Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#68
Part 3

“Siapa kau?!” bentak Wisesa kasar. Sikap orang itu membuat dirinya merasa ditantang secara tak langsung.

Bentakan itu sama sekali tidak digubris lelaki yang baru datang. Malah matanya menatap terus kedua
orang murid Perguruan Ular Iblis itu tajam-tajam. Jemari tangan kanannya terlihat menepuk-nepuk lengan yang lain.

“Hey, aku bicara padamu!” bentak Wisesa sekali lagi. Suaranya terdengar makin meninggi.

Bukannya menyahut, pemuda berpakaian hijau dan tersampir kain bercorak catur pada pundaknya itu
malah menoleh ke belakang. Seolah seruan itu ditujukan pada orang di belakangnya. Tentu saja perbuatan ini kian membuat Wisesa dongkol.

“Aku bicara padamu, bodoh!” maki Wisesa dengan wajah matang.

Sekali lagi si Pemuda menoleh ke belakang. Lebih menjengkelkan lagi, badannya dibalikkan pula.
Dengan membelakangi Karta dan Wisesa, bahunya diangkat.

“Apa orang itu sudah sinting? Tidak ada siapa-siapa di belakangmu, kok teriak-teriak seperti itu...?”

Meski tidak terlalu keras, ucapannya tetap dapat ditangkap telinga Wisesa. Kontan saja wajah lelaki
itu menjadi tertekuk beringas. Pangkal hidungnya terlipat. Sedang bibir atasnya terangkat, seperti mulut kera sedang marah. Saat itulah pemuda tadi berbalik menghadap mereka. Wajahnya terperangah, melihat mimik muka Wisesa. Sepasang alisnya terangkat, seperti orang ketakutan.

“Astaga, jadi orang itu benar-benar sinting...,” ujar pemuda itu agak keras.
“Bangsaaat!” maki Wisesa tak alang kepalang murka.

Siapa yang sudi disebut orang sinting? Begitu marahnya Wisesa, sampai-sampai seluruh urat lehernya
tersembul ketika memaki. Sementara Karta di belakangnya malah tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan kejengkelan kawannya. Apalagi jika teringat ucapan si Pemuda yang menganggap Wisesa orang gila.

“Tolong! Tolooong, ada dua orang sinting di jembatan!” teriak pemuda berpakaian hijau itu selanjutnya.

Tawa meriah Karta terputus seketika mendengar teriakan tadi. Jelas, perasaannya ikut tersinggung. Itu artinya dia juga dianggap sinting! Dan wajahnya pun tertular wajah jelek Wisesa....

“Kita hajar saja dia, Kang,” usul Karta pada Wisesa.
“Diam kau!” bentak Wisesa, kesal ditertawai Karta.

Dihampirinya pemuda yang tampak berpura-pura ketakutan. Langkahnya terbanting-banting di jembatan bambu, membuat getaran bagai ada gempa.

“Hei..., hei, hati-hati! Bambu-bambu itu sudah keropos!” teriak pemuda gondrong yang ternyata Andika, alias Pendekar Slebor seraya menjentik kulit bambu yang dikeratnya dari sisi jembatan.

Keratan kulit bambu itu kontan meluncur deras tanpa tertangkap mata Wisesa. Dan tiba-tiba saja menghantam bagian jembatan yang hendak diinjak Wisesa.

Krak!

Sebelah kaki Wisesa kontan terperosok, begitu jentikan kecil Andika tadi disertai tenaga dalam tingkat tinggi. Memang, bambu yang terkena kontan remuk. Sehingga, tak kuat menahan bobot Wisesa.

“Kunyuk! Kunyuk!” umpat Wisesa seraya bangkit terseok.

Wisesa memegangi selangkangan yang terantuk potongan bambu. Sambil meringis menahan nyeri yang merasuk hingga ke ulu hati, tangannya menunjuk ke arah Karta.

“Karta! Tunggu apa lagi. bodoh?! Ayo singkirkan manusia pembawa sial itu!” teriak Wisesa.

Mendapat teriakan Wisesa, Karta tersentak. Masih setengah terkejut, dia berlari menuju Andika.

“Manusia siaaal...!” teriak Karta seraya mengayunkan tinju ke wajah Andika.

Di lain pihak, Pendekar Slebor malah asyik senyum-senyum saja menantikan serangan. Padahal, Karta
mengirim pukulan beserta pengerahan tenaga dalam. Maka ketika tinju Karta hampir mendarat di wajah, Andika segera menggenjot tubuh dengan pengerahan seluruh kemampuan meringankan tubuhnya.

Wesss!

Tubuh Pendekar Slebor tiba-tiba seperti menghilang dari pandangan Karta. Alhasil, pukulannyapun melayang tanpa kendali. Tubuh lelaki gagah namun agak bodoh itu meluruk deras, kemudian terjerembab di ujung jembatan. Lalu dengan segera Karta bangkit dengan mata membesar sejadi-jadinya.

“Kang! Cepat lari, Kang! Orang tadi barangkali prajurit Nyi Roro Kidul!” jerit Karta pada Wisesa yang menyaksikan juga peristiwa tadi.

Tak ada dua helaan napas, keduanya sudah kocar-kacir kelimpungan. Sebentar saja, mereka sudah
cukup jauh meninggalkan jembatan bambu ini. Menyusul menghilangnya dua lelaki tadi, Andika muncul kembali.

“Walet! Ayo kita teruskan perjalanan!” seru Pendekar Slebor ke arah sebatang pohon besar.

Dari balik pohon besar itu, keluar Walet bersama Marni. Ya! Marni memang tidak mati. Tubuhnya yang tergolek di atas bongkahan batu sebenarnya, hanya batang kayu kering. Sudah pasti itu hasil kerja Walet.

Memang, semula Pendekar Slebor dan Walet hendak berkunjung ke beberapa desa untuk menemui
sesepuhnya. Ini karena Andika hendak menanyakan tentang bencana yang terjadi seperti disebutkan wanita aneh yang ditemuinya beberapa malam lalu. Secara kebetulan, mereka melintasi daerah itu dan menyaksikan Marni sedang dipermainkan dua lelaki tadi.

***


Setelah Andika mengalami kejadian aneh beberapa hari lalu, kepalanya tak habis-habisan berpikir tentang wanita cantik yang ditemuinya di bawah sebatang pohon besar. Siapa dia? Bagaimana dia bisa tiba-tiba hadir, lalu tiba-tiba pula menghilang? Apa maksudnya meminta tolong? Lalu, bencana macam apa yang dimaksudnya?

Seruntun pertanyaan itu terus bergaung di benak Andika. Di mulut sebuah jendela kamar, Andika terpekur. Dicobanya memahami seluruh ucapan wanita itu. Lama dia begitu, namun tak secercah jawaban pun yang didapat.

Setelah menolong Marni siang tadi, Andika dan Walet mengantarnya pulang dan sampai di rumah. Mereka berdua ditawari bermalam oleh Nyi Saodah, ibunya Marni. Semula, Andika menolak karena masih punya urusan. Terutama hendak mencari tahu makna pesan wanita cantik aneh itu kepada beberapa sesepuh desa berbeda. Namun ketika hujan begitu saja mengguyur bumi, mau tak mau diterimanya juga tawaran Nyi Saodah.

Mereka diperlakukan seperti tamu kehormatan oleh keluarga Marni. Bukan karena telah berjasa menyelamatkan Marni dari cengkeraman dua lelaki bejat siang tadi, tapi semata-mata karena nilai-nilai tata krama dalam keluarga itu sendiri. Kendati demikian, kedua orangtua Marni amat berterima kasih anaknya telah diselamatkan.

Andika dan Walet mendapat kamar istirahat di rumah yang lumayan besar itu. Sejak lepas senja tadi, Walet sudah tertidur pulas di balai dalam kamar. Tampaknya, bocah itu terlalu lelah setelah seharian berjalan bersama Andika.

Kini keadaan sepi. Suara hujan di luar, menembus dinding bilik kamar. Sementara, angin basah singgah melalui jendela tempat Andika merenung. Sampai saat itu, hujan tidak juga mau berhenti. Dan ini agaknya membuat Andika kesal karena urusannya jadi mandek. Namun biar bagaimanapun, dia harus menerima perlakuan alam yang seperti ini. Lagi pula, siapa yang bisa menolak kehendak Tuhan untuk menurunkan hujan?

Lamat-lamat Andika bisa menikmati suasana seperti ini. Sampai tiba-tiba berkelebat bayangan seseorang di balik dinding bilik. Dari bentuk tubuhnya, diyakini kalau bayangan itu tubuh seseorang wanita.

“Marni.... Kaukah itu?” sapa Andika, menduga-duga. Tidak ada jawaban. Sementara, desah hujan diluar masih terus terdengar.

“Marni...,” ulang Andika.

Dugaannya, barangkali suaranya terlalu lemah untuk menembus hujan, sehingga Marni tidak mendengar.
Tapi, tak juga ada sahutan.

Andika mulai curiga. Dipasangnya pendengaran tajam-tajam, mencoba menangkap gerakan terkecil yang mencurigakan. Tapi, justru matanya kembali menangkap kelebatan seseorang. Anehnya, telinganya tidak menangkap suara sedikit pun! Entah kenapa, kuduk Andika meremang hebat. Padahal, dia belum menduga yang bukan-bukan.

“Apa-apaan ini?” desis Pendekar Slebor amat samar.

Andika jadi teringat wanita cantik yang ditemuinya beberapa hari lalu. Saat itu, kuduknya pun meremang. Dan kini, napas Andika seperti hendak terhenti karena tegang. Saat berikutnya....

Brak!

Dinding bilik di depan Andika jebol seketika, menciptakan suara keras mengalahkan keramaian hujan. Dan tiba-tiba, seorang berambut panjang menerobos masuk. Dari arah terjangannya, Andika tahu kalau orang itu hendak menyerang Walet.

Dengan sigap Andika menghentakkan kakinya. Tubuhnya cepat meluruk deras ke arah orang yang baru masuk. Tak ada tindakan lain yang ingin dilakukannya saat itu, kecuali menahan si penyerang agar tidak mendekati Walet.

Mendapati seseorang berusaha menghalangi, sosok berpakaian merah-merah itu menghentikan gerakannya. Sementara Walet yang mendengar keributan, seketika terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap pedih, karena terbangun tiba-tiba.

“Ada apa, Kang Andika?” tanya Walet setengah berseru.

Andika tak menyahut, apalagi menoleh. Karena pada saat bersamaan, sosok yang baru datang itu menuding ke arahnya.

“Minggir kau! Jangan campuri urusanku!” bentak sosok berpakaian serba merah itu.
“Kalau kau berurusan dengan kawan kecilku ini, itu berarti berurusan langsung denganku,” sanggah Andika, menanggapi bentakan orang yang ternyata bukan wanita.

Sosok itu ternyata lelaki berusia lima puluh tahunan. Rambutnya yang panjang dipenuhi uban. Wajahnya amat menakutkan dengan bekas luka sayatan pedang yang memanjang dari kening hingga ke pipi. Sebelah matanya terlihat sudah tidak utuh lagi karena sayatan itu. Meski rambutnya panjang, bagian depan kepalanya tak berambut. Sehingga keningnya tampak menjadi lebih lebar. Dengan kumis lebat menutupi bibir, lelaki itu makin terlihat sangar.

“Kau akan menyesal jika mencampuri urusanku, Anak Muda,” ancam orang itu dingin.

Andika tersenyum sinis, di bawah terpaan sinar lampu minyak dalam kamar.

“Keliru! Justru kau yang akan menyesal telah berurusan denganku,” tangkis Andika tenang.
“Bagaimana, ya? Karena siang tadi, aku baru saja mendapat sebutan baru dari dua orang laki-laki. Manusia pembawa sial. Kau mau ikut sial seperti dua lelaki itu?”

“Kau terlalu memaksa, Kisanak. Hiaaah!”

Tak banyak berbasa-basi lagi, lelaki itu melancarkan serangan ganas ke mata Andika. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya mengejang, seakan ditarik rentangan kawat baja di dalamnya.

Wut!

Untuk mengukur tingkat kekuatan tenaga dalam lawannya, sengaja Andika memapak totokan itu dengan telapak tangan kanannya.

Dab!

Kini Andika tahu, lawannya memiliki ilmu kesaktian yang tergolong tinggi. Itu bisa dirasakan dari getaran hebat yang mengalir di sekujur persendian tangan kanannya. Menyadari lawan tidak bias dibuat main-main, Pendekar Slebor lantas mengirim serangan balasan. Jurus awal ‘Memapak Petir Membabi Buta’ dikerahkan untuk menyerang tinju geledek tingkat lima milik laki-laki itu. Sasarannya adalah tulang iga.

Wesss!

Pukulan sepasang tangan yang bergerak dari dua arah berbeda, menimbulkan deru angin keras. Ini sebagai bukti kalau kecepatan dan penyaluran tenaga Andika dikerahkan tak tanggung-tanggung.

“Hih!”

Laki-laki berpakaian serba merah itu menaikkan kaki kanannya dalam bentuk melipat ke atas. Dan begitu pukulan itu dekat, kaki kanan yang terlipat sudah melepaskan tendangan ke perut, dengan badan condong ke samping. Dengan demikian selain bisa menghindari pukulan Andika, orang itu mampu melepaskan serangan balasan. Dan itu memang sebuah gerak kembangan dari jurus ‘Sapuan Ekor Ular’.

Andika cepat menarik tubuh ke belakang, lalu secepatnya berputar. Berbareng dengan itu, kakinya membuat gerakan menyapu untuk menjatuhkan lawan dengan mendepak kakinya yang masih menjejak.

Wres!

Namun gerakan laki-laki itu tak kalah cepat dalam memindahkan jejakan kakinya, setelah melompat terlebih dahulu untuk menghindari sapuan Andika. Sementara keduanya bertukar jurus, Walet malah berteriak-teriak menyemangati Andika.

“Terus, Kang! Hajar jidatnya yang lebar itu! Yak, yak! Jitak saja!” teriak Walet seraya meninju-ninju.

Matanya yang semula kuyu karena kantuk, kini terbuka lebar-lebar dan berbinar penuh semangat.
Tiga puluh jurus berlalu begitu cepat. Pertarungan antara Pendekar Slebor melawan laki-laki berpakaian serba merah itu belum menghasilkan apa-apa bagi satu sama lain. Dugaan Andika sebelumnya memang tidak meleset. Lawan memang memiliki kedigdayaan yang cukup tangguh.

“Hiyaaah!”
Jep!

Biarpun hingga saat ini belum tahu alasan pasti, mengapa lelaki berwajah sangar itu hendak menyerang Walet, namun Andika bersungguh-sungguh untuk menjatuhkan lawannya. Dalam pertarungan seperti ini hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh. Meski selaku ksatria sejati Pendekar Slebor lebih suka tidak ada yang menjadi korban.

Sesekali terbetik dugaan dalam benak Andika bahwa lawannya mungkin mengalami kesalah-pahaman. Namun serangan-serangan mematikan yang dihadapi tidak memberi kesempatan untuk mempertimbangkan dugaan itu. Mau tak mau, Pendekar Slebor melayani setiap gempuran yang
datang.

Memasuki jurus ketiga puluh empat, kecepatan gerak Pendekar Slebor meningkat pesat. Bukan hanya itu, jurus yang dimainkannya pun terlihat tak beraturan lagi. Dengan begitu, bukan berarti lelaki berpakaian serba merah itu mendapat kesempatan untuk berada di atas angin. Gerakan menggila pendekar muda berjuluk Pendekar Slebor justru seperti menutup seluruh ruang geraknya.

“Gila! Jurus apa ini!” maki lelaki itu, antara kekaguman dan kegusaran.

Jep! Wess, wesss, jeb, jeb, jeb!

Keterperanjatan lawan dimanfaatkan Andika untuk melepaskan totokan beruntun ke leher, dada, ulu hati, dan pinggang. Melihat hal ini, lelaki berpakaian serba merah itu kian terperangah. Wajah buruknya menegang demikian rupa. Lalu sekejap berikutnya, berganti ringisan menahan sakit luar biasa pada bahunya.

Des!
“Akh!”

Tanpa disangka-sangka, rupanya Pendekar Slebor menyelipkan satu bacokan lengan di antara pukulan
berantainya. Bersama erangan tertahan, tubuh lelaki setengah baya itu terlempar ke belakang, langsung
menghantam dinding bilik. Kemudian, dia jatuh berguling di tanah tergenang air. Hujan langsung menyerbunya, membuat seluruh badan lelaki itu basah kuyup.

Sebelum benar-benar berhenti berguling, orang itu menghentakkan kakinya ke udara, sehingga bisa
berdiri kembali. Sambil mendekap bahu kanan, dia langsung melarikan diri begitu cepat laksana kelelawar malam. Sementara Andika hanya berdiri saja memperhatikan kepergian orang itu.

“Kenapa tak dikejar, Kang?” Walet, tak puas menyaksikan Andika membiarkan lawan melarikan diri.
“Itu orang dari Perguruan Ular Iblis. Orang brengsek yang tak pantas diberi ampun!”

“Tak perlu,” sergah Andika.
“Yang perlu sekarang ini, adalah penjelasanmu. Kenapa orang itu hendakmenyerangmu?”

“Mana aku tahu,” sahut Walet, seraya mengangkat bahunya.
“Jangan bohong. Buktinya kau tahu kalau dia dari Perguruan Ular Iblis. Pasti kau punya masalah
dengan mereka, kan?” desak Andika.,

“Sumpah modar bohongan! Aku tidak punya masalah apa-apa dengan mereka, Kang. Kalau aku tahu
bahwa dia dari perguruan itu, karena sempat melihat lambang perguruan di punggung bajunya,” sangkal Walet.

Andika menyerah. Bisa saja anak ini tidak berbohong.

“Ada apa, Nak Andika?!” tanya Nyi Saodah yang tiba-tiba menguak pintu kamar.
“Tidak ada apa-apa, kok Nyi. Hanya ada tikus tadi,” sahut Walet cepat.

Nyi Saodah melongo. Tikus sebesar apa yang bisa menjebol dinding bilik rumahnya?

***


Satu teka-teki belum terjawab, telah datang lagi teka-teki lain. Andika jadi pusing memikirkannya. Dilain sisi, dia yakin adanya satu hubungan antara peristiwa wanita cantik yang ditemaninya, dengan tokoh sakti dari Perguruan Ular Iblis semalam. Namun demikian jawabannya masih buntu. Untuk menghubungkan seluruh mata rantai peristiwa semua itu, Andika memang harus menyelidiki satu persatu.

Mula-mula hal ihwal mengenai Perguruan Ular Iblis secara lengkap harus diketahui-nya. Termasuk, kepentingannya terhadap diri Walet. Selanjutnya dia akan mencari tahu tentang bencana seperti disebutkan wanita cantik yang ditemuinya beberapa hari lalu. Dan yang terakhir, akan diselidikinya siapa wanita cantik terselubung teka-teki itu sebenarnya.

“Benar-benar rumit...,” keluh Andika bersama satu helaan napas panjang.

“Kopinya, Kang Andika....”

Andika tersadar dari kecamuk pikirannya. Didapatinya Marni telah berdiri di depannya, membawa dua cangkir tanah liat berisi kopi panas.

“Wah! Pagi-pagi seperti ini, memang tepat kalau disuguhkan kopi ngebul-ngebul,” seloroh Andika seraya menyambut cangkir di tangan kanan Marni.

“Terima kasih, ya.”

Gadis manis di depan pemuda itu tersipu-sipu sambil meletakkan cangkir kopi yang lain di meja kayu. Kulit wajahnya yang putih memperlihatkan semu merah, kala mata Andika berusaha menangkap mata lentiknya.

“Mmm, kopi ini betul-betul nikmat. Kau yang buat, Ni?” tanya Andika setelah menyeruput kopi.

Marni mengangguk malu, tanpa berani mengadu pandang dengan pemuda tampan yang duduk di kursi itu.

“Tapi, kurasa hanya perlu kopi satu cangkir. Kenapa disediakan dua?” lanjut Andika.
“Ah! Cangkir yang ini buat Walet, kok Kang...,” kata Marni lembut.
“Ooo,” bibir Andika membulat. “Dikira buat aku. He he he...!”

Lagi-lagi Marni tersipu.

regmekujo
regmekujo memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.