Jam tidur gue emang berantakan, kadang gue bisa tidur kayak anak sekolah dan kadang gue kayak tidur seperti orang yang tinggal di tempat yang beda negara (gue masih terlalu ngantuk untuk bisa makes sense). Sekarang, gue baru aja bangun gara-gara mimpi yang, bisa dibilang, mimpi yang paling gue benci. Mimpi yang ada nyokap gue.
Sekali lagi, nyokap gue kalau lo ketemu sekali-dua kali dia adalah orang yang paling gaul yang pernah kalian temui. Dia ngelahirin gue pas umur 23, jadi dia lebih cocok kali ya jadi tante daripada nyokap. Tapi, gue nggak bohong ketika bilang bahwa hidup sama dia itu kayak di bawah kaki lo selalu akan ada lava yang panas,
dan lo dipaksa hidup dengan keadaan yang seperti itu.
Mimpinya adalah gue berada di rumah nenek gue yang udah dijual dulu, di Jakarta pusat. Disana suasanya mendung, dan sepi, seakan-akan gue lagi keluar dari rumah dan berada di jalanan pada jam dua dini hari. Gue ngelihat ada orang-orang asing yang ngumpul di belokan yang sepi, dimana gue terlalu takut untuk nanya sesuatu dari mereka atau jalan sendirian ke tempat itu. Di belakang gue, entah kenapa, ada nyokap gue sambil ngata-ngatain gue dan bilang bahwa seberapa keras gue buat mutusin dia, gue nggak akan bisa buat hidup tanpa dia dan nanti pasti bakalan balik. Mendengar dia ngomong gitu, gue langsung jalan sendirian ke tempat dan sekalipun takut, tapi gue memutuskan untuk menjauhi dia.
yang entah kenapa, tahu-tahu gue udah naik sepeda.
Tapi dia selalu berada di belakang gue, dan gue selalu berhasil sembunyi dari dia. Disaat gue melihat dia nggak berhasil nemuin gue, gue leganya setengah mati. Namun tahu-tahu pacarnya (biar lebih memudahkan, meski nggak ada yang tahu cowok itu statusnya apa), nyakitin kaki gue sampai didalam mimpi gue teriak kesakitan yang banget-banget terus nyokap gue ketawa melihat gue kesakitan kayak gitu.
Lalu gue kebangun. Kayak mau teriak, dan titik dimana pacar nyokap gue berusaha nyakitin gue jadi ngilu.
Saking pelonya gue, kucing gue si Membo nyamperin gue minta dielus-elus. Dan sekarang dia nemenin gue persis disamping disaat gue nulis disini.
Gue sekarang berusaha mentasfirkan apa mimpi gue barusan.
Gue
memang sempat dalam posisi dimana 'sejauh apapun gue lari, gue bakal balik lagi ke tempat dia'. Jadi sewaktu gue masih sekolah itu, gue nggak pernah yakin apakah gue bisa tinggal di tempat A atau B di bulan berikutnya. Karena apa? Somehow, di mata keluarga gue, gue itu udah kayak bola pingpong. Kalau keluarga A nggak mau gue ada di tempatnya, dipindahkan ke tempat B dsb. Begitu terus, sampai-sampai ketika cowok gue bilang bahwa gue udah kayak cucian basah, gue langsung setuju bahwa gue memang cucian basahnya mereka. Di saat gue sekolah, gue juga lagi depresi yang dimana kalau gue terlalu kepayahan dalam mentolerir hidup, gue langsung shut down diri di kamar, dan tampaknya, orang tua gue menganggap gue cuma males sekolah bukannya lagi sakit mentalnya. Jadi seberapapun keras gue mencoba untuk nggak kayak bola pingpong, tapi gue tetap jadi bola pingpong. Atau lebih tepatnya cucian basah bagi mereka semua.
Tapi sekarang, cowok gue yang kedapetan cucian basah.
Quote:
Original Posted By serang081a►
gue juga keluarga broken home kok sist, tp ya itu, gue malah masuk ke keluarga yang malah menurut gue bisa ngebuat gue bahkan lebih kuat..
Kalo soal keberuntungan, mungkin bisa jadi lo lebih beruntung, udah dapet orang yang tahu dan menerima lo sist..
Ga tau ya, tapi menurut gue, lo harus mulai belajar bersyukur sis, karena sampai sekarang, gue selalu bersyukur atas apapun yang ada di hidup gue, apapun kondisinya, dan itu menghilangkan segala jenis depresi gue.
maaf kalo jadi sok menasehati..

Gue nyadar bahwa cerita yang gue taruh di internet mengesankan bahwa gue nggak mensyukuri apa yang gue dapatkan sekarang. Jujur, gue juga lega kalau keluarga gue itu inti dari cipratan api neraka. Karena dari keluarga yang kayak begitu, lo nggak memiliki alasan lain untuk menjadi orang yang lebih kuat. Tiap kali ada orang yang curhat masalahnya ke gue, gue selalu nemu cara untuk dia keluar dari masalah itu. Tiap kali ada orang yang kesakitannya mirip sebelas-dua belas sama gue, gue bisa mengerti gimana sulitnya posisi dia dan bukan cuma sok ngerti terus ngangguk-ngangguk lalu bilang, " Yaudah disabar-sabarin aja ya, namanya juga hidup". Dengan keluarga yang kayak gitu, dan jalan hidup yang kayak begini, membuat gue berada di posisi yang sekarang. Dicintai dengan sepenuhnya sama cowok gue yang sekarang.
Gue bersyukur banget gue ada orang lain yang mau hidup menderita sama gue.
Tapi gue nulis apa yang 'masih' gangguin gue sekarang, ketika hidup udah lebih bisa
breatheable. Terlepas gue udah berbulan-bulan nggak ngurusin mereka, tapi mereka selalu mendapatkan cara buat bikin gue teriak kesakitan. Gue juga bukannya mau fishing compliment apapun disini. " Wah nih cewek menderita banget kayaknya, kasihanin dia yuk" nggak yang begitu juga. Gue juga nyadar, meskipun 7 juta orang dibumi ini pada kasihan sama gue, nggak akan ada yang bisa nyelametin diri gue sendiri selain diri gue sendiri.
Setidaknya, sekarang, gue bisa bilang bahwa gue berhasil memindahkan diri gue dari situasi yang selalu menyakitkan. Dan gue mensyukuri itu.
Jujur, udah berapa kali gue maju-mundur dalam soal ini.
Apakah iya gue harus mutusin hubungan keluarga? mereka itu keluarga lho, bukan pacar. Begitu mikirnya gue. Tapi pas gue ingat-ingat lagi bahwa mereka juga nggak membuat hidup yang gue pernah jalani bersama mereka minimal masih didalam tahap dimana semua dijalani dengan senyuman. Sekalipun harus gue akui bahwa disaat hidup sama mereka gue pernah ketawa sekencang-kencangnya, tapi disaat itu nggak terhitung berapa kali gue menangis diam-diam dan berpikir bahwa hidup sendirian pasti lebih gampang dijalanin daripada tekanan batin dari depan dan belakang begini.
Sehingga gue memutuskan bahwa memang satu-satunya jalan ya kayak gitu. Gue putus hubungan sama mereka semua. Dan sekalipun gue masih terus diteror mereka atau tahu-tahu kepikiran soal mereka. Gue harus memindahkan diri gue dari situasi yang selalu menyakitkan.
Karena seperti yang gue bilang sebelumnya, dengan memiliki keluarga yang seperti ini lo nggak memiliki pilihan selain untuk menjadi pribadi yang kuat. Dan gue cukup kuat untuk nggak kembali ke keluarga yang eksteriornya keluarga cemara, dimana semua hal yang buruk terjadi di balik pintu rumah mereka.