- Beranda
- Stories from the Heart
Aku Menyukaimu Karena Aku Menyukaimu
...
TS
abetterone
Aku Menyukaimu Karena Aku Menyukaimu

"Aku Menyukaimu Karena Aku Menyukaimu"
karena terkadang memang kita ga butuh yang namanya alasan buat suka ataupun cinta sama seseorang, karena jika kita menyukai atau mencintai seseorang karena sebuah alasan, maka jika hal yang menjadikannya alasan itu hilang, apa kita masih akan tetap menyukainya?
I
Dear Kaskuser,
Cerita ini menceritakan tentang gue, hidup gue, dan hal-hal yang membuat gueseperti sekarang ini. dan gue mencoba buat nuangin itu semua didalam sebuah cerita yang emang awalnya cuman gue tulis di word. Tapi akhirnya gue coba berbagi cerita gue di SFTH ini. Gue berharap cerita gue bisa diambil hal positifnya dan bisa dijadiin pelajaran hidup walaupun emang sebenernya cerita ini ga ada pelajarannya sama sekali
.
Cerita ini menceritakan tentang gue, hidup gue, dan hal-hal yang membuat gueseperti sekarang ini. dan gue mencoba buat nuangin itu semua didalam sebuah cerita yang emang awalnya cuman gue tulis di word. Tapi akhirnya gue coba berbagi cerita gue di SFTH ini. Gue berharap cerita gue bisa diambil hal positifnya dan bisa dijadiin pelajaran hidup walaupun emang sebenernya cerita ini ga ada pelajarannya sama sekali
.#RULES
Quote:
#FAQ
Spoiler for F.A.Q:
#INDEX
Spoiler for INDEKS:
Diubah oleh abetterone 27-05-2018 11:47
bukhorigan memberi reputasi
2
89.3K
488
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
abetterone
#250
Sore dan tangisan
“Cha, tunggu” ucap gue sambil menarik tangannya, membuatnya menoleh kebelakang.
“Apa lagi sih vin?” ucapnya, sambil menatap mata gue dengan tatapan yang bahkan gak pernah dia tunjukin ke gue, tatapan yang baru gue liat pertama kalinya.
Air mata mengalir membasahi pipinya, membuat jalur di wajahnya yang manis itu, wajah yang kini tak bisa lagi menahan tangis, air mata makin deras mengalir melalui pipinya. Membuat tangan kecilnya itu menutupi wajahnya. Icha, dia menangis di hadapan gue, entah untuk yang keberapa kalinya dia menangis karena gue, karena keegoisan hati gue yang gak bisa sedikitpun berusaha membuatnya bahagia dengan menerima perasaan cintanya yang gak pernah berubah sedikitpun ke gue, yang bahkan mungkin semakin besar. Ya, semua waktu yang kita lewatin bahkan engga cukup buat bikin Icha menjadi orang yang pertama ada dipikiran gue ketika gue bangun tidur dan melintas untuk bermain difikiran gue dikala gue sedang melamun.
Jika waktu bisa kembali, gue pengen kembali kemasa dimana gue dan Icha hanyalah sebatas tetangga, dengan menjaga jarak dengannya atau bahkan melakukan hal yang membuatnya benci dengan gue. Gue harap itu bisa terjadi. Gue cuman bisa melihatnya, menangis didepan gue, menangis karena gue. “Cha, jangan nangis lagi”, itu kata yang buruk untuk diucapkan, apa yang akan berubah kalau gue mengatakan itu? Untuk menghiburnya? Gue fikir Icha gak mengharapkan kata semacam itu, hanya kata “Aku juga cinta kamu” yang Icha ingin dengar saat ini juga.
Entahlah, gue nyaman dengan keadaan kita, sebagai sahabat, sebagai teman masa kecil, sebagai orang yang saling melengkapi dikala senang maupun sedih, tanpa membawa perasaan spesial apapun, hanya hubungan persahabatan biasa. Gue gak pengen hubungan ini nanti hilang dan hancur hanya karena kita nanti putus. Karena, menjalin persahabatan dengan mantan itu mungkin hanya orang dewasa yang bisa melakukannya.
“Cha, kalo gue cuman bikin lo nangis, cuman bikin lo sakit, tolong lebih baik lo benci sama gue” gue memegang tangannya dari wajahnya yang basah terkena air mata itu.
“Jujur, gue tau perasaan lo ke gue, maaf. Gue juga tau kalo lo cemburu sama Vira.” Ucap gue sambil menghapus air mata di pipinya, “tapi gue udah cukup dengan hubungan kita yang sekarang, gue bukan gak suka sama lo, ataupun benci sama lo, gue gak pengen persahabatan kita nanti hancur karena kita putus. Mungkin ini alsan klise , alasan yang dipake buat orang yang gak bisa nerima perasaan orang lain, alasan yang digunakan untuk menolak orang lain tanpa menyakiti perasaannya. Tapi, gue emang gak pengen hubungan kita nanti berubah atau bahkan jadi canggung, gue gak ngelarang lo buat suka sama gue, atau bahkan benci sama gue, karena itu hak lo cha” ucap gue yang kini memegang bahu nya.
“Aku tuh udah coba buat ngilangin perasaan ini Vin, aku udah mencoba buat berpindah ke lain hati. aku udah coba buat ngebenci kamu buat ngilangin perasaan ini, tapi aku gak bisa! Semakin aku maksain diri semakin sadar juga kalau aku memang cinta sama kamu Vin!” jawabnya yang kini isak tangisnya semakin menjadi, Icha semakin tertunduk, air mata pun menetes membasahi bayangannya ditanah.
Akhirnya, setelah Icha selesai mengatakan semuanya, semua hal yang ia rasakan, kita berdua terdiam, saling memikirkan keadaan ini, hubungan yang entah akan kemana jadinya.
“Apa lagi sih vin?” ucapnya, sambil menatap mata gue dengan tatapan yang bahkan gak pernah dia tunjukin ke gue, tatapan yang baru gue liat pertama kalinya.
Air mata mengalir membasahi pipinya, membuat jalur di wajahnya yang manis itu, wajah yang kini tak bisa lagi menahan tangis, air mata makin deras mengalir melalui pipinya. Membuat tangan kecilnya itu menutupi wajahnya. Icha, dia menangis di hadapan gue, entah untuk yang keberapa kalinya dia menangis karena gue, karena keegoisan hati gue yang gak bisa sedikitpun berusaha membuatnya bahagia dengan menerima perasaan cintanya yang gak pernah berubah sedikitpun ke gue, yang bahkan mungkin semakin besar. Ya, semua waktu yang kita lewatin bahkan engga cukup buat bikin Icha menjadi orang yang pertama ada dipikiran gue ketika gue bangun tidur dan melintas untuk bermain difikiran gue dikala gue sedang melamun.
Jika waktu bisa kembali, gue pengen kembali kemasa dimana gue dan Icha hanyalah sebatas tetangga, dengan menjaga jarak dengannya atau bahkan melakukan hal yang membuatnya benci dengan gue. Gue harap itu bisa terjadi. Gue cuman bisa melihatnya, menangis didepan gue, menangis karena gue. “Cha, jangan nangis lagi”, itu kata yang buruk untuk diucapkan, apa yang akan berubah kalau gue mengatakan itu? Untuk menghiburnya? Gue fikir Icha gak mengharapkan kata semacam itu, hanya kata “Aku juga cinta kamu” yang Icha ingin dengar saat ini juga.
Entahlah, gue nyaman dengan keadaan kita, sebagai sahabat, sebagai teman masa kecil, sebagai orang yang saling melengkapi dikala senang maupun sedih, tanpa membawa perasaan spesial apapun, hanya hubungan persahabatan biasa. Gue gak pengen hubungan ini nanti hilang dan hancur hanya karena kita nanti putus. Karena, menjalin persahabatan dengan mantan itu mungkin hanya orang dewasa yang bisa melakukannya.
“Cha, kalo gue cuman bikin lo nangis, cuman bikin lo sakit, tolong lebih baik lo benci sama gue” gue memegang tangannya dari wajahnya yang basah terkena air mata itu.
“Jujur, gue tau perasaan lo ke gue, maaf. Gue juga tau kalo lo cemburu sama Vira.” Ucap gue sambil menghapus air mata di pipinya, “tapi gue udah cukup dengan hubungan kita yang sekarang, gue bukan gak suka sama lo, ataupun benci sama lo, gue gak pengen persahabatan kita nanti hancur karena kita putus. Mungkin ini alsan klise , alasan yang dipake buat orang yang gak bisa nerima perasaan orang lain, alasan yang digunakan untuk menolak orang lain tanpa menyakiti perasaannya. Tapi, gue emang gak pengen hubungan kita nanti berubah atau bahkan jadi canggung, gue gak ngelarang lo buat suka sama gue, atau bahkan benci sama gue, karena itu hak lo cha” ucap gue yang kini memegang bahu nya.
“Aku tuh udah coba buat ngilangin perasaan ini Vin, aku udah mencoba buat berpindah ke lain hati. aku udah coba buat ngebenci kamu buat ngilangin perasaan ini, tapi aku gak bisa! Semakin aku maksain diri semakin sadar juga kalau aku memang cinta sama kamu Vin!” jawabnya yang kini isak tangisnya semakin menjadi, Icha semakin tertunduk, air mata pun menetes membasahi bayangannya ditanah.
Akhirnya, setelah Icha selesai mengatakan semuanya, semua hal yang ia rasakan, kita berdua terdiam, saling memikirkan keadaan ini, hubungan yang entah akan kemana jadinya.
Diubah oleh abetterone 04-09-2016 23:33
0
