- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#88
Part 10
“Maafkan aku, Mayang. Ini semua akibat ulahku. Aku terlalu menganggap remeh serangan pasukan Nyi Rorokweni tadi...,” sesal Andika, terputus-putus.
“Kau telah berusaha, Andika. Tapi, Tuhan rupanya berkehendak lain. Kalaupun kau tak membawaku ke tempat ini, akhirnya aku sendiri juga yang akan datang ke sini. Justru, akulah yang begitu tolol mengikuti arus dendam dalam diriku. Padahal, ilmuku hanya mengandalkan racun serta sedikit jurus-jurus tak berarti....”
Kali ini Andika yang menggeleng perlahan.
“Kau dan aku hanya manusia biasa, Mayang. Kalaupun aku menjadi dirimu, tentu akan melakukan hal yang sama. Manusia mana yang tidak akan dendam kalau orang-orang tercinta dibunuh secara keji?” tutur Andika lemah.
“Tapi aku mulai berpikir, bukankah lebih baik dan lebih bijaksana kalau memaafkan mereka?” ucap Mayangsari makin lemah.
Andika tak bisa berkata apa-apa. Perkataan wanita dalam pelukannya memang benar, meski para bajingan yang telah membunuh orangtuanya masih tetap sebagai bajingan yang mesti dienyahkan. Kalaupun harus disingkirkan dari bumi ini, itu karena mereka telah banyak menciptakan keangkaramurkaan. Bukan karena dorongan dendam.
“Tapi..., keputusanku untuk mengenyahkan dendam tampaknya sudah terlambat...,” kata Mayangsari kembali, lirih.
“Rasanya maut akan segera menjemputku....”
Sebentar kemudian, tubuh wanita itu mengejang. Lalu matanya terkatup perlahan disertai hembusan napas perlahan. Anak panah yang menembus paru-paru sebelah kanan, telah mengakibatkan nyawanya melayang. Jadi bukan karena racun, karena tubuh Mayangsari memang kebal racun.
“Mayang...,” panggil Andika masgul.
Tak terdengar sahutan dari wanita itu. Nyawanya memang telah dijemput malaikat maut. Paru-parunya yang tertembus anak panah, membuatnya tak mampu lagi mempertahankan lebih lama selembar nyawanya.
“Keparat kalian...,” geram Andika.
Untuk yang kesekian kali, orang baik terbunuh di hadapan pemuda ini. Bagaimana pendekar muda itu tidak menjadi gusar? Kembali masa indah yang harusnya dapat dinikmati Andika dirampas begitu saja oleh perbuatan orang-orang berhati iblis.
Perlahan tubuh Mayangsari diletakkan di tanah berumput. Sementara itu, api kemarahan makin membesar dalam diri Andika. Api yang mendorongnya untuk segera membasmi bajingan-bajingan tengik yang telah merenggut nyawa wanita ayu di hadapannya.
“Kau harus membayar nyawa wanita ini, sekaligus membayar nyawa Ki Patigeni, Nyi Rorokweni!” desis Andika penuh getaran kemurkaan.
Setelah itu....
“Hiaaa...!”
Dari rimbunnya ilalang tinggi, tubuh Pendekar Slebor melenting ke udara. Bagai sebuah bola, tubuhnya berputaran di udara beberapa kali dengan tubuh menekuk rapat. Melihat lawannya melayang seperti itu, Nyi Rorokweni merasa memiliki kesempatan untuk memanggang tubuh Pendekar Slebor dengan puluhan anak panah beracun.
“Serang!” perintah wanita itu pada pasukan berpanah.
Zing! Zing! Zing...!
Puluhan anak panah kembali memenuhi udara. Di bawah temaram cahaya bulan, senjata senjata itu terlihat seperti gerombolan hantu terbang. Seluruhnya kini terpusat pada diri Pendekar Slebor yang masih berputar di udara. Sesaat lagi, tubuhnya tentu akan direncah habis.
Tapi....
Wut! Wut...!
Tas! Tas...!
Kalau Nyi Rorokweni mengira akan mendapat kesempatan emas, maka dugaan itu meleset sama sekali. Karena dengan kain bercorak catur yang masih tergenggam di tangan kanan, Pendekar Slebor memapak seluruh anak panah beracun tadi. Akibat yang terjadi sungguh memaksa mata Nyi Rorokweni terbelalak lebar-lebar. Puluhan anak panah pasukannya kontan tersapu kembali ke arah pemiliknya. Padahal, keadaan Pendekar Slebor yang berada di udara termasuk sulit untuk berkelit bagi tokoh kalangan atas dunia persilatan sekalipun!
Zing! Zing...!
Jep! Jep...!
“Aaakh...!”
Teriakan kematian berbaur menjadi satu tatkala anak panah yang dilepas pasukan Nyi Rorokweni menghunjam seluruh anak buahnya sendiri. Sedangkan Pendekar Slebor telah berdiri enteng, di pucuk alang-alang. Seakan, tubuhnya tak memiliki bobot saja.
Kini, Pendekar Konyol dan Nyi Rorokweni bisa berhadapan langsung. Andika bisa melihat wanita yang berpakaian serba hitam dan berwajah dihiasi keriput itu, meski rambutnya tetap hitam dan panjang terurai. Sedangkan Ny i Rorokweni yang masih berdiri di sebuah batu besar, dapat melihat jelas bagaimana rupa Pendekar Slebor.
“Kau memilih waktu yang tepat untuk membuka cadarmu, Wanita Biang Racun Tikus! Karena hari ini, aku bisa melihat wajahmu yang tak beda dengan lipatan kain ompol untuk yang pertama kali, dan yang terakhir!” seru Andika, dingin.
Bibir keriput Nyi Rorokweni bergeletar menahan luapan kemurkaan. Ejekan Pendekar Slebor tadi benar-benar menginjak harga dirinya.
“Jangan sesumbar, Bocah Bau Kencur! Kalau dulu kau masih bisa selamat dari racunku, kini kau akan mampus dalam keadaan menyedihkan. Aku tahu, lelaki tua itu belum sempat memberitahukanmu tentang penangkal racun milikku!” balas Nyi Rorokweni.
“Apa kau pikir aku akan sebodoh itu membiarkan tubuhku tersentuh tangan beracunmu? Kekalahanmu di Desa Wadaswetan sebenarnya merupakan tanda kalau aku sudah paham, bagaimana harus menghadapimu. Meski, aku tak pernah tahu penangkal racunmu!” sergah Pendekar Slebor, mantap.
“Kau ingin membuktikan?!”
“Kunyuk buduk! Hiaaa...!”
Dari jarak sekitar dua puluh tombak, tubuh Ny i Rorokweni meluncur deras ke arah Pendekar Slebor. Kedongkolannya sudah tidak bisa lagi dibendung pada setiap ejekan Pendekar Slebor.
Wrrr!
Saat mencapai tubuh Pendekar Slebor, Nyi Rorokweni langsung melayangkan tebasan tangan ke leher. Sedangkan Pendekar Slebor cepat merentangkan kain bercorak catur dengan kedua tangannya untuk melindungi leher.
Bet!
Tebasan tangan Nyi Rorokweni hanya menemui sasaran angin kosong. Dengan geram, dia menyusuli dengan tendangan tinggi, hendak menyapu kepala Pendekar Slebor. Tapi, mudah sekali pemuda itu mementahkannya hanya dengan menaikkan rentangan kain ke bagian kepala.
Tep!
Masih tetap menjejakkan kakinya di pucuk ilalang, Andika melakukan serangan balik. Jurus ‘Menapak Petir Membabi-Buta’ segera dikerahkannya. Layaknya orang linglung, kepala Pendekar Slebor berayun-ayun cepat. Nyi Rorokweni yang melihat gerakan aneh itu menjadi terpancing. Perhatiannya tertuju pada kepala Pendekar Slebor. Maka saat itu pula tangan Andika menghunjam lurus ke ulu hati, seperti hendak menyambar ujung lidah petir.
Dess!
“Ugkh...!”
Tubuh Nyi Rorokweni kontan terpental. Rasa sakit luar biasa yang menyerang ulu hati, membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan. Wanita keji itu langsung terpuruk disela-sela ilalang yang semula menjadi tempat berpijaknya.
Bruk!
“Hey! Dilarang buang hajat di tempat itu!” ejek Pendekar Slebor.
Memang, Andika melihat wanita itu terjerembab dengan pantat jatuh terlebih dahulu di lebatnya ilalang. Dia sendiri masih tetap berdiri gagah, sambil bertolak pinggang di pucuk ilalang.
“Bocah keparat! Kubunuh kau!” maki Nyi Rorokweni, kalap
Wanita itu segera bangkit. Setelah kakinya mantap menjejak tanah, tubuhnya digenjot ke belakang. Dengan bersalto tiga putaran, kakinya mendarat kembali di pucuk ilalang. Nyi Rorokweni membuka serangan berikutnya dengan luncuran deras disertai putaran tubuh ke arah Pendekar Slebor. Setiap satu putaran, tangannya mencabik ke depan bagai seekor belalang. Seluruh jarinya mengejang keras, seolah ada kawat baja yang menelusup otot-otot tangannya.
Ketika luncuran tubuh Nyi Rorokweni nyaris sampai, Pendekar Slebor tiba-tiba melepas ilmu peringan tubuhnya. Karena bobot tubuhnya terisi, maka membuat pendekar muda itu menelusup cepat ke dalam lautan padang ilalang yang setinggi manusia.
Srak!
Wesss!
Serangan Nyi Rorokweni yang dilakukan di atas ilalang tentu saja jadi memakan angin, karena sasarannya telah menelusup begitu cepat ke bawah. Hal itu membuat putaran tubuhnya terus melaju dan sulit dihentikan, akibat tenaga dorongan yang mestinya untuk melumat tubuh Pendekar Slebor.
Bagi Pendekar Slebor, keadaan seperti itu adalah peluang bagus. Tak beda dengan seekor jangkrik liar, Pendekar Slebor menyeruak rerimbunan ilalang untuk mengejar luncuran tak terkendali dari tubuh Nyi Rorokweni. Lalu....
Tak!
Secara tiba-tiba, tangan Pendekar Slebor tersembul di atas ilalang. Sepasang tangan yang saling terkait dan sengaja dibentang bagai tiang kokoh itu, membentur kaki kanan lawan. Akibatnya....
Bruk!
Sekali lagi, Nyi Rorokweni terjerembab keras di lautan ilalang, ketika kakinya terantuk tangan Pendekar Slebor. Keseimbangan tubuhnya yang memang sudah tak terkendali, tak bisa lagi dipertahankan. Suka tidak suka, Nyi Rorokweni harus bercengkerama mesra dengan gerombolan ilalang!
“Kudekap engkau dengan mesra, o ilalang.... Tanda cinta tak terhingga, wahai ilalang...,” ledek Pendekar Slebor, seperti orang yang sedang membacakan sebait puisi.
Sementara, kaki pemuda itu telah bertengger ringan kembali di pucuk tanaman liar itu. Dengan meringis menahan sakit tak kepalang di bagian kakinya, Nyi Rorokweni me lompat kembali ke atas ilalang. Sepasang bola matanya sudah terbakar merah. Pertarungannya kali ini memang benar-benar membuat ubun-ubunnya nyaris meledak karena gusar. Ejekan-ejekan pemuda itu terlalu keterlaluan baginya.
“Kini bersiaplah untuk kukirim ke neraka,” desis Nyi Rorokweni, penuh ancaman.
Kelihatan sekali kalau perempuan itu akan segera mengeluarkan ilmu andalan, ‘Pukulan Racun Bara Neraka’. Seperti pernah dilihat Andika sebelumnya, tangan Nyi Rorokweni terangkat tinggi-tinggi dengan seluruh jari terbuka. Dari bawah, sepasang tangannya menegang kaku. Sedangkan kedua matanya terpejam rapat, memusatkan seluruh kekuatan racun dalam dirinya ke telapak tangan. Tak ada lima helaan napas, tangan Nyi Rorokweni berubah merah. Pancaran warna seterang bara itu menyinari sebagian wajah keriputnya, memperlihatkan garis-garis telengas yang semula tersembunyi dalam hatinya. Bersama satu jeritan membahana, Nyi Rorokweni menerkam dada Pendekar Slebor.
“Hiaaah...!”
“Aaa...!”
Pada saat jemari tangan Nyi Rorokweni yang meregang nyaris mencabik dada, Pendekar Slebor berteriak amat keras. Suaranya langsung membelah malam yang sepi.
Dan....
Wusss!
Tiba-tiba saja tubuh pendekar muda itu lenyap dari pandangan mata Nyi Rorokweni. Tentu saja Ratu Racun gadungan itu terkesiap. Pikirannya mulai menduga-duga, mungkinkah pemuda itu memiliki ilmu ‘Halimun’? Suatu ilmu yang mampu menyirnakan raga seseorang?
Padahal Pendekar Slebor hanya ingin mengecoh lawan. Pemuda ini memang tidak pernah memiliki ilmu langka yang dahsyat seperti perkiraan Nyi Rorokweni. Selama ratusan tahun belakangan, tak ada seorang pun memiliki ilmu langka itu. Termasuk, Pendekar Slebor yang baru saja mengecap asam garam dunia persilatan.
Anak muda itu hanya mengerahkan seluruh ilmu kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan pada titik tertinggi. Hasilnya, tubuhnya bergerak menghindari cengkeraman jari lawan dalam kecepatan yang sudah tidak bisa lagi ditangkap mata. Itu sebabnya, dia terlihat seperti menghilang. Sementara, Nyi Rorokweni berdiri tegang. Sedangkan Andika sudah berada di belakangnya dengan senyum ketolol-tololan.
“Sudah kau temukan jangkrik yang kau cari?” tegur Andika, setengah berbisik pada Nyi Rorokweni.
Menyadari lawan telah berdiri di belakangnya, Nyi Rorokweni berbalik secepat kilat. Sepasang tangannya menyapu dalam satu gerakan mencabik.
“Hih!”
Wsss!
Untuk kesempatan ini, Pendekar Slebor tak berusaha menghindar seperti sebelumnya. Dia hanya menanti. Dan ketika tinggal sejengkal lagi tangan merah membara lawan mendarat di lehernya, Pendekar Slebor melibatkan kain pusakanya tepat di pergelangan kedua tangan Nyi Rorokweni hingga kini merapat erat.
Sreset!
Dan seketika Andika melenting ke belakang tubuh perempuan itu seraya menghentak kain pusaka yang masih tersangkut di pergelangan tangan Nyi Rorokweni. Hentakan sepenuh tenaga Pendekar Konyol tentu saja menyebabkan tangan Nyi Rorokweni tertarik deras kewajahnya sendiri. Hingga....
Cras!
“Aaa...!”
Tak pelak lagi, tangan beracun Nyi Rorokweni memangsa wajahnya sendiri. Tubuhnya langsung ambruk dan menggelepar di antara ilalang yang ikut bergoyang liar. Dan dalam sekejap mata, daun ilalang itu menghitam bersama kepulan asap tipis.
Sementara tubuh Nyi Rorokweni sendiri perlahan tapi pasti berubah menghitam, terpanggang keganasann racun miliknya sendiri. Pada puncaknya, tubuhnya mulai retak-retak mengerikan. Maka berakhir pula riwayat wanita telengas yang telah banyak melakukan kebiadaban terhadap manusia lain.
Lama Andika menatap mayat mengerikan lawannya. Sementara, desahan malam menemani keterpakuan dirinya. Angin dingin berhembus lembut menyibak asap tipis yang mengepul dari tubuh Nyi Rorokweni. Sedangkan jangkrik malam mulai berani memperdengarkan bunyinya yang lirih.
“Nak Andika....”
Andika pasti akan tetap terpaku hingga fajar menjelang, kalau saja seseorang tak menegurnya. Andika menoleh cepat, tersadar dari keterpakuannya.
“Ki Manik Angkeran?” sebut Andika pelan.
Tanpa diduga sesepuh Desa Wadaswetan itu akan dijumpainya di tempat tersebut.
“Ada apa, Ki?” tanya Andika, heran.
“Aku sengaja mencarimu...,” jawab lelaki tua berwibawa itu.
“Ada sesuatu yang lupa kusampaikan kepadamu, Nak Andika....”
“Apa itu, Ki?”
“Bukankah kau masih keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan?” Bukannya menjawab pertanyaan Andika, dia malah balik bertanya.
“Memangnya kenapa, Ki?” tanya Andika, setelah mengangguk.
Ki Manik Angkeran bergumam sesaat
“Aku lupa memberitahukanmu, kalau keluarga yang dirampok kawanan Ny i Rorokweni delapan belas tahun lalu adalah anak Ki Panji Agung, seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Jadi, mungkin mereka adalah keluargamu juga...,” jelas laki-laki tua itu.
Andika terhenyak. Apa yang mesti dikatakannya pada Ki Manik Angkeran tentang kematian Mayangsari yang ternyata masih berhubungan darah dengannya?
“Sayang sekali, waktu itu aku tak sempat menyelamatkan gadis kecil anak keluarga pendekar itu...,” desah Ki Manik Angkeran.
“Dia sudah menjadi gadis cantik, Ki. Tapi, kini sudah jadi mayat,” selak Andika seraya mengarahkan pandangan ke tubuh Mayangsari.
“Jadi diakah gadis kecil itu?” tanya Ki Manik Angkeran.
“Sayang sekali, padahal aku berharap dia bisa tetap hidup dan mencari adiknya....”
“Adiknya?”
“Ya. Kau tentu bertanya, kenapa Nyi Rorokweni mendatangiku ke Desa Wadaswetan dengan menyamar sebagai Ratu Racun? Dia ingin membunuhku, karena akulah saksi mata yang mengetahui perbuatan mereka. Mereka takut, anak keluarga pendekar itu menuntut balas dendam, dengan meminta keterangan padaku,” tutur Ki Manik Angkeran, tidak membuat Andika puas.
“Tapi kau tadi mengatakan tentang adik wanita itu?”
“Ya! Akulah yang membawa adik lelakinya yang berumur delapan bulan. Lalu, anak itu kutinggal di pinggir Hutan Watuabang....”
Andika mendadak dirasuki ingatan tentang masa kecilnya. Dia pun ditemukan di tepi hutan oleh orangtua angkatnya seorang ahli mencopet. Tiba-tiba pula, timbul keinginan untuk menanyakannya lebih lanjut pada Ki Manik Angkeran.
“Kau masih ingat tanda anak lelaki kecil itu?” tanya Andika.
Ki Manik Angkeran mengangguki pertanyaan Andika.
“Ya! Ada tanda berbentuk bintang di tangan kanannya, berwarna biru kehijau-hijauan.”
Saat itulah seluruh persendian Andika seperti dilepas secara paksa. Tanda yang disebutkan Ki Manik Angkeran memang dimiliki pendekar muda ini pada tangan kanannya.
Jadi?
Pendekar Konyol terhenyak lesu. Pencarian keluarganya ternyata tiba pada satu kekecewaan. Wanita yang dikenal sebagai Ratu Racun yang sebenarnya ternyata kakak kandungnya. Tapi belum lagi mengenal lebih dekat, Mayangsari telah pergi untuk selamanya.
“Siapa nama gadis kecil anak keluarga pendekar itu, Ki?” tanya Andika samar.
“Mayangsari....”
“Ah! Kak Mayangsari. Kenapa kita mesti berjumpa saat kau tidak bisa lagi berbagi kasih pada adikmu ini?” keluh hati Andika yang paling dalam.
“Maafkan aku, Mayang. Ini semua akibat ulahku. Aku terlalu menganggap remeh serangan pasukan Nyi Rorokweni tadi...,” sesal Andika, terputus-putus.
“Kau telah berusaha, Andika. Tapi, Tuhan rupanya berkehendak lain. Kalaupun kau tak membawaku ke tempat ini, akhirnya aku sendiri juga yang akan datang ke sini. Justru, akulah yang begitu tolol mengikuti arus dendam dalam diriku. Padahal, ilmuku hanya mengandalkan racun serta sedikit jurus-jurus tak berarti....”
Kali ini Andika yang menggeleng perlahan.
“Kau dan aku hanya manusia biasa, Mayang. Kalaupun aku menjadi dirimu, tentu akan melakukan hal yang sama. Manusia mana yang tidak akan dendam kalau orang-orang tercinta dibunuh secara keji?” tutur Andika lemah.
“Tapi aku mulai berpikir, bukankah lebih baik dan lebih bijaksana kalau memaafkan mereka?” ucap Mayangsari makin lemah.
Andika tak bisa berkata apa-apa. Perkataan wanita dalam pelukannya memang benar, meski para bajingan yang telah membunuh orangtuanya masih tetap sebagai bajingan yang mesti dienyahkan. Kalaupun harus disingkirkan dari bumi ini, itu karena mereka telah banyak menciptakan keangkaramurkaan. Bukan karena dorongan dendam.
“Tapi..., keputusanku untuk mengenyahkan dendam tampaknya sudah terlambat...,” kata Mayangsari kembali, lirih.
“Rasanya maut akan segera menjemputku....”
Sebentar kemudian, tubuh wanita itu mengejang. Lalu matanya terkatup perlahan disertai hembusan napas perlahan. Anak panah yang menembus paru-paru sebelah kanan, telah mengakibatkan nyawanya melayang. Jadi bukan karena racun, karena tubuh Mayangsari memang kebal racun.
“Mayang...,” panggil Andika masgul.
Tak terdengar sahutan dari wanita itu. Nyawanya memang telah dijemput malaikat maut. Paru-parunya yang tertembus anak panah, membuatnya tak mampu lagi mempertahankan lebih lama selembar nyawanya.
“Keparat kalian...,” geram Andika.
Untuk yang kesekian kali, orang baik terbunuh di hadapan pemuda ini. Bagaimana pendekar muda itu tidak menjadi gusar? Kembali masa indah yang harusnya dapat dinikmati Andika dirampas begitu saja oleh perbuatan orang-orang berhati iblis.
Perlahan tubuh Mayangsari diletakkan di tanah berumput. Sementara itu, api kemarahan makin membesar dalam diri Andika. Api yang mendorongnya untuk segera membasmi bajingan-bajingan tengik yang telah merenggut nyawa wanita ayu di hadapannya.
“Kau harus membayar nyawa wanita ini, sekaligus membayar nyawa Ki Patigeni, Nyi Rorokweni!” desis Andika penuh getaran kemurkaan.
Setelah itu....
“Hiaaa...!”
Dari rimbunnya ilalang tinggi, tubuh Pendekar Slebor melenting ke udara. Bagai sebuah bola, tubuhnya berputaran di udara beberapa kali dengan tubuh menekuk rapat. Melihat lawannya melayang seperti itu, Nyi Rorokweni merasa memiliki kesempatan untuk memanggang tubuh Pendekar Slebor dengan puluhan anak panah beracun.
“Serang!” perintah wanita itu pada pasukan berpanah.
Zing! Zing! Zing...!
Puluhan anak panah kembali memenuhi udara. Di bawah temaram cahaya bulan, senjata senjata itu terlihat seperti gerombolan hantu terbang. Seluruhnya kini terpusat pada diri Pendekar Slebor yang masih berputar di udara. Sesaat lagi, tubuhnya tentu akan direncah habis.
Tapi....
Wut! Wut...!
Tas! Tas...!
Kalau Nyi Rorokweni mengira akan mendapat kesempatan emas, maka dugaan itu meleset sama sekali. Karena dengan kain bercorak catur yang masih tergenggam di tangan kanan, Pendekar Slebor memapak seluruh anak panah beracun tadi. Akibat yang terjadi sungguh memaksa mata Nyi Rorokweni terbelalak lebar-lebar. Puluhan anak panah pasukannya kontan tersapu kembali ke arah pemiliknya. Padahal, keadaan Pendekar Slebor yang berada di udara termasuk sulit untuk berkelit bagi tokoh kalangan atas dunia persilatan sekalipun!
Zing! Zing...!
Jep! Jep...!
“Aaakh...!”
Teriakan kematian berbaur menjadi satu tatkala anak panah yang dilepas pasukan Nyi Rorokweni menghunjam seluruh anak buahnya sendiri. Sedangkan Pendekar Slebor telah berdiri enteng, di pucuk alang-alang. Seakan, tubuhnya tak memiliki bobot saja.
Kini, Pendekar Konyol dan Nyi Rorokweni bisa berhadapan langsung. Andika bisa melihat wanita yang berpakaian serba hitam dan berwajah dihiasi keriput itu, meski rambutnya tetap hitam dan panjang terurai. Sedangkan Ny i Rorokweni yang masih berdiri di sebuah batu besar, dapat melihat jelas bagaimana rupa Pendekar Slebor.
“Kau memilih waktu yang tepat untuk membuka cadarmu, Wanita Biang Racun Tikus! Karena hari ini, aku bisa melihat wajahmu yang tak beda dengan lipatan kain ompol untuk yang pertama kali, dan yang terakhir!” seru Andika, dingin.
Bibir keriput Nyi Rorokweni bergeletar menahan luapan kemurkaan. Ejekan Pendekar Slebor tadi benar-benar menginjak harga dirinya.
“Jangan sesumbar, Bocah Bau Kencur! Kalau dulu kau masih bisa selamat dari racunku, kini kau akan mampus dalam keadaan menyedihkan. Aku tahu, lelaki tua itu belum sempat memberitahukanmu tentang penangkal racun milikku!” balas Nyi Rorokweni.
“Apa kau pikir aku akan sebodoh itu membiarkan tubuhku tersentuh tangan beracunmu? Kekalahanmu di Desa Wadaswetan sebenarnya merupakan tanda kalau aku sudah paham, bagaimana harus menghadapimu. Meski, aku tak pernah tahu penangkal racunmu!” sergah Pendekar Slebor, mantap.
“Kau ingin membuktikan?!”
“Kunyuk buduk! Hiaaa...!”
Dari jarak sekitar dua puluh tombak, tubuh Ny i Rorokweni meluncur deras ke arah Pendekar Slebor. Kedongkolannya sudah tidak bisa lagi dibendung pada setiap ejekan Pendekar Slebor.
Wrrr!
Saat mencapai tubuh Pendekar Slebor, Nyi Rorokweni langsung melayangkan tebasan tangan ke leher. Sedangkan Pendekar Slebor cepat merentangkan kain bercorak catur dengan kedua tangannya untuk melindungi leher.
Bet!
Tebasan tangan Nyi Rorokweni hanya menemui sasaran angin kosong. Dengan geram, dia menyusuli dengan tendangan tinggi, hendak menyapu kepala Pendekar Slebor. Tapi, mudah sekali pemuda itu mementahkannya hanya dengan menaikkan rentangan kain ke bagian kepala.
Tep!
Masih tetap menjejakkan kakinya di pucuk ilalang, Andika melakukan serangan balik. Jurus ‘Menapak Petir Membabi-Buta’ segera dikerahkannya. Layaknya orang linglung, kepala Pendekar Slebor berayun-ayun cepat. Nyi Rorokweni yang melihat gerakan aneh itu menjadi terpancing. Perhatiannya tertuju pada kepala Pendekar Slebor. Maka saat itu pula tangan Andika menghunjam lurus ke ulu hati, seperti hendak menyambar ujung lidah petir.
Dess!
“Ugkh...!”
Tubuh Nyi Rorokweni kontan terpental. Rasa sakit luar biasa yang menyerang ulu hati, membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan. Wanita keji itu langsung terpuruk disela-sela ilalang yang semula menjadi tempat berpijaknya.
Bruk!
“Hey! Dilarang buang hajat di tempat itu!” ejek Pendekar Slebor.
Memang, Andika melihat wanita itu terjerembab dengan pantat jatuh terlebih dahulu di lebatnya ilalang. Dia sendiri masih tetap berdiri gagah, sambil bertolak pinggang di pucuk ilalang.
“Bocah keparat! Kubunuh kau!” maki Nyi Rorokweni, kalap
Wanita itu segera bangkit. Setelah kakinya mantap menjejak tanah, tubuhnya digenjot ke belakang. Dengan bersalto tiga putaran, kakinya mendarat kembali di pucuk ilalang. Nyi Rorokweni membuka serangan berikutnya dengan luncuran deras disertai putaran tubuh ke arah Pendekar Slebor. Setiap satu putaran, tangannya mencabik ke depan bagai seekor belalang. Seluruh jarinya mengejang keras, seolah ada kawat baja yang menelusup otot-otot tangannya.
Ketika luncuran tubuh Nyi Rorokweni nyaris sampai, Pendekar Slebor tiba-tiba melepas ilmu peringan tubuhnya. Karena bobot tubuhnya terisi, maka membuat pendekar muda itu menelusup cepat ke dalam lautan padang ilalang yang setinggi manusia.
Srak!
Wesss!
Serangan Nyi Rorokweni yang dilakukan di atas ilalang tentu saja jadi memakan angin, karena sasarannya telah menelusup begitu cepat ke bawah. Hal itu membuat putaran tubuhnya terus melaju dan sulit dihentikan, akibat tenaga dorongan yang mestinya untuk melumat tubuh Pendekar Slebor.
Bagi Pendekar Slebor, keadaan seperti itu adalah peluang bagus. Tak beda dengan seekor jangkrik liar, Pendekar Slebor menyeruak rerimbunan ilalang untuk mengejar luncuran tak terkendali dari tubuh Nyi Rorokweni. Lalu....
Tak!
Secara tiba-tiba, tangan Pendekar Slebor tersembul di atas ilalang. Sepasang tangan yang saling terkait dan sengaja dibentang bagai tiang kokoh itu, membentur kaki kanan lawan. Akibatnya....
Bruk!
Sekali lagi, Nyi Rorokweni terjerembab keras di lautan ilalang, ketika kakinya terantuk tangan Pendekar Slebor. Keseimbangan tubuhnya yang memang sudah tak terkendali, tak bisa lagi dipertahankan. Suka tidak suka, Nyi Rorokweni harus bercengkerama mesra dengan gerombolan ilalang!
“Kudekap engkau dengan mesra, o ilalang.... Tanda cinta tak terhingga, wahai ilalang...,” ledek Pendekar Slebor, seperti orang yang sedang membacakan sebait puisi.
Sementara, kaki pemuda itu telah bertengger ringan kembali di pucuk tanaman liar itu. Dengan meringis menahan sakit tak kepalang di bagian kakinya, Nyi Rorokweni me lompat kembali ke atas ilalang. Sepasang bola matanya sudah terbakar merah. Pertarungannya kali ini memang benar-benar membuat ubun-ubunnya nyaris meledak karena gusar. Ejekan-ejekan pemuda itu terlalu keterlaluan baginya.
“Kini bersiaplah untuk kukirim ke neraka,” desis Nyi Rorokweni, penuh ancaman.
Kelihatan sekali kalau perempuan itu akan segera mengeluarkan ilmu andalan, ‘Pukulan Racun Bara Neraka’. Seperti pernah dilihat Andika sebelumnya, tangan Nyi Rorokweni terangkat tinggi-tinggi dengan seluruh jari terbuka. Dari bawah, sepasang tangannya menegang kaku. Sedangkan kedua matanya terpejam rapat, memusatkan seluruh kekuatan racun dalam dirinya ke telapak tangan. Tak ada lima helaan napas, tangan Nyi Rorokweni berubah merah. Pancaran warna seterang bara itu menyinari sebagian wajah keriputnya, memperlihatkan garis-garis telengas yang semula tersembunyi dalam hatinya. Bersama satu jeritan membahana, Nyi Rorokweni menerkam dada Pendekar Slebor.
“Hiaaah...!”
“Aaa...!”
Pada saat jemari tangan Nyi Rorokweni yang meregang nyaris mencabik dada, Pendekar Slebor berteriak amat keras. Suaranya langsung membelah malam yang sepi.
Dan....
Wusss!
Tiba-tiba saja tubuh pendekar muda itu lenyap dari pandangan mata Nyi Rorokweni. Tentu saja Ratu Racun gadungan itu terkesiap. Pikirannya mulai menduga-duga, mungkinkah pemuda itu memiliki ilmu ‘Halimun’? Suatu ilmu yang mampu menyirnakan raga seseorang?
Padahal Pendekar Slebor hanya ingin mengecoh lawan. Pemuda ini memang tidak pernah memiliki ilmu langka yang dahsyat seperti perkiraan Nyi Rorokweni. Selama ratusan tahun belakangan, tak ada seorang pun memiliki ilmu langka itu. Termasuk, Pendekar Slebor yang baru saja mengecap asam garam dunia persilatan.
Anak muda itu hanya mengerahkan seluruh ilmu kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan pada titik tertinggi. Hasilnya, tubuhnya bergerak menghindari cengkeraman jari lawan dalam kecepatan yang sudah tidak bisa lagi ditangkap mata. Itu sebabnya, dia terlihat seperti menghilang. Sementara, Nyi Rorokweni berdiri tegang. Sedangkan Andika sudah berada di belakangnya dengan senyum ketolol-tololan.
“Sudah kau temukan jangkrik yang kau cari?” tegur Andika, setengah berbisik pada Nyi Rorokweni.
Menyadari lawan telah berdiri di belakangnya, Nyi Rorokweni berbalik secepat kilat. Sepasang tangannya menyapu dalam satu gerakan mencabik.
“Hih!”
Wsss!
Untuk kesempatan ini, Pendekar Slebor tak berusaha menghindar seperti sebelumnya. Dia hanya menanti. Dan ketika tinggal sejengkal lagi tangan merah membara lawan mendarat di lehernya, Pendekar Slebor melibatkan kain pusakanya tepat di pergelangan kedua tangan Nyi Rorokweni hingga kini merapat erat.
Sreset!
Dan seketika Andika melenting ke belakang tubuh perempuan itu seraya menghentak kain pusaka yang masih tersangkut di pergelangan tangan Nyi Rorokweni. Hentakan sepenuh tenaga Pendekar Konyol tentu saja menyebabkan tangan Nyi Rorokweni tertarik deras kewajahnya sendiri. Hingga....
Cras!
“Aaa...!”
Tak pelak lagi, tangan beracun Nyi Rorokweni memangsa wajahnya sendiri. Tubuhnya langsung ambruk dan menggelepar di antara ilalang yang ikut bergoyang liar. Dan dalam sekejap mata, daun ilalang itu menghitam bersama kepulan asap tipis.
Sementara tubuh Nyi Rorokweni sendiri perlahan tapi pasti berubah menghitam, terpanggang keganasann racun miliknya sendiri. Pada puncaknya, tubuhnya mulai retak-retak mengerikan. Maka berakhir pula riwayat wanita telengas yang telah banyak melakukan kebiadaban terhadap manusia lain.
Lama Andika menatap mayat mengerikan lawannya. Sementara, desahan malam menemani keterpakuan dirinya. Angin dingin berhembus lembut menyibak asap tipis yang mengepul dari tubuh Nyi Rorokweni. Sedangkan jangkrik malam mulai berani memperdengarkan bunyinya yang lirih.
“Nak Andika....”
Andika pasti akan tetap terpaku hingga fajar menjelang, kalau saja seseorang tak menegurnya. Andika menoleh cepat, tersadar dari keterpakuannya.
“Ki Manik Angkeran?” sebut Andika pelan.
Tanpa diduga sesepuh Desa Wadaswetan itu akan dijumpainya di tempat tersebut.
“Ada apa, Ki?” tanya Andika, heran.
“Aku sengaja mencarimu...,” jawab lelaki tua berwibawa itu.
“Ada sesuatu yang lupa kusampaikan kepadamu, Nak Andika....”
“Apa itu, Ki?”
“Bukankah kau masih keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan?” Bukannya menjawab pertanyaan Andika, dia malah balik bertanya.
“Memangnya kenapa, Ki?” tanya Andika, setelah mengangguk.
Ki Manik Angkeran bergumam sesaat
“Aku lupa memberitahukanmu, kalau keluarga yang dirampok kawanan Ny i Rorokweni delapan belas tahun lalu adalah anak Ki Panji Agung, seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Jadi, mungkin mereka adalah keluargamu juga...,” jelas laki-laki tua itu.
Andika terhenyak. Apa yang mesti dikatakannya pada Ki Manik Angkeran tentang kematian Mayangsari yang ternyata masih berhubungan darah dengannya?
“Sayang sekali, waktu itu aku tak sempat menyelamatkan gadis kecil anak keluarga pendekar itu...,” desah Ki Manik Angkeran.
“Dia sudah menjadi gadis cantik, Ki. Tapi, kini sudah jadi mayat,” selak Andika seraya mengarahkan pandangan ke tubuh Mayangsari.
“Jadi diakah gadis kecil itu?” tanya Ki Manik Angkeran.
“Sayang sekali, padahal aku berharap dia bisa tetap hidup dan mencari adiknya....”
“Adiknya?”
“Ya. Kau tentu bertanya, kenapa Nyi Rorokweni mendatangiku ke Desa Wadaswetan dengan menyamar sebagai Ratu Racun? Dia ingin membunuhku, karena akulah saksi mata yang mengetahui perbuatan mereka. Mereka takut, anak keluarga pendekar itu menuntut balas dendam, dengan meminta keterangan padaku,” tutur Ki Manik Angkeran, tidak membuat Andika puas.
“Tapi kau tadi mengatakan tentang adik wanita itu?”
“Ya! Akulah yang membawa adik lelakinya yang berumur delapan bulan. Lalu, anak itu kutinggal di pinggir Hutan Watuabang....”
Andika mendadak dirasuki ingatan tentang masa kecilnya. Dia pun ditemukan di tepi hutan oleh orangtua angkatnya seorang ahli mencopet. Tiba-tiba pula, timbul keinginan untuk menanyakannya lebih lanjut pada Ki Manik Angkeran.
“Kau masih ingat tanda anak lelaki kecil itu?” tanya Andika.
Ki Manik Angkeran mengangguki pertanyaan Andika.
“Ya! Ada tanda berbentuk bintang di tangan kanannya, berwarna biru kehijau-hijauan.”
Saat itulah seluruh persendian Andika seperti dilepas secara paksa. Tanda yang disebutkan Ki Manik Angkeran memang dimiliki pendekar muda ini pada tangan kanannya.
Jadi?
Pendekar Konyol terhenyak lesu. Pencarian keluarganya ternyata tiba pada satu kekecewaan. Wanita yang dikenal sebagai Ratu Racun yang sebenarnya ternyata kakak kandungnya. Tapi belum lagi mengenal lebih dekat, Mayangsari telah pergi untuk selamanya.
“Siapa nama gadis kecil anak keluarga pendekar itu, Ki?” tanya Andika samar.
“Mayangsari....”
“Ah! Kak Mayangsari. Kenapa kita mesti berjumpa saat kau tidak bisa lagi berbagi kasih pada adikmu ini?” keluh hati Andika yang paling dalam.
SELESAI
0