(Sembilan)

Rasanya tidur semalam masih belum cukup menghilangkan lelah hari terakhirku di kampung halaman. Sepertinya baru sebentar aku berada di dalam selimut rumah yang hangat, aku sudah harus bangun dan pergi meninggalkannya lagi.

"Bawa bekal apa bu?", tanyaku sesaat setelah mandi.
"Nih ada kering tempe, abon, serundeng kering, udah, mau apa lagi? ntar ibu bikinin kalau sempet."
"Mau ibu aja deh dibawa ke sana.", kataku sambil memeluk ibu.
"Yee... udah tua masih aja ndusel-ndusel gini. Udah sana ganti nanti ketinggalan bis lho!"
"Nggak mau, maunya dicium ibu dulu."
"Sini ibu cium pakai panci. Hahaha.."

Ah, ibu... Mau seperti apapun kau marah padaku, mau seperti apapun kau kesal padaku, dan mau seberapa sebalnya aku, aku tetap akan jadi anak termanjamu, bu..

****

Perjalanan enam jam duduk di kendaraan terkadang membuatku cepat bosan. Apalagi jika teman sebelah adalah orang cuek yang tidak bisa diajak bercengkrama. Ku buka 4 aplikasi sosial media sekaligus. Memang benar ya, di jaman sekarang ini, sosial media bukan lagi hanya sebagai media komunikasi tapi juga beralih menjadi tempat hiburan dan pelarian kala kita tidak bisa mendapat kepuasan di dunia nyata.

Triing~
Dua notifikasi pertemanan masuk. Mutual friend: Mas Aa.
Oh ya, aku ingat mereka.

Semenjak tau mas Aa selalu berbalas komentar dengan seorang perempuan yg sama di banyak statusnya, aku selalu saja melalui siklus kesal-penasaran-kesal-penasaran, tanpa pernah berkomunikasi lagi. Hampir setiap hari aku bekerja layaknya mata-mata, memantau semua akun sosial media mas Aa. Semua kulakukan secara sadar, walau aku sadar kalau apa yang ku lakukan sudah cukup kelewatan. Bagaimana bisa dia asyik berhubungan dengan perempuan lain, sementara aku di sini didiamkan, menunggu pesan yang mungkin tak pernah dia kirimkan, setelah dia menyatakan kalau aku adalah perempuan yang dia sayang. Juga yang benar-benar kuingat, adalah komentar dua orang ini, yang pernah menanyakan aku dimana, apa sekarang mas Aa sudah putus denganku yang dulu selalu muncul di setiap postingannya? Putus? Ha! Membacanya saja aku sudah merasa sakit. Kala itu aku benar-benar telah dibutakan.

Baru saja ku putuskan untuk menerima request dua orang tak ku kenal, pesan tak terduga datang dari mas Aa, yang memintaku jangan menerima request kedua teman komunitasnya itu karena dia takut akan kejahilan-kejahilan yang mengganggu nantinya.

Really? Setelah sekian lama tak ada kabar, tiba-tiba dia berpesan agar aku tidak menggubris dua orang temannya?

Terlambat. Mari kita lihat apa yang terjadi kalau dilakukan kebalikannya. Haha!
You''re now friends with Aldy and Dana.
Pesan mas Aa tak ku balas dengan sengaja.

Dan benar saja.
Bis sudah memasuki rest area, saat aku dikejutkan dengan pemandangan yang membuat perutku terasa diremas keras. Sebuah foto mas Aa berpose dengan seorang perempuan muncul di beranda dengan caption "Pre-Wedding part 1", di upload oleh Dana. Like sudah mencapai ratusan, dan komentar berisi ucapan menyelamati, mulai beruntun mengikuti. Mas Aa nampak tertawa lepas dan si perempuan terlihat malu-malu bahagia dengan setting padang rumput hijau juga sepeda tua disebelahnya.

Are you sure you want to block Aryan from your list?
- Yes.

Jika saja ini bukan di bis, aku pasti sudah menangis.
Gara-gara media sosial aku jadi menderita, kenapa juga aku harus melihatnya?

****

Kelas Brevet, Desember 2013.

Aku berusaha memfokuskan mata ke materi pajak yang disorotkan proyektor, namun hati dan pikiranku seakan menyeretku untuk segera keluar dari ruangan ini. Berita di handphone yang masih kugenggam membuatku seperti hilang separuh sadar. Rana, teman saat SMP yang didekatkan semesta, akan menikah 3 bulan lagi. Rana, hampir semua anak angkatanku tahu bagaimana dia, yang saat putus dengan ketua OSIS paling beken di jamannya, langsung diincar banyak cowok seangkatan hingga kakak kelas, bagai lampu neon yang baru dinyalakan lalu dikerubungi laron, namun pada akhirnya kini malah menemukan pendamping hidup teman kuliahnya. Hebat ya, di saat aku masih terduduk di tempat ini, di luar sana temanku sudah bahagia menuju langkah selanjutnya, pikirku kala itu.

Sebenarnya, keputusan mengambil kelas pajak tambahan ini semata-mata ku ambil sebagai pelarian dari kesepianku tanpa komunikasi dengan mas Aa. Pada awalnya aku sempat ragu, tapi tekanan kejenuhan akan skripsi yang tak kunjung disetujui, semakin mendorongku untuk nekat mengambil kelas ini. Bayangkan saja, dalam seminggu, untuk konsultasi tatap muka hanya bisa dilakukan satu kali tiap kamis (dan selalu berujung debat kalimat dengan dosen lain). Sisa hari lain? aku harus mengirimkan hardcopy skripsiku (no email), lewat jasa pos atau jasa pengiriman paket lainnya, ke Bandung atau ke Medan, tempat dimana dosen pembimbingku tinggal, juga menjadi dosen terbang. Lalu beliau akan menelpon dan mengatakan bagian mana yang harus direvisi, dan harus segera dikirimkan lagi dalam waktu 2 hari sebelum beliau kembali ke sini. Keren kan? Apalagi beliau tidak mengizinkan mahasiswanya untuk datang menemui beliau di luar jam kerja. Terbayang kan bagaimana nyiputnya skripsi ini? Di saat teman-teman lain sudah ujian dan wisuda, aku di sini masih tak tahu harus berbuat apa.

Hidup revisi skripsi!

***