

Anak muda tanggung itu terus berteriak blingsatan, sampai beberapa penduduk dating membawa senjata masing-masing.

***


Sementara itu di desa dekat pantai barat Buleleng, Andika dan Ki Lantanggeni telah mendapat keterangan dari salah seorang penduduk yang menegaskan, kalau peti berukir yang sedang dicari memang telah dibawa dua lelaki. Seorang berwajah buruk dengan badan agak bungkuk, dan seorang lagi mengenakan caping keranjang.

Tapi ketika Andika menanyakan ke mana dua lelaki yang dilihat penduduk itu, jawaban yang didapat tidak memuaskan. Ternyata si Nelayan tidak tahu ke mana Sepasang Datuk Karang membawa peti berukir itu. Dia hanya memberi petunjuk kalau dua lelaki yang dilihatnya pergi ke arah utara.

Sesudah menghaturkan terimakasih, Andika dan Ki Lantanggeni langsung memacu tubuh kearah utara. Mereka berharap, belum terlambat untuk mengejar Sepasang Datuk Karang. Jarak ke utara yang ditempuh sudah cukup jauh.

Saat itulah mereka menangkap sesosok tubuh yang berkelebat, sama cepat dengan gerakan mereka. Di punggung orang itu tampak beban sebesar manusia. Meski tampak lebih berat dari badannya sendiri yang agak kurus membungkuk, orang itu tidak terlihat mengalami hambatan saat berlari dengan membawa beban.

Andika dan Ki Lantanggeni cepat bersembunyi di balik serumpun pohon kelapa. Keduanya memang tak ingin diketahui oleh lelaki yang mencurigakan itu. Terlebih-lebih sampai bentrokan.

“Sepertinya aku pernah melihat orang itu,” bisik Andika perlahan pada Ki Lantanggeni.
“Bagaimana kalau kita coba ikuti dulu?” usul Ki Lantanggeni.

Andika setuju. Mereka pun mulai membuntuti lelaki yang dicurigai. Orang yang dikuntit memang melewati daerah terbuka dengan sinar bulan yang samar menerangi seluruh tubuhnya. Namun baik mata Andika maupun Ki Lantanggeni bisa melihat siapa sesungguhnya orang itu.

“Dia adalah salah seorang dari Sepasang Datuk Karang,” ucap Andika tak kentara.

Ki Lantanggeni masih bisa menangkap ucapan pendekar muda di sisinya.

“Siapa dia?” tanya orang tua itu ingin tahu.
“Dialah orang yang telah membunuh tiga sesepuh Buleleng,” jawab Andika, memperjelas keterangannya.

“Sepasang Datuk Karang? Tapi, mana yang seorang lagi. Bukankah kau bilang Sepasang Datuk Karang dua orang?”

“Itulah yang harus kita ketahui, Ki.”
“Kalau begitu, aku akan meringkusnya....”
“Jangan, Ki. Apa kau tak ingat dengan peti berukir itu?”

Ki Lantanggeni menoleh pada Andika. Dia belum paham maksud Pendekar Slebor.

“Nelayan tadi berkata, kalau mereka telah mendapatkan peti itu. Jadi, pasti mereka sedang mencoba menjalankan satu rencana. Biar kita ikuti lelaki itu. Dengan begitu, mungkin dia akan membawa kita langsung pada peti berukir tersebut, sekaligus bisa bertemu kawannya. Sekali tepuk, dua nyawa!”

Ki Lantanggeni tersenyum. Baru dimengerti maksud Pendekar Slebor. Dalam hati, dia sempat memuji kecerdikan pemuda yang baru saja dikenalnya.

“Kalau begitu, mari kita ikuti lagi! Jangan sampai kita kehilangan jejak,” ajak Ki Lantanggeni.

Mereka pun mengerahkan ilmu meringankan tubuh masing-masing, berlari cepat di belakang Gumbala dalam jarak yang cukup aman, sehingga orang yang dikuntit tidak merasa curiga. Tak ada sepenimum teh kemudian, Andika dan Ki Lantanggeni melihat Gumbala tiba di bibir Goa Karang Hitam.

“Kang! Aku telah mendapatkan seorang perawan, Kang!” seru Gumbala gembira.

Tak ada sahutan dari dalam goa.

“Kang?”

Gumbala memajukan kepala. Diperhatikannya dalam goa tajam-tajam.

“Kang? Kau masih di dalam, Kang?” tanya Gumbala.

Laki-laki buruk rupa itu mulai melangkah masuk. Padahal, semula dia berharap Lalinggi menyambutnya dengan senyum lebar di luar karena telah berhasil menjalankan tugas dengan sempurna.

Tak jauh dari Goa Karang Hitam, Andika dan Ki Lantanggeni saling berpandangan.

“Tampaknya orang yang satunya sedang tidak ada dalam goa itu, Ki,” bisik Andika.
“Ah! Aku jadi ada akal, Ki....”

Lalu tanpa memberi kesempatan Ki Lantanggeni bertanya, pemuda itu langsung saja mengangkat tangan ke depan mulut.

“Hoi! Aku di sini!” teriak Pendekar Slebor dengan suara dibuat tersamar mungkin.

Gumbala yang mendengar teriakan Andika segera mengurungkan niat untuk masuk ke dalam goa.

“Kang?! Apa kau di sana, Kang Lalinggi?!” tanya Gumbala.
“Yhuaaah!” sahut Andika.
“Sedang apa di situ, Kang?” tanya Gumbala heran.

Matanya mencari-cari ke asal suara.

“Cepat ke sini, kau!” teriak Andika lagi

0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.