- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#75
Part 7
Andika benar-benar tak menduga kalau Jiran, lelaki yang pernah disaksikannya saat dipermainkan Walet di pasar Desa Dukuh, ada di antara orang-orang bertopeng itu. Setahu dia, Jiran bukan murid Perguruan Ular Iblis.
“Tuan Pendekar mengenalku?” tanya Jiran terheran-heran.
“Bukankah kau yang hendak membunuh seorang bocah di pasar Desa Dukuh waktu itu?” Andika balik bertanya, seakan ingin meyakinkan diri.
“Maafkan aku, Tuan. Waktu itu aku khilaf,” sahut Jiran.
“Jadi benar?”
Jiran mengangguk.
“Apa hubunganmu dengan Perguruan Ular Iblis?” tanya Andika kembali.
“Tidak ada Tuan....”
Alis Andika langsung bertaut rapat. Kelihatannya ada sesuatu yang tak beres.
“Kau bersedia menceritakan padaku tentang semua yang kau ketahui?” tanya Andika, setengah
mendesak.
Jiran tak segera menjawab. Air wajahnya berubah, memperlihatkan ketakutan. Kepalanyapun menggeleng-geleng tak beraturan. Di mata Andika, lelaki itu tampak amat gelisah.
“Kau takut pada seseorang?” duga Andika.
Jiran langsung mengangguk. Matanya menebar takut-takut ke setiap penjuru, seakan sedang diintai maut.
“Ketakutan itu tak perlu disimpan. Aku akan berusaha melindungimu. Lagi pula, bukankah kau ingin bertobat? Inilah saatnya untuk membuktikan kesungguhanmu pada Tuhan. Paling tidak, kau telah berusaha menebus sedikit dosamu...,” desak Andika, berusaha menekan ketakutan Jiran.
Lama Jiran meremas-remas tangannya sendiri.
“Baiklah, Tuan Pendekar. Aku harap ini bisa menebus sedikit kesalahanku...,” desah Jiran, akhirnya.
Andika lega. Bibirnya menawarkan senyum senang pada keputusan Jiran yang berani menanggung akibat demi tobatnya.
“Silakan,” ucap Andika.
“Aku senang sekali mendengarnya.”
“Sebenarnya, seluruh bencana yang terjadi di kadipaten ini tidak ada hubungan sama sekali dengan Perguruan Ular Iblis,” Jiran memulai ceritanya.
“Perguruan itu memang tertutup dan penuh kerahasiaan, tapi tidak pernah melakukan tindak
kerusuhan....”
“Jadi, selama ini ada seseorang yang hendak memfitnah perguruan itu?” selak Andika.
“Lebih tepat, jika dikatakan hendak mengadu domba, Tuan,” lanjut Jiran.
“Orang-orang bertopeng yang menyerbu ke Perguruan Elang Hitam dan Perguruan Naga Langit, sengaja diperintah untuk meninggalkan kalung berlambang Perguruan Ular Iblis. Demikian juga, beberapa orang yang melakukan pengacauan. Mereka diperintah untuk mengenakan pakaian berlambang perguruan itu. Dengan begitu, Perguruan Ular Iblis akan makin dibenci perguruan lain di kadipaten ini. Dan setiap kejahatan yang terjadi perguruan itu akan langsung dituding sebagai pelakunya....”
“Sementara orang yang memfitnah bisa bertindak seenaknya tanpa kedoknya terbuka? Agar dia tetap dipandang bersih dan tetap aman?” selak Andika lagi.
“Benar, Tuan...,” jawab Jiran singkat.
Sesaat Andika bergumam samar. Ditepuk-tepuknya dagu dengan jemari tangan kanannya.
“Lalu, bagaimana caranya manusia keparat itu dapat melakukan pembunuhan keji, dengan memasukkan puluhan batang jarum ke dalam tubuh manusia?” lanjut Andika.
Jiran baru hendak menjawab. Tapi otak jernih Andika sudah lebih dahulu menemukan jawabannya.
“Pasti Mustika Putri Terkutuk itu!” duga Pendekar Slebor agak heran, setelah ingat pesan terakhir Ki Kusuma.
“Benar, Tuan. Bagaimana Tuan tahu tentang mustika itu?” tanya Jiran heran.
“Bagaimana mustika itu dapat digunakan untuk membunuh?” lanjut Andika, seakan tidak mendengar pertanyaan Jiran tadi.
“Kalau itu aku tidak tahu, Tuan,” jawab Jiran.
Padahal, Andika tidak mengajukan pertanyaan itu pada dirinya.
“Sekarang katakan, siapa biang keladi semua ini? Siapa dalang pembantaian keji ini?” tanya Andika dengan kata-kata tegas.
Untuk kesekian kalinya, Jiran melirik kian kemari.
“Gusti Adipati, Tuan...,” bisik Jiran amat halus, dan takut-takut.
Andika menatap Jiran dengan sinar mata tak percaya. Kelopak matanya tampak menyipit, seakan hendak membuktikan kesungguhan di wajah lelaki itu.
“Kau jangan main-main, Jiran,” tandas Pendekar Slebor setengah memojokkan.
“Apa kau pikir aku akan mudah dipermainkan?”
Jiran menggeleng-gelengkan kepala. Alis matanya terlihat merapat, untuk memperlihatkan kesungguhan ucapannya barusan.
“Kalau Tuan tidak percaya, aku bisa dilumpuhkan selama Tuan membuktikan hal itu. Kalau aku
ternyata menipu, Tuan boleh membunuhku,” tegas Jiran yakin.
Andika menarik napas. Sudut bibirnya sedikit terangkat. Dia tidak bisa lagi menganggap lelaki itu hendak menipunya. ,
“Ya, Tuhan...,” desis Andika tiba-tiba terperangah. Saat itu pula dia ingat sesuatu.
“Walet ada di kadipaten. Dan dia pernah hendak dibunuh oleh seorang berpakaian orang Perguruan Ular Iblis yang sudah pasti kaki tangan Adipati itu juga. Bocah itu kini dalam sarang harimau, dan berarti dalam bahaya besar....”
“Tuan sedang berbicara padaku?” usik Jiran pada Andika.
“Walet! Kau kenal dia, kan?”
“Jadi bocah itu masih hidup?” sergah Jiran bingung. Setahunya, anak itu telah habis direncahnya.
“Kau tahu, kenapa Adipati Tunggul Manik ingin membunuhnya?” tanya Andika tergesa, dirasuki kekhawatiran pada nasib Walet.
“Aku tidak tahu, Tuan. Hanya waktu aku dipecundangi bocah itu seminggu sebelumnya, aku melapor pada Adipati. Mendengar laporanku, Adipati Tunggul Manik tampak geram. Aku masih ingat, telapak tangannya dipukul keras. Setelah itu, dia membisikkan sesuatu pada Artabuncah....”
“Artabuncah? Lelaki yang wajahnya cacat bekas sayatan?”
“Betul, Tuan. Dia tangan kanan Adipati.”
Dugaan Andika jadi memang benar. Tapi, apa alasannya Walet hendak dibunuh? Lama Andika memikirkan pertanyaan itu, sampai akhirnya menyerah.
“Ah, sudahlah. Begini saja. Kalian lebih baik sembunyi dulu, selama aku menyelesaikan masalah ini. Aku tak ingin kalian jadi korban kejahatan Adipati Tunggul Manik,” putus Andika secepatnya.
“Aku harus segera ke kadipaten. Kawan kecilku dalam bahaya.”
“Tapi, di mana tempat yang aman bagi kami, Tuan. Seluruh kadipaten ini selalu ditempatkan mata-mata Adipati?” tukas Jiran dengan wajah pasi.
“Ng..., lebih baik kalian pergi ke Perguruan Naga Langit. Katakan, kalian adalah utusan Pendekar Slebor,” ujar Andika cepat.
“Jadi Tuan ini Pendekar Slebor?!” kata Jiran setengah berseru.
Wajah lelaki itu menampakkan keterkejutan yang amat sangat. Begitu juga kawannya. Pantas saja mereka merasa tak mampu menghadapi pendekar muda itu. Kalau Jiran menatap Andika penuh kekaguman, Andika sendiri mendadak terdiam. Benaknya terngiang kembali pesan Ki Kusuma saat teringat Perguruan Naga Langit.
“‘Kendi berisi telaga’...,” bisik Andika.
“Bukankah ibarat itu berarti seseorang yang berjasmani kecil, namun memiliki isi besar, artinya memiliki jiwa yang tangguh. Walet! Dialah orang yang dimaksud wanita cantik dalam ‘petunjuk’ Ki Kusuma, orang yang mampu membantu menghadapi kekuatan Mustika Putri Terkutuk! Pantas, Adipati Tunggul Manik hendak membunuh Walet! Ya, bocah itulah yang sanggup menghalanginya memanfaatkan kekuatan Mustika Putri Terkutuk....”
Andika mengangguk-angguk penuh kepuasan. Kemudian Pendekar Slebor pamit pada sisa pasukan bertopeng yang masih menatapnya, seperti kumpulan orang’ dungu. Sampai tubuh Andika menghilang, barulah mereka tersadar.
Kekadipatenan siang itu terlihat lengang. Dua prajurit jaga tampak berdiri tegak di sisi pintu gerbang. Angin siang berhembus sepoi-sepoi, membuat keduanya agak terkantuk. Di sekitar pagar tembok kadipaten, pepohonan bergemerisik diusik angin lalu.
Di sebuah kamar dalam bangunan kadipaten, Walet tertidur pulas. Sejak Andika pergi, bocah lelaki itu sama sekali tidak bisa memicingkan mata. Tanpa sempat tertidur, Walet terus menunggu Andika kembali. Seolah-olah, dia dapat merasakan perjuangan Andika jauh di sana.
Setelah keletihan meringkusnya habis-habisan, dia tak bisa lagi terjaga. Di kamar yang disediakan Adipati Tunggul Manik bocah itu akhirnya tertidur. Cukup lama kamar Walet tampak damai. Kuakan jendela tempat angin melintas masuk mengirim cahaya siang ke dalam kamar yang ditata apik ini. Di sebelah jendela tampak lemari besar berukir berdiri. Di sudut lain, sepasang meja dan kursi berukir terpaku bisu. Tirai putih yang menutup tempat tidur yang selama hidup baru dinikmati Walet, merambai halus ketika angin menerpa.
Semua itu tak sedikit pun menampakkan ancaman bagi Walet. Namun, tanpa disadari sepasang mata bengis tampak mengamatinya dari balik dinding. Dari sang Pengintai itulah bahaya maut siap mencengkeram jiwa Walet. Saat berikutnya, lemari besar berukir bergeser perlahan. Suara geserannya begitu halus, sehingga tak mengusik kenyenyakan tidur Walet.
Namun begitu, kalaupun suaranya terdengar lebih keras, Walet sepertinya tetap melayang dalam mimpi. Dia memang sudah begitu lelah, membuat tidurnya amat nyenyak.
Grrr...!
Setelah lemari bergeser satu tombak, terlihatlah satu lubang persegi sebesar pintu. Dari sana, seseorang muncul mengendap. Dan ternyata orang itu Adipati Tunggul Manik! Lelaki setengah baya itu kini tidak lagi mengenakan pakaian kebesaran, melainkan berpakaian jubah hitam dengan sabuk kain di bagian pinggang. Celananya berwarna hitam pula. Sedangkan kepalanya diikat kain berwarna merah darah.
Sangat hati-hati Adipati Tunggul Manik mendekati Walet. Sedikit pun tak terdengar suara kala sepasang kaki lelaki itu bersentuhan dengan lantai. Padahal dia mengenakan kasut kayu. Dengan begitu, terlihat jelas bagaimana tingginya ilmu meringankan tubuhnya.
Adipati Tunggul Manik makin dekat. Dan ketika tiba tepat di sisi tempat tidur Walet, tangan kanannya bergerak meraih sesuatu dari belakang tubuhnya.
Sret!
Keris dari baja hitam sepanjang dua jengkal kini tergenggam kuat-kuat, siap dihujamkan ke tubuh bocah kecil yang tetap tertidur pulas. Sehati-hati langkah Adipati Tunggul Manik, senjata itu diangkat tinggi-tinggi di atas tubuh Walet. Sesaat keris itu hendak dihujamkannya ke dada Walet, tiba-tiba....
“Adipati! Keluar kau!”
Terdengar bentakan keras menggelegar yang tidak hanya mengagetkan Adipati Tunggul Manik. Walet punkontan tersentak kaget, hingga terjaga. Menyaksikan calon korbannya terbangun, Adipati Tunggul Manik bergerak sigap. Hanya sekali hentak saja, tubuhnya berputar kebelakang di udara. Dalam waktu yang demikian cepat, dia sudah menghilang kembali di balik pintu rahasia sebelum Walet benar-benar sadar. Dan lemari besar di sisi jendela itu pun kembali ke tempat semula.
“Adipati! Di mana kau?!” Kembali terdengar seruan di luar.
“Hei? Bukankah itu suara Kang Andika?” gumam Walet seraya mengusap-usap kelopak matanya yang sepat.
Bergegas bocah itu bangkit, lalu meninggalkan kamar. Dia terus berlari, melewati lorong-lorong kamar. Dan setibanya di luar, bocah kecil itu berteriak girang melihat lelaki yang ditunggu-tunggunya seharian penuh telah kembali.
“Kau sudah pulang, Kang?! Wah, bawa oleh-oleh apa?!” kata Walet.
“Kesini kau!”
Bukannya menjawab, Andika malah berseru keras-keras pada Walet. Dengan wajah bersungut-sungut, Walet meng-hampiri Andika.
“Ada apa sih. Kang?! Kayaknya sewot sekali...,” gerutu bocah itu.
“Kau baik-baik saja?” tanya Andika segera, ketika Walet sampai di dekatnya.
Walet menaikkan satu sudut bibirnya. Dipandangi-nya Andika dengan bola mata terangkat keatas.
“Ya, baik-baik saja. Apa aku kelihatan seperti orang sakit lepra?” sahut Walet asal bunyi.
“Bagus! Berarti bajingan itu tidak memiliki kesempatan untuk menghabisimu....”
“Banjingan? Siapa, Kang?” tanya Walet.
Bocah itu bingung melihat sikap Andika yang begitu tegang. Matanya bahkan bergerak-gerak siaga, seakan hendak mengawasi setiap gerak mencurigakan di seluruh penjuru kekadipatenan ini.
“Pasti selama ini kau selalu waspada. Itu bagus!” lanjut Andika, tanpa mempedulikan keheranan bocah kecil di depannya.
“Selama Kang Andika pergi, aku memang tidak bisa tidur. Mataku melek terus, seperti kerbau kebanyakan kopi!”
“Kau tahu di mana Adipati Tunggul Manik?” tanya Andika lagi.
“Mana aku tahu. Tadi aku ketiduran,” sahut Walet acuh.
“Memangnya ada apa, Kang?”
Lagi-lagi Andika seperti tidak mempedulikannya.
“Adipati! Keluar kau! Apa perlu aku yang memaksamu keluar!”
Pendekar muda itu malah berseru kembali dengan tenaga penuh, membuat Walet menutup telinganya rapat-rapat.
“Kang! Oi, Kang! Apa Kakang baru dicolek setan sewot?” dengus Walet sambil mendongak ke wajah tegang Andika.
“Dan.... Kenapa dengan dua prajurit di pintu gerbang itu?” Walet mengarahkan pembicaraan ketika matanya menemukan tubuh kedua prajurit tergeletak lemah.
“Aku menotoknya,” jawab Andika singkat. Tanpa menoleh sedikit pun.
Sikap Andika itu membuat Walet mulai dongkol. Maka disikutnya lengan Andika.
“Kenapa Kakang jadi usil?” tanya Walet, setengah menggerutu.
“Kau tidak mengerti. Nanti akan kujelaskan semuanya,” sergah Andika.
“Aku maunya sekarang, Kang.”
Andika tidak menanggapi, tapi malah sibuk mengawasi bangunan kadipaten yang masih tetap sepi.
“Kaaang, aku maunya sekarang!” jerit Walet sewot.
“Diam! Ini bukan waktunya bergurau!” hardik Andika.
Terpaksa Walet menutup bibirnya rapat-rapat. Rupanya pemuda itu memang bersungguh-sungguh.
Tak lama kemudian beberapa orang muncul dari bangunan kadipaten dengan setengah berlari. Mereka menuju halaman depan, dan satu persatu berdiri menyusun pagar betis. Sehingga, terbentuklah empat baris yang terdiri dari puluhan orang. Mereka adalah para prajurit pilihan kadipaten yang ditempatkan di padepokan belakang.
Layaknya para prajurit pilihan, tubuh mereka rata-rata tegar berotot dengan dada bidang membusung penuh percaya diri. Mereka hanya mengenakan celana hitam sebatas betis yang dililit kain batik, tanpa memakai baju. Sementara rambut mereka digelung ke atas. Di tangan masing-masing tergenggam sebatang tombak serta tameng besi.
Puluhan prajurit itu siap menjalani titah junjungannya, tanpa pernah disadari kalau ternyata diumpankan untuk membela seorang berhati busuk dan bermuka dua.
“Kalian kuminta menyingkir! Jangan sampai kalian mati di tanganku hanya karena telah dibodohi Adipati,” pinta Andika.
“Tidak mungkin. Mereka adalah punggawa istana yang berkewajiban menjalani segala titah junjungannya...!” seru seseorang dari belakang barisan.
Kemudian muncul dua orang berpakaian senapati dan berpakaian tumenggung. Masing-masing bernama Senapati Wisesa dan Tumenggung Adiguna.
Senapati Wisesa berperawakan tinggi dan tegap. Dadanya yang kekar berisi, ditutup selempengan kain merah berjumbai benang warna emas di sisinya. Seperti juga para prajurit, dia mengenakan celana hitam yang dililit kain batik. Bedanya, pada ujung celananya terdapat hiasan dari benang perak. Wajah Senapati Wisesa tergolong tampan. Apalagi, mengingat usianya yang masih tiga puluh lima tahun. Kumis tebal serta cambang hitam di depan telinga, membuat penampilannya terlihat kian gagah. Rambutnya digelung ke atas dengan hiasan kepala dari perak berukir. Di tangannya terhunus keris pusaka miliknya.
Sementara Tumenggung Adiguna bertubuh agak gemuk. Badannya ditutup pakaian kebesaran seorang tumenggung. Dia berbaju dan bertopi hitam, seperti milik Adipati. Bentuk topinya yang seperti tabung meninggi itu, dihiasi garis-garis lurus berwarna emas. Begitu pula ujung-ujung bajunya, dihiasi ukiran berwarna emas. Celananya berwarna putih susu, dibalut batik dan diikat kain bergaris merah putih. Wajah Tumenggung Adiguna agak bulat, tanpa ditumbuhi kumis atau cambang bauk. Usianya cukup tua, membuat matanya agak abu-abu. Namun, wajahnya memancarkan kewibawaan tinggi. Bibirnya yang agak tipis berlawanan dengan hidungnya
yang agak tebal.
“Tuan Senapati dan Tuan Tumenggung,” mulai Andika kembali,
“Aku sangat menghormati kalian, selaku pembesar terhormat. Jadi kuharap kalian tidak menghalangiku untuk meringkus Adipati Tunggul Manik.”
“Bagaimana mungkin kami membiarkan begitu saja junjungan kami diusik orang?” sanggah Tumenggung Adiguna tegas.
“Kalian harus mempercayaiku....”
“Karena kau seorang pendekar kesohor?” selak Senapati Wisesa.
“Bukan...,” Pendekar Slebor segera menggeleng.
“Karena aku telah mendapatkan bukti kalau junjungan kalian telah melakukan makar jahat.”
“Bagaimana orang yang baru dikenal seperti dirimu bisa dipercaya, kami sudah kenal lama pada Kanjeng Adipati, selaku pemimpin yang baik,” sanggah Tumenggung Adiguna kembali.
“Kalian memang tak bisa mempercayaiku begitu saja. Aku bisa memaklumi. Tapi, izinkanlah aku meringkus Adipati dahulu. Setelah itu, baru kalian kupertemukan pada seseorang yang mengetahui jelas kejahatan tersembunyi yang dilakukannya,” tutur Andika berusaha bersabar.
“Bagaimana kami harus mempercayaimu? Bagaimana kalau kau ternyata menipu kami?” tanya Tumenggung Adiguna, lagi-lagi berusaha menyudut-kan Andika.
Andika kini benar-benar mati kutu. Bagaimanapun caranya, memang sulit menembus kesetiaan mereka pada junjungan. Apalagi, Andika tidak bisa langsung membuktikan seluruh makar Adipati Tunggul Manik. Namun begitu, Andika harus tetap meringkus Adipati Tunggul Manik untuk diserahkan pada pihak Perguruan Naga Langit.
Di lain sisi, dia tak ingin ada korban tak berdosa di pihak kadipatenan. Karena mereka sebenarnya hanya menjalankan tugas tanpa tahu apa-apa. Kini, Andika benar-benar berada dalam keadaan sulit. Seakan dia dihadapkan pada buah simalakama. Dua pilihan yang meski diambil, tapi sama-sama mengandung bahaya. Kalau bersikeras untuk meringkus Adipati Tunggul Manik, maka mau tak mau harus dihadapinya para prajurit dan Senapati Wisesa dan bersama Tumenggung Adiguna. Itu berarti mem-bahayakan jiwa mereka. Sementara, kalau usaha meringkus Adipati ditangguhkan, maka bisa saja pengkhianat rakyat itu melakukan tindakan yang bisa memakan korban lebih banyak di pihak rakyat.
“Jadi lebih baik kau segera menyingkir dari tempat ini sebelum kami bertindak,” ujar Senapati Wisesa mengancam.
Andika tidak berbuat apa-apa. Peringatan Senapati Wisesa tadi seperti tidak didengarnya. Bukan apa-apa. Andika hanya sedang diamuk kebimbangan, untuk mengambil satu keputusan. Meski dirinya dikenal sebagai pendekar berotak encer, keadaan yang dihadapinya kali ini tetap saja menyulitkan. Sikap Andika itu tentu saja memancing kegusaran Senapati Wisesa. Selaku petinggi, sikapnya harus tegas pada siapa pun. Tak peduli, orang itu pendekar yang disegani di seantero persilatan sekalipun.
“Kalau itu maumu, apa boleh buat...,” tandas senapati itu. Kemudian....
“Seraaang!”
Layaknya air bah, puluhan prajurit segera menyerbu Pendekar Slebor. Dalam sekejap mata saja, Pendekar Slebor sudah dikepung. Hanya ada satu tujuan di benak para prajurit saat itu, menunaikan tugas sebaik-baiknya.
“Hiaaat!”
Seruan perang terlontar ke udara, seiring tusukan tombak.
Wut, wut, wut!
Andika benar-benar tak menduga kalau Jiran, lelaki yang pernah disaksikannya saat dipermainkan Walet di pasar Desa Dukuh, ada di antara orang-orang bertopeng itu. Setahu dia, Jiran bukan murid Perguruan Ular Iblis.
“Tuan Pendekar mengenalku?” tanya Jiran terheran-heran.
“Bukankah kau yang hendak membunuh seorang bocah di pasar Desa Dukuh waktu itu?” Andika balik bertanya, seakan ingin meyakinkan diri.
“Maafkan aku, Tuan. Waktu itu aku khilaf,” sahut Jiran.
“Jadi benar?”
Jiran mengangguk.
“Apa hubunganmu dengan Perguruan Ular Iblis?” tanya Andika kembali.
“Tidak ada Tuan....”
Alis Andika langsung bertaut rapat. Kelihatannya ada sesuatu yang tak beres.
“Kau bersedia menceritakan padaku tentang semua yang kau ketahui?” tanya Andika, setengah
mendesak.
Jiran tak segera menjawab. Air wajahnya berubah, memperlihatkan ketakutan. Kepalanyapun menggeleng-geleng tak beraturan. Di mata Andika, lelaki itu tampak amat gelisah.
“Kau takut pada seseorang?” duga Andika.
Jiran langsung mengangguk. Matanya menebar takut-takut ke setiap penjuru, seakan sedang diintai maut.
“Ketakutan itu tak perlu disimpan. Aku akan berusaha melindungimu. Lagi pula, bukankah kau ingin bertobat? Inilah saatnya untuk membuktikan kesungguhanmu pada Tuhan. Paling tidak, kau telah berusaha menebus sedikit dosamu...,” desak Andika, berusaha menekan ketakutan Jiran.
Lama Jiran meremas-remas tangannya sendiri.
“Baiklah, Tuan Pendekar. Aku harap ini bisa menebus sedikit kesalahanku...,” desah Jiran, akhirnya.
Andika lega. Bibirnya menawarkan senyum senang pada keputusan Jiran yang berani menanggung akibat demi tobatnya.
“Silakan,” ucap Andika.
“Aku senang sekali mendengarnya.”
“Sebenarnya, seluruh bencana yang terjadi di kadipaten ini tidak ada hubungan sama sekali dengan Perguruan Ular Iblis,” Jiran memulai ceritanya.
“Perguruan itu memang tertutup dan penuh kerahasiaan, tapi tidak pernah melakukan tindak
kerusuhan....”
“Jadi, selama ini ada seseorang yang hendak memfitnah perguruan itu?” selak Andika.
“Lebih tepat, jika dikatakan hendak mengadu domba, Tuan,” lanjut Jiran.
“Orang-orang bertopeng yang menyerbu ke Perguruan Elang Hitam dan Perguruan Naga Langit, sengaja diperintah untuk meninggalkan kalung berlambang Perguruan Ular Iblis. Demikian juga, beberapa orang yang melakukan pengacauan. Mereka diperintah untuk mengenakan pakaian berlambang perguruan itu. Dengan begitu, Perguruan Ular Iblis akan makin dibenci perguruan lain di kadipaten ini. Dan setiap kejahatan yang terjadi perguruan itu akan langsung dituding sebagai pelakunya....”
“Sementara orang yang memfitnah bisa bertindak seenaknya tanpa kedoknya terbuka? Agar dia tetap dipandang bersih dan tetap aman?” selak Andika lagi.
“Benar, Tuan...,” jawab Jiran singkat.
Sesaat Andika bergumam samar. Ditepuk-tepuknya dagu dengan jemari tangan kanannya.
“Lalu, bagaimana caranya manusia keparat itu dapat melakukan pembunuhan keji, dengan memasukkan puluhan batang jarum ke dalam tubuh manusia?” lanjut Andika.
Jiran baru hendak menjawab. Tapi otak jernih Andika sudah lebih dahulu menemukan jawabannya.
“Pasti Mustika Putri Terkutuk itu!” duga Pendekar Slebor agak heran, setelah ingat pesan terakhir Ki Kusuma.
“Benar, Tuan. Bagaimana Tuan tahu tentang mustika itu?” tanya Jiran heran.
“Bagaimana mustika itu dapat digunakan untuk membunuh?” lanjut Andika, seakan tidak mendengar pertanyaan Jiran tadi.
“Kalau itu aku tidak tahu, Tuan,” jawab Jiran.
Padahal, Andika tidak mengajukan pertanyaan itu pada dirinya.
“Sekarang katakan, siapa biang keladi semua ini? Siapa dalang pembantaian keji ini?” tanya Andika dengan kata-kata tegas.
Untuk kesekian kalinya, Jiran melirik kian kemari.
“Gusti Adipati, Tuan...,” bisik Jiran amat halus, dan takut-takut.
Andika menatap Jiran dengan sinar mata tak percaya. Kelopak matanya tampak menyipit, seakan hendak membuktikan kesungguhan di wajah lelaki itu.
“Kau jangan main-main, Jiran,” tandas Pendekar Slebor setengah memojokkan.
“Apa kau pikir aku akan mudah dipermainkan?”
Jiran menggeleng-gelengkan kepala. Alis matanya terlihat merapat, untuk memperlihatkan kesungguhan ucapannya barusan.
“Kalau Tuan tidak percaya, aku bisa dilumpuhkan selama Tuan membuktikan hal itu. Kalau aku
ternyata menipu, Tuan boleh membunuhku,” tegas Jiran yakin.
Andika menarik napas. Sudut bibirnya sedikit terangkat. Dia tidak bisa lagi menganggap lelaki itu hendak menipunya. ,
“Ya, Tuhan...,” desis Andika tiba-tiba terperangah. Saat itu pula dia ingat sesuatu.
“Walet ada di kadipaten. Dan dia pernah hendak dibunuh oleh seorang berpakaian orang Perguruan Ular Iblis yang sudah pasti kaki tangan Adipati itu juga. Bocah itu kini dalam sarang harimau, dan berarti dalam bahaya besar....”
“Tuan sedang berbicara padaku?” usik Jiran pada Andika.
“Walet! Kau kenal dia, kan?”
“Jadi bocah itu masih hidup?” sergah Jiran bingung. Setahunya, anak itu telah habis direncahnya.
“Kau tahu, kenapa Adipati Tunggul Manik ingin membunuhnya?” tanya Andika tergesa, dirasuki kekhawatiran pada nasib Walet.
“Aku tidak tahu, Tuan. Hanya waktu aku dipecundangi bocah itu seminggu sebelumnya, aku melapor pada Adipati. Mendengar laporanku, Adipati Tunggul Manik tampak geram. Aku masih ingat, telapak tangannya dipukul keras. Setelah itu, dia membisikkan sesuatu pada Artabuncah....”
“Artabuncah? Lelaki yang wajahnya cacat bekas sayatan?”
“Betul, Tuan. Dia tangan kanan Adipati.”
Dugaan Andika jadi memang benar. Tapi, apa alasannya Walet hendak dibunuh? Lama Andika memikirkan pertanyaan itu, sampai akhirnya menyerah.
“Ah, sudahlah. Begini saja. Kalian lebih baik sembunyi dulu, selama aku menyelesaikan masalah ini. Aku tak ingin kalian jadi korban kejahatan Adipati Tunggul Manik,” putus Andika secepatnya.
“Aku harus segera ke kadipaten. Kawan kecilku dalam bahaya.”
“Tapi, di mana tempat yang aman bagi kami, Tuan. Seluruh kadipaten ini selalu ditempatkan mata-mata Adipati?” tukas Jiran dengan wajah pasi.
“Ng..., lebih baik kalian pergi ke Perguruan Naga Langit. Katakan, kalian adalah utusan Pendekar Slebor,” ujar Andika cepat.
“Jadi Tuan ini Pendekar Slebor?!” kata Jiran setengah berseru.
Wajah lelaki itu menampakkan keterkejutan yang amat sangat. Begitu juga kawannya. Pantas saja mereka merasa tak mampu menghadapi pendekar muda itu. Kalau Jiran menatap Andika penuh kekaguman, Andika sendiri mendadak terdiam. Benaknya terngiang kembali pesan Ki Kusuma saat teringat Perguruan Naga Langit.
“‘Kendi berisi telaga’...,” bisik Andika.
“Bukankah ibarat itu berarti seseorang yang berjasmani kecil, namun memiliki isi besar, artinya memiliki jiwa yang tangguh. Walet! Dialah orang yang dimaksud wanita cantik dalam ‘petunjuk’ Ki Kusuma, orang yang mampu membantu menghadapi kekuatan Mustika Putri Terkutuk! Pantas, Adipati Tunggul Manik hendak membunuh Walet! Ya, bocah itulah yang sanggup menghalanginya memanfaatkan kekuatan Mustika Putri Terkutuk....”
Andika mengangguk-angguk penuh kepuasan. Kemudian Pendekar Slebor pamit pada sisa pasukan bertopeng yang masih menatapnya, seperti kumpulan orang’ dungu. Sampai tubuh Andika menghilang, barulah mereka tersadar.
***
Kekadipatenan siang itu terlihat lengang. Dua prajurit jaga tampak berdiri tegak di sisi pintu gerbang. Angin siang berhembus sepoi-sepoi, membuat keduanya agak terkantuk. Di sekitar pagar tembok kadipaten, pepohonan bergemerisik diusik angin lalu.
Di sebuah kamar dalam bangunan kadipaten, Walet tertidur pulas. Sejak Andika pergi, bocah lelaki itu sama sekali tidak bisa memicingkan mata. Tanpa sempat tertidur, Walet terus menunggu Andika kembali. Seolah-olah, dia dapat merasakan perjuangan Andika jauh di sana.
Setelah keletihan meringkusnya habis-habisan, dia tak bisa lagi terjaga. Di kamar yang disediakan Adipati Tunggul Manik bocah itu akhirnya tertidur. Cukup lama kamar Walet tampak damai. Kuakan jendela tempat angin melintas masuk mengirim cahaya siang ke dalam kamar yang ditata apik ini. Di sebelah jendela tampak lemari besar berukir berdiri. Di sudut lain, sepasang meja dan kursi berukir terpaku bisu. Tirai putih yang menutup tempat tidur yang selama hidup baru dinikmati Walet, merambai halus ketika angin menerpa.
Semua itu tak sedikit pun menampakkan ancaman bagi Walet. Namun, tanpa disadari sepasang mata bengis tampak mengamatinya dari balik dinding. Dari sang Pengintai itulah bahaya maut siap mencengkeram jiwa Walet. Saat berikutnya, lemari besar berukir bergeser perlahan. Suara geserannya begitu halus, sehingga tak mengusik kenyenyakan tidur Walet.
Namun begitu, kalaupun suaranya terdengar lebih keras, Walet sepertinya tetap melayang dalam mimpi. Dia memang sudah begitu lelah, membuat tidurnya amat nyenyak.
Grrr...!
Setelah lemari bergeser satu tombak, terlihatlah satu lubang persegi sebesar pintu. Dari sana, seseorang muncul mengendap. Dan ternyata orang itu Adipati Tunggul Manik! Lelaki setengah baya itu kini tidak lagi mengenakan pakaian kebesaran, melainkan berpakaian jubah hitam dengan sabuk kain di bagian pinggang. Celananya berwarna hitam pula. Sedangkan kepalanya diikat kain berwarna merah darah.
Sangat hati-hati Adipati Tunggul Manik mendekati Walet. Sedikit pun tak terdengar suara kala sepasang kaki lelaki itu bersentuhan dengan lantai. Padahal dia mengenakan kasut kayu. Dengan begitu, terlihat jelas bagaimana tingginya ilmu meringankan tubuhnya.
Adipati Tunggul Manik makin dekat. Dan ketika tiba tepat di sisi tempat tidur Walet, tangan kanannya bergerak meraih sesuatu dari belakang tubuhnya.
Sret!
Keris dari baja hitam sepanjang dua jengkal kini tergenggam kuat-kuat, siap dihujamkan ke tubuh bocah kecil yang tetap tertidur pulas. Sehati-hati langkah Adipati Tunggul Manik, senjata itu diangkat tinggi-tinggi di atas tubuh Walet. Sesaat keris itu hendak dihujamkannya ke dada Walet, tiba-tiba....
“Adipati! Keluar kau!”
Terdengar bentakan keras menggelegar yang tidak hanya mengagetkan Adipati Tunggul Manik. Walet punkontan tersentak kaget, hingga terjaga. Menyaksikan calon korbannya terbangun, Adipati Tunggul Manik bergerak sigap. Hanya sekali hentak saja, tubuhnya berputar kebelakang di udara. Dalam waktu yang demikian cepat, dia sudah menghilang kembali di balik pintu rahasia sebelum Walet benar-benar sadar. Dan lemari besar di sisi jendela itu pun kembali ke tempat semula.
“Adipati! Di mana kau?!” Kembali terdengar seruan di luar.
“Hei? Bukankah itu suara Kang Andika?” gumam Walet seraya mengusap-usap kelopak matanya yang sepat.
Bergegas bocah itu bangkit, lalu meninggalkan kamar. Dia terus berlari, melewati lorong-lorong kamar. Dan setibanya di luar, bocah kecil itu berteriak girang melihat lelaki yang ditunggu-tunggunya seharian penuh telah kembali.
“Kau sudah pulang, Kang?! Wah, bawa oleh-oleh apa?!” kata Walet.
“Kesini kau!”
Bukannya menjawab, Andika malah berseru keras-keras pada Walet. Dengan wajah bersungut-sungut, Walet meng-hampiri Andika.
“Ada apa sih. Kang?! Kayaknya sewot sekali...,” gerutu bocah itu.
“Kau baik-baik saja?” tanya Andika segera, ketika Walet sampai di dekatnya.
Walet menaikkan satu sudut bibirnya. Dipandangi-nya Andika dengan bola mata terangkat keatas.
“Ya, baik-baik saja. Apa aku kelihatan seperti orang sakit lepra?” sahut Walet asal bunyi.
“Bagus! Berarti bajingan itu tidak memiliki kesempatan untuk menghabisimu....”
“Banjingan? Siapa, Kang?” tanya Walet.
Bocah itu bingung melihat sikap Andika yang begitu tegang. Matanya bahkan bergerak-gerak siaga, seakan hendak mengawasi setiap gerak mencurigakan di seluruh penjuru kekadipatenan ini.
“Pasti selama ini kau selalu waspada. Itu bagus!” lanjut Andika, tanpa mempedulikan keheranan bocah kecil di depannya.
“Selama Kang Andika pergi, aku memang tidak bisa tidur. Mataku melek terus, seperti kerbau kebanyakan kopi!”
“Kau tahu di mana Adipati Tunggul Manik?” tanya Andika lagi.
“Mana aku tahu. Tadi aku ketiduran,” sahut Walet acuh.
“Memangnya ada apa, Kang?”
Lagi-lagi Andika seperti tidak mempedulikannya.
“Adipati! Keluar kau! Apa perlu aku yang memaksamu keluar!”
Pendekar muda itu malah berseru kembali dengan tenaga penuh, membuat Walet menutup telinganya rapat-rapat.
“Kang! Oi, Kang! Apa Kakang baru dicolek setan sewot?” dengus Walet sambil mendongak ke wajah tegang Andika.
“Dan.... Kenapa dengan dua prajurit di pintu gerbang itu?” Walet mengarahkan pembicaraan ketika matanya menemukan tubuh kedua prajurit tergeletak lemah.
“Aku menotoknya,” jawab Andika singkat. Tanpa menoleh sedikit pun.
Sikap Andika itu membuat Walet mulai dongkol. Maka disikutnya lengan Andika.
“Kenapa Kakang jadi usil?” tanya Walet, setengah menggerutu.
“Kau tidak mengerti. Nanti akan kujelaskan semuanya,” sergah Andika.
“Aku maunya sekarang, Kang.”
Andika tidak menanggapi, tapi malah sibuk mengawasi bangunan kadipaten yang masih tetap sepi.
“Kaaang, aku maunya sekarang!” jerit Walet sewot.
“Diam! Ini bukan waktunya bergurau!” hardik Andika.
Terpaksa Walet menutup bibirnya rapat-rapat. Rupanya pemuda itu memang bersungguh-sungguh.
Tak lama kemudian beberapa orang muncul dari bangunan kadipaten dengan setengah berlari. Mereka menuju halaman depan, dan satu persatu berdiri menyusun pagar betis. Sehingga, terbentuklah empat baris yang terdiri dari puluhan orang. Mereka adalah para prajurit pilihan kadipaten yang ditempatkan di padepokan belakang.
Layaknya para prajurit pilihan, tubuh mereka rata-rata tegar berotot dengan dada bidang membusung penuh percaya diri. Mereka hanya mengenakan celana hitam sebatas betis yang dililit kain batik, tanpa memakai baju. Sementara rambut mereka digelung ke atas. Di tangan masing-masing tergenggam sebatang tombak serta tameng besi.
Puluhan prajurit itu siap menjalani titah junjungannya, tanpa pernah disadari kalau ternyata diumpankan untuk membela seorang berhati busuk dan bermuka dua.
“Kalian kuminta menyingkir! Jangan sampai kalian mati di tanganku hanya karena telah dibodohi Adipati,” pinta Andika.
“Tidak mungkin. Mereka adalah punggawa istana yang berkewajiban menjalani segala titah junjungannya...!” seru seseorang dari belakang barisan.
Kemudian muncul dua orang berpakaian senapati dan berpakaian tumenggung. Masing-masing bernama Senapati Wisesa dan Tumenggung Adiguna.
Senapati Wisesa berperawakan tinggi dan tegap. Dadanya yang kekar berisi, ditutup selempengan kain merah berjumbai benang warna emas di sisinya. Seperti juga para prajurit, dia mengenakan celana hitam yang dililit kain batik. Bedanya, pada ujung celananya terdapat hiasan dari benang perak. Wajah Senapati Wisesa tergolong tampan. Apalagi, mengingat usianya yang masih tiga puluh lima tahun. Kumis tebal serta cambang hitam di depan telinga, membuat penampilannya terlihat kian gagah. Rambutnya digelung ke atas dengan hiasan kepala dari perak berukir. Di tangannya terhunus keris pusaka miliknya.
Sementara Tumenggung Adiguna bertubuh agak gemuk. Badannya ditutup pakaian kebesaran seorang tumenggung. Dia berbaju dan bertopi hitam, seperti milik Adipati. Bentuk topinya yang seperti tabung meninggi itu, dihiasi garis-garis lurus berwarna emas. Begitu pula ujung-ujung bajunya, dihiasi ukiran berwarna emas. Celananya berwarna putih susu, dibalut batik dan diikat kain bergaris merah putih. Wajah Tumenggung Adiguna agak bulat, tanpa ditumbuhi kumis atau cambang bauk. Usianya cukup tua, membuat matanya agak abu-abu. Namun, wajahnya memancarkan kewibawaan tinggi. Bibirnya yang agak tipis berlawanan dengan hidungnya
yang agak tebal.
“Tuan Senapati dan Tuan Tumenggung,” mulai Andika kembali,
“Aku sangat menghormati kalian, selaku pembesar terhormat. Jadi kuharap kalian tidak menghalangiku untuk meringkus Adipati Tunggul Manik.”
“Bagaimana mungkin kami membiarkan begitu saja junjungan kami diusik orang?” sanggah Tumenggung Adiguna tegas.
“Kalian harus mempercayaiku....”
“Karena kau seorang pendekar kesohor?” selak Senapati Wisesa.
“Bukan...,” Pendekar Slebor segera menggeleng.
“Karena aku telah mendapatkan bukti kalau junjungan kalian telah melakukan makar jahat.”
“Bagaimana orang yang baru dikenal seperti dirimu bisa dipercaya, kami sudah kenal lama pada Kanjeng Adipati, selaku pemimpin yang baik,” sanggah Tumenggung Adiguna kembali.
“Kalian memang tak bisa mempercayaiku begitu saja. Aku bisa memaklumi. Tapi, izinkanlah aku meringkus Adipati dahulu. Setelah itu, baru kalian kupertemukan pada seseorang yang mengetahui jelas kejahatan tersembunyi yang dilakukannya,” tutur Andika berusaha bersabar.
“Bagaimana kami harus mempercayaimu? Bagaimana kalau kau ternyata menipu kami?” tanya Tumenggung Adiguna, lagi-lagi berusaha menyudut-kan Andika.
Andika kini benar-benar mati kutu. Bagaimanapun caranya, memang sulit menembus kesetiaan mereka pada junjungan. Apalagi, Andika tidak bisa langsung membuktikan seluruh makar Adipati Tunggul Manik. Namun begitu, Andika harus tetap meringkus Adipati Tunggul Manik untuk diserahkan pada pihak Perguruan Naga Langit.
Di lain sisi, dia tak ingin ada korban tak berdosa di pihak kadipatenan. Karena mereka sebenarnya hanya menjalankan tugas tanpa tahu apa-apa. Kini, Andika benar-benar berada dalam keadaan sulit. Seakan dia dihadapkan pada buah simalakama. Dua pilihan yang meski diambil, tapi sama-sama mengandung bahaya. Kalau bersikeras untuk meringkus Adipati Tunggul Manik, maka mau tak mau harus dihadapinya para prajurit dan Senapati Wisesa dan bersama Tumenggung Adiguna. Itu berarti mem-bahayakan jiwa mereka. Sementara, kalau usaha meringkus Adipati ditangguhkan, maka bisa saja pengkhianat rakyat itu melakukan tindakan yang bisa memakan korban lebih banyak di pihak rakyat.
“Jadi lebih baik kau segera menyingkir dari tempat ini sebelum kami bertindak,” ujar Senapati Wisesa mengancam.
Andika tidak berbuat apa-apa. Peringatan Senapati Wisesa tadi seperti tidak didengarnya. Bukan apa-apa. Andika hanya sedang diamuk kebimbangan, untuk mengambil satu keputusan. Meski dirinya dikenal sebagai pendekar berotak encer, keadaan yang dihadapinya kali ini tetap saja menyulitkan. Sikap Andika itu tentu saja memancing kegusaran Senapati Wisesa. Selaku petinggi, sikapnya harus tegas pada siapa pun. Tak peduli, orang itu pendekar yang disegani di seantero persilatan sekalipun.
“Kalau itu maumu, apa boleh buat...,” tandas senapati itu. Kemudian....
“Seraaang!”
Layaknya air bah, puluhan prajurit segera menyerbu Pendekar Slebor. Dalam sekejap mata saja, Pendekar Slebor sudah dikepung. Hanya ada satu tujuan di benak para prajurit saat itu, menunaikan tugas sebaik-baiknya.
“Hiaaat!”
Seruan perang terlontar ke udara, seiring tusukan tombak.
Wut, wut, wut!
0