Kaskus

Story

uclnAvatar border
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
anasabilaAvatar border
regmekujoAvatar border
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln
#64
Episode 3: Mustika Putri Terkutuk


Part 1

Padang rumput di kaki Gunung Pucung terhampar luas, membentuk permadani alam berwarna hijau. Matahari bersinar penuh kehangatan, membuat warna hijau rerumputan padang menjadi berpendar cerah.

Dari sebatang pohon beringin besar berumur ratusan tahun yang berdiri tegak diliputi kesan angker, melantun alunan seruling. Suaranya mendayu, seperti berlari pada pucuk rerumputan, lalu hilang tertelan hembusan angin. Alunannya sendiri membawa cerita pada alam, bahwa hidup ini penuh warna-warni yang setiap saat patut disyukuri.

Padang rumput biasa menjadi tempat main para bocah pengembara sapi, sambil melepas makan binatang peliharaannya. Di sana, mereka sering terlihat duduk tenang di punggung seekor kerbau besar sambil meniup suling. Tapi lantunan seruling yang saat ini terdengar, bukan dari bocah pengembala. Melainkan, dari seorang bocah kecil berumur sebelas tahun. Dia tampak duduk santai sambil mengangkat satu kakinya pada kaki lain, di sebatang tangkai besar pohon beringin. Tangannya tampak bergerak-gerak indah pada lubang-lubang nada seruling bambu.

Bocah itu tampak lusuh. Rambutnya panjang melewati bahu, ikal dan kotor. Bajunya kuning dihiasi tambalan di beberapa bagian, dipadu celana pendek berwarna hitam yang sekotor rambutnya. Namun penampilan yang lusuh itu tak membuat wajahnya tampak susah. Wajahnya malah terlihat ceria.

Sepasang matanya yang bulat tampak berbinar-binar. Kelihatan kalau dia adalah anak yang memiliki rasa percaya diri. Hidungnya bangir. Sementara, bibirnya yang masih menghembuskan udara ke serulingnya tampak tipis, meski agak kering karena panasnya sengatan matahari. Dengan bentuk yang bulat telor, wajahnya terlihat menggemaskan.

“Ah! Aku haus sekali,” keluh bocah itu setelah puas memainkan seruling.
“Perutku pun sudah kalap minta diisi.”

Anak kecil itu beranjak turun dari dahan pohon, dan berniat pergi ke desa terdekat untuk mencari makanan. Apa pun caranya, yang penting perutnya bisa terisi. Di kotaraja atau di pasar-pasar desa, bocah itu dikenal sebagai pengamen. Kepandaiannya memainkan seruling, dimanfaatkan untuk mencari makan di warung kedai-kedai. Alunan serulingnya yang begitu merdu, membuat para pengunjung kedai tak sungkan-sungkan memberinya sekeping uang. Tak jarang pula, ada pengunjung kedai yang tak sudi mendengar alunan serulingnya. Kepandaian yang dimiliki bocah itu adalah bermain sulap. Itu sebabnya, orang-orang seringkali menyebut-nya si Bocah Ajaib

Tak berapa lama bocah itu berjalan dan kini sudah tiba di Desa Dukuh. Hari ini, di desa itu memang sedang ada hari pasaran. Di hari itu para pedagang secara serempak membuka usaha, sehingga ber-duyun-duyun menuju pusat keramaian di alun-alun desa untuk berbelanja atau mencari hiburan

Maka kesempatan itu tak disia-siakan si Kecil. Segera dia menuju arah alun-alun. Sambil ber-senandung kecil, tubuhnya menyelinap di antara lalu lalang penduduk yang memenuhi tempat itu. Cara melangkahnya tampak santai. Kedua tangannya diletakkan di belakang tubuhnya. Sedang matanya yang bulat melirik ke sana kemari.

“Walet...! Oi, Walet!” panggil seseorang dari balik kerumunan orang yang mengelilingi seorang penjual kerajinan tangan.

Bocah itu menoleh ke asal suara. Matanya menemukan seorang lelaki berusia empat puluhan dengan pakaian amat sederhana. Bajunya ke-coklatan, dengan celana hitam sebatas betis. Kepalanya yang ditumbuhi uban, ditutupi blankon batik lusuh. Dari sinar matanya, tampak sekali kalau lelaki berbadan agak kurus itu mengenali si Kecil yang dipanggil Walet. Wajah lelaki itu tak bisa disebut tampan, tapi tidak juga jelek. Bibirnya yang kehitaman karena terlalu banyak merokok, selalu memperlihatkan keramahan. Hidungnya tampak kecil, tak sesuai dengan matanya yang agak besar.

“Ada apa, Kang Sentana?” tanya Walet.

Walet. Sebuah nama yang terdengar aneh. Bocah itu sendiri senang dengan namanya. Dia pula memberi diri nama itu, setelah mengganti nama aslinya yang terdengar bodoh. Walet, ya, nama sejenis burung bertubuh mungil. Bocah itu memang kagum dengan burung walet. Terutama, pada kecerdikannya dalam mengarungi alam. Mampu meliuk-liuk di antara karang tajam, sementara burung lain tak mampu melakukannya.

Sentana tiba di dekat Walet. Sebelum menjawab pertanyaan tadi, kepalanya menoleh ke belakang takut-takut.

“Jiran datang, Let,” bisik Sentana hati-hati sekali, seakan tak mau terdengar seorang pun.
“Jiran tengik itu?”
“Iya. Yang mana lagi?”

Walet menggeleng-gelengkan kepala. Wajah bocah itu tampak dongkol, menerima berita dari Sentana.

“Apa kutu busuk itu memang sudah tidak punya muka?” desis Walet.
“Iya! Padahal, seminggu yang lalu kau sudah membuatnya malu di kedai Ki Soma,” timpal Sentana.

Kurang lebih seminggu lalu, orang yang sedang dibicarakan Walet dan Sentana memang telah dipermalukan anak berjuluk Bocah Ajaib itu. Dengan kehebatannya mengelabui pandangan seseorang. Walet mempermainkan lelaki bernama Jiran. Bocah itu amat benci melihat perbuatan Jiran yang selalu memeras rakyat lemah. Jiran kemudian ditantang untuk bertarung di tengah-tengah pasar. Tentu saja tantangan itu amat membuat Jiran kalap. Padahal, dia adalah orang yang paling ditakuti di Desa Dukuh.

Selama ini, tak ada seorang pun penduduk berani menentangnya secara terang-terangan. Mendengar namanya saja, mereka langsung merengket seperti siput. Tapi, ternyata Walet berani mengejeknya habis-habisan.

Waktu itu, Jiran mengeluarkan parangnya, lalu membabat perut Walet. Walet sendiri tak mencoba mengelak. Akibatnya, perutnya sampai tersayat lebar. Orang seisi pasar sudah mengira, riwayat Walet akan segera tamat. Tapi kenyataannya, malah membuat Jiran mendelik sejadi-jadinya. Dari luka sayatan di perut Walet, ternyata ular-ular berbisa yang menjulur-julurkan kepala ke arah Jiran.

Melihat hal itu, Jiran lantas lari kocar-kacir. Selama ini, dia memang belum tahu kalau bocah yang dihadapinya adalah anak lelaki yang memiliki kekuatan batin, sehingga, mampu menipu mata seseorang.

***


“Jadi bagaimana, Let?” tegur Sentana ketika melihat bocah lelaki itu tercenung.
“Aku tidak mau dia terus-terusan memeras rakyat, Kang,” jawab Walet tegas.
“Jadi?”
“Kali ini aku harus membuatnya benar-benar kapok!” tandas Walet, geram.

Tangan Sentana bergerak memukul udara. Wajahnya tampak bersemangat setelah mendengar ucapan Walet barusan.

“Aku setuju, Let! Biarpun kau jauh lebih muda dariku, tapi kau amat cocok menjadi sahabatku,” puji Sentana, berbinar-binar.

“Mari, Kang,” ajak Walet.
“Ke mana, Let?”
“Katanya mau kasih pelajaran sama Jiran tengik itu?” tukas Walet.
“Ah! Aku sih tunggu di sini aja, Let. Kau sendirilah yang datangi kutu kupret itu...,” sergah Sentana seraya cengar-cengir.

“Takut?” seloroh Walet.
“O, tidak.... Tidak. Tapi kan, kalau parangnya tersangkut di leherku terasa sakit sekali, Let....”

Walet tertawa kecil.

“Iyalah, Kang,” ujar bocah itu seraya melangkah ke arah Jiran.

Tak beberapa jauh dari tempat Walet, Jiran tampak sedang membuat onar. Seorang pedagang buah semangka berdiri ketakutan di hadapan Jiran. Seperti biasa, lelaki itu tengah memungut pajak liar dari para pedagang. Dengan terpaksa, beberapa pedagang memberi apa yang diminta Jiran, kalau tidak ingin mendapat perlakuan kejam.

Tapi tampaknya lain bagi si pedagang semangka. Dia bukannya tidak ingin memberi. Namun karena hari ini, dagangannya belum terjual sebuah pun. Maka, dia tak bisa memberi uang pada Jiran.

“Aku benar-benar belum punya uang, Den. Daganganku belum terjual. Maklum, musim hujan,” ucap lelaki pedagang semangka, memelas.

“Aku tak peduli,” hardik Jiran kasar.

Laki-laki bertampang kasar itu berdiri angkuh dengan tangan di pinggang. Perawakannya tidak tinggi, tapi terbilang kekar. Bajunya hitam bergaris-garis putih. Bagian dadanya yang tak tertutup memperlihatkan bulu-bulu lebat. Celananya hitam, memanjang hingga mata kaki. Pinggangnya terlilit sabuk kulit lebar sebagai tempat parang. Matanya agak menukik dengan kelopak mata terlipat ke dalam. Alis mata lelaki itu setebal brewok yang tumbuh di dagunya. Hidungnya besar dan bibirnya tebal.

“Kau mau beri aku uang apa tidak?! Atau ku acak-acak daganganmu ini!” ancam Jiran. Matanya mendelik, seperti hendak keluar.

“Ampun, Den. Jangan diacak-acak daganganku...,” pinta pedagang semangka memelas.
“Aaah, tai kucing!”

Baru saja Jiran hendak menendang peti semangka.... Tiba-tiba terdengar bentakan bocah kecil yang nyaring.

“Hey, Bajingan!”

Jiran kenal suara itu. Ingatannya langsung kembali pada kejadian seminggu lalu, yang membuat dirinya kehilangan muka karena telah dipecundangi oleh seorang bocah kecil. Ketika menoleh ke asal suara, dilihatnya Walet sedang berdiri menantang, tujuh tombak dari tempatnya.

“Kau...,” desis Jiran geram.
“Ya, aku!” sahut Walet gagah.

“Apa kau belum kapok dengan pelajaran kecil yang kuberi padamu?!”

Wajah Jiran merah padam mendengar ucapan Walet. Sungguh memalukan kalau seorang yang amat ditakuti di desa ini mendapat bentakan dari anak ingusan. Tentu saja Jiran tak mau kejadian memalukan seminggu lalu terulang lagi.

“Mau apa kau, Bocah Sialan?” kata Jiran, dingin dan datar.

Tak terlihat tanda-tanda kalau lelaki itu takut terhadap Walet. Tampaknya, dia sudah siap menghadapi keanehan yang mampu diperlihatkan si Bocah Ajaib.

“Tak banyak yang kumau,” ucap Walet.
“Aku hanya ingin kau tak mengusik-usik para pedagang lagi....”

“Apa?! Hua ha ha...! Kau mimpi, Bocah!”

“Tidak. Justru aku akan menjadi mimpi burukmu, kalau kau tidak mau pergi dari sini,” ancam Walet tanpa kenal rasa takut sedikit pun.

“Ooo, kau mau memperlihatkan kebolehanmu bermain sihir padaku?! Silakan.... Kau pikir aku akan tertipu lagi?!” ledek Jiran, mencibir.

Walet melangkah lebih dekat ke arah Jiran. Tak ada kesan keragu-raguan pada gerak kakinya. Bahkan matanya menatap lurus-lurus ke mata Jiran yang mampu membuat ciut nyali para penduduk lain.

“Kau menduga aku tidak bisa menipumu lagi seperti waktu itu? Benar. Aku tidak bisa menipumu lagi. Tapi aku akan membuatmu lari terkencing-kencing, lelaki bernyali kodok!” cemooh Walet, berusaha memancing kegusaran lawannya.

Jiran terpancing. Tapi, tampaknya belum cukup untuk membuatnya kalap. Hanya saja wajahnya yang terlihat makin terbakar merah dan tangannya terus meremas-remas gagang parang.

“Nah! Lebih baik, kau segera pergi dari sini. Kau tak mau kujadikan kodok buduk, kan?” cecar Walet, lebih keterlaluan.

Kali ini, cemoohnya berhasil mencukil harga diri Jiran. Lelaki bertampang sangar itu merasa ubun-ubunnya hendak dijebol aliran darah panas yang mendadak mendesir keras.

“Bajingan...,” rutuk Jiran. Sisi rahangnya mengeras, memperdengarkan gemelutuk gigi-giginya yang beradu geram.

“Kucincang kau, Bocah Keparat!”
“Kau mau cincang aku? Ayo! Cincang bagian mana yang kau suka!” tantang Walet seraya mengangkat dagu tinggi-tinggi.

Bagi bocah itu bersikap angkuh pada manusia bejat seperti Jiran memang mesti dilakukan. Orang yang tak pernah memperlakukan manusia seperti manusia, pantas diperlakukan layak anjing geladak.

“Hiaaa!”

Berbareng satu lengkingan merobek angkasa, Jiran meluruk ke arah bocah kecil itu. Tak ada lagi rasa malu menghadapi lawan yang jauh lebih kecil darinya. Karena pada dasarnya, dia sendiri memang sudah tak punya rasa malu lagi. Parangnya menciptakan bunyi yang menggidikkan manakala ditarik dari pinggangnya.

“Hih!”
Bet!

Satu tebasan dilepaskan Jiran dengan kejamnya. Senjatanya yang setiap hari diasah itu berkelebat di udara, bersama sinar pantulan matahari. Leher kecil Bocah Ajaib adalah sasaran pertama.

Tes!
“Aaakh...!”

Dalam sekerdipan mata, leher Walet terpenggal diiringi desahan kesakitan. Kepala kecilnya yang terlontar dari tubuh, lalu menggelinding di atas tanah berlumpur. Siapa pun yang menyaksikan kejadian itu akan bergidik ngeri. Lain halnya Jiran. Lelaki bengis itu tak puas dengan tebasan pertama. Dia tidak ingin tertipu lagi, seperti kejadian minggu lalu. Maka parangnya kembali diayunkan setengah tenaga.

Bet!
Tes!

Tebasan susulan Jiran, membabat bahu Walet hingga tangan kanannya putus. Sebelum tubuh Walet yang tak utuh terpuruk di jalanan pasar, Jiran mengayun sekali lagi parang haus darahnya.

Sing!
Bret!

Dada bocah kecil itu kontan terbelah dengan luka menganga lebar. Tepat ketika Jiran mendengus garang, tubuh Walet yang tanpa kepala dan lengan lagi ambruk diiringi bunyi berdebam. Darah sudah terpercik ke mana-mana. Warna merahnya menodai jalanan berlumpur. Sebagian mengalir lambat dalam genangan air sisa hujan tadi malam di sisi jalan. Sementara itu para panghuni pasar tak sanggup melihat kejadian ini lebih lama.

Perbuatan Jiran memang lebih telengas daripada pembantaian yang pernah mereka lihat di mana pun. Beberapa wanita yang melihat bahkan menjerit sejadi-jadinya. Bahkan ada yang langsung tak sadarkan diri, menyaksikan kebiadaban ini.

Tak lama, dari balik kerumunan, seseorang menyeruak. Langsung ditubruknya tubuh Walet yang mengenaskan. Lelaki kebodoh-bodohan itu adalah Sentana yang begitu akrab dengan Walet.

“Walet! Walet!” seru Sentana, sesegukan.

Sambil mendekap, Sentana menangis meraung-raung seperti anak kecil kehilangan boneka
kesayangan.

“Ini salahku. Let. Kalau saja aku tak memberitahukanmu tentang kedatangan lelaki iblis itu, tentu kau tak akan bernasib senaas ini,” desah Sentana lirih di antara isak tangis.

Sementara itu, Jiran berdiri sombong tak jauh dari tempat Sentana. Tangannya sibuk membersihkan parangnya yang bernoda darah. Sambil memperdengarkan tawa puas tak henti-hentinya, seperti tingkahnya jika sedang menang judi.

“Hua ha ha...! Dikira aku tidak memiliki persiapan jika harus menghadapinya lagi,” kata Jiran
lantang.

Seakan-akan, dia memberi pemberitahuan pada setiap teIinga di pasar itu, bahwa dirinya tidak bias dipermainkan lagi. Usai memasukkan senjata ke dalam sarungnya kembali, Jiran mengeluarkan sesuatu dari balik ikat pinggang lebarnya.

“Kalian lihat ini!” seru Jiran pada seisi orang pasar, seraya mengangkat tinggi-tinggi sesuatu di tangan kanannya.

Seketika orang-orang yang berkerumun mengarahkan pandangannya pada tangan kanan Jiran.

“Aku sudah mencari tahu tentang bocah itu seminggu belakangan ini. Setelah kutahu kalau dia
memiliki kekuatan sihir, aku pun mencari dukun yang mampu mematahkan kekuatan gaibnya. Dan ini....”

Jiran menggoyang-goyangkan bungkusan kecil dari kain hitam di tangannya.

“Ini adalah pemberian dukun itu. Jimat hitam yang dapat melumpuhkan kekuatan bocah sialan ini. Ha ha ha...!”

Tawa Jiran yang penuh kemenangan bergetar, menggema ke segala arah.

“Jadi kalian sudah tak bisa berharap perlindungan dari bocah dungu ini lagi,” sambung laki-lakibertampang seram itu seraya memasukkan jimat hitam tadi ke dalam bajunya.

Setelah puas tertawa, Jiran melangkah pergi meninggalkan tempat itu diiringi seringai kepuasan Tinggal penghuni pasar dan Sentana yang terus menangisi kemalangan nasib Walet.

***


Sementara Jiran telah menghilang di ujung jalan, Sentana masih terduduk di jalan becek. Tidak dipedulikan lagi pakaiannya yang dikotori lumpur. Kematian mengerikan yang menimpa Walet terus ditangisinya. Sedangkan, orang seisi pasar berkerumun di sekitarnya dengan wajah ngeri bercampur kasihan melihat nasib bocah malang itu.

Sampai hujan rintik-rintik mulai turun, mereka tetap terpaku bisu di tempat masing-masing. Tak ada sepatah kata pun ingin dikeluarkan. Mereka bukannya tidak mau menghibur Sentana, karena begitu terguncang dengan pembantaian brutal di depan biji mata. Dan mereka hanya terdiam mem-bisu.

Tak ada seorang pun yang berani menjatuhkan pandangan pada jenazah Walet. Kengerian telah mendepak mata mereka ke tempat lain, meski masih terpaku di sana. Bagi orang-orang pasar, Walet memang teman kecil yang menyenangkan. Bocah itu tak hanya mampu menghibur hati, tapi juga selalu menolong siapa saja yang butuh uluran tangannya. Di antara mereka bahkan sudah menganggap adik atau anak sendiri. Pada saat Jiran mengamuk tadi inginnya mereka turun tangan. Tapi apa daya? Mereka memang tak memiliki daya dalam menghadapi lelaki kejam itu.

Sekian lama mereka terdiam dalam siraman gerimis, bagai sekumpulan area. Sampai akhirnya....

“Yhiaaa! Walet brengsek! Anak sialan!”

Seketika kerumunan orang pasar itu tersentak oleh teriakan Sentana. Dan mata mereka langsung terbelalak serentak mendengar umpatan Sentana yang terdengar ganjil di telinga!

“Apa-apaan ini? Apa Sentana kemasukan setan?” tanya hati masing-masing.

Dan keheranan mereka terjawab seketika, saat tangan Sentana mengangkat tubuh kaku Walet yang kini telah berubah menjadi batang pohon pisang. Begitu juga kepala dan tangan bocah itu. Berbarengan, para penghuni pasar berseru gembira. Tak pernah terpikirkan kalau Walet masih mampu mempermainkan Jawara Desa Dukuh. Padahal, Jiran telah sesumbar kalau memiliki jimat hitam yang mampu mematahkan kekuatan si Bocah Ajaib itu.

“Walet! Walet! Ke mana kau, Bocah Brengsek?!” seru Sentana seraya bangkit.

Mata laki-laki itu yang masih tampak berair, kini berbinar-binar diliputi kegembiraan.

“Walet! Sembunyi di mana kau?!” teriak Sentana.

Sentana mencari-carinya Walet di antara kerumunan orang pasar. Tapi meski menyeruak ke sana kemari, bocah kecil itu tak juga ditemukan.

Diubah oleh ucln 27-08-2016 15:33
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.