- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#76
Part 8
Sejak malang melintang dalam dunia persilatan, maka pertarungan terberat yang dialami Andika kali ini adalah pertarungan yang terberat. Bukan karena lawan-lawan yang meski dihadapinya rata-rata berkepandaian tinggi. Kalaupun mereka semua mengeroyoknya, belum tentu mampu mengalahkan pendekar urakan ini. Tentu saja selaku pendekar sejati, Andika merasa berat untuk menurunkan tangan kejam pada orang-orang yang sebenarnya hanya diperalat.
Namun demikian, Pendekar Slebor tidak begitu bodoh untuk membiarkan tubuhnya direncah puluhan batang tombak yang mengancam dirinya dari segala penjuru. Secepatnya dilepas kain pusaka dari pundaknya. Dengan penyaluran tenaga dalam secukupnya, serbuan tombak para prajurit itu bisa disapu bersih.
“Hih!”
Wut! Kra-krak-krak-krak!
Satu rentetan suara patahan tombak terdengar. Dua puluh tiga prajurit saat itu juga terlonjak, mengikuti hentakan pada senjata masing-masing. Tombak mereka sendiri sudah tidak memiliki ujung lagi, patah terkena hantaman senjata ganjil Andika.
Patahannya bertebaran sesaat di udara, lalu jatuh berserakan di tanah. Serangan awal yang gagal itu dilanjutkan serangan susulan oleh para prajurit. Sebagai pasukan pilihan, dengan sigap mereka membentuk satu bentuk pertempuran mirip bintang berpijar. Secara bergantian, orang yang di belakang maju ke depan dan sebaliknya. Sehingga, gerakan mereka tampak seperti kerlip bintang.
Meski tingkat kepandaian para prajurit masih jauh di bawahnya, tapi tak urung Andika merasa agak bingung menghadapi siasat serangan itu. Serangan bergantian berupa tangan dan kaki itu benar-benar mendobrak benteng pertahanan Andika. Terlebih, ketika kedua puluh tiga orang itu mulai mengeluarkan pedang panjang masing-masing. Dengan begitu, daya jangkau serangan makin membesar. Dan itu berarti semakin memperkecil ruang gerak Pendekar Slebor.
Agar tidak terus diserbu kelebatan pedang para prajurit yang terus mencecarnya, Pendekar Slebor mengubah siasat pertahanannya. Di tengah kepungan, tubuhnya tiba-tiba berputaran cepat dengan bertumpu pada satu kaki. Sedangkan kakinya yang lain sengaja diseret di tanah berdebu. Sekejap saja, kepulan debu pekat berterbangan. Angin hasil ciptaan Andika, membuat kepulan debu itu bertebaran di tengah kepungan. Maka tubuh Pendekar Slebor pun terselimuti, dan tak dapat ditangkap lagi oleh mata para pengeroyoknya.
Saat selanjutnya, tubuh Andika meluncur ke atas seperti hendak terbang. Dia berusaha untuk melepaskan diri dari kepungan rapat para prajurit. Dan usahanya ternyata berhasil.
“Walet! Apa kau hanya bisa bengong seperti tuyul bego!”
Ketika masih di udara, Andika berteriak pada Walet yang berdiri di dekat tembok kadipatenan. Memang, sebelum Pendekar Slebor dirangsek begitu rupa, bocah kecil itu telah menyingkir terlebih dahulu. Kebetulan dia tidak menjadi incaran para prajurit, sehingga tidak mendapat rintangan apa-apa.
Sebenarnya, Andika dongkol melihat bocah itu yang hanya menonton dirinya. Padahal Andika sendiri sedang sungsang sumbel menghindari keroyokan.
“Lawan saja, Kang! Salah sendiri, kenapa hanya bertahan!” sahut Walet begitu Andika menjejak tanah, lima belas tombak dari musuh-musuhnya. Lagak bocah itu seperti tukang sabung ayam yang sedang memberi semangat pada jagonya.
“Tai kucing!” maki Andika sengit.
“Aku tak mau mereka celaka, karena diperalat Adipati Tunggul Manik!”
“Lumpuhkan saja kalau begitu! Totok saja mereka. Tok, tok, tok, bereskan?!”
“Dengkulmu beres! Jumlah mereka terlalu banyak untuk ditotok satu persatu! Apa matamu buta?!”
“Kalau begitu, gimana ya?” tanya Walet santai seraya menaikkan kedua bola matanya.
“Jangan banyak tanya! Kau bisa bantu apa tidak, Bocah Sialan?!”
“Tentu saja. Kenapa tidak?” sahut Walet, tetap acuh.
“Ayo lakukan! Kenapa masih tunggu-tunggu lagi!” bentak Andika, buru-buru manakala melihat seluruh prajurit kini malah turut menyerbunya.
Walet hanya menggeleng-gelengkan kepala santai.
“Kenapa Kakang tidak bilang dari tadi. Salah sendiri....”
“Cepaaat!” sergah Andika mangkel tak ketolongan.
Walet nyengir sebentar, kemudian mulai bersila seraya memejamkan mata Seketika daya pengaruh batin bocah kecil itu pun memancar ke sekitarnya bagai gelombang air yang kian membesar. Kekuatan tak terlihat itu lalu mulai merasuk dalam benak setiap prajurit.
Dan tiba-tiba saja, para prajurit menyaksikan makhluk tinggi besar menyeramkan menghadang di depan. Tinggi makhluk itu hampir sama dengan pohon kelapa. Badannya ditumbuhi lumut berwarna hijau tua berlendir. Kepalanya berbentuk kepala ular kdbra dengan taring sebesar mata tombak di mulutnya yang terbuka lebar. Sepasang matanya bersinar merah tanpa bola mata, semerah liur yang memanjang di rongga mulutnya.
Saat makhluk itu menyerang bagai salakan seribu guntur, puluhan prajurit di depannya tersurut mundur dengan wajah kaku. Mata mereka menatap tak berkedip pada makhluk yang diciptakan oleh kekuatan batin Walet. Berbarengan satu erangan kembali, tangan makhluk itu bergerak menyapu.
“Aaarrrgggkhhh!”
Wessshhh!
“Wuaaa!”
Tujuh prajurit langsung terlempar ke udara laksana kulit padi terhempas angin. Prajurit yang lain tentu saja menjadi ciut, menyaksikan kejadian ini. Seumur hidup, tak pernah mereka menyaksikan makhluk yang demikian mengerikan. Tanpa banyak kata, puluhan orang itu lari serabutan. Mereka tidak ingin jadi perkedel, ditumbuk tangan besar makhluk aneh ini.
Andika sendiri pun sempat terkesima melihat kawan kecilnya mampu memunculkan makhluk dari dasar bumi seperti ini. Dalam hatinya, dia sempat memuji kehebatan Walet. Tak percuma si wanita cantik aneh itu menjuluki Walet ‘kendi berisi telaga’.
“Bagus, Walet! Usahakan agar mereka tak celaka. Cukup membuat mereka ‘buang hajat’ di celana saja! He he he...,” seloroh Andika, puas melihat hasil kerja sahabatnya.
Usai terkekeh, pendekar muda ini menggenjot tubuhnya menuju bangunan kadipatenan. Dilain sisi, Senapati Wisesa dan Tumenggung Adiguna masih berusaha mengadakan perlawanan pada makhluk ciptaan Walet. Keduanya segera mengeluarkan keris pusaka masing-masing. Dengan senjata terhunus, digempurnya makhluk itu tanpa kenal takut.
Selaku orang kepercayaan adipati, mereka memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Ini bisa terlihat dari setiap gerakan mereka. Kala makhluk jejadian ciptaan Walet itu mencoba menyampok, dengan gesit keduanya melenting tinggi ke perut buncit makhluk besar itu. Lalu, disusul sabetan keris pusaka di tangan masing-masing.
“Khiah!”
Sret!
Kulit perut makhluk itu memang terkena sabetan mereka. Tapi, sama sekali tidak mengakibatkan luka sedikit pun. Senjata mereka seperti menebas gumpalan asap tebal saja. Kenyataan itu benar-benar mengejutkan Senapati dan Tumenggung Adiguna. Padahal, keduanya belum lagi bisa mengerti, kenapa makhluk itu tiba-tiba muncul begitu saja.
Selama hidup, Senapati Wisesa maupun Tumenggung Adiguna memang belum pernah memperdalam ilmu batin tingkat tinggi. Mereka hanya terbatas mempelajari ilmu olah kanuragan yang terpusat pada pengolahan kekuatan luar. Itu sebabnya, mereka menjadi terheran-heran dengan kehadiran makhluk aneh seperti yang dihadapi kini.
Sementara itu, Andika telah jauh memasuki bangunan kekadipatenan. Pemuda itu tiba di ruang tengah besar, berlangit-langit tinggi. Di sana ditemukannya Adipati Tunggul Manik yang sudah berdiri menantang dengan sorot mata tajam. Kedua tangannya memegang sesuatu di depan dada. Dari bentuknya yang bulat telur sebesar kepalan tangan dan berwarna biru laut, dapat diduga kalau benda itu adalah Mustika Putri Terkutuk.
“Sudah kuduga sejak kedatanganmu, Pendekar Slebor! Kau memang akan menjadi penghalang segala rencanaku,” sambut Adipati Tunggul Manik dingin.
“O, ya?” timpal Andika kalem.
“Kalau begitu, aku memang benar-benar manusia pembawa sial seperti kata anak buahmu.”
Adipati Tunggul Manik menggeram.
“Kau memang pembawa sial. Tapi, percayalah. Sebentar lagi kesialan yang kau bawa akan pergi bersama nyawamu ke dasar neraka!”
“Wow-wow-wow! Tunggu dulu. Bagaimana kalau kesialan yang kubawa, justru memberimu ongkos ke liang lahat. Mungkin cacing-cacing tanah sudah begitu kangen padamu...,” ledek Andika menimpali.
Adipati Tunggul Manik mengacungkan mustika di tangannya.
“Dengan benda keramat di tanganku ini, kau memiliki kemungkinan kecil untuk menjadi pemenang!”
“Ah! Jangan bicara soal menang atau kalah! Aku tak suka pasang undian!” tukas Andika ngaco.
Merasa ucapannya tak ditanggapi sungguh-sungguh, Adipati Tunggul Manik mengangkat pangkal hidung kesal. Bibirnya tampak menyeringai gusar.
“Kenapa meringis? Belum menunaikan kewajiban, buang hajat sebelum bertarung? Hi hi hi...,” ejek Andika.
“Kau banyak mulut, Babi!” hardik Adipati Tunggul Manik.
Seketika Adipati Tunggul Manik menyerbu Andika dengan amarah membludak. Mustika ditangan kanannya langsung dihantamkan ke kepala Pendekar Slebor.
“Khiaaa!”
Wut!
Andika menghindari hantaman itu hanya dengan menggeser tubuh satu langkah ke belakang.
Luputnya serangan pertama, disusul serangan kedua. Tubuh Adipati Tunggul Manik cepat berputar dengan kaki kiri terangkat, berusaha meremukkan kepala Pendekar Slebor kembali. Kali ini, Andika tak menghindar. Namun dipapaknya tendangan berputar Adipati Tunggul Manik dengan pergelangan tangannya. Sementara tangan kirinya yang bebas, segera mengirim sodokan ke selangkangan sebagai balasan.
Tentu saja Adipati Tunggul Manik tak mau barang rahasianya pecah. Maka dengan sigap bagian terpenting dalam hidupnya itu dilindunginya dengan kedua tangan. Seketika tangan mereka berbenturan keras. Baru saja terjadi benturan, Andika sudah menyusul Adipati Tunggul Manik satu serangan lagi. Dengan tubuh merunduk, disapunya kaki adipati yang menjadi tumpuan tubuhnya. Serangan yang begitu cepat itu membuat Adipati Tunggul Manik mati langkah. Dia tidak bisa lagi mengangkat kaki yang menjadi incaran sapuan kaki Pendekar Slebor. Satu-satunya jalan hanya membuang tubuh ke belakang.
“Hiaaah!”
Dengan menggenjot satu kakinya, Adipati Tunggul Manik melenting ke udara dan berputaran kebelakang. Lalu kakinya mendarat, dan berdiri empat tombak dengan kuda-kuda mantap kembali. Pendekar Slebor tak sudi membiarkan adipati itu bernapas lega. Baru saja tubuhnya sampai di atas tanah, Andika sudah melabraknya dengan satu terkaman menggila. Dari gerakannya terlihat kalau Andika tengah mengeluarkan jurus sakti ciptaannya, ‘Memapak Petir Membabi Buta’.
Adipati Tunggul Manik benar-benar terperangah, menyaksikan jurusnya yang aneh. Bagaimana Adipati Tunggul Manik tidak menilai seperti itu, kalau gerakan yang diperlihatkan lawannya lebih mirip terjangan orang sinting yang kalap?
Belum sempat wajah keterkejutan adipati itu hilang, tangan kanan Pendekar Slebor sudah tiba di dekat wajahnya. Dan ini membuat Adipati Tunggul Manik serba salah. Maka diusahakannya untuk menyelamatkan wajah dari sampokan tangan Pendekar Slebor. Tapi tangan pemuda itu tiba-tiba saja berbelok arah ke dada. Seolah-olah tangan itu bisa berubah arah, hanya karena tiupan angin tak menentu.
“Gila! Jurus sial macam apa itu?!” maki Adipati Tunggul Manik dongkol.
“Pengumuman...! Pengumuman. Ini jurus ‘Memapak Petir Membabi Buta’! Hea ha ha ha...!” teriak Andika seraya menyambung terjangan ngawurnya.
Tubuh Pendekar Slebor mendadak terhuyung deras ke arah Adipati Tunggul Manik. Bahu kanannya siap dibenturkan ke dada. Berbareng pelototan matanya karena terkesiap, Adipati Tunggul Manik merunduk sedalam-dalamnya. Hanya itu yang bisa dilakukan, karena dia sudah berada di sudut ruangan. Saat itu, sifat berandalan Andika sebagai gelandangan kecil kotaraja muncul kembali. Dia ingin sedikit mempermainkan orang terhormat bermuka dua itu.
Maka sebelum Adipati Tunggul Manik mengubah keadaan tubuhnya yang membungkuk, Andika
mengangkat kaki kanan ke atas kepala, lalu menjejak keras-keras di atasnya. Mau tak mau Adipati Tunggul Manik makin merundukkan badan. Sampai akhirnya, dia merangkak serabutan layaknya babi tolol.
“Huh! Hus!” ledek Pendekar Slebor sambil ber-tepuk-tepuk tangan.
Namun kesempatan luang itu digunakan Adipati Tunggul Manik untuk berguling menjauhi lawan. Dan, mulutnya pun langsung memaki panjang pendek, karena merasa telah dipermainkan.
“baik-baik-baik!” maki adipati itu saat bergulingan.
“Biar-biar-biar-biaaarrr!” balas Andika tak kalah gencar.
Setelah itu, Andika tertawa terbahak-bahak keras. Puas rasanya mempermainkan seorang penguasa pengkhianat yang menganggap orang-orang kecil hanya anjing yang bisa diperalat. Adipati Tunggul Manik kini bangkit dengan wajah terbakar. Sepasang matanya berkobar-kobar merah, di puncak kemurkaan.
“Kau harus membayar perlakuan ini dengan nyawa, Keparat!” ancam lelaki setengah baya itu bergetar. Lalu diletakkannya Mustika Putri Terkutuk di dada.
“Ng.... Ngomong-ngomong, dari mana kau dapatkan benda itu?” tanya Pendekar Slebor berlagak pilon. Padahal, Andika tahu kalau adipati itu sudah siap memanfaatkan kekuatan gaib benda keramat yang dipegangnya.
“Pasti kau telah merebutnya dari tangan pemimpin Perguruan Ular Iblis. Iya, kan? Lalu, dia kau bunuh secara diam-diam. Sehingga, para muridnya tidak pernah sadar kalau mereka telah kecolongan. Dan kau pun selamat dari tuntutan dendam mereka. Setelah itu, kau bisa leluasa mengadu domba perguruan itu dengan perguruan lain...,” kata Andika, berusaha mengganggu Adipati Tunggul Manik.
“Diaaam!” bentak Adipati Tunggul Manik menggelegar.
“Wah-waaah! Sebagai seorang penguasa, kau ternyata memiliki otak encer. Sayang sekali, keenceran otakmu dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri....”
“Diaaam! Aku memang ingin berkuasa penuh di daerah ini. Aku ingin seluruh cita-citaku tercapai. Aku ingin mengeruk uang rakyat sebanyak-banyaknya, agar dapat membuat sorgaku sendiri. Tapi itu tak akan bisa kulaksanakan, kalau perguruan-perguruan itu masih tetap berdiri. Mereka pasti akan menentang tindak-tandukku. Maka, mereka harus dimusnahkan!”
Andika menggeleng-gelengkan kepala.
“Ck, ck, ck.... Tak kusangka kalau kau hanya seekor babi rakus!”
Adipati Tunggul Manik kian kalap. Rahangnya mengejang, memperlihatkan gerakan otot kegeraman di sisi wajahnya. Sedangkan bibirnya tampak bergetar hebat. Selama ini, tak ada seorang pun yang berani menghinanya seperti itu.
“Bersiaplah untuk mampus, Pemuda Busuk!” dengus Adipati Tunggul Manik mengakhiri ucapan.
Setelah itu dia memejamkan mata seraya mengangkat Mustika Putri Terkutuk ke depan wajahnya. Bibirnya tampak bergerak-gerak merapalkan mantera.
Pendekar Slebor memperhatikan perbuatan lawannya dengan kewaspadaan penuh. Hari ini, bisa disaksikannya bagaimana benda keramat itu mampu melakukan serangan biadab. Mungkin Andika harus menghadapi sebentuk kekuatan gaib yang mampu menyusup ratusan batang jarum ke dalam perutnya, seperti dialami rakyat dan orang-orang perguruan tempo hari.
Dugaan-dugaan Andika menjadi jelas, manakala selarik sinar berwarna merah bara terlontar dari Mustika Putri Terkutuk. Sesaat benda itu berputar mengelilingi tubuh Adipati Tunggul Manik, seakan menunggu aba-aba darinya. Lalu....
Nging...!
Terdengar denging halus saat cahaya merah itu meluruk menuju Pendekar Slebor. Meski belum pernah menghadapi serangan seganjil itu, namun Pendekar Slebor tak mau ayal-ayalan. Segera seluruh daya sakti ditubuhnya dikerahkan. Maka sekejap mata saja tubuhnya telah diselimuti lapisan kekuatan yang tak terlihat. Memang, benteng tembusan pandang itu sanggup menahan satu terjangan petir sekalipun.
Tapi, Andika rupanya salah perhitungan. Sewaktu menjalani penyempurnaan kedigdayaan di Lembah Kutukan, petir memang tak sanggup menembus benteng pertahanan puncaknya. Namun bagi kekuatan gaib seperti cahaya merah bara yang kini melesat cepat ke arahnya, benteng itu ternyata tidak berguna sama sekali!
Seperti menembus lapisan asap, cahaya merah milik Adipati Tunggul Manik menelusup begitu saja dalam lapisan benteng pertahanan Andika. Akibatnya, cahaya itu langsung menerjang dada bidang Pendekar Slebor. Tanpa menimbulkan suara, cahaya merah tersebut telah menghilang di dalam dada Andika.
Seketika saat itulah Pendekar Slebor merasakan seluruh bulu halus di tubuhnya meremang hebat. Saat berikutnya, dadanya mulai terasa sesak. Napasnya menjadi tersengal-sengal tak menentu. Dadanya kini terasa direncah-rencah dari dalam. Rupanya, ratusan batang jarum gaib telah menggerogoti isi tubuhnya dari dalam!
“Aaa!”
Terdengar satu lengkmgan menyayat yang terlempar dari kerongkongan Andika. Rasa sakit luar biasa yang kini diderita memaksanya berteriak kuat-kuat. Tenaga sakti yang masih dikerahkan, tanpa sadar ikut terbawa dalam teriakannya. Sehingga, membuat lapisan luar dinding beton kadipatenan menjadi retak-retak, lalu berguguran. Lampu gantung besar di tengah ruangan yang terbuat dari pualam gosok berjatuhan ke bawah. Sesaat kemudian, lampu hias itu runtuh, menimbulkan suara keras berderak ke seluruh ruangan.
Sementara itu, tubuh Pendekar Slebor berguling-gulingan di lantai ruangan. Kedua tangannya
mencengkeram dadanya sendiri dan perutnya. Otot di lehernya tampak membesar, karena erangan tertahan. Pada puncak penderitaan itu, Andika masih sempat menyadari kebenaran ‘petunjuk’ yang diterima Ki Kusuma dari wanita cantik aneh itu. Hanya seseorang yang bisa menolongnya. Seorang berkepribadian ‘kendi berisi telaga’.
“Walet! Ke mana kau?” desis Andika seiring lelehan darah kental dari bibirnya.
Seingatnya, bocah kecil itu sedang berusaha menghalau Senapati Wisesa dan Tumenggung Adiguna. Kalau anak itu mendapat kesulitan, apakah nyawanya akan berakhir di sini? Kala kesadarannya nyaris terhempas akibat deraan sakit yang begitu hebat, tiba-tiba selarik sinar hijau menyala membersit dari langit-langit ruangan. Sinar itu cepat menerabas masuk ke tubuh Pendekar Slebor.
Seketika terdengar pekikan panjang kembali. Tubuh Pendekar Slebor mengejang dengan kepala mendongak. Satu pertempuran gaib memang sedang terjadi dalam dirinya. Bahkan itu menciptakan siksaan yang lebih menggila dari sebelumnya.
Pendekar Slebor tak mampu lagi merasakan siksaan itu. Tubuhnya melemah, lalu terkulai. Belum lama Andika terdiam, tanpa gerak, dua larik sinar merah dan hijau keluar dalam keadaan menyatu. Di udara, sinar itu saling menghimpit, hingga menimbulkan sayatan-sayatan cahaya beraneka warna. Lama kejadian itu berlangsung sampai akhirnya cahaya hijau menelan habis cahaya merah membara.
Bersamaan dengan menghilangnya cahaya merah, Mustika Putri Terkutuk sirna di tangan Adipati Tunggul Manik. Lelaki itu sendiri terpental deras ke belakang, langsung menghantam tembok beton setebal tiga jengkal. Tembok itu hancur menciptakan lubang besar menganga, bersama hancurnya seluruh tulang punggung Adipati Tunggul Manik. Penguasa lalim itu tewas dengan mata terbeliak dan darah merah membasahi mulutnya.
Sejak malang melintang dalam dunia persilatan, maka pertarungan terberat yang dialami Andika kali ini adalah pertarungan yang terberat. Bukan karena lawan-lawan yang meski dihadapinya rata-rata berkepandaian tinggi. Kalaupun mereka semua mengeroyoknya, belum tentu mampu mengalahkan pendekar urakan ini. Tentu saja selaku pendekar sejati, Andika merasa berat untuk menurunkan tangan kejam pada orang-orang yang sebenarnya hanya diperalat.
Namun demikian, Pendekar Slebor tidak begitu bodoh untuk membiarkan tubuhnya direncah puluhan batang tombak yang mengancam dirinya dari segala penjuru. Secepatnya dilepas kain pusaka dari pundaknya. Dengan penyaluran tenaga dalam secukupnya, serbuan tombak para prajurit itu bisa disapu bersih.
“Hih!”
Wut! Kra-krak-krak-krak!
Satu rentetan suara patahan tombak terdengar. Dua puluh tiga prajurit saat itu juga terlonjak, mengikuti hentakan pada senjata masing-masing. Tombak mereka sendiri sudah tidak memiliki ujung lagi, patah terkena hantaman senjata ganjil Andika.
Patahannya bertebaran sesaat di udara, lalu jatuh berserakan di tanah. Serangan awal yang gagal itu dilanjutkan serangan susulan oleh para prajurit. Sebagai pasukan pilihan, dengan sigap mereka membentuk satu bentuk pertempuran mirip bintang berpijar. Secara bergantian, orang yang di belakang maju ke depan dan sebaliknya. Sehingga, gerakan mereka tampak seperti kerlip bintang.
Meski tingkat kepandaian para prajurit masih jauh di bawahnya, tapi tak urung Andika merasa agak bingung menghadapi siasat serangan itu. Serangan bergantian berupa tangan dan kaki itu benar-benar mendobrak benteng pertahanan Andika. Terlebih, ketika kedua puluh tiga orang itu mulai mengeluarkan pedang panjang masing-masing. Dengan begitu, daya jangkau serangan makin membesar. Dan itu berarti semakin memperkecil ruang gerak Pendekar Slebor.
Agar tidak terus diserbu kelebatan pedang para prajurit yang terus mencecarnya, Pendekar Slebor mengubah siasat pertahanannya. Di tengah kepungan, tubuhnya tiba-tiba berputaran cepat dengan bertumpu pada satu kaki. Sedangkan kakinya yang lain sengaja diseret di tanah berdebu. Sekejap saja, kepulan debu pekat berterbangan. Angin hasil ciptaan Andika, membuat kepulan debu itu bertebaran di tengah kepungan. Maka tubuh Pendekar Slebor pun terselimuti, dan tak dapat ditangkap lagi oleh mata para pengeroyoknya.
Saat selanjutnya, tubuh Andika meluncur ke atas seperti hendak terbang. Dia berusaha untuk melepaskan diri dari kepungan rapat para prajurit. Dan usahanya ternyata berhasil.
“Walet! Apa kau hanya bisa bengong seperti tuyul bego!”
Ketika masih di udara, Andika berteriak pada Walet yang berdiri di dekat tembok kadipatenan. Memang, sebelum Pendekar Slebor dirangsek begitu rupa, bocah kecil itu telah menyingkir terlebih dahulu. Kebetulan dia tidak menjadi incaran para prajurit, sehingga tidak mendapat rintangan apa-apa.
Sebenarnya, Andika dongkol melihat bocah itu yang hanya menonton dirinya. Padahal Andika sendiri sedang sungsang sumbel menghindari keroyokan.
“Lawan saja, Kang! Salah sendiri, kenapa hanya bertahan!” sahut Walet begitu Andika menjejak tanah, lima belas tombak dari musuh-musuhnya. Lagak bocah itu seperti tukang sabung ayam yang sedang memberi semangat pada jagonya.
“Tai kucing!” maki Andika sengit.
“Aku tak mau mereka celaka, karena diperalat Adipati Tunggul Manik!”
“Lumpuhkan saja kalau begitu! Totok saja mereka. Tok, tok, tok, bereskan?!”
“Dengkulmu beres! Jumlah mereka terlalu banyak untuk ditotok satu persatu! Apa matamu buta?!”
“Kalau begitu, gimana ya?” tanya Walet santai seraya menaikkan kedua bola matanya.
“Jangan banyak tanya! Kau bisa bantu apa tidak, Bocah Sialan?!”
“Tentu saja. Kenapa tidak?” sahut Walet, tetap acuh.
“Ayo lakukan! Kenapa masih tunggu-tunggu lagi!” bentak Andika, buru-buru manakala melihat seluruh prajurit kini malah turut menyerbunya.
Walet hanya menggeleng-gelengkan kepala santai.
“Kenapa Kakang tidak bilang dari tadi. Salah sendiri....”
“Cepaaat!” sergah Andika mangkel tak ketolongan.
Walet nyengir sebentar, kemudian mulai bersila seraya memejamkan mata Seketika daya pengaruh batin bocah kecil itu pun memancar ke sekitarnya bagai gelombang air yang kian membesar. Kekuatan tak terlihat itu lalu mulai merasuk dalam benak setiap prajurit.
Dan tiba-tiba saja, para prajurit menyaksikan makhluk tinggi besar menyeramkan menghadang di depan. Tinggi makhluk itu hampir sama dengan pohon kelapa. Badannya ditumbuhi lumut berwarna hijau tua berlendir. Kepalanya berbentuk kepala ular kdbra dengan taring sebesar mata tombak di mulutnya yang terbuka lebar. Sepasang matanya bersinar merah tanpa bola mata, semerah liur yang memanjang di rongga mulutnya.
Saat makhluk itu menyerang bagai salakan seribu guntur, puluhan prajurit di depannya tersurut mundur dengan wajah kaku. Mata mereka menatap tak berkedip pada makhluk yang diciptakan oleh kekuatan batin Walet. Berbarengan satu erangan kembali, tangan makhluk itu bergerak menyapu.
“Aaarrrgggkhhh!”
Wessshhh!
“Wuaaa!”
Tujuh prajurit langsung terlempar ke udara laksana kulit padi terhempas angin. Prajurit yang lain tentu saja menjadi ciut, menyaksikan kejadian ini. Seumur hidup, tak pernah mereka menyaksikan makhluk yang demikian mengerikan. Tanpa banyak kata, puluhan orang itu lari serabutan. Mereka tidak ingin jadi perkedel, ditumbuk tangan besar makhluk aneh ini.
Andika sendiri pun sempat terkesima melihat kawan kecilnya mampu memunculkan makhluk dari dasar bumi seperti ini. Dalam hatinya, dia sempat memuji kehebatan Walet. Tak percuma si wanita cantik aneh itu menjuluki Walet ‘kendi berisi telaga’.
“Bagus, Walet! Usahakan agar mereka tak celaka. Cukup membuat mereka ‘buang hajat’ di celana saja! He he he...,” seloroh Andika, puas melihat hasil kerja sahabatnya.
Usai terkekeh, pendekar muda ini menggenjot tubuhnya menuju bangunan kadipatenan. Dilain sisi, Senapati Wisesa dan Tumenggung Adiguna masih berusaha mengadakan perlawanan pada makhluk ciptaan Walet. Keduanya segera mengeluarkan keris pusaka masing-masing. Dengan senjata terhunus, digempurnya makhluk itu tanpa kenal takut.
Selaku orang kepercayaan adipati, mereka memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Ini bisa terlihat dari setiap gerakan mereka. Kala makhluk jejadian ciptaan Walet itu mencoba menyampok, dengan gesit keduanya melenting tinggi ke perut buncit makhluk besar itu. Lalu, disusul sabetan keris pusaka di tangan masing-masing.
“Khiah!”
Sret!
Kulit perut makhluk itu memang terkena sabetan mereka. Tapi, sama sekali tidak mengakibatkan luka sedikit pun. Senjata mereka seperti menebas gumpalan asap tebal saja. Kenyataan itu benar-benar mengejutkan Senapati dan Tumenggung Adiguna. Padahal, keduanya belum lagi bisa mengerti, kenapa makhluk itu tiba-tiba muncul begitu saja.
Selama hidup, Senapati Wisesa maupun Tumenggung Adiguna memang belum pernah memperdalam ilmu batin tingkat tinggi. Mereka hanya terbatas mempelajari ilmu olah kanuragan yang terpusat pada pengolahan kekuatan luar. Itu sebabnya, mereka menjadi terheran-heran dengan kehadiran makhluk aneh seperti yang dihadapi kini.
Sementara itu, Andika telah jauh memasuki bangunan kekadipatenan. Pemuda itu tiba di ruang tengah besar, berlangit-langit tinggi. Di sana ditemukannya Adipati Tunggul Manik yang sudah berdiri menantang dengan sorot mata tajam. Kedua tangannya memegang sesuatu di depan dada. Dari bentuknya yang bulat telur sebesar kepalan tangan dan berwarna biru laut, dapat diduga kalau benda itu adalah Mustika Putri Terkutuk.
“Sudah kuduga sejak kedatanganmu, Pendekar Slebor! Kau memang akan menjadi penghalang segala rencanaku,” sambut Adipati Tunggul Manik dingin.
“O, ya?” timpal Andika kalem.
“Kalau begitu, aku memang benar-benar manusia pembawa sial seperti kata anak buahmu.”
Adipati Tunggul Manik menggeram.
“Kau memang pembawa sial. Tapi, percayalah. Sebentar lagi kesialan yang kau bawa akan pergi bersama nyawamu ke dasar neraka!”
“Wow-wow-wow! Tunggu dulu. Bagaimana kalau kesialan yang kubawa, justru memberimu ongkos ke liang lahat. Mungkin cacing-cacing tanah sudah begitu kangen padamu...,” ledek Andika menimpali.
Adipati Tunggul Manik mengacungkan mustika di tangannya.
“Dengan benda keramat di tanganku ini, kau memiliki kemungkinan kecil untuk menjadi pemenang!”
“Ah! Jangan bicara soal menang atau kalah! Aku tak suka pasang undian!” tukas Andika ngaco.
Merasa ucapannya tak ditanggapi sungguh-sungguh, Adipati Tunggul Manik mengangkat pangkal hidung kesal. Bibirnya tampak menyeringai gusar.
“Kenapa meringis? Belum menunaikan kewajiban, buang hajat sebelum bertarung? Hi hi hi...,” ejek Andika.
“Kau banyak mulut, Babi!” hardik Adipati Tunggul Manik.
Seketika Adipati Tunggul Manik menyerbu Andika dengan amarah membludak. Mustika ditangan kanannya langsung dihantamkan ke kepala Pendekar Slebor.
“Khiaaa!”
Wut!
Andika menghindari hantaman itu hanya dengan menggeser tubuh satu langkah ke belakang.
Luputnya serangan pertama, disusul serangan kedua. Tubuh Adipati Tunggul Manik cepat berputar dengan kaki kiri terangkat, berusaha meremukkan kepala Pendekar Slebor kembali. Kali ini, Andika tak menghindar. Namun dipapaknya tendangan berputar Adipati Tunggul Manik dengan pergelangan tangannya. Sementara tangan kirinya yang bebas, segera mengirim sodokan ke selangkangan sebagai balasan.
Tentu saja Adipati Tunggul Manik tak mau barang rahasianya pecah. Maka dengan sigap bagian terpenting dalam hidupnya itu dilindunginya dengan kedua tangan. Seketika tangan mereka berbenturan keras. Baru saja terjadi benturan, Andika sudah menyusul Adipati Tunggul Manik satu serangan lagi. Dengan tubuh merunduk, disapunya kaki adipati yang menjadi tumpuan tubuhnya. Serangan yang begitu cepat itu membuat Adipati Tunggul Manik mati langkah. Dia tidak bisa lagi mengangkat kaki yang menjadi incaran sapuan kaki Pendekar Slebor. Satu-satunya jalan hanya membuang tubuh ke belakang.
“Hiaaah!”
Dengan menggenjot satu kakinya, Adipati Tunggul Manik melenting ke udara dan berputaran kebelakang. Lalu kakinya mendarat, dan berdiri empat tombak dengan kuda-kuda mantap kembali. Pendekar Slebor tak sudi membiarkan adipati itu bernapas lega. Baru saja tubuhnya sampai di atas tanah, Andika sudah melabraknya dengan satu terkaman menggila. Dari gerakannya terlihat kalau Andika tengah mengeluarkan jurus sakti ciptaannya, ‘Memapak Petir Membabi Buta’.
Adipati Tunggul Manik benar-benar terperangah, menyaksikan jurusnya yang aneh. Bagaimana Adipati Tunggul Manik tidak menilai seperti itu, kalau gerakan yang diperlihatkan lawannya lebih mirip terjangan orang sinting yang kalap?
Belum sempat wajah keterkejutan adipati itu hilang, tangan kanan Pendekar Slebor sudah tiba di dekat wajahnya. Dan ini membuat Adipati Tunggul Manik serba salah. Maka diusahakannya untuk menyelamatkan wajah dari sampokan tangan Pendekar Slebor. Tapi tangan pemuda itu tiba-tiba saja berbelok arah ke dada. Seolah-olah tangan itu bisa berubah arah, hanya karena tiupan angin tak menentu.
“Gila! Jurus sial macam apa itu?!” maki Adipati Tunggul Manik dongkol.
“Pengumuman...! Pengumuman. Ini jurus ‘Memapak Petir Membabi Buta’! Hea ha ha ha...!” teriak Andika seraya menyambung terjangan ngawurnya.
Tubuh Pendekar Slebor mendadak terhuyung deras ke arah Adipati Tunggul Manik. Bahu kanannya siap dibenturkan ke dada. Berbareng pelototan matanya karena terkesiap, Adipati Tunggul Manik merunduk sedalam-dalamnya. Hanya itu yang bisa dilakukan, karena dia sudah berada di sudut ruangan. Saat itu, sifat berandalan Andika sebagai gelandangan kecil kotaraja muncul kembali. Dia ingin sedikit mempermainkan orang terhormat bermuka dua itu.
Maka sebelum Adipati Tunggul Manik mengubah keadaan tubuhnya yang membungkuk, Andika
mengangkat kaki kanan ke atas kepala, lalu menjejak keras-keras di atasnya. Mau tak mau Adipati Tunggul Manik makin merundukkan badan. Sampai akhirnya, dia merangkak serabutan layaknya babi tolol.
“Huh! Hus!” ledek Pendekar Slebor sambil ber-tepuk-tepuk tangan.
Namun kesempatan luang itu digunakan Adipati Tunggul Manik untuk berguling menjauhi lawan. Dan, mulutnya pun langsung memaki panjang pendek, karena merasa telah dipermainkan.
“baik-baik-baik!” maki adipati itu saat bergulingan.
“Biar-biar-biar-biaaarrr!” balas Andika tak kalah gencar.
Setelah itu, Andika tertawa terbahak-bahak keras. Puas rasanya mempermainkan seorang penguasa pengkhianat yang menganggap orang-orang kecil hanya anjing yang bisa diperalat. Adipati Tunggul Manik kini bangkit dengan wajah terbakar. Sepasang matanya berkobar-kobar merah, di puncak kemurkaan.
“Kau harus membayar perlakuan ini dengan nyawa, Keparat!” ancam lelaki setengah baya itu bergetar. Lalu diletakkannya Mustika Putri Terkutuk di dada.
“Ng.... Ngomong-ngomong, dari mana kau dapatkan benda itu?” tanya Pendekar Slebor berlagak pilon. Padahal, Andika tahu kalau adipati itu sudah siap memanfaatkan kekuatan gaib benda keramat yang dipegangnya.
“Pasti kau telah merebutnya dari tangan pemimpin Perguruan Ular Iblis. Iya, kan? Lalu, dia kau bunuh secara diam-diam. Sehingga, para muridnya tidak pernah sadar kalau mereka telah kecolongan. Dan kau pun selamat dari tuntutan dendam mereka. Setelah itu, kau bisa leluasa mengadu domba perguruan itu dengan perguruan lain...,” kata Andika, berusaha mengganggu Adipati Tunggul Manik.
“Diaaam!” bentak Adipati Tunggul Manik menggelegar.
“Wah-waaah! Sebagai seorang penguasa, kau ternyata memiliki otak encer. Sayang sekali, keenceran otakmu dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri....”
“Diaaam! Aku memang ingin berkuasa penuh di daerah ini. Aku ingin seluruh cita-citaku tercapai. Aku ingin mengeruk uang rakyat sebanyak-banyaknya, agar dapat membuat sorgaku sendiri. Tapi itu tak akan bisa kulaksanakan, kalau perguruan-perguruan itu masih tetap berdiri. Mereka pasti akan menentang tindak-tandukku. Maka, mereka harus dimusnahkan!”
Andika menggeleng-gelengkan kepala.
“Ck, ck, ck.... Tak kusangka kalau kau hanya seekor babi rakus!”
Adipati Tunggul Manik kian kalap. Rahangnya mengejang, memperlihatkan gerakan otot kegeraman di sisi wajahnya. Sedangkan bibirnya tampak bergetar hebat. Selama ini, tak ada seorang pun yang berani menghinanya seperti itu.
“Bersiaplah untuk mampus, Pemuda Busuk!” dengus Adipati Tunggul Manik mengakhiri ucapan.
Setelah itu dia memejamkan mata seraya mengangkat Mustika Putri Terkutuk ke depan wajahnya. Bibirnya tampak bergerak-gerak merapalkan mantera.
Pendekar Slebor memperhatikan perbuatan lawannya dengan kewaspadaan penuh. Hari ini, bisa disaksikannya bagaimana benda keramat itu mampu melakukan serangan biadab. Mungkin Andika harus menghadapi sebentuk kekuatan gaib yang mampu menyusup ratusan batang jarum ke dalam perutnya, seperti dialami rakyat dan orang-orang perguruan tempo hari.
Dugaan-dugaan Andika menjadi jelas, manakala selarik sinar berwarna merah bara terlontar dari Mustika Putri Terkutuk. Sesaat benda itu berputar mengelilingi tubuh Adipati Tunggul Manik, seakan menunggu aba-aba darinya. Lalu....
Nging...!
Terdengar denging halus saat cahaya merah itu meluruk menuju Pendekar Slebor. Meski belum pernah menghadapi serangan seganjil itu, namun Pendekar Slebor tak mau ayal-ayalan. Segera seluruh daya sakti ditubuhnya dikerahkan. Maka sekejap mata saja tubuhnya telah diselimuti lapisan kekuatan yang tak terlihat. Memang, benteng tembusan pandang itu sanggup menahan satu terjangan petir sekalipun.
Tapi, Andika rupanya salah perhitungan. Sewaktu menjalani penyempurnaan kedigdayaan di Lembah Kutukan, petir memang tak sanggup menembus benteng pertahanan puncaknya. Namun bagi kekuatan gaib seperti cahaya merah bara yang kini melesat cepat ke arahnya, benteng itu ternyata tidak berguna sama sekali!
Seperti menembus lapisan asap, cahaya merah milik Adipati Tunggul Manik menelusup begitu saja dalam lapisan benteng pertahanan Andika. Akibatnya, cahaya itu langsung menerjang dada bidang Pendekar Slebor. Tanpa menimbulkan suara, cahaya merah tersebut telah menghilang di dalam dada Andika.
Seketika saat itulah Pendekar Slebor merasakan seluruh bulu halus di tubuhnya meremang hebat. Saat berikutnya, dadanya mulai terasa sesak. Napasnya menjadi tersengal-sengal tak menentu. Dadanya kini terasa direncah-rencah dari dalam. Rupanya, ratusan batang jarum gaib telah menggerogoti isi tubuhnya dari dalam!
“Aaa!”
Terdengar satu lengkmgan menyayat yang terlempar dari kerongkongan Andika. Rasa sakit luar biasa yang kini diderita memaksanya berteriak kuat-kuat. Tenaga sakti yang masih dikerahkan, tanpa sadar ikut terbawa dalam teriakannya. Sehingga, membuat lapisan luar dinding beton kadipatenan menjadi retak-retak, lalu berguguran. Lampu gantung besar di tengah ruangan yang terbuat dari pualam gosok berjatuhan ke bawah. Sesaat kemudian, lampu hias itu runtuh, menimbulkan suara keras berderak ke seluruh ruangan.
Sementara itu, tubuh Pendekar Slebor berguling-gulingan di lantai ruangan. Kedua tangannya
mencengkeram dadanya sendiri dan perutnya. Otot di lehernya tampak membesar, karena erangan tertahan. Pada puncak penderitaan itu, Andika masih sempat menyadari kebenaran ‘petunjuk’ yang diterima Ki Kusuma dari wanita cantik aneh itu. Hanya seseorang yang bisa menolongnya. Seorang berkepribadian ‘kendi berisi telaga’.
“Walet! Ke mana kau?” desis Andika seiring lelehan darah kental dari bibirnya.
Seingatnya, bocah kecil itu sedang berusaha menghalau Senapati Wisesa dan Tumenggung Adiguna. Kalau anak itu mendapat kesulitan, apakah nyawanya akan berakhir di sini? Kala kesadarannya nyaris terhempas akibat deraan sakit yang begitu hebat, tiba-tiba selarik sinar hijau menyala membersit dari langit-langit ruangan. Sinar itu cepat menerabas masuk ke tubuh Pendekar Slebor.
Seketika terdengar pekikan panjang kembali. Tubuh Pendekar Slebor mengejang dengan kepala mendongak. Satu pertempuran gaib memang sedang terjadi dalam dirinya. Bahkan itu menciptakan siksaan yang lebih menggila dari sebelumnya.
Pendekar Slebor tak mampu lagi merasakan siksaan itu. Tubuhnya melemah, lalu terkulai. Belum lama Andika terdiam, tanpa gerak, dua larik sinar merah dan hijau keluar dalam keadaan menyatu. Di udara, sinar itu saling menghimpit, hingga menimbulkan sayatan-sayatan cahaya beraneka warna. Lama kejadian itu berlangsung sampai akhirnya cahaya hijau menelan habis cahaya merah membara.
Bersamaan dengan menghilangnya cahaya merah, Mustika Putri Terkutuk sirna di tangan Adipati Tunggul Manik. Lelaki itu sendiri terpental deras ke belakang, langsung menghantam tembok beton setebal tiga jengkal. Tembok itu hancur menciptakan lubang besar menganga, bersama hancurnya seluruh tulang punggung Adipati Tunggul Manik. Penguasa lalim itu tewas dengan mata terbeliak dan darah merah membasahi mulutnya.
0