Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#73
Part 5

Tak puas membabat satu orang, pemuda dari Perguruan Naga Langit melabrak lawan berikutnya. Serangan pertama yang membawa hasil tak terduga tadi, membuatnya makin bersemangat dan menggila menggempur lawan. Dengan satu terkaman pemuda itu berusaha menyambar salah seorang lawan di sisi kanan.

“Hiaaa!”

Namun tentu saja lelaki bertopeng yang menjadi sasaran tak ingin mengalami nasib serupa kawannya. Terkaman pemuda itu segera dihindarinya dengan membuang tubuh ke belakang. Sambil melempar tubuh, kaki kanannya terangkat tinggi-tinggi ke perut pemuda dari Perguruan Naga Langit yang masih di udara.

Begkh!
“Akh!”

Bersama satu erangan pendek, pemuda dari Perguruan Naga Langit itu terpental lebih tinggi keudara. Setelah itu, tubuhnya jatuh menghantam bumi. Isi perutnya yang terasa bagai diaduk-aduk oleh tangan-tangan raksasa, membuatnya berguling-gulingan di tanah berlumpur. Seluruh tubuhnya langsung berlumur tanah kecoklat-coklatan. Demikian juga kedua tangannya. Dan keadaan itu membuat telapak tangannya menjadi licin. Akibatnya, senjatanya langsung terlepas.

Kesempatan baik itu tak disia-siakan tiga lelaki bertopeng yang masih berdiri siaga. Serentak mereka menyerbu pemuda nekat itu. Tiga batang tombak setajam taring iblis terayun di udara, siap merencah tubuhnya yang masih bergelinjang di tanah.

“Hiaaa!”
“Mampus kau baik busuk!”
“Kini kau akan menebus nyawa kawan kami!”

***


Ketika sekejap lagi senjata-senjata tiga orang bertopeng memangsa tubuh pemuda dari Perguruan Naga Langit, tiba-tiba....

Wusss!

Mendadak terdengar suara keras menderu. Lalu....

Trang, trang, trang!

Tahu-tahu ketiga tombak lelaki bertopeng itu berterbangan ke udara dalam keadaan terbelah dua. Kejadian tak terduga sama sekali ini, membuat tiga orang bertopeng tersentak. Sementara itu, tangan mereka terasa berdenyar-denyar nyeri.

“Apakah kalian ini anjing-anjing lapar yang memperebutkan sepotong tulang? Sungguh tak tahu malu mengeroyok pemuda yang tak berdaya itu? Di mana muka kalian ditaruh? Di pantat?” cecar seorang pemuda tampan berbaju hijau yang baru datang.

Wajahnya tampak bersungut-sungut. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Andika, pendekar yang memiliki seribu satu tingkah slebor.

“Keparat! Jangan cari mampus kau!” bentak salah seorang bertopeng.

“Kalau aku cari mampus, kenapa senjata kalian kubuat terpental seperti itu? Kasihan-kasihan.... Di samping tidak punya muka, kalian ini juga tidak punya otak,” cemooh Andika.

“Tutup bacotmu!”

“Dan di samping tidak punya otak, kalian juga tidak punya perasaan,” tambah Andika, makin memanas-manasi.

“Diam! Diam! Diam!”

“Dan..., di samping tidak punya perasaan, kalian juga tidak punya... he... he,” Andika terkekeh.

Saat memapak senjata ketiga lelaki bertopeng dengan kain pusakanya tadi, dia rupanya sempat pula melucuti celana mereka.

“Kalian juga tidak punya celana lagi... hi... hi... hi.”

Mendadak ketiga lelaki bertopeng itu melirik celana mereka berbarengan. Benar saja! Celana mereka ternyata sudah hilang entah ke mana!

“Nah! Aku rasa urusan dengan kalian cukup sampai di sini. Izinkanlah aku pergi bersama lawan kalian ini,” ujar Andika lagi.

Kemudian Andika berkelebat cepat bagai bayangan hantu, setelah menyambar tubuh pemuda dari Perguruan Naga Langit. Ditinggalkannya tempat itu, sekaligus tiga lelaki bertopeng yang sibuk mengumpat-umpat karena merasa begitu bodoh telah dipermainkan seseorang tak dikenal. Sementara seorang bertopeng lain yang tak kebagian kerjaan usil Pendekar Slebor, hanya menatap ketiga kawannya tak mengerti.

***


Pendekar Slebor memapah pemuda dari Perguruan Naga Lagit yang ditolongnya. Pemuda yang mengaku bernama Senaaji kemudian menceritakan kejadian yang sebenarnya, kenapa orang-orang Perguruan Naga Langit sampai bertarung melawan orang-orang bertopeng itu. Menurut Senaaji, waktu itu Perguruan Naga Langit tengah dirundung suasana berkabung. Seluruh murid berkumpul di ruang khusus guru mereka yang bernama Ki Kusuma.

Seminggu, belakangan, perguruan ini dilanda kejadian aneh yang mengerikan. Setiap malam, beberapa murid mendadak jatuh sakit, memuntahkan darah segar. Lebih mengerikan lagi, pada muntahan darah mereka terserak puluhan batang jarum. Setelah memakan banyak korban dari murid perguruan, malam itu pun Ki Kusuma menderita penyakit aneh pula. Dan hal ini menyebabkan murid-murid Perguruan Naga Langit jadi begitu khawatir. Dan akhirnya berkumpul di sekitar pembaringan Ki Kusuma.

Saat mereka lengah, lima lelaki bertopeng menyelinap masuk untuk menjarah benda-benda pusaka di ruang penyimpanan. Namun sebelum sempat membawa lari benda-benda pusaka termasuk kitab kesaktian Perguruan Naga Langit, seorang murid memergoki mereka. Maka terjadilah pertempuran maut di halaman perguruan yang membawa korban lima murid perguruan.

Ketika kelima lelaki bertopeng melarikan diri, dua belas murid segera melakukan pengejaran. Sampai akhirnya terjadi pertarungan yang menyebabkan dua orang murid Perguruan Naga Langit gugur, sedangkan sembilan lainnya melarikan diri. Maka tinggalah Senaaji sendiri sampai akhirnya ditolong oleh Pendekar Slebor.

Kini Pendekar Slebor dan Senaaji tiba di halaman depan Perguruan Naga Langit. Di halaman yang cukup luas ini lima mayat murid Perguruan Naga Langit masih tergeletak bermandikan darah.

“Mari kita langsung masuk ke ruang semadi guru, Tuan Pendekar,” ajak Senaaji.

Pemuda itu masuk lebih dahulu, baru kemudian diikuti Andika. Setelah melewati lorong kamar-kamar perguruan, nanti mereka akan tiba di ruang khusus Ki Kusuma. Memasuki kelokan lorong, keduanya berpapasan dengan seorang murid yang lari tergegas-gesa.

“Ada apa, Kang Dirun?” tanya Senaaji was-was karena melihat gelagat tak baik di wajah lelaki itu.

“Guru.... Guru!” jawab murid bernama Dirun itu terbata.

“Beliau sedang sekarat! Kau mesti cepat menemuinya, Senaaji! Aku mau memberi tahu murid-murid yang sedang berjaga di ruang penyimpanan benda pusaka!”

Bagai diberi aba-aba, Senaaji dan Dirun berlari ke arah berlawanan. Sedangkan Andika terus
mengikuti Senaaji dari belakang. Setibanya di ruang khusus gurunya, Senaaji menyeruak di antara puluhan murid yang berkerumun di sana.

“Guru!” teriak Senaaji tatkala tiba di sisi pembaringan Ki Kusuma.
“Bertahanlah, Guru. Kau pasti akan sembuh,” suara Senaaji terdengar lirih, dibebani duka.

Sementara yang diajak bicara sama sekali tidak memberi tanggapan.

“Kalian kenapa berkumpul di sini?! Bubar. Beri Guru udara segar!” hardik Senaaji kemudian pada murid-murid yang lain sambil menoleh ke belakang.

Senaaji tak peduli lagi, apakah di antara mereka kakak-kakak seperguruannya atau tidak. Di hanya ingin udara di ruang yang tak terlalu besar itu, tidak jadi penat.

“Beri jalan pada Pendekar Slebor!” sambung pemuda itu ketika mendapati Andika masih berdiri di pintu ruangan.

Pendekar Slebor? Para murid yang lain langsung bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tak dinyana sama sekali kalau tokoh besar seperti Pendekar Slebor akan mengunjungi perguruan mereka. Seraya melangkah teratur untuk keluar ruangan, mereka menjura pada Andika sebagai salam penghormatan.

Mata mereka terus menatap Andika lekat-lekat, karena telah salah terka. Selama ini pendekar yang menggemparkan dunia persilatan itu dianggap seorang lelaki setengah baya berwibawa. Tapi yang disaksikan kali ini adalah seorang pemuda ber-penampilan acuh, namun ramah. Sama sekali di luar perkiraan mereka!

Sementara, Andika membalas penghormatan itu dengan menjura pula. Sikap yang ramah harus dibalas dengan ramah pula. Meskipun sudah masuk dalam jajaran tokoh kalangan atas dunia persilatan, toh di dalam semesta yang luas tak terbatas ini Andika hanya setitik debu tak berarti.

Seseorang maju ke depan Andika. Dia murid tertua di perguruan itu. Namanya, Subali penampilannya gagah berwibawa. Berkumis dan beralis lebat dan hitam. Rambutnya yang ikal sebatas bahu diikat kain coklat, warna perguruan mereka.

“Salam hormat, Tuan Pendekar. Selamat datang di perguruan kami,” ucap Subali.
“Maafkan, kami tak menyambut selayaknya, karena keadaan mempri-hatinkan yang menimpa kami.”

“Tak apa-apa, Kisanak. Kedatanganku ke sini justru ingin mengetahui kejadian yang sebenarnya. Sekaligus, untuk menjenguk guru kalian,” kata Andika.

“Subali, biarkan tamu kita menemuiku,” terdengar suara Ki Kusuma seperti keluhan panjang bergetar.

“Aku ingin berbicara.... Padanya....”

Subali mempersilakan Andika.

“Ada apa, Ki?” tanya Andika seraya mendekati Ki Kusuma.

Di sisi Senaaji, Andika bersimpuh. Ditunggunya kata-kata lemah Ki Kusuma yang akan disampaikan.

“Bolehkah aku berwasiat padamu, Anak Muda?” Ki Kusuma memulai, namun tersendat-sendat.

Mata lelaki tua itu tampak sayu tak bercahaya, dirangsek penyakit aneh. Di sela-sela janggut putih di sudut bibirnya terdapat darah mengering. Dan Andika hanya mengangguk. Dia tahu isyarat itu cukup bagi Ki Kusuma sebagai tanda setuju.

“Kadipaten Karangwaja sedang dilanda bencana mengerikan. Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, karena ajalku sudah semakin dekat. Sebelum kau datang, aku didatangi seorang wanita secara gaib. Dalam sekaratku, dia memberi ‘petunjuk’ padaku, bahwa kaulah yang dapat melepaskan kadipaten ini dari bencana. Namun terlebih dahulu kau harus meminta bantuan seorang yang pribadinya ibarat ‘kendi berisi telaga’. Kujungilah dua perguruan malam ini juga...,” ucapan terpatah-patah Ki Kusuma terhenti.

“Perguruan apa saja, Ki?” desak Andika.

Pendekar Slebor ingin mengetahui lebih jelas, tapi lelaki tua Pemimpin Perguruan Naga Langit itu sudah menghembuskan napas terakhir.

“Guru.... Guru,” Senaaji tersentak.

Senaaji yang begitu mencintai gurunya memanggil-manggil nama Ki Kusuma dalam sesenggukan. Sementara Subali menundukkan kepala dalam-dalam. Di samping rasa kehilangan merayapi batinnya, dia juga merasa beban yang amat berat siap menantinya selaku murid tertua. Dan tentu saja Subali akan meneruskan kepemimpinan Perguruan Naga Langit.

Seperti juga Subali, murid-murid lain di luar ruang semadi juga tertunduk penuh rasa duka. Sementara itu, Andika justru tengah berpikir keras tentang wasiat terakhir Ki Kusuma. Ucapannya seperti pesan terselubung, seperti satu teka-teki yang menuntut jawaban tepat dan cepat. Mengingat, keadaan gawat kini menimpa Kadipaten Karangwaja. Setiap saat bisa berarti satu nyawa!

“Aku turut berdukacita atas kematian guru kalian,” ucap Andika setelah tersadar dari kecamuk pikirannya.

“Lebih baik kalian segera mengurus jenazah Ki Kusuma dan kawan-kawan yang meninggal di halaman depan. Dan sungguh menyesal aku tidak bisa mengikuti upacara pemakaman, mengingat pesan terakhir Ki Kusuma agar aku segera berangkat malam ini juga.”

Bersama satu tarikan napas penyesalan, Andika segera mohon pamit.

“Tuan Pendekar,” cegah Subali, saat Andika beru saja hendak beranjak.

“Ada sesuatu yang hendak kusampaikan. Mari....”

Subali mengajak Andika meninggalkan ruang khusus itu. Mereka lantas berjalan beriringan. Setibanya di lorong kamar-kamar perguruan, barulah Subali memulai.

“Sewaktu lima orang bertopeng melakukan perampokan tadi, aku berusaha meringkus mereka
bersama murid lain. Tanpa sengaja, kalung salah seorang lelaki bertopeng terjatuh, dan kutemukan.”

Subali mengeluarkan kalung yang dikatakannya dari balik baju.

“Ini Tuan Pendekar,” kata Subali.

Kalung telah berpindah tangan. Kini Andika mengamati dengan teliti benda itu. Mata kalung itu berbentuk lempengan bundar dengan gambar seekor ular bertaring besar.

“Hey? Bukankah ini lambang Perguruan Ular Iblis?” cetus Andika.
“Benar, Tuan Pendekar,” sahut Subali cepat.

“Tolong panggil aku Andika saja, Kang Subali. Aku terlalu risih bila disebut Tuan,” pinta Andika,
membetulkan panggilan Subali terhadap dirinya.

“Mmm, bisa Kakang ceritakan tentang perguruan itu?”
“Tidak banyak yang kutahu tentang Perguruan Ular Iblis, ng.... Andika. Perguruan itu begitu tertutup, seakan diselimuti tabir rahasia. Namun ada sesuatu yang sempat kuketahui dari cerita guru kami....”

“Apa itu?”

Sesaat Subali mengisi penuh-penuh paru-parunya dengan udara.

“Ki Kusuma serta dua kawan seperjuangannya pernah bentrok dengan pemimpin perguruan itu kurang lebih tiga puluh lima tahun yang lalu. Waktu itu mereka masing-masing belum mendirikan perguruan.”

“Sebabnya?” tanya Andika lagi.

“Aku tak tahu jelas. Namun kudengar, bentrokan itu ada kaitannya dengan Mustika Putri Terkutuk...,” jawab Subali dengan mata menyipit, mengingat seluruh cerita yang sempat didengarnya dari Ki Kusuma.

“Mustika Putri Terkutuk? Ah! Makin rumit saja persoalan ini,” keluh Andika dalam hati.

Belum lagi sempat Andika tahu tentang wanita cantik yang mendatanginya dan mendatangi Ki Kusuma saat menjelang ajal, kini sudah ditambah persoalan lelaki berwajah seram yang menyerang Walet tanpa alasan jelas. Lalu muncul persoalan tentang seorang yang bisa membantunya dalam menghentikan bencana Kadipaten Karangwaja. Dan menurut Ki Kusuma, orang itu berkepribadian ibarat ‘kendi berisi telaga’. Bahkan Andika pun harus mendatangi dua perguruan malam ini juga. Malah muncul persoalan baru tentang Mustika Putri Terkutuk, yang menurut Andika juga harus disingkapnya. Benar-benar bisa membuat seluruh rambut di kepalanya rontok!

“Tapi, tunggu dulu...,” bisik Andika.

Tiba-tiba saja benaknya teringat pada cerita Subali

“Kau tahu, dua orang kawan Ki Kusuma yang kini membangun perguruan silat seperti kau katakana tadi?” ungkap Andika dengan mata berbinar-binar.

“Maksudmu?” Subali belum menangkap arah pertanyaan Andika.

“Apa nama perguruan yang mereka dirikan?” sambung Andika, langsung pada permasalahan.

Subali termangu beberapa tarikan napas. Lelaki berperawakan tinggi besar itu tampak berusaha keras mengorek ingatannya.

“Ah! Aku ingat! Perguruan Elang Hitam dan Perguruan Tangan Wesi!” cetus Subali.

“Dua perguruan itu pasti dimaksud Ki Kusuma,” papar Andika tanpa diminta Subali.
“Di mana letak dua perguruan itu, Kang?”

Dengan singkat, Subali pun memberitahukan letak dua perguruan yang diyakini Andika akan menjadi kunci dari seluruh teka-teki.

***


Warna merah bara di kaki langit sebelah timur mulai nampak, beriring kokok lantang ayam jantan yang bersahut-sahutan. Pagi telah lahir kembali. Dalam perjalanan menuju timur Kadipaten Karangwaja, Andika banyak menemukan serakan mayat, akibat pembantaian ganjil.

Di sebuah dusun tak jauh dari Perguruan Elang Hitam, kejadian serupa juga ditemukan. Mulanya Andika merasa curiga menyaksikan dusun itu begitu lengang dan sunyi, bagai tak ada denyut kehidupan sedikit pun. Padahal, warga dusun ini selalu menyambut datangnya sang Fajar untuk mencari nafkah pagi-pagi sekali. Namun didapatinya saat ini sama sekali bertolak belakang. Kecurigaan itu mendorong keingintahuan Andika.

Segera didatanginya rumah-rumah panggung para penduduk. Dan apa yang didapatinya?

Ternyata para penghuni rumah telah bergeletakkan tanpa nyawa. Bahkan Andika memandanginya sampai bergidik. Lantai kayu di sekitar mayat dipenuhi darah kehitaman bercampur serakan jarum. Dan ketika rumah demi rumah dimasukinya, pemandangan demi pemandangan menggidikkan pun disaksikannya. Sehingga memaksa kuduknya meremang tanpa dikehendaki.

“Ini sungguh-sungguh bencana mengerikan,” desis Andika dengan bibir terangkat ngeri.
“Ini bukan lagi perbuatan manusia! Ini perbuatan iblis!”

Ketika Andika hendak melanjutkan perjalanan, masih sempat disaksikannya seorang penduduk yang merangkak mencoba keluar rumah. Mulutnya merah oleh darah. Wajahnya pucat, layaknya mayat. Andika mencoba menolong orang itu, tapi usahanya sia-sia. Nyawa orang itu telah melayang lebih dulu, saat Pendekar Slebor tiba di sisinya.

“Laknat...,” dengus Andika untuk kesekian kali.

Begitu selesai kata-katanya, Andika segera melesat cepat, pergi dari situ. Dikerahkannya seluruh ilmu meringankan tubuh agar segera tiba di Perguruan Elang Hitam. Dia tak ingin semua kejadian gila itu menjadi kian berlarut.

“Aku harus segera menyelesaikannya,” tandas Andika, sarat kegalauan.

Dengan kobar api amarah yang seakan hendak membakar seluruh jaringan tubuhnya, Andika berlari sepenuh tenaga. Bagai orang kerasukan setan, diterabasnya onak berduri dan semak belukar. Dicobanya mencari jalan pintas yang bisa membawanya cepat tiba di tujuan. Pohon-pohon raksasa yang mencoba menghalangi luncuran tubuhnya, dilompati bagai seekor Walet mematahkan hadangan batu karang.

Seribu satu perasaan yang berkecamuk dalam diri berbaur menjadi sebentuk kekuatan tak terduga. Kecepatan larinya jadi kian menggila. Sampai-sampai, pandangannya hanya menangkap kelebatan bayangan kabur dari benda-benda yang dilewatinya saat berlari.

Tak ada berapa lama, Andika tiba di satu lembah luas yang diapit bukit. Rumput hijau setinggi betis menghampar indah dalam selimut sinar surya. Jajaran pepohonan pinus memagari sekitar lembah. Tepat di tengah lembah itulah Perguruan Elang Hitam berdiri. Tanpa ingin membuang waktu sekejap pun, Andika melanjutkan larinya. Dadanya yang saat itu hendak terbelah karena dengus napas memburu, tak lagi dihiraukan. Hanya satu yang dipikirkan saat itu, dia harus memecahkan seluruh teka-teki lalu menuntas-kan bencana brutal ini!

“Heaaa...!”
Wrrr...!

Setibanya di pagar tinggi Perguruan Elang Hitam, Andika melenting tinggi ke udara. Tubuhnya melayang di udara, melewati pagar dari batang-batang cemara.

Jlek!

Begitu usai melakukan gerakan indah di angkasa, kaki Pendekar Slebor menjejak mantap di pelataran depan perguruan itu. Apa yang ditemukannya di sana? Ternyata sebuah pemandangan yang semula begitu dikhawatirkan Andika terjadi. Puluhan mayat murid perguruan tampak berserakan tumpang tindih, bagai onggokan daging tak berharga.

“Biadaaab! Siapa dalang semua ini?!” teriak Andika, dengan suara menggelegar penuh kemurkaan.

Dengan napas memburu, Andika mencoba mencari sisa-sisa kehidupan di dalam bangunan Perguruan Elang Hitam. Seluruh ruang dijelajahinya. Namun, tak sejengkal pun dilewati. Dan lagi-lagi matanya dijejali anyir darah dan mayat-mayat tanpa tanda kehidupan.

“Oh, Tuhan...,” keluh Andika lemah.

0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.