- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#85
Part 7
Ratu Racun menjerit tertahan ketika sepasang tumit kaki Pendekar Slebor mendera telak bahunya. Tak ayal lagi, tubuh perempuan itu terhempas ke belakang, lalu berguling-guling diatas tanah beberapa kali. Sementara, Andika cepat bangkit berdiri.
“Hey, Perawan Tolol! Apa kau tak pernah berguling-guling di tanah sewaktu kecil dulu?!” ledek Andika enteng.
Godokan selama di Lembah Kutukan membuat napasnya biasa-biasa saja. Kalau melihat begitu keras penyempurnaannya yang dijalani di tempat mengerikan itu, mungkin pendekar muda ini bisa bertempur sehari semalam tanpa henti!
Diiringi erangan, Ratu Racun bangkit terhuyung-huyung.
“Bedebah kau, Pemuda Sialan!” maki perempuan itu.
“Biar...,” sahut Pendekar Slebor enteng.
“Kau pikir dirimu telah menang?”
“Biar....”
“Sontoloyo! Kali ini kau akan merasakan kembali Racun Bara Neraka milikku!”
“Biar...,” sahut Andika kembali, seakan tak ada kata lainuntuk menanggapi omelan dongkol Ratu Racun.
Seketika Ratu Racun mulai menengadahkan tangannya ke atas dalam rentangan lebar. Sepuluh jemari yang terbuka, menegang bersama getaran hebat. Ucapannya tampak bukan ancaman kosong. Dia benar-benar akan mengeluarkan ajian beracun dari Negeri Tibet yang dimilikinya. Tak ada lima kerdipan mata, telapak tangannya mulai berpijar merah. Seakan, bara api telah menelusup ke sepasang telapaknya itu.
Menyadari lawan telah mengerahkan jurus ampuh yang pernah membuatnya sengsara, Andika mau tidak mau harus bertindak hati-hati. Segera seluruh pikiran serta panca inderanya dipusatkan ke satu titik dalam benak. Tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan ini akan dipusatkan pada kedua telapak tangannya.
Wesss!
Saat Andika memejamkan mata, Ratu Racun secara licik melepas pukulan jarak jauh berisi Racun Bara Neraka. Maka seketika segumpal sinar merah membara membersit di malam gelap, menerangi kancah pertempuran bagai bola lampu raksasa.
Ki Manik Angkeran, Ki Anom Wijaya serta beberapa penduduk yang bernyali cukup besar hingga tak meninggalkan alun-alun, menjadi terperanjat menyaksikan Pendekar Slebor akan segera dilabrak gumpalan sinar maut yang menderu cepat ke arahnya.
Sebelum sinar itu benar-benar sampai, tiba-tiba Andika menghempas tangan dan napasnya berbareng. Sepasang telapaknya yang menghadap ke depan, saat itu pula melontarkan tenaga berkekuatan lima puluh ekor gajah jantan!
Wusss!
Blarrr!
Bagai menimpa benda lentur, pukulan jarak jauh lawan yang berisi racun mendadak berbalik arah, ketika bertumbukan di udara dengan tenaga dorongan Pendekar Konyol. Sinar merah bara itu meluncur balik berlawanan dari sebelumnya. Bahkan mengarah ke tuannya sendiri.
“Sinting!” maki Ratu Racun kelabakan.
Biarpun pukulan itu miliknya sendiri, namun Ratu Racun sama sekali tak mau menerimanya. Racun Bara Neraka adalah racun dari segala racun. Keganasannya sudah tidak disangsikan lagi. Pemiliknya sendiri pun bisa mati terbunuh, bila terkena. Ratu Racun melenting serabutan ke udara, menghindari hantaman pukulannya sendiri. Tak diperhatikannya lagi Pendekar Slebor yang pada saat bersamaan turut melenting ke udara. Lalu....
Wusss...!
Pukulan kedua dilepas Pendekar Slebor. Sasarannya tentu saja tubuh Ratu Racun yang masih mengambang di udara.
“Aaa...!”
Ratu Racun Cumiik ngeri, saat menyadari pukulan lawan mengarah ke tubuhnya. Sedangkan dia sendiri sudah tidak bisa menghindar dalam keadaan melayang di udara seperti ini.
Desss!
“Aaakh...!”
Satu hantaman dahsyat, tiba di bahu kiri Ratu Racun Akibatnya perempuan itu melolong tinggi, menembus cakrawala malam yang senyap. Kemudian tubuhnya menukik tajam ke bumi, dengan kepala di bawah. Batu-batu cadas menonjol yang berserakan di sekitar alun-alun, tentu akan meremukkan kepala wanita itu beberapa saat lagi. Namun....
Tep!
Dengan gesit, Ratu Racun memutar tubuhnya. Dan tanpa menemui kesulitan berarti, kakinya menjejak ringan di tanah. Tak ada satu tarikan napas, wanita bercadar merah itu cepat melarikan diri dalam lesatan yang cepat.
Bisa saja Andika memburunya. Tapi pendekar muda itu berpikir lain. Rasanya memang berbahaya kalau pertarungan dengan tokoh sakti aliran hitam itu diteruskan. Masalahnya, setiap saat bisa saja ada pukulan jarak jauh yang tersasar.
“Kisanak! Kenapa tidak dikejar?!” tanya Ki Anom Wijaya setengah berseru. Hatinya tidak puas kalau tidak menangkap hidup-hidup bajingan yang telah membunuh warganya.
“Lain kali aku berjanji akan menghabisinya, sebagai pembayaran atas dua nyawa penduduk desa ini, Ki,” jawab Andika dengan mata menatap lurus pada arah menghilangnya lawan.
“Lain kali?” sergah Ki Anom Wijaya. Laki-laki itu memang belum tahu, siapa Andika sesungguhnya. Yang diketahuinya, anak muda itu telah bertarung dengan orang keparat yang membunuh dua warganya.
“Ki Anom...,” panggil Ki Manik Angkeran berwibawa.
Pengaruh sesepuh desa itu tampaknya begitu dihargai Ki Anom Wijaya. Kepalanya menoleh pada Ki Manik Angkeran dengan tatapan hormat, mesti jabatannya boleh dibilang lebih tinggi dari K i Manik Angkeran.
“Ada baiknya kalau aku perkenalkan pendekar muda ini padamu,” lanjut Ki Manik Angkeran lembut.
“Dia adalah pendekar yang membela orang-orang tertindas. Dia juga salah seorang keturunan pendekar besar yang menjadi cerita rakyat, Pendekar Lembah Kutukan. Dialah Pendekar Slebor”
Ki Anom Wijaya kontan terpana. Mulutnya terbuka tanpa sadar. Tak ada yang bisa diucapkannya saat itu. Bahkan tak terdengar kata maaf, karena bersikap agak tidak sopan pada Andika. Namun Andika hanya membalasnya dengan senyum ringan
Bukit Batujajar berbatasan dengan bagian selatan Desa Wadaswetan. Letaknya yang berada di sekitar pegunungan kapur, menyebabkan daerah itu begitu tandus. Kering kerontang seperti sudah akrab bagi bukit ini. Dan kerap kali angin kencang bertiup, debu kapur langsung bertebaran menjelajah permukaan Bukit Batujajar. Apalagi, di siang hari yang sangat terik ini. Rasanya tak ada orang yang mau menyinggahi Bukit Batujajar, kecuali orang bodoh. Tapi, rupanya ada juga beberapa orang yang terlihat di sana Mereka bukan orang bodoh, tapi justru beberapa pendekar yang sedang terlibat pertarungan seru dengan seorang wanita berpakaian serba hitam.
“Hiaaa...!”
Cletar!
Bet!
Hingar bingar pertarungan membahana dari bukit tandus ini. Tak dapat dipastikan, sudah berapa jurus telah dikerahkan untuk menjatuhkan lawan masing-masing. Yang pasti, pertarungan telah berlangsung ketika matahari sudah menusuk tepat di ubun-ubun. Sedangkan kini matahari sudah tersuruk sepenggalan.
Para pengeroyok wanita berpakaian serba hitam terdiri dari tiga orang lelaki. Ketiganya sama-sama gagah dan tampan. Yang seorang adalah laki-laki muda berusia tiga puluhan. Kumisnya lebat dengan rambut panjang terikat kain bercorak batik. Matanya tajam dihiasi alis mata yang tebal. Dagunya ditumbuhi brewok, halus kebiru-biruan. Dia bernama Bayu.
Seorang lainnya juga pendekar muda. Usianya setahun lebih muda daripada Bayu. Sama seperti Bayu, laki-laki yang bernama Soka pun memelihara kumis lebat. Bedanya, dia berambut pendek yang tertata rapi tanpa ikat kepala.
Sementara orang yang terakhir berpenampilan menawan. Rambutnya ikal sebatas bawah telinga. Wajahnya klimis dan terlihat bersih. Rahangnya yang berbentuk agak persegi, memperlihatkan kejantanannya. Dan dia sering dipanggil Sena.
Mereka bertiga berpakaian sama. Dari sini bisa dinilai kalau mereka berasal dari perguruan silat yang sama. Dengan baju putih berlapis rompi kulit berwarna coklat, yang dipadu celana berwarna hitam sepanjang lutut, mereka tampak kelihatan gagah. Dalam rimba persilatan, mereka lebih dikenal dengan julukan Tri Cemeti Puspa. Memang, cemeti bergagang dengan bentuk bunga itu yang membuat mereka dijuluki demikian.
“Menyerahlah, Ratu Racun! Perbuatanmu di desa kami harus dibayar dengan nyawamu. Rakyat desa meminta kami untuk membawamu, agar kau dapat diadili karena telah membunuh sepuluh warga desa!” seru Bayu setelah mengambil jarak sekitar sepuluh tombak dari lawan.
“Kalian hanya mengada-ada, Kisanak! Bagaimana aku bisa menuruti kemauan kalian, kalau mendengarnya saja baru kali ini...,” jawab wanita yang dipanggil Ratu Racun oleh Bayu.
“Nisanak! Jangan bersilat lidah di depan kami! Kami minta, Nisanak sudi ikut dengan niat untuk membayar perbuatanmu!” timpal Sena.
Namun, wanita itu malah tertawa.
“Apa kalian hanya bersandiwara untuk memperdayaiku? ! Kalian ingin merampas kehormatanku di tempat yang diingini. Bukan begitu?!”
“Wanita sundal! Apa kau pikir kami ini lelaki kotor seperti dugaanmu?!” bentak Soka, tersinggung.
“Kang! Kenapa kita harus bertele-tele pada wanita busuk ini? Ringkus saja dia, hidup atau mati!”
Dan tanpa menunggu persetujuan Bayu yang merupakan kakak seperguruannya, Soka melabrak Ratu Racun.
“Hiaaat...!”
Cemeti di tangan Soka terayun-ayun di udara. Putarannya memperdengarkan bunyi yang membuat ngilu perasaan.
Wut! Wut! Wut!
Soka kian dekat pada lawan. Cemeti maut di tangannya siap mencabik. Tapi....
“Tunggu!”
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang menahannya. Soka menoleh cepat. Begitu pula Bayu dan Sena. Mereka ingin mengetahui orang yang hendak ikut campur urusan ini. Mata ketiganya pun menangkap sosok pemuda berpakaian serba hijau dengan kain bercorak kotak-kotak hitam dan putih tersampir di pundaknya. Rambut pemuda itu sebatas bahu tak teratur. Raut wajahnya tampan dengan mata tajam berhias alis yang menukik bagai kepakan sayap elang perkasa. Hidung pemuda tampan itu mancung dengan bibir tipis menawan. Garis wajahnya yang gagah sesuai sekali dengan kekekaran tubuhnya. Dia tak lain Andika, si Pendekar Slebor
Urusan Pendekar Slebor di Desa Wadaswetan memang telah selesai. Dia telah mendengar seluruh kisah tentang peristiwa perampokan yang terjadi delapan belas tahun lalu. Menurut Ki Manik Angkeran, ada keluarga pendekar yang terbantai ketika peristiwa itu terjadi. Suami istri pendekar itu mati terbunuh dengan keadaan menyedihkan. Sedangkan dua anaknya hilang tak tentu rimbanya. Anaknya yang perempuan berumur sekitar tujuh tahun. Sementara yang laki-laki, masih berupa bayi berusia sekitar tiga bulan.
Seperti dugaan Andika, perampokan itu memang dilakukan Kranggaek dan kawanannya. Dan dugaannya semakin dekat pada kebenaran ketika mendengar tentang anak perempuan keluarga pendekar yang dibunuh kawanan itu. Dugaan Andika, ini pasti masalah dendam kesumat
Sayang, Andika lupa menanyakan nama keluarga pendekar itu. Saat teringat hal itulah, pemuda ini segera kembali ke Desa Wadaswetan melalui Bukit Batujajar yang bisa menjadi jalan singkat. Dan tanpa disangka-sangka, dia melihat pertarungan keempat orang itu.
“Ada perlu apa, Kisanak? Kenapa kau ingin mencampuri urusan kami?” tanya Bayu, sopan.
“Aku sempat mendengar kalian menyebut-nyebut tentang Ratu Racun Apa kalian berurusan dengannya?” kata Andika.
“Ya, memang benar. Kami ada urusan dengan Ratu Racun, kini wanita itu ada di sini. Apa Kisanak punya sangkutan pula dengan dia? Kalau begitu, Kisanak datang pada saat yang tepat...,” tutur Sena, lelaki termuda dari Tri Cemeti Puspa.
“Oh! Tunggu..., tunggu dulu. Jangan tergesa-gesa begitu, Kisanak,” sergah Andika seraya melepas senyum bersahabat.
“Aku memang ada sangkutan dengan wanita yang kau sebutkan barusan. Tapi kurasa, aku tidak berurusan dengan wanita berpakaian serba hitam ini....”
Seketika ketiga lelaki itu bersama-sama menyipitkan mata
“Apa maksudmu, Kisanak?” tanya Bayu, mengungkapkan ketidakmengertiannya.
“Ratu Racun memang berpakaian serba hitam seperti juga wanita ini...,” kata Andika kembali. Tapi....
“Aku memang Ratu Racun...,” potong wanita itu.
Sekarang giliran Andika yang menyipitkan mata. Digaruk-garuknya kepala meski tidak gatal.
“Apa ada yang salah, ya?” bisik pemuda itu membatin
Memang, Pendekar Slebor sendiri sudah begitu yakin kalau wanita itu bukan Ratu Racun yang pernah bertempur dengannya. Ratu Racun yang dikenal Andika berpakaian serba hitam, dan mengenakan cadar merah darah. Sedangkan wanita ini, biarpun mengenakan pakaian yang sama tapi tidak bercadar. Apa mungkin Ratu Racun telah melepas cadarnya?
Tapi kenapa tidak terkejut saat bertemu Andika yang jelas-jelas dikenalnya sebagai Pendekar Slebor? Padahal Pendekar Slebor adalah musuh yang menghalangi tindak-tanduknya beberapa waktu lalu.
“Nah! Kau dengar sendiri, Kisanak. Dia telah mengakui sendiri kalau dirinya adalah Ratu Racun,” sambar Soka dalam geletar kemarahan yang belum tuntas.
“Sekarang, kita tunggu apa lagi?”
“Tapi, tunggu...!” tahan Andika kembali.
Pendekar Slebor lalu melangkahkan kakinya lebih dekat pada wanita berbaju serba hitam itu. Ditatapnya lamat-lamat wanita berwajah ayu itu. Dari raut wajahnya, wanita itu tidak mencerminkan seorang berhati iblis. Lalu, kenapa mengaku-aku sebagai Ratu Racun?
Pembunuh keji itu memang sulit dimengerti sepak terjangnya. Karena di samping membunuh tokoh-tokoh sesat, dia juga membunuh orang-orang tak berdosa! Apa maunya orang ini dengan mengaku-aku sebagai Ratu Racun? Kenapa persoalan ini jadi dem ikian pelik?
“Apa kesalahan yang kau perbuat terhadap mereka, Nisanak?” tanya Andika sopan.
Wanita itu menatap Andika sejenak. Saat itu, sinar yang sulit dijelaskan, terbias dari sepasang bola matanya yang menawan Ya! Sulit dijabarkan. Seakan sebuah bayang kabur yang begitu jauh di balik kebeningan tatapannya.
“Kau tanyakanlah sendiri pada mereka,” jawab wanita itu akhirnya.
“Bagaimana, Kisanak?” lempar Andika, setelah tersadar dari keterpanaan terhadap tatapan wanita di hadapannya.
“Apakah perlu kami ceritakan kesalahan yang dibuatnya?” ujar Soka, mulai tak sabar.
“Aku rasa memang begitu. Sebab, kita harus menyelesaikan masalah ini secara jernih,” tutur Andika tenang.
“Baik..., baik. Akan kujelaskan,” selak Bayu, lelaki tertua dari ketiga orang itu.
Berbeda dengan Soka yang memiliki watak keras, Bayu memiliki ketenangan yang dalam. Pantas saja kalau penampilannya mencerminkan kewibawaan.
“Wanita ini telah melakukan pembunuhan atas sepuluh orang warga desa kami beberapa pekan lalu. Kami lalu mencarinya, dan bertemu di tempat ini. Mulanya kami meminta agar dia bersedia ikut secara baik-baik. Tapi, dia menolak. Maka terpaksa kami melakukan kekerasan, seperti yang Kisanak lihat,” lanjut Bayu.
“Benar begitu, Nisanak?” Andika mengalihkan pertanyaan pada wanita yang mengaku Ratu Racun.
“Hm....Aku memang Ratu Racun. Tapi sungguh mati, aku tak melakukan perbuatan apa-apa seperti cerita mereka barusan,” sahut wanita itu datar.
“Nah, kini masalahnya jelas, bukan? Kalian mungkin hanya salah paham...,” ujar Andika.
“Bagaimana bisa salah paham, kalau pembunuh warga desa kami mengaku bernama Ratu Racun!” sergah Soka, membentak.
“Bagaimana aku bisa mengakui perbuatan keji itu kalau aku tidak pernah melakukannya?!” timpal wanita berpakaian serba hitam itu, tak kalah gusar dengan nada membentak.
Soka mulai dibakar amarahnya kembali. Kakinya maju setindak untuk menghajar Ratu Racun Untung Andika segera mencegahnya.
“Ah! Sabar, Kisanak.... Sabar...,” bujuk Andika sambil mengangkat kedua tangan. “Aku merasa ada sesuatu yang ganjil dalam masalah ini.”
Telah dua kali Andika berkata seperti itu. Pertama, diucapkan pada Ki Patigani. Dan kini, pada tiga pendekar Tri Cemeti Puspa. Namun sampai saat ini, Andika sendiri belum mendapat jawaban pasti tentang keganjilan yang dimaksud.
“Sebelum melanjutkan ucapanmu, sudilah kiranya kau memberitahukan kami, siapa Kisanak sesungguhnya?” tanya Bayu di sela ucapan Andika.
“Aku hanya seorang pengembara yang ingin berbuat baik bagi orang-orang lemah dengan kemampuanku yang tidak seberapa,” jawab Andika, merendahkan diri.
“Begini saja. Kita akan membereskan masalah ini dengan satu kepastian! Hilangkan kecurigaan, lalu kita mencari bukti-bukti nyata yang bisa memberatkan wanita ini, atau malah membebaskannya. Untuk itu, pikiran harus tetap jernih dan hati harus tetap dingin. Bagaimana? Bukankah kita ini pendekar-pendekar terhormat yang menjunjung harga diri masing-masing?”
Bayu yang cukup bijaksana langsung mengangguki usul Andika, meski masih sedikit ragu dengan Andika sebenarnya. Sementara, kedua adik seperguruannya tak bisa membantah ketika Bayu selaku kakak seperguruan menyetujui.
“Bagaimana denganmu, Nisanak?” tanya Andika pada wanita di sisi kirinya.
Sesaat wanita ayu berhidung bangir serta bermata bulat menawan itu hanya menatap Andika lekat-lekat. Sedangkan Andika balas menatap. Kesempurnaan lekuk wajah Ratu Racun tiba-tiba saja menelusup ke relung hatinya yang terdalam. Dan pemuda itu hanya mendesah dalam hati. Siapa sebenarnya wanita ini? Rambutnya panjang tergerai, kulitnya yang seputih lapisan salju, sinar matanya yang bening.... Semua itu seakan pernah ada di dalam dasar ingatannya. Tapi siapa?
“Bagaimana aku bisa mempercayai kalian kalau kalian bukan orang jahat?” ungkit wanita itu, mengeluarkan rasa curiganya pada Andika.
Pendekar Slebor membuang napas. Sulit untuk meyakinkan wanita itu kalau dirinya bukan orang jahat. Apalagi membuktikan ketiga pemuda yang membawa wanita itu untuk diadili. Di dunia ini, mana mudah mempercayai seseorang yang baru saja bertemu? Dunia memang sering kali memunculkan tipu daya yang berselimut kebenaran. Tanpa bukti nyata, kepalsuan tidak akan terungkap.
“Aku tidak tahu, bagaimana harus membuktikan kalau aku bukan orang jahat,” tutur Andika menyerah.
“Bagaimana dengan kalian bertiga, Kisanak?”
“Sulit membuktikan kata-kataku sekarang ini, kalau aku orang baik-baik,” kata Bayu mewakili adik seperguruannya.
“Ucapan itu pertanda kalau kalian adalah orang baik-baik,” ujar Ratu Racun.
Ucapan itu membuat Andika, Bayu, dan kedua adik seperguruannya sama-sama mengernyitkan alis tak mengerti.
“Ah! Ini hanya berdasarkan pengalamanku saja. Menurut penilaianku, biasanya orang yang ingin meyakinkan orang lain dengan kata-katanya bahwa dirinya baik adalah orang jahat. Begitu pula sebaliknya,” urai wanita berpakaian serba hitam itu bijak.
Ratu Racun menjerit tertahan ketika sepasang tumit kaki Pendekar Slebor mendera telak bahunya. Tak ayal lagi, tubuh perempuan itu terhempas ke belakang, lalu berguling-guling diatas tanah beberapa kali. Sementara, Andika cepat bangkit berdiri.
“Hey, Perawan Tolol! Apa kau tak pernah berguling-guling di tanah sewaktu kecil dulu?!” ledek Andika enteng.
Godokan selama di Lembah Kutukan membuat napasnya biasa-biasa saja. Kalau melihat begitu keras penyempurnaannya yang dijalani di tempat mengerikan itu, mungkin pendekar muda ini bisa bertempur sehari semalam tanpa henti!
Diiringi erangan, Ratu Racun bangkit terhuyung-huyung.
“Bedebah kau, Pemuda Sialan!” maki perempuan itu.
“Biar...,” sahut Pendekar Slebor enteng.
“Kau pikir dirimu telah menang?”
“Biar....”
“Sontoloyo! Kali ini kau akan merasakan kembali Racun Bara Neraka milikku!”
“Biar...,” sahut Andika kembali, seakan tak ada kata lainuntuk menanggapi omelan dongkol Ratu Racun.
Seketika Ratu Racun mulai menengadahkan tangannya ke atas dalam rentangan lebar. Sepuluh jemari yang terbuka, menegang bersama getaran hebat. Ucapannya tampak bukan ancaman kosong. Dia benar-benar akan mengeluarkan ajian beracun dari Negeri Tibet yang dimilikinya. Tak ada lima kerdipan mata, telapak tangannya mulai berpijar merah. Seakan, bara api telah menelusup ke sepasang telapaknya itu.
Menyadari lawan telah mengerahkan jurus ampuh yang pernah membuatnya sengsara, Andika mau tidak mau harus bertindak hati-hati. Segera seluruh pikiran serta panca inderanya dipusatkan ke satu titik dalam benak. Tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan ini akan dipusatkan pada kedua telapak tangannya.
Wesss!
Saat Andika memejamkan mata, Ratu Racun secara licik melepas pukulan jarak jauh berisi Racun Bara Neraka. Maka seketika segumpal sinar merah membara membersit di malam gelap, menerangi kancah pertempuran bagai bola lampu raksasa.
Ki Manik Angkeran, Ki Anom Wijaya serta beberapa penduduk yang bernyali cukup besar hingga tak meninggalkan alun-alun, menjadi terperanjat menyaksikan Pendekar Slebor akan segera dilabrak gumpalan sinar maut yang menderu cepat ke arahnya.
Sebelum sinar itu benar-benar sampai, tiba-tiba Andika menghempas tangan dan napasnya berbareng. Sepasang telapaknya yang menghadap ke depan, saat itu pula melontarkan tenaga berkekuatan lima puluh ekor gajah jantan!
Wusss!
Blarrr!
Bagai menimpa benda lentur, pukulan jarak jauh lawan yang berisi racun mendadak berbalik arah, ketika bertumbukan di udara dengan tenaga dorongan Pendekar Konyol. Sinar merah bara itu meluncur balik berlawanan dari sebelumnya. Bahkan mengarah ke tuannya sendiri.
“Sinting!” maki Ratu Racun kelabakan.
Biarpun pukulan itu miliknya sendiri, namun Ratu Racun sama sekali tak mau menerimanya. Racun Bara Neraka adalah racun dari segala racun. Keganasannya sudah tidak disangsikan lagi. Pemiliknya sendiri pun bisa mati terbunuh, bila terkena. Ratu Racun melenting serabutan ke udara, menghindari hantaman pukulannya sendiri. Tak diperhatikannya lagi Pendekar Slebor yang pada saat bersamaan turut melenting ke udara. Lalu....
Wusss...!
Pukulan kedua dilepas Pendekar Slebor. Sasarannya tentu saja tubuh Ratu Racun yang masih mengambang di udara.
“Aaa...!”
Ratu Racun Cumiik ngeri, saat menyadari pukulan lawan mengarah ke tubuhnya. Sedangkan dia sendiri sudah tidak bisa menghindar dalam keadaan melayang di udara seperti ini.
Desss!
“Aaakh...!”
Satu hantaman dahsyat, tiba di bahu kiri Ratu Racun Akibatnya perempuan itu melolong tinggi, menembus cakrawala malam yang senyap. Kemudian tubuhnya menukik tajam ke bumi, dengan kepala di bawah. Batu-batu cadas menonjol yang berserakan di sekitar alun-alun, tentu akan meremukkan kepala wanita itu beberapa saat lagi. Namun....
Tep!
Dengan gesit, Ratu Racun memutar tubuhnya. Dan tanpa menemui kesulitan berarti, kakinya menjejak ringan di tanah. Tak ada satu tarikan napas, wanita bercadar merah itu cepat melarikan diri dalam lesatan yang cepat.
Bisa saja Andika memburunya. Tapi pendekar muda itu berpikir lain. Rasanya memang berbahaya kalau pertarungan dengan tokoh sakti aliran hitam itu diteruskan. Masalahnya, setiap saat bisa saja ada pukulan jarak jauh yang tersasar.
“Kisanak! Kenapa tidak dikejar?!” tanya Ki Anom Wijaya setengah berseru. Hatinya tidak puas kalau tidak menangkap hidup-hidup bajingan yang telah membunuh warganya.
“Lain kali aku berjanji akan menghabisinya, sebagai pembayaran atas dua nyawa penduduk desa ini, Ki,” jawab Andika dengan mata menatap lurus pada arah menghilangnya lawan.
“Lain kali?” sergah Ki Anom Wijaya. Laki-laki itu memang belum tahu, siapa Andika sesungguhnya. Yang diketahuinya, anak muda itu telah bertarung dengan orang keparat yang membunuh dua warganya.
“Ki Anom...,” panggil Ki Manik Angkeran berwibawa.
Pengaruh sesepuh desa itu tampaknya begitu dihargai Ki Anom Wijaya. Kepalanya menoleh pada Ki Manik Angkeran dengan tatapan hormat, mesti jabatannya boleh dibilang lebih tinggi dari K i Manik Angkeran.
“Ada baiknya kalau aku perkenalkan pendekar muda ini padamu,” lanjut Ki Manik Angkeran lembut.
“Dia adalah pendekar yang membela orang-orang tertindas. Dia juga salah seorang keturunan pendekar besar yang menjadi cerita rakyat, Pendekar Lembah Kutukan. Dialah Pendekar Slebor”
Ki Anom Wijaya kontan terpana. Mulutnya terbuka tanpa sadar. Tak ada yang bisa diucapkannya saat itu. Bahkan tak terdengar kata maaf, karena bersikap agak tidak sopan pada Andika. Namun Andika hanya membalasnya dengan senyum ringan
***
Bukit Batujajar berbatasan dengan bagian selatan Desa Wadaswetan. Letaknya yang berada di sekitar pegunungan kapur, menyebabkan daerah itu begitu tandus. Kering kerontang seperti sudah akrab bagi bukit ini. Dan kerap kali angin kencang bertiup, debu kapur langsung bertebaran menjelajah permukaan Bukit Batujajar. Apalagi, di siang hari yang sangat terik ini. Rasanya tak ada orang yang mau menyinggahi Bukit Batujajar, kecuali orang bodoh. Tapi, rupanya ada juga beberapa orang yang terlihat di sana Mereka bukan orang bodoh, tapi justru beberapa pendekar yang sedang terlibat pertarungan seru dengan seorang wanita berpakaian serba hitam.
“Hiaaa...!”
Cletar!
Bet!
Hingar bingar pertarungan membahana dari bukit tandus ini. Tak dapat dipastikan, sudah berapa jurus telah dikerahkan untuk menjatuhkan lawan masing-masing. Yang pasti, pertarungan telah berlangsung ketika matahari sudah menusuk tepat di ubun-ubun. Sedangkan kini matahari sudah tersuruk sepenggalan.
Para pengeroyok wanita berpakaian serba hitam terdiri dari tiga orang lelaki. Ketiganya sama-sama gagah dan tampan. Yang seorang adalah laki-laki muda berusia tiga puluhan. Kumisnya lebat dengan rambut panjang terikat kain bercorak batik. Matanya tajam dihiasi alis mata yang tebal. Dagunya ditumbuhi brewok, halus kebiru-biruan. Dia bernama Bayu.
Seorang lainnya juga pendekar muda. Usianya setahun lebih muda daripada Bayu. Sama seperti Bayu, laki-laki yang bernama Soka pun memelihara kumis lebat. Bedanya, dia berambut pendek yang tertata rapi tanpa ikat kepala.
Sementara orang yang terakhir berpenampilan menawan. Rambutnya ikal sebatas bawah telinga. Wajahnya klimis dan terlihat bersih. Rahangnya yang berbentuk agak persegi, memperlihatkan kejantanannya. Dan dia sering dipanggil Sena.
Mereka bertiga berpakaian sama. Dari sini bisa dinilai kalau mereka berasal dari perguruan silat yang sama. Dengan baju putih berlapis rompi kulit berwarna coklat, yang dipadu celana berwarna hitam sepanjang lutut, mereka tampak kelihatan gagah. Dalam rimba persilatan, mereka lebih dikenal dengan julukan Tri Cemeti Puspa. Memang, cemeti bergagang dengan bentuk bunga itu yang membuat mereka dijuluki demikian.
“Menyerahlah, Ratu Racun! Perbuatanmu di desa kami harus dibayar dengan nyawamu. Rakyat desa meminta kami untuk membawamu, agar kau dapat diadili karena telah membunuh sepuluh warga desa!” seru Bayu setelah mengambil jarak sekitar sepuluh tombak dari lawan.
“Kalian hanya mengada-ada, Kisanak! Bagaimana aku bisa menuruti kemauan kalian, kalau mendengarnya saja baru kali ini...,” jawab wanita yang dipanggil Ratu Racun oleh Bayu.
“Nisanak! Jangan bersilat lidah di depan kami! Kami minta, Nisanak sudi ikut dengan niat untuk membayar perbuatanmu!” timpal Sena.
Namun, wanita itu malah tertawa.
“Apa kalian hanya bersandiwara untuk memperdayaiku? ! Kalian ingin merampas kehormatanku di tempat yang diingini. Bukan begitu?!”
“Wanita sundal! Apa kau pikir kami ini lelaki kotor seperti dugaanmu?!” bentak Soka, tersinggung.
“Kang! Kenapa kita harus bertele-tele pada wanita busuk ini? Ringkus saja dia, hidup atau mati!”
Dan tanpa menunggu persetujuan Bayu yang merupakan kakak seperguruannya, Soka melabrak Ratu Racun.
“Hiaaat...!”
Cemeti di tangan Soka terayun-ayun di udara. Putarannya memperdengarkan bunyi yang membuat ngilu perasaan.
Wut! Wut! Wut!
Soka kian dekat pada lawan. Cemeti maut di tangannya siap mencabik. Tapi....
“Tunggu!”
Tiba-tiba terdengar teriakan seseorang menahannya. Soka menoleh cepat. Begitu pula Bayu dan Sena. Mereka ingin mengetahui orang yang hendak ikut campur urusan ini. Mata ketiganya pun menangkap sosok pemuda berpakaian serba hijau dengan kain bercorak kotak-kotak hitam dan putih tersampir di pundaknya. Rambut pemuda itu sebatas bahu tak teratur. Raut wajahnya tampan dengan mata tajam berhias alis yang menukik bagai kepakan sayap elang perkasa. Hidung pemuda tampan itu mancung dengan bibir tipis menawan. Garis wajahnya yang gagah sesuai sekali dengan kekekaran tubuhnya. Dia tak lain Andika, si Pendekar Slebor
Urusan Pendekar Slebor di Desa Wadaswetan memang telah selesai. Dia telah mendengar seluruh kisah tentang peristiwa perampokan yang terjadi delapan belas tahun lalu. Menurut Ki Manik Angkeran, ada keluarga pendekar yang terbantai ketika peristiwa itu terjadi. Suami istri pendekar itu mati terbunuh dengan keadaan menyedihkan. Sedangkan dua anaknya hilang tak tentu rimbanya. Anaknya yang perempuan berumur sekitar tujuh tahun. Sementara yang laki-laki, masih berupa bayi berusia sekitar tiga bulan.
Seperti dugaan Andika, perampokan itu memang dilakukan Kranggaek dan kawanannya. Dan dugaannya semakin dekat pada kebenaran ketika mendengar tentang anak perempuan keluarga pendekar yang dibunuh kawanan itu. Dugaan Andika, ini pasti masalah dendam kesumat
Sayang, Andika lupa menanyakan nama keluarga pendekar itu. Saat teringat hal itulah, pemuda ini segera kembali ke Desa Wadaswetan melalui Bukit Batujajar yang bisa menjadi jalan singkat. Dan tanpa disangka-sangka, dia melihat pertarungan keempat orang itu.
“Ada perlu apa, Kisanak? Kenapa kau ingin mencampuri urusan kami?” tanya Bayu, sopan.
“Aku sempat mendengar kalian menyebut-nyebut tentang Ratu Racun Apa kalian berurusan dengannya?” kata Andika.
“Ya, memang benar. Kami ada urusan dengan Ratu Racun, kini wanita itu ada di sini. Apa Kisanak punya sangkutan pula dengan dia? Kalau begitu, Kisanak datang pada saat yang tepat...,” tutur Sena, lelaki termuda dari Tri Cemeti Puspa.
“Oh! Tunggu..., tunggu dulu. Jangan tergesa-gesa begitu, Kisanak,” sergah Andika seraya melepas senyum bersahabat.
“Aku memang ada sangkutan dengan wanita yang kau sebutkan barusan. Tapi kurasa, aku tidak berurusan dengan wanita berpakaian serba hitam ini....”
Seketika ketiga lelaki itu bersama-sama menyipitkan mata
“Apa maksudmu, Kisanak?” tanya Bayu, mengungkapkan ketidakmengertiannya.
“Ratu Racun memang berpakaian serba hitam seperti juga wanita ini...,” kata Andika kembali. Tapi....
“Aku memang Ratu Racun...,” potong wanita itu.
Sekarang giliran Andika yang menyipitkan mata. Digaruk-garuknya kepala meski tidak gatal.
“Apa ada yang salah, ya?” bisik pemuda itu membatin
Memang, Pendekar Slebor sendiri sudah begitu yakin kalau wanita itu bukan Ratu Racun yang pernah bertempur dengannya. Ratu Racun yang dikenal Andika berpakaian serba hitam, dan mengenakan cadar merah darah. Sedangkan wanita ini, biarpun mengenakan pakaian yang sama tapi tidak bercadar. Apa mungkin Ratu Racun telah melepas cadarnya?
Tapi kenapa tidak terkejut saat bertemu Andika yang jelas-jelas dikenalnya sebagai Pendekar Slebor? Padahal Pendekar Slebor adalah musuh yang menghalangi tindak-tanduknya beberapa waktu lalu.
“Nah! Kau dengar sendiri, Kisanak. Dia telah mengakui sendiri kalau dirinya adalah Ratu Racun,” sambar Soka dalam geletar kemarahan yang belum tuntas.
“Sekarang, kita tunggu apa lagi?”
“Tapi, tunggu...!” tahan Andika kembali.
Pendekar Slebor lalu melangkahkan kakinya lebih dekat pada wanita berbaju serba hitam itu. Ditatapnya lamat-lamat wanita berwajah ayu itu. Dari raut wajahnya, wanita itu tidak mencerminkan seorang berhati iblis. Lalu, kenapa mengaku-aku sebagai Ratu Racun?
Pembunuh keji itu memang sulit dimengerti sepak terjangnya. Karena di samping membunuh tokoh-tokoh sesat, dia juga membunuh orang-orang tak berdosa! Apa maunya orang ini dengan mengaku-aku sebagai Ratu Racun? Kenapa persoalan ini jadi dem ikian pelik?
“Apa kesalahan yang kau perbuat terhadap mereka, Nisanak?” tanya Andika sopan.
Wanita itu menatap Andika sejenak. Saat itu, sinar yang sulit dijelaskan, terbias dari sepasang bola matanya yang menawan Ya! Sulit dijabarkan. Seakan sebuah bayang kabur yang begitu jauh di balik kebeningan tatapannya.
“Kau tanyakanlah sendiri pada mereka,” jawab wanita itu akhirnya.
“Bagaimana, Kisanak?” lempar Andika, setelah tersadar dari keterpanaan terhadap tatapan wanita di hadapannya.
“Apakah perlu kami ceritakan kesalahan yang dibuatnya?” ujar Soka, mulai tak sabar.
“Aku rasa memang begitu. Sebab, kita harus menyelesaikan masalah ini secara jernih,” tutur Andika tenang.
“Baik..., baik. Akan kujelaskan,” selak Bayu, lelaki tertua dari ketiga orang itu.
Berbeda dengan Soka yang memiliki watak keras, Bayu memiliki ketenangan yang dalam. Pantas saja kalau penampilannya mencerminkan kewibawaan.
“Wanita ini telah melakukan pembunuhan atas sepuluh orang warga desa kami beberapa pekan lalu. Kami lalu mencarinya, dan bertemu di tempat ini. Mulanya kami meminta agar dia bersedia ikut secara baik-baik. Tapi, dia menolak. Maka terpaksa kami melakukan kekerasan, seperti yang Kisanak lihat,” lanjut Bayu.
“Benar begitu, Nisanak?” Andika mengalihkan pertanyaan pada wanita yang mengaku Ratu Racun.
“Hm....Aku memang Ratu Racun. Tapi sungguh mati, aku tak melakukan perbuatan apa-apa seperti cerita mereka barusan,” sahut wanita itu datar.
“Nah, kini masalahnya jelas, bukan? Kalian mungkin hanya salah paham...,” ujar Andika.
“Bagaimana bisa salah paham, kalau pembunuh warga desa kami mengaku bernama Ratu Racun!” sergah Soka, membentak.
“Bagaimana aku bisa mengakui perbuatan keji itu kalau aku tidak pernah melakukannya?!” timpal wanita berpakaian serba hitam itu, tak kalah gusar dengan nada membentak.
Soka mulai dibakar amarahnya kembali. Kakinya maju setindak untuk menghajar Ratu Racun Untung Andika segera mencegahnya.
“Ah! Sabar, Kisanak.... Sabar...,” bujuk Andika sambil mengangkat kedua tangan. “Aku merasa ada sesuatu yang ganjil dalam masalah ini.”
Telah dua kali Andika berkata seperti itu. Pertama, diucapkan pada Ki Patigani. Dan kini, pada tiga pendekar Tri Cemeti Puspa. Namun sampai saat ini, Andika sendiri belum mendapat jawaban pasti tentang keganjilan yang dimaksud.
“Sebelum melanjutkan ucapanmu, sudilah kiranya kau memberitahukan kami, siapa Kisanak sesungguhnya?” tanya Bayu di sela ucapan Andika.
“Aku hanya seorang pengembara yang ingin berbuat baik bagi orang-orang lemah dengan kemampuanku yang tidak seberapa,” jawab Andika, merendahkan diri.
“Begini saja. Kita akan membereskan masalah ini dengan satu kepastian! Hilangkan kecurigaan, lalu kita mencari bukti-bukti nyata yang bisa memberatkan wanita ini, atau malah membebaskannya. Untuk itu, pikiran harus tetap jernih dan hati harus tetap dingin. Bagaimana? Bukankah kita ini pendekar-pendekar terhormat yang menjunjung harga diri masing-masing?”
Bayu yang cukup bijaksana langsung mengangguki usul Andika, meski masih sedikit ragu dengan Andika sebenarnya. Sementara, kedua adik seperguruannya tak bisa membantah ketika Bayu selaku kakak seperguruan menyetujui.
“Bagaimana denganmu, Nisanak?” tanya Andika pada wanita di sisi kirinya.
Sesaat wanita ayu berhidung bangir serta bermata bulat menawan itu hanya menatap Andika lekat-lekat. Sedangkan Andika balas menatap. Kesempurnaan lekuk wajah Ratu Racun tiba-tiba saja menelusup ke relung hatinya yang terdalam. Dan pemuda itu hanya mendesah dalam hati. Siapa sebenarnya wanita ini? Rambutnya panjang tergerai, kulitnya yang seputih lapisan salju, sinar matanya yang bening.... Semua itu seakan pernah ada di dalam dasar ingatannya. Tapi siapa?
“Bagaimana aku bisa mempercayai kalian kalau kalian bukan orang jahat?” ungkit wanita itu, mengeluarkan rasa curiganya pada Andika.
Pendekar Slebor membuang napas. Sulit untuk meyakinkan wanita itu kalau dirinya bukan orang jahat. Apalagi membuktikan ketiga pemuda yang membawa wanita itu untuk diadili. Di dunia ini, mana mudah mempercayai seseorang yang baru saja bertemu? Dunia memang sering kali memunculkan tipu daya yang berselimut kebenaran. Tanpa bukti nyata, kepalsuan tidak akan terungkap.
“Aku tidak tahu, bagaimana harus membuktikan kalau aku bukan orang jahat,” tutur Andika menyerah.
“Bagaimana dengan kalian bertiga, Kisanak?”
“Sulit membuktikan kata-kataku sekarang ini, kalau aku orang baik-baik,” kata Bayu mewakili adik seperguruannya.
“Ucapan itu pertanda kalau kalian adalah orang baik-baik,” ujar Ratu Racun.
Ucapan itu membuat Andika, Bayu, dan kedua adik seperguruannya sama-sama mengernyitkan alis tak mengerti.
“Ah! Ini hanya berdasarkan pengalamanku saja. Menurut penilaianku, biasanya orang yang ingin meyakinkan orang lain dengan kata-katanya bahwa dirinya baik adalah orang jahat. Begitu pula sebaliknya,” urai wanita berpakaian serba hitam itu bijak.
0