- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#87
Part 9
“Kau tidak bisa sedikit menduga?”
“Jangan bertele-tele!”
“Baik..., baik. Nyi Rorokweni telah menyamar sebagai dirimu. Dia membunuh puluhan orang tak bersalah, dengan telengas. Lalu, dia mengaku sebagai Ratu Racun. Sebagai dirimu. Bedanya, dia mengenakan cadar merah dalam setiap pembantaian yang dilakukannya...,” tutur Andika, menjelaskan.
“Bagaimana kau bisa tidak terkecoh oleh Nyi Rorokweni, sementara banyak pendekar aliran putih lain bisa tertipu?” tanya Mayangsari, curiga.
“Aaah! Kau masih tetap mencurigai aku rupanya? Tapi kalau kau ingin tahu juga, akan kujawab. Yang jelas, aku tahu perempuan yang hendak memfitnahmu itu adalah Nyi Rorokweni.”
Kemudian Andika pun menceritakan seluruh kejadian yang membawanya pada kesimpulan itu. Bagaimana dia pernah bertarung melawan Ratu Racun yang bercadar merah. Juga dijelaskan, bagaimana dia dapat melihat perbedaan antara Ratu Racun yang pernah bertempur dengannya itu dengan Ratu Racun yang kini dikenalnya.
“Waktu kau menghabisi Rawegenggong dan anak buhanya di Hutan Watuabang, aku tak sempat melihat wajahmu. Kelebatan hutan itu tak memberi kesempatan untuk melihat wajahmu. Tapi aku melihat sesuatu yang tak dimiliki Ratu Racun bercadar merah...,” tutur Andika penuh keyakinan.
“Apa itu?”
Mata Andika melirik ke bagian pinggang Mayangsari. Di sana tersembul sebentuk tongkat pendek yang tersembunyi di balik bajunya.
“Aku melihat benda itu tidak dimiliki Ratu Racun telengas itu...,” kata Andika, pasti.
Tanpa sadar, tangan Mayangsari memegang benda yang dimaksud Andika.
“Ini senjataku,” aku wanita itu.
“Sudah kuduga.”
“Lalu, bagaimana kau tahu kalau perempuan yang mengaku Ratu Racun adalah Ny i Rorokweni?” desak Mayangsari kembali.
Tanpa ingin bertele-tele lagi, Andika segera menceritakan penyelidikannya selama ini. Dimulai dengan kalung kayu yang ditemukannya di sekitar tempat pertarungan Mayangsari dengan gerombolan Rawegenggong di Hutan Watuabang, hingga kunjungannya ke Desa Wadaswetan untuk menanyai sesepuhnya, Ki Manik Angkeran.
“Lalu aku teringat ucapan Ki Patigeni. Dia telah menjadi korban keganasan pukulan Nyi Rorokweni. Dan ketika pukulan itu kuperhatikan, ternyata mirip pada korban-korbannya yang terdiri dari orang-orang tak berdosa. Dan ketika ciri-ciri pukulan itu kutanyakan pada Ki Manik Angkeran, ternyata juga sama dengan pukulan salah satu tokoh yang pernah merampok di Desa Wadaswetan. Tak ada orang lain yanag mempunyai pukulan seperti itu, selain Nyi Rorokweni. Sementara melihat sepak terjangmu pada orang-orangnya Begal Ireng, maka aku berkesimpulan...”
“Kalau aku sedang memburu mereka karena dendam?” selak Mayangsari.
‘Tepat!” ujar Andika dengan lagak seorang penjual obat.
Mayangsari mengangguk-angguk pelan. Rambutnya yang panjang ikut terayun-ayun. Sinar matanya sendiri terlihat kagum pada Andika, karena mampu mengungkap rahasia dirinya dengan tepat.
“Sekarang kau harus jawab pertanyaanku,” pinta Andika lebih lanjut.
“Kenapa kau dan Nyi Rorokweni memiliki racun dahsyat yang juga dimiliki oleh seorang tokoh kalangan hitam yang hidup puluhan tahun lalu?”
“Ki Guntara?”
“Dari mana kau tahu?”
Mayangsari menghela napas berat sesaat.
“Dia adalah guruku,” kata wanita itu.
“Ki Guntara pernah menceritkan tentang Ki Patigeni yang pernah mengalahkannya. Sejak dikalahkan, guruku menjadi sadar kalau di dunia ini tak ada orang yang paling tinggi. Sesakti apa pun orang itu, suatu saat akan tetap jatuh dan tak mungkin menghindari kematian. Ingat pada kematian, dia ingat pada kekuasaan Tuhan. Sampai akhirnya, seluruh kesalahannya disadari dan bertobat....”
Mayangsari menghentikan ceritanya. Wajahnya tampak dirundung keprihatinan dalam.
“Tapi kau belum jawab pertanyaanku tadi, kan?” usik Andika.
Mayangsari tersadar.
“Sejak saat itu, guruku menyepi sekaligus mengangkat seorang murid bernama Rorokweni yang kala itu berusia enam belas tahun. Sayang, Rorokweni ternyata memiliki watak buruk. Dan guruku pun bisa mencium hal itu. Karena wataknya itu pula, guruku hanya menurunkan sebagian ilmu kesaktiannya padanya. Dan Rorokweni yang mengetahui hal itu, menjadi mata gelap. Guru pun dikhianati. Dengan racun yang pernah dipelajarinya, Ki Guntara diracuni hingga lumpuh. Dia berpikir, dengan lumpuhnya guru, maka kitab ilmu racun yang belum dipelajarinya dapat dicuri. Sayang, niat jahat itu tidak berjalan mulus. Ternyata guru telah menyembunyikan kitab itu di suatu tempat rahasia. Tentu saja Rorokweni jadi murka. Guru lalu dipaksa untuk memberitahukan tempat penyimpanan kitab itu. Namun, guru tetap tidak sudi memberitahukannya. Tentu saja hal ini membuat Rorokweni makin kalap. Akhirnya, guru yang lumpuh saat itu disiksa.”
Kembali Mayangsari menghentikan ceritanya, seperti berusaha menahan kesedihan.
“Ketika guru sekarat, namun tetap tak juga membuka rahasia tempat penyimpanan kitab itu, akhirnya Rorokweni pergi dengan rasa jengkel,” lanjut Mayangsari.
“Beberapa tahun kemudian, Rorokweni membegal keluargaku. Mereka membunuh kedua orangtuaku secara keji. Aku masih bisa membayangkan, bagaimana kejinya Rorokweni beserta kawanannya membunuh ayah dan ibuku. Untunglah aku dapat meloloskan diri dari kekejaman mereka. Sementara, adikku yang masih berumur delapan bulan, entah bagaimana nasibnya. Dan dalam keputusaasanku karena kehilangan seluruh orang yang kucintai, aku berjalan mengikuti kata hati. Sampai akhirnya, aku tiba di kediaman Ki Guntara. Keadaannya, yang menyedihkan, membuat hatiku iba. Dan hatiku pun tergerak untuk mengurusnya.”
Keduanya kini sama-sama terdiam. Pikiran mereka sama-sama dibawa kenangan masing-masing, tentang orang-orang tercinta yang harus menjadi korban kebiadaban manusia-manusia berhati iblis.
“Jadi menurutmu, apa alasan Nyi Rorokweni mengaku-aku sebagai diriku?” tanya Mayangsari pada Andika, mulai membuka percakapan kembali.
Andika mengusap-usap dagu. Benaknya langsung mereka-reka jawaban pertanyaan Mayangsari barusan.
“Pertama, karena ingin agar kau dibunuh oleh pendekar-pendekar aliran putih...,” gumam Andika.
“Kedua?”
“Yang kedua karena ingin mempersiapkan sesuatu buat dirimu. Karena dia tahu, kau luput dari tangan para pendekar yang memburumu akibat fitnahnya. Dia tidak lahu, kau akan tiba di tempatnya cepat atau lambat. Tentu saja untuk menuntut balas atas kematian orang-tuamu....”
“Maksudmu, dia akan mempersiapkan sesuatu untuk menyambut kedatanganku, sementara perjalananku dihambat oleh para pendekar golongan putih yang murka?” tebak Mayangsari.
Andika mengangguk.
“Lalu, apa maksudmu dengan mempersiapkan sesuatu itu?” tanya Mayangsari, ingin tahu lebih jelas.
“Aku pun tidak tahu. Mungkin sedang mempersiapkan jebakan buatmu....”
Belum selesai ucapan Andika, tiba-tiba saja...
“Hi hi hi.... Semua perkiraanmu memang tepat, Pendekar Slebor. Tak percuma orang-orang dunia persilatan meributkan tentang kecemerlangan otakmu!”
Tiba-tiba terdengar tawa melengking yang mendirikan bulu roma. Tubuh Andika menegang. Naluri kependekarannya yang terlatih memperingatkan dirinya kalau bahaya akan segera tiba.
“Kau tahu, apa nama daerah ini?” bisik Andika pada Mayangsari.
“Ini Lembah Burangrang. Kenapa kau menanyakan hal itu?” Andika tidak menjawab pertanyaan heran Mayangsari.
“Kau tahu tempat Nyi Rorokweni?” Andika malah bertanya lagi.
Mayangsari terkesiap. Wajahnya makin terlihat tegang.
“Dia tinggal di Lembah Burangrang, lembah ini,” desis wanita itu, menjawab pertanyaan Andika barusan.
Mata Andika menyipit. Sepasang bola matanya bergerak kian kemari, memperlihatkan kewaspadaan.
“Itu artinya, kita telah masuk dalam perangkap Nyi Rorokweni tanpa disadari...,” jelas pemuda itu, nyaris mendesis.
Dugaan Andika ternyata tak meleset. Beberapa kerdipan mata kemudian, bermunculan puluhan orang dari balik alang-alang. Dengan panah di tangan, mereka mengepung Andika dan Mayangsari. Pengepungan ini tampaknya memang benar-benar telah dipersiapkan. Terbukti, barisan kepungan demikian rapi, membentuk tiga lapisan.
Pada lapisan kepungan pertama, mereka menyiapkan panah-panah berapi yang bagai kumpulan kunang-kunang raksasa yang menerangi daerah sekitar. Sedangkan pada lapisan kedua, para pengepung mempersiapkan panah-panah beracun. Hal itu bisa diduga Andika, karena mengingat Nyi Rorokweni amat ahli dalam hal racun. Sedangkan di barisan ketiga, para pengepung membawa kuali berukuran sebesar kepala manusia.
“Untuk apa kuali tanah itu?” tanya Mayangsari dengan wajah menegang keras.
Andika melirik sekejap pada wanita itu.
“Tampaknya mereka mencoba membakar kita hidup-hidup di tengah padang ilalang ini Aku yakin, kuali kuali itu berisi minyak yang akan dilontarkan ke udara. Kemudian, barisan pertama akan melepas panah-panah api ke kuali-kuali itu. Dan, saat itulah minyak akan bertebaran di udara bersama api yang siap membakar padang ilalang, sekaligus memanggang tubuh kita,” jelas Pendekar Slebor.
Mayangsari bergidik.
“Kalau hanya untuk menyelamatkan diri dari kobaran api, tentu saja mudah bagi kita. Tapi rasanya tidak mudah menghindari jilatan api raksasa, sementara kita dihujani pula oleh panah-panah beracun yang tak boleh menyentuh tubuh sedikit pun,” tambah Andika, tanpa maksud menakut-nakuti Mayangsari.
“Tapi racun anak panah itu tak berarti bagiku. Apa kau lupa, kalau aku amat ahli dalam hal racun?” sergah Mayangsari. ‘
“Tapi apa kau memiliki ilmu kebal, hingga mampu membuat anak panah itu tidak bakal menembus kulitmu?”
Mayangsari tidak bisa menjawab pertanyaan Andika. Kalaupun racun jahat pada anak panah musuh tidak bisa membunuh, tentu saja dia akan tetap mati. Masalahnya, anak panah yang setajam taring serigala itu akan menembus tubuhnya. Dalam hal ini, Andika memang benar.
“Lalu apa akalmu untuk lolos dari perangkap mengerikan ini?” tanya Mayangsari cemas. Sinar kekalutan mulai mengusik wajah ayunya.
Orang yang ditanya tak menyahut. Andika hanya diam mematung dengan tubuh mengejang. Entah apa yang hendak dilakukannya. Yang jelas, hatinya amat geram dengan kelicikan semacam itu.
“Andika, apa yang mesti kita perbuat?” ulang Mayangsari setengah menjerit.
“Tenang, Mayangsari...,” sergah Andika singkat.
“Bagaimana bisa tenang, sementara kita tak punya kesempatan lolos dari perangkap mengerikan ini?!”
“Diam! Bagaimana aku bisa berpikir jernih, kalau kau tetap mengoceh seperti itu?!” hardik Andika.
Bagi Andika sendiri, perangkap semacam itu tak akan menjadi masalah yang terlalu besar. Cukup mengandalkan ilmu kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan, dia mampu lolos dari jilatan api. Bahkan dari puluhan anak panah sekalipun. Namun, urusan akan jadi lain kalau di sampingnya berdiri seorang wanita. Tentu Pendekar Slebor akan kesulitan mementahkan serangan anak panah beracun kalau harus membopongnya. Sedangkan, ilmu peringan tubuh Mayangsari belum cukup sempurna.
Ini betul-betul tantangan besar di depan matanya. Di satu sisi, nyawanya sendiri harus diselamatkan. Dan di sisi lain, Mayangsari tak bisa begitu saja ditinggalkan. Dalam hal ini, Andika merasa harus bertanggung jawab terhadap keselamatan jiwanya. Bukankah dia yang membawa wanita itu ke tempat ini?
“Seraaang...!”
Teriakan wanita dari sebelah selatan membuyarkan pikiran Andika, sebelum sempat menemukan pemecahan masalah yang mengancam jiwa mereka berdua. Sesaat kemudian, mata Andika melihat barisan ketiga dari para pengepung mulai melontarkan kuali-kuali berisi minyak pembakar. Dari berbagai penjuru, kuali-kuali tanah itu melayang ke udara, disusul terlepasnya anak panah berapi dari barisan pertama ke arah kuali-kuali tadi. Sekali lagi, perkiraan Andika tidak meleset!
Apa yang mesti dilakukan Andika? Sedangkan puluhan anak panah berapi itu tak mungkin ditangkapnya satu persatu. Pada saat yang mencekam itu, mata Andika tertumbuk pada kumpulan alang-alang yang nyaris setinggi manusia di depannya. Maka dengan sigap, tangannya meraih alang-alang itu. Sepasang tangannya yang kini dipenuhi alang-alang kemudian bergerak bagai kilat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Wes! Wes! Wes!
Bagai puluhan anak panah, alang-alang itu meluncur deras menuju anak-anak panah yang sedang melayang menembus kepekatan malam dengan kobaran api.
Dan.....
Tak, tak, tak...!
Terdengar bunyi kayu patah yang bersahutan. Rupanya puluhan anak panah berapi yang sedang meluncur itu terpatah menjadi dua, ketika alang-alang yang dilontarkan Pendekar Slebor melabraknya. Karena kehilangan bagian ekor, puluhan anak panah berapi itu jadi melayang kacau. Sementara kuali-kuali tanah berisi minyak pembakar yang mestinya menjadi sasaran, luput dari hunjaman anak panah berapi! Seluruh kuali itu kemudian jatuh ke bawah, dalam keadaan utuh karena tertahan gerombolan ilalang yang tumbuh lebat.
“Berhasil! Ha ha ha...! Aku berhasil!” pekik Andika, seperti anak kecil mendapat mainan.
Tentu saja hal itu membuat Nyi Rorokweni yang berdiri di sebuah batu besar di sebelah selatan Lembah Burangrang menjadi kalap.
“baik! Lepaskan anak panah beracun!” seru perempuan itu pada barisan kedua.
Zing! Zing! Zing!
Anak panah dalam jumlah puluhan kembali memenuhi udara. Kali ini, tidak lagi menampakkan kobaran-kobaran merah di angkasa, karena yang dilepas anak buah Nyi Rorokweni adalah anak panah beracun!
Sekali lagi, Andika dan Mayangsari terancam bahaya. Kalau tidak segera mengambil tindakan tepat, maut akan segera menjemput. Dan sekali lagi pula, mereka merasa bagai telur diujung tanduk.
Pada saat-saat berbau maut itu, mata Andika kembali tertumbuk sesuatu yang bisa memberi peluang untuk lolos dari ancaman maut. Kain bercorak catur yang tersampir di pundaknya tiba-tiba tertiup angin kencang, sehingga menggelepar ke bagian depan tubuh Andika. Saat itulah, dia ingat kalau kain ini adalah pusaka yang tahan terhadap senjata setajam apa pun.
Maka cepat dilepasnya kain itu dalam waktu sekejap mata. Setelah pindah ke tangan, kain itu digunakannya untuk menyabet seluruh anak panah beracun yang menghunjam mereka. Keduanya memang tak mungkin melompat untuk menghindari, karena hujanan anak panah telah menutup sekitarnya. Tapi dengan kain bercorak catur di tangan, Andika mampu mementahkan hunjaman seluruh senjata berbahaya itu.
Tas! Tas! Tas...!
Wut! Wut! Wut...!
Bagai sebuah benteng aneh, kain bercorak catur milik Andika berputar ke sekitarnya. Sementara, sebelah tangan Pendekar Slebor yang lain memeluk tubuh Mayangsari.
“Ha ha ha...!”
Andika kembali memperdengarkan tawa kemenangan setelah serangan kedua dapat digagalkan kembali.
“Nyi Rorokweni! Perangkapmu tampaknya hanya cocok untuk tikus sawah!” ledek Andika dengan bibir mencibir. Andika terpingkal-pingkal seperti anak kecil, meledek Nyi Rorokweni.
“Bukan begitu, Mayang?” tanya Andika pada Mayangsari yang masih melekat di tubuhnya.
Tidak ada sahutan. Bahkan yang terdengar hanya suara mendesis saja.
“Mayang?” ulang Andika ketika tak ada tanggapan dari wanita yang ditanya.
Dan Andika kini mulai merasakan sesuatu yang tidak beres. Tampaknya, memang begitu. Karena tak lama kemudian, tubuh Mayangsari perlahan melorot turun bagai tanpa tenaga. Tangan kanan Andika bergerak segera. Disanggahnya tubuh Mayangsari agar tak ambruk.
“Kenapa kau, Mayang?” tanya pemuda itu dalam kecamuk kekhawatiran yang datang begitu cepat.
“Dadaku terkena panah...,” desis Mayangsari lemah.
“Ya, Tuhan...,” desis Andika.
Sungguh tak disangkanya kalau benteng pertahanan yang tadi dibuatnya ternyata masih mampu kecolongan. Pendekar Slebor jadi mengutuk dan menyumpahi diri sendiri. Entah mengapa, saat itu Andika menjadi benci pada dirinya yang tak mampu menjaga keselamatan seorang wanita
“Kau tidak bisa sedikit menduga?”
“Jangan bertele-tele!”
“Baik..., baik. Nyi Rorokweni telah menyamar sebagai dirimu. Dia membunuh puluhan orang tak bersalah, dengan telengas. Lalu, dia mengaku sebagai Ratu Racun. Sebagai dirimu. Bedanya, dia mengenakan cadar merah dalam setiap pembantaian yang dilakukannya...,” tutur Andika, menjelaskan.
“Bagaimana kau bisa tidak terkecoh oleh Nyi Rorokweni, sementara banyak pendekar aliran putih lain bisa tertipu?” tanya Mayangsari, curiga.
“Aaah! Kau masih tetap mencurigai aku rupanya? Tapi kalau kau ingin tahu juga, akan kujawab. Yang jelas, aku tahu perempuan yang hendak memfitnahmu itu adalah Nyi Rorokweni.”
Kemudian Andika pun menceritakan seluruh kejadian yang membawanya pada kesimpulan itu. Bagaimana dia pernah bertarung melawan Ratu Racun yang bercadar merah. Juga dijelaskan, bagaimana dia dapat melihat perbedaan antara Ratu Racun yang pernah bertempur dengannya itu dengan Ratu Racun yang kini dikenalnya.
“Waktu kau menghabisi Rawegenggong dan anak buhanya di Hutan Watuabang, aku tak sempat melihat wajahmu. Kelebatan hutan itu tak memberi kesempatan untuk melihat wajahmu. Tapi aku melihat sesuatu yang tak dimiliki Ratu Racun bercadar merah...,” tutur Andika penuh keyakinan.
“Apa itu?”
Mata Andika melirik ke bagian pinggang Mayangsari. Di sana tersembul sebentuk tongkat pendek yang tersembunyi di balik bajunya.
“Aku melihat benda itu tidak dimiliki Ratu Racun telengas itu...,” kata Andika, pasti.
Tanpa sadar, tangan Mayangsari memegang benda yang dimaksud Andika.
“Ini senjataku,” aku wanita itu.
“Sudah kuduga.”
“Lalu, bagaimana kau tahu kalau perempuan yang mengaku Ratu Racun adalah Ny i Rorokweni?” desak Mayangsari kembali.
Tanpa ingin bertele-tele lagi, Andika segera menceritakan penyelidikannya selama ini. Dimulai dengan kalung kayu yang ditemukannya di sekitar tempat pertarungan Mayangsari dengan gerombolan Rawegenggong di Hutan Watuabang, hingga kunjungannya ke Desa Wadaswetan untuk menanyai sesepuhnya, Ki Manik Angkeran.
“Lalu aku teringat ucapan Ki Patigeni. Dia telah menjadi korban keganasan pukulan Nyi Rorokweni. Dan ketika pukulan itu kuperhatikan, ternyata mirip pada korban-korbannya yang terdiri dari orang-orang tak berdosa. Dan ketika ciri-ciri pukulan itu kutanyakan pada Ki Manik Angkeran, ternyata juga sama dengan pukulan salah satu tokoh yang pernah merampok di Desa Wadaswetan. Tak ada orang lain yanag mempunyai pukulan seperti itu, selain Nyi Rorokweni. Sementara melihat sepak terjangmu pada orang-orangnya Begal Ireng, maka aku berkesimpulan...”
“Kalau aku sedang memburu mereka karena dendam?” selak Mayangsari.
‘Tepat!” ujar Andika dengan lagak seorang penjual obat.
Mayangsari mengangguk-angguk pelan. Rambutnya yang panjang ikut terayun-ayun. Sinar matanya sendiri terlihat kagum pada Andika, karena mampu mengungkap rahasia dirinya dengan tepat.
“Sekarang kau harus jawab pertanyaanku,” pinta Andika lebih lanjut.
“Kenapa kau dan Nyi Rorokweni memiliki racun dahsyat yang juga dimiliki oleh seorang tokoh kalangan hitam yang hidup puluhan tahun lalu?”
“Ki Guntara?”
“Dari mana kau tahu?”
Mayangsari menghela napas berat sesaat.
“Dia adalah guruku,” kata wanita itu.
“Ki Guntara pernah menceritkan tentang Ki Patigeni yang pernah mengalahkannya. Sejak dikalahkan, guruku menjadi sadar kalau di dunia ini tak ada orang yang paling tinggi. Sesakti apa pun orang itu, suatu saat akan tetap jatuh dan tak mungkin menghindari kematian. Ingat pada kematian, dia ingat pada kekuasaan Tuhan. Sampai akhirnya, seluruh kesalahannya disadari dan bertobat....”
Mayangsari menghentikan ceritanya. Wajahnya tampak dirundung keprihatinan dalam.
“Tapi kau belum jawab pertanyaanku tadi, kan?” usik Andika.
Mayangsari tersadar.
“Sejak saat itu, guruku menyepi sekaligus mengangkat seorang murid bernama Rorokweni yang kala itu berusia enam belas tahun. Sayang, Rorokweni ternyata memiliki watak buruk. Dan guruku pun bisa mencium hal itu. Karena wataknya itu pula, guruku hanya menurunkan sebagian ilmu kesaktiannya padanya. Dan Rorokweni yang mengetahui hal itu, menjadi mata gelap. Guru pun dikhianati. Dengan racun yang pernah dipelajarinya, Ki Guntara diracuni hingga lumpuh. Dia berpikir, dengan lumpuhnya guru, maka kitab ilmu racun yang belum dipelajarinya dapat dicuri. Sayang, niat jahat itu tidak berjalan mulus. Ternyata guru telah menyembunyikan kitab itu di suatu tempat rahasia. Tentu saja Rorokweni jadi murka. Guru lalu dipaksa untuk memberitahukan tempat penyimpanan kitab itu. Namun, guru tetap tidak sudi memberitahukannya. Tentu saja hal ini membuat Rorokweni makin kalap. Akhirnya, guru yang lumpuh saat itu disiksa.”
Kembali Mayangsari menghentikan ceritanya, seperti berusaha menahan kesedihan.
“Ketika guru sekarat, namun tetap tak juga membuka rahasia tempat penyimpanan kitab itu, akhirnya Rorokweni pergi dengan rasa jengkel,” lanjut Mayangsari.
“Beberapa tahun kemudian, Rorokweni membegal keluargaku. Mereka membunuh kedua orangtuaku secara keji. Aku masih bisa membayangkan, bagaimana kejinya Rorokweni beserta kawanannya membunuh ayah dan ibuku. Untunglah aku dapat meloloskan diri dari kekejaman mereka. Sementara, adikku yang masih berumur delapan bulan, entah bagaimana nasibnya. Dan dalam keputusaasanku karena kehilangan seluruh orang yang kucintai, aku berjalan mengikuti kata hati. Sampai akhirnya, aku tiba di kediaman Ki Guntara. Keadaannya, yang menyedihkan, membuat hatiku iba. Dan hatiku pun tergerak untuk mengurusnya.”
Keduanya kini sama-sama terdiam. Pikiran mereka sama-sama dibawa kenangan masing-masing, tentang orang-orang tercinta yang harus menjadi korban kebiadaban manusia-manusia berhati iblis.
“Jadi menurutmu, apa alasan Nyi Rorokweni mengaku-aku sebagai diriku?” tanya Mayangsari pada Andika, mulai membuka percakapan kembali.
Andika mengusap-usap dagu. Benaknya langsung mereka-reka jawaban pertanyaan Mayangsari barusan.
“Pertama, karena ingin agar kau dibunuh oleh pendekar-pendekar aliran putih...,” gumam Andika.
“Kedua?”
“Yang kedua karena ingin mempersiapkan sesuatu buat dirimu. Karena dia tahu, kau luput dari tangan para pendekar yang memburumu akibat fitnahnya. Dia tidak lahu, kau akan tiba di tempatnya cepat atau lambat. Tentu saja untuk menuntut balas atas kematian orang-tuamu....”
“Maksudmu, dia akan mempersiapkan sesuatu untuk menyambut kedatanganku, sementara perjalananku dihambat oleh para pendekar golongan putih yang murka?” tebak Mayangsari.
Andika mengangguk.
“Lalu, apa maksudmu dengan mempersiapkan sesuatu itu?” tanya Mayangsari, ingin tahu lebih jelas.
“Aku pun tidak tahu. Mungkin sedang mempersiapkan jebakan buatmu....”
Belum selesai ucapan Andika, tiba-tiba saja...
“Hi hi hi.... Semua perkiraanmu memang tepat, Pendekar Slebor. Tak percuma orang-orang dunia persilatan meributkan tentang kecemerlangan otakmu!”
Tiba-tiba terdengar tawa melengking yang mendirikan bulu roma. Tubuh Andika menegang. Naluri kependekarannya yang terlatih memperingatkan dirinya kalau bahaya akan segera tiba.
“Kau tahu, apa nama daerah ini?” bisik Andika pada Mayangsari.
“Ini Lembah Burangrang. Kenapa kau menanyakan hal itu?” Andika tidak menjawab pertanyaan heran Mayangsari.
“Kau tahu tempat Nyi Rorokweni?” Andika malah bertanya lagi.
Mayangsari terkesiap. Wajahnya makin terlihat tegang.
“Dia tinggal di Lembah Burangrang, lembah ini,” desis wanita itu, menjawab pertanyaan Andika barusan.
Mata Andika menyipit. Sepasang bola matanya bergerak kian kemari, memperlihatkan kewaspadaan.
“Itu artinya, kita telah masuk dalam perangkap Nyi Rorokweni tanpa disadari...,” jelas pemuda itu, nyaris mendesis.
***
Dugaan Andika ternyata tak meleset. Beberapa kerdipan mata kemudian, bermunculan puluhan orang dari balik alang-alang. Dengan panah di tangan, mereka mengepung Andika dan Mayangsari. Pengepungan ini tampaknya memang benar-benar telah dipersiapkan. Terbukti, barisan kepungan demikian rapi, membentuk tiga lapisan.
Pada lapisan kepungan pertama, mereka menyiapkan panah-panah berapi yang bagai kumpulan kunang-kunang raksasa yang menerangi daerah sekitar. Sedangkan pada lapisan kedua, para pengepung mempersiapkan panah-panah beracun. Hal itu bisa diduga Andika, karena mengingat Nyi Rorokweni amat ahli dalam hal racun. Sedangkan di barisan ketiga, para pengepung membawa kuali berukuran sebesar kepala manusia.
“Untuk apa kuali tanah itu?” tanya Mayangsari dengan wajah menegang keras.
Andika melirik sekejap pada wanita itu.
“Tampaknya mereka mencoba membakar kita hidup-hidup di tengah padang ilalang ini Aku yakin, kuali kuali itu berisi minyak yang akan dilontarkan ke udara. Kemudian, barisan pertama akan melepas panah-panah api ke kuali-kuali itu. Dan, saat itulah minyak akan bertebaran di udara bersama api yang siap membakar padang ilalang, sekaligus memanggang tubuh kita,” jelas Pendekar Slebor.
Mayangsari bergidik.
“Kalau hanya untuk menyelamatkan diri dari kobaran api, tentu saja mudah bagi kita. Tapi rasanya tidak mudah menghindari jilatan api raksasa, sementara kita dihujani pula oleh panah-panah beracun yang tak boleh menyentuh tubuh sedikit pun,” tambah Andika, tanpa maksud menakut-nakuti Mayangsari.
“Tapi racun anak panah itu tak berarti bagiku. Apa kau lupa, kalau aku amat ahli dalam hal racun?” sergah Mayangsari. ‘
“Tapi apa kau memiliki ilmu kebal, hingga mampu membuat anak panah itu tidak bakal menembus kulitmu?”
Mayangsari tidak bisa menjawab pertanyaan Andika. Kalaupun racun jahat pada anak panah musuh tidak bisa membunuh, tentu saja dia akan tetap mati. Masalahnya, anak panah yang setajam taring serigala itu akan menembus tubuhnya. Dalam hal ini, Andika memang benar.
“Lalu apa akalmu untuk lolos dari perangkap mengerikan ini?” tanya Mayangsari cemas. Sinar kekalutan mulai mengusik wajah ayunya.
Orang yang ditanya tak menyahut. Andika hanya diam mematung dengan tubuh mengejang. Entah apa yang hendak dilakukannya. Yang jelas, hatinya amat geram dengan kelicikan semacam itu.
“Andika, apa yang mesti kita perbuat?” ulang Mayangsari setengah menjerit.
“Tenang, Mayangsari...,” sergah Andika singkat.
“Bagaimana bisa tenang, sementara kita tak punya kesempatan lolos dari perangkap mengerikan ini?!”
“Diam! Bagaimana aku bisa berpikir jernih, kalau kau tetap mengoceh seperti itu?!” hardik Andika.
Bagi Andika sendiri, perangkap semacam itu tak akan menjadi masalah yang terlalu besar. Cukup mengandalkan ilmu kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan, dia mampu lolos dari jilatan api. Bahkan dari puluhan anak panah sekalipun. Namun, urusan akan jadi lain kalau di sampingnya berdiri seorang wanita. Tentu Pendekar Slebor akan kesulitan mementahkan serangan anak panah beracun kalau harus membopongnya. Sedangkan, ilmu peringan tubuh Mayangsari belum cukup sempurna.
Ini betul-betul tantangan besar di depan matanya. Di satu sisi, nyawanya sendiri harus diselamatkan. Dan di sisi lain, Mayangsari tak bisa begitu saja ditinggalkan. Dalam hal ini, Andika merasa harus bertanggung jawab terhadap keselamatan jiwanya. Bukankah dia yang membawa wanita itu ke tempat ini?
“Seraaang...!”
Teriakan wanita dari sebelah selatan membuyarkan pikiran Andika, sebelum sempat menemukan pemecahan masalah yang mengancam jiwa mereka berdua. Sesaat kemudian, mata Andika melihat barisan ketiga dari para pengepung mulai melontarkan kuali-kuali berisi minyak pembakar. Dari berbagai penjuru, kuali-kuali tanah itu melayang ke udara, disusul terlepasnya anak panah berapi dari barisan pertama ke arah kuali-kuali tadi. Sekali lagi, perkiraan Andika tidak meleset!
Apa yang mesti dilakukan Andika? Sedangkan puluhan anak panah berapi itu tak mungkin ditangkapnya satu persatu. Pada saat yang mencekam itu, mata Andika tertumbuk pada kumpulan alang-alang yang nyaris setinggi manusia di depannya. Maka dengan sigap, tangannya meraih alang-alang itu. Sepasang tangannya yang kini dipenuhi alang-alang kemudian bergerak bagai kilat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Wes! Wes! Wes!
Bagai puluhan anak panah, alang-alang itu meluncur deras menuju anak-anak panah yang sedang melayang menembus kepekatan malam dengan kobaran api.
Dan.....
Tak, tak, tak...!
Terdengar bunyi kayu patah yang bersahutan. Rupanya puluhan anak panah berapi yang sedang meluncur itu terpatah menjadi dua, ketika alang-alang yang dilontarkan Pendekar Slebor melabraknya. Karena kehilangan bagian ekor, puluhan anak panah berapi itu jadi melayang kacau. Sementara kuali-kuali tanah berisi minyak pembakar yang mestinya menjadi sasaran, luput dari hunjaman anak panah berapi! Seluruh kuali itu kemudian jatuh ke bawah, dalam keadaan utuh karena tertahan gerombolan ilalang yang tumbuh lebat.
“Berhasil! Ha ha ha...! Aku berhasil!” pekik Andika, seperti anak kecil mendapat mainan.
Tentu saja hal itu membuat Nyi Rorokweni yang berdiri di sebuah batu besar di sebelah selatan Lembah Burangrang menjadi kalap.
“baik! Lepaskan anak panah beracun!” seru perempuan itu pada barisan kedua.
Zing! Zing! Zing!
Anak panah dalam jumlah puluhan kembali memenuhi udara. Kali ini, tidak lagi menampakkan kobaran-kobaran merah di angkasa, karena yang dilepas anak buah Nyi Rorokweni adalah anak panah beracun!
Sekali lagi, Andika dan Mayangsari terancam bahaya. Kalau tidak segera mengambil tindakan tepat, maut akan segera menjemput. Dan sekali lagi pula, mereka merasa bagai telur diujung tanduk.
Pada saat-saat berbau maut itu, mata Andika kembali tertumbuk sesuatu yang bisa memberi peluang untuk lolos dari ancaman maut. Kain bercorak catur yang tersampir di pundaknya tiba-tiba tertiup angin kencang, sehingga menggelepar ke bagian depan tubuh Andika. Saat itulah, dia ingat kalau kain ini adalah pusaka yang tahan terhadap senjata setajam apa pun.
Maka cepat dilepasnya kain itu dalam waktu sekejap mata. Setelah pindah ke tangan, kain itu digunakannya untuk menyabet seluruh anak panah beracun yang menghunjam mereka. Keduanya memang tak mungkin melompat untuk menghindari, karena hujanan anak panah telah menutup sekitarnya. Tapi dengan kain bercorak catur di tangan, Andika mampu mementahkan hunjaman seluruh senjata berbahaya itu.
Tas! Tas! Tas...!
Wut! Wut! Wut...!
Bagai sebuah benteng aneh, kain bercorak catur milik Andika berputar ke sekitarnya. Sementara, sebelah tangan Pendekar Slebor yang lain memeluk tubuh Mayangsari.
“Ha ha ha...!”
Andika kembali memperdengarkan tawa kemenangan setelah serangan kedua dapat digagalkan kembali.
“Nyi Rorokweni! Perangkapmu tampaknya hanya cocok untuk tikus sawah!” ledek Andika dengan bibir mencibir. Andika terpingkal-pingkal seperti anak kecil, meledek Nyi Rorokweni.
“Bukan begitu, Mayang?” tanya Andika pada Mayangsari yang masih melekat di tubuhnya.
Tidak ada sahutan. Bahkan yang terdengar hanya suara mendesis saja.
“Mayang?” ulang Andika ketika tak ada tanggapan dari wanita yang ditanya.
Dan Andika kini mulai merasakan sesuatu yang tidak beres. Tampaknya, memang begitu. Karena tak lama kemudian, tubuh Mayangsari perlahan melorot turun bagai tanpa tenaga. Tangan kanan Andika bergerak segera. Disanggahnya tubuh Mayangsari agar tak ambruk.
“Kenapa kau, Mayang?” tanya pemuda itu dalam kecamuk kekhawatiran yang datang begitu cepat.
“Dadaku terkena panah...,” desis Mayangsari lemah.
“Ya, Tuhan...,” desis Andika.
Sungguh tak disangkanya kalau benteng pertahanan yang tadi dibuatnya ternyata masih mampu kecolongan. Pendekar Slebor jadi mengutuk dan menyumpahi diri sendiri. Entah mengapa, saat itu Andika menjadi benci pada dirinya yang tak mampu menjaga keselamatan seorang wanita
0