Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

hafizwidjojoAvatar border
TS
hafizwidjojo
Antara rumah yang horor dan kesalahan di masa lalu. KISAH NYATA
KETIKA MASA LALU MENGHANTUI MASA DEPAN

PART 1 - INTRODUCTION

---
Halo.
Berhubung disini sudah banyak yang menceritakan kisah horror nya, ada yang karangan belaka maupun kisah nyata, disini saya mencoba berbagi cerita tentang kisah nyata yang saya alami. Bisa dibilang kisah ini cukup klasik karena terjadi di rumah, ya meskipun terkesan klasik, inilah kisah nyata yang saya alami bertahun-tahun di rumah dan keseharian saya. Karena kalau dipikir-pikir, kenapa sutradara film horror sering menjadikan rumah sebagai seting utama, karena memang benar, kisah horror seringkali bermula dari rumah.

Cerita ini akan saya pisah-pisah menjadi beberapa bagian dan saya akan berupaya untuk mengingat sedetail mungkin dan menceritakannya secara kronologis.
Tujuan saya menceritakan ini, bukan untuk menakut-nakuti siapapun. Saya hanya ingin berbagi dengan teman-teman semua, dan mendapatkan masukan dari teman-teman dan dapat mengambil pelajaran maupun hikmah dari apa yang terjadi.

Kisah ini dimulai sejak kami pindah ke rumah baru pada tahun 2000. Ya, rumah ini setahu saya dibangun dari tanah kosong, maka kami lah orang pertama yang menghuni rumah ini. Sebelumnya alasan kami pindah karena orang tua membutuhkan rumah yang lebih besar dan tidak kontrak, bukan karena alasan horror apapun.
Pertama kali saya melihat kompleks perumahan ini, saya merasa sangat asri dan nyaman, berada di pinggiran kota, dengan udara yang bersih, dikelilingi pepohonan bahkan terdapat danau di area perumahan, ya danau asli, bukan danau buatan.
Pada tahun 2000, sebenarnya rumah kami belum benar-benar selesai dibangun, namun karena kontrak pada rumah yang lama sudah habis, kami memutuskan untuk pindah ke rumah baru ini. Saat itu umur saya masih 7 tahun.

Awal kami pindah, lantai dua masih dalam tahap konstruksi, sekitar 90%, maka kami hanya tinggal di lantai bawah dengan satu kamar, ruang tamu, ruang keluarga, taman belakang, dua ruang makan, dan dua dapur.
Awalnya saya heran kenapa ibu saya yang merancang rumah ini, membuat dua dapur, padahal dapur yang satu lagi sudah cukup besar. Pada saat itu dapur yang lebih kecil di belakang, belum bisa diakses karena masih terhalangi beberapa bekisting untuk menyangga struktur bangunan.
Malam pertama kami tinggal di rumah tersebut, semuanya terasa sangat normal dan bahagia; aroma cat yang belum kering, tangga yang masih dilapisi semen, debu yang menyesakkan, ruang-ruang yang dipenuhi barang-barang, dan pencahayaan seadanya.
Saat itu, bagian belakang rumah kami masih rawa-rawa dengan beberapa pepohonan.

Keanehan baru mulai terasa pada sore hari kedua, saya masih ingat, pada saat itu sekitar jam 5 sore, saya baru selesai sepedaan bersama abang saya, saya pulang ke rumah dan ibu saya menyuruh saya untuk meletakkan sepeda di dapur belakang agar aman. Pada saat saya sedang meletakkan sepeda, saya mendengar bunyi “duk-duk” pada bagian dapur yang belum bisa diakses. Pada saat itu saya berpikir mungkin itu buruh tukang di tanah sebelah. Namun karena penasaran, saya mencoba mengecek ada siapa di tanah kosong sebelah rumah kami, dan, tidak ada siapa-siapa, bahkan disitu saya mengetahui bahwa ternyata ada tangga yang menempel ke rumah kami, namun tangga itu tidak termasuk pada kavling rumah ini.

Pada saat makan malam, saya bertanya pada ibu, kenapa ada tangga yang menempel diluar bangunan kami. Ibu saya menjawab bahwa tangga itu terbagi dua, setengah pada kavling sebelah, kemudian setengah lagi terdapat pada rumah kami. Ternyata tangga itu sudah ada sebelum rumah kami dibangun. Pada saat itu saya merasa dugaan saya salah, jika sebelumnya sudah ada tangga disitu, berarti sebelumnya sudah ada rumah disini.
Kemudian saya tanya, kenapa tangga itu tidak dihancurkan saja? Ibu saya mengatakan bahwa buruh-buruh bangunan menyarankan sebaiknya tangga tersebut dimanfaatkan saja. Ibu saya sempat menolak, namun entah kenapa para buruh bangunan tetap bersikeras bahwa tangga tersebut sebaiknya dipertahankan agar mempercepat proses pengerjaan konstruksi, dan alasan lain-lainnya, maka dari itu ibu saya akhirnya memutuskan untuk membuat dapur kotor kecil di bagian bawah tangga tersebut. Tetapi, kisah tangga itu meninggalkan misteri di benak saya. Jika ada tangga disitu sebelumnya, sudah pasti dulunya ada bangunan disini, apakah itu rumah? Saya tidak tahu. Kenapa para buruh tersebut bersikukuh untuk mempertahankan tangga tersebut? Apakah mereka tahu siapa yang dulu menempati tempat ini? Saya terus bertanya-tanya dalam benak saya.
Apalagi, suara yang saya dengar sebelumnya sungguh aneh.
Sejak saat itu, saya mulai merasa kehadiran.....

(to be continued…)

NB:
Thank you buat semua yang comment dan nanyain. Mungkin ada bbrp yang belum bisa dijawab, ntar bakal terjawab di ceritanya kok.
-- Mohon maaf saat ini ada beberapa foto yang dihapus karena ada pihak-pihak dari keluarga yang tidak mengizinkan. Saya mohon pengertiannya. ---
Terima kasih atas perhatian agan-agan dan stay up to date emoticon-Smilie




UPDATED!!

::STORY INDEX::
PART-02-GANGGUAN on post #9
PART-03-GUCI on post #27
PART-04-ADA-SESUATU on post #49
PART-05-TEMAN(?) on post #75
PART-06-TIDAK-TERLIHAT on post #154
PART-07-FLASHBACK on post #185
PART-08-BIOLA on post #353
PART-09-DISEMBUNYIKAN on post #381
PART-10-PENYESALAN on post #436
PART-11-API-UNGGUN on post #447
PART-12-JAWABAN(?) on post #521
PART-13-MEREKA-HADIR on post #617
PART-14-TAMU-TAK-DIUNDANG on post #644
PART-15-TERPURUK on post #765
PART-16-MEREKA-PERGI on post #861
PART-17-ULAR on post #976
PART-18-TERJERUMUS on post #1007
PART-19-HUJAN-DERAS on post #1087-1088
PART-20-TERSAMARKAN on post #1237-1238
PART-21-TERLELAP on post #1527-1529
PART-22-TERUNGKAP on post #1993-1999





Diubah oleh hafizwidjojo 06-10-2016 16:05
nusabangsa45
yyfmhdrv8v219
ferist123
ferist123 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
1.2M
2.8K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Supranatural
SupranaturalKASKUS Official
15.6KThread10.8KAnggota
Tampilkan semua post
hafizwidjojoAvatar border
TS
hafizwidjojo
#522
PART 12 - JAWABAN (?)

Semenjak teman saya memberanikan diri untuk ‘melawan’ gangguan itu, informasinya langsung tersebar diantara teman-teman yang lain. Ternyata dia melanggar janjinya untuk tidak menceritakan ke siapapun. Ia juga mengaku jatuh sakit setelah kejadian itu.Tidak sedikit teman-teman saya yang akhirnya merasa enggan untuk berkunjung ke rumah. Bahkan, sepertinya semakin banyak yang ‘takut’ untuk dekat-dekat dengan saya. Semakin banyak, orang-orang yang mungkin juga peka terhadap hal-hal ghaib, memasang sorot mata yang begitu tajam ke arah saya, seakan menerawang. Tapi, seperti yang saya ceritakan sebelumnya, tetap ada sahabat-sahabat saya yang selalu ada untuk saya.

Masa-masa libur setelah UN SMP, merupakan kekosongan yang teramat sangat panjang. Saya banyak menghabiskan waktu sendiri, dan terkadang, bersama teman, dan tentunya ‘teman’ itu.

Waktu kosong yang begitu panjang, mengembalikan indera kecurigaan saya terhadap apa yang terjadi di rumah ini dulu. Saya berjanji dengan diri saya, bahwa saya tidak akan membahasnya dengan orang lain, dan, jika terjadi sesuatu, saya siap untuk mengatasinya sendiri. Ya, sendiri.

Saya teringat, wanita yang dulu datang ke rumah kami, wanita dari tim developer, mengatakan bahwa dulu buruh-buruh pekerja merupakan penduduk setempat, dan isteri-isteri mereka ada yang dipekerjakan sebagai tukang sapu. Rasanya ada lampu yang menyala begitu terang di benak saya. Ya, jika saya tidak bisa lagi menemui si buruh pekerja, saya yakin salah satu dari kerumunan tukang sapu di taman kompleks, merupakan istri dari si buruh.

Sejak saat itu, saya sering bersepeda mengililingi kompleks sendiri. Terutama di jam-jam tukang sapu beroperasi. Pagi, siang dan sore. Berhari-hari, setiap ada kesempatan, saya mengelilingi kompleks. Saya memperhatikan tukang sapu, satu-per satu. Saya mencoba mencari yang terlihat paling tua diantara mereka semua. Karena saya rasa, jika dia lebih tua, dan dia memang dulunya penduduk setempat, pasti ada harapan kalau dia tahu lebih banyak.

Akhirnya, saya melihat seorang ibu-ibu yang terlihat paling tua. Tidak terlalu tua, tapi dia pasti yang paling senior diantara yang lainnya. Sebenarnya saya agak ragu untuk menghampirinya. Wajahnya terlihat kurang bersahabat. Saya tidak tahu apakah ini hanya perasaaan saya saja atau memang benar.

Saya menyusun rencana. Saya yakin saya tidak bisa langsung menghampirinya dan mewawancarainya. Akhirnya, saya memulainya dengan bersepeda setiap hari, mencarinya, dan selalu menyapanya setiap ada kesempatan. Meskipun hanya senyuman. Tentu saja, di awal-awal, beliau seakan tak acuh. Mungkin, baru kali ini ada anak pemilik rumah yang mau menyapa tukang sapu di kompleks kami. Tapi, lama kelamaan, dia sudah mau membalas senyuman saya. Bahkan, di satu kesempatan, ia yang duluan menyapa saya.
Berkali-kali sudah saya saling menyapa dengan beliau. Hingga tiba saatnya, ia sedang istirahat di taman komplek, di bawah pohon, dengan tumpukan daun-daun kering di sebelahnya.

Saat itu cuaca sedang terik-teriknya, padahal sudah sore. Cuaca terasa begitu panas. Saya menghampirinya.
“Sore,ibu.. cuaca panas nih. Saya beliin minuman ya? Ibu sukanya apa?”
“Ah, nggak usah.. Saya bawa minuman sendiri kok.” Jawabnya, sambil menunjukkan air putih di dalam botol bekas minuman kemasan. Warnanya agak keruh. Saya merasa kasihan.
“Ya ampun bu, nggak apa-apa, kedai di depan kan ada jualan minuman, saya beliin teh dingin ya! Ibu tunggu disini aja dulu, bentar saya balik lagi ya.”
Saya langsung bergegas menuju area ruko di depan kompleks. Kebetulan sekali, saat itu sedang jam pulangnya anak-anak les. Banyak pedagang-pedagang sedang menjajakan jualannya disana. Saya melihat ada yang jualan air tebu. Hmm, saya rasa air tebu bakal terasa lebih menyegarkan daripada teh dalam kemasan. Akhirnya, saya membeli dua gelas air tebu. Dikemas dalam plastik yang ujungnya diikat, bersamaan dengan sedotannya. Tapi, saya juga membelikannya dua bungkus roti dalam kemasan untuknya, siapa tahu dia sedang lapar.

Tidak lama, saya segera kembali ke tempat ibu tadi. Untunglah, beliau masih berada disana. Saya kembali menghampirinya. Dia menyeka bulir-bulir keringat di dahinya. Saya sempat tertegun sejenak, memperhatikan kondisinya. Kasihan sekali rasanya, setua itu, dia masih harus bekerja kasar, menyapu halaman. Satu demi satu rumah ia lewati, sendiri, dan menyaksikan betapa bahagianya keluarga lain di dalam rumah masing-masing, sedangkan ia harus seharian berada jauh dari keluarganya sendiri dalam kondisi nyaris renta.

“Ini bu, saya udah beliin es tebu sama roti.”
“Wah, makasih banyak ya nak.” Tangannya bergetar ketika menerima minuman dari saya.
“Saya boleh duduk di situ, bu?”
“Kau.. betulan mau duduk disampingku?” dia bertanya keheranan, dengan logat Bataknya.
“I..iya, bu, boleh kan?”
“Oh boleh-boleh kok. Justru aku senang.”
“Oh iya, bu ini saya juga belikan roti. Dimakan ya bu.”
Dia menerima roti itu, tapi dia langsung menyimpannya ke dalam tasnya yang sudah sobek-sobek.
“Loh kok disimpan bu?” saya bertanya.
“Iya, ini untuk cucuku di rumah. Pasti dia senang kalau aku pulang bawa oleh-oleh.”
“Oh.. emangnya ibu tinggal dimana?”
“Di dekat sini, di belakang kompleks, dibalik sungai-sungai itu.”
“Oooh deket juga ya bu.”
“Kalau dulu ya, kami tinggalnya disini.”
“Maksud ibu?” Saya berpura-pura tidak tahu. Rasanya saya tidak salah sasaran. Dialah orangnya.
“Iya, dulu kami tinggal di kawasan rumah kalian sekarang ini.”
“Oooh kok saya baru tahu ya.”
“Teringatnya kau kok mau ya duduk samaku. Aku pikir semua orang disini sombong-sombong.”
“Ah, ibu, nggak lah. Saya memang orangnya suka temenan sama orang baru. Haha.”
“Ooh begitu, baguslah kalau kau masih mau bergaul sama orang kayak kami.”
“Ah ibu nggak usah rendah diri, toh ibu kan kerjanya halal.”
“Iya, alhamdulillah.”
“Bu, ibu kan dulu tinggal disini, kebetulan sekali, saya mau nanya.”
“Apa itu?”
“Em.. gini, di rumah saya itu, dulunya ada rumahnya siapa ya?”
“Rumahmu yang mana rupanya?”
“Itu lho bu, yang di blok **, deket sama rumahnya Pak ***. Kan beberapa kali ibu sering juga nangkring di bawah pohon di seberang rumah saya.”
“Oh, iya. Yang itu ya.”

Sejenak, ia terdiam dan melihat saya dengan sangat dalam. Keringat dingin mengalir dibalik baju saya. Rasanya saya tidak siap jika jawabannya diluar ekpektasi saya.

“Disitu.. dulu, hmm aku sudah lupa. Tapi, disini dulu ada kantor perkebunan, udah dari dulu-dulu.”
“Oh, kantor ya bu? Jadi dulu di rumah saya itu ada kantor?”
Aduh, akupun nggak tau persis. Karena dulu pun banyak bangunan lain-lain, nggak cuma itu.”
“Oooh, saya kirain rumah.”
“Iya, ada juga yang jadi rumahnya orang kantor itu dulu. Memangnya ada apa, kok kau tanya-tanya sampai kesitu?”
“Iya, bu. Di rumah saya itu, ada tangga. Katanya si tukang dulu sih tangga itu udah ada dari dulu. Terus sampai sekarang masih ada tuh, di rumah, nggak dihancurin.”
“Tangga??”

Dia kembali terdiam sejenak. Dia menutup matanya. Keringat dingin pun kembali menyucur di badan saya.

“Jadi, tangga itu sekarang di rumahmu ya.”
“I..iya, bu.”
“Saya lupa, itu dulu pekarangan rumah atau kantor. Tangga itu bukan bagian dari bangunan lama. Dulu ada sumur disitu. Sumurnya pun pas zaman kami dulu udah bertahun-tahun nggak dipakai lagi. Akhirnya ditimbun terus developer bangun rumah disitu. Masih setengah jadi, udah dihancurin lagi. Katanya tanahnya masih belum keras. Dinding-dinding semua udah runtuh, tapi..”
“Tapi apa bu?”
“Pas tangga itu mau dihancurkan, selalu gagal. Dinding-dinding lain semuanya udah runtuh, tapi pas tangga itu. Nggak, nggak bisa.”
“Kenapa begitu bu?”
“Kami semua juga nggak ada yang tahu. Kerabatku, yang dulu diperintahkan untuk kembali menghancurkan tangga itu. Tapi dia terluka karena perkakasnya sendiri. Jadi, ya sudah, keputusan mereka, tangga itu dibiarkan saja, menghindari ada orang lain terluka.”
“Wah, kok bisa begitu ya bu. Memangnya dulu ada apa ya kira-kira di bangunan lama itu? Di sumur itu?”
“Aduh, nak, aku nggak tahu menahu. Memangnya kenapa rupanya sekarang ini di rumahmu?”
“Eng.. ya, takut aja sih bu. Kayaknya ada penunggunya. Apa mungkin dulu ada yang meninggal disitu ya?”

Dia langsung berdiri dan menyudahi pembicaraan itu. Dia sepertinya tidak suka dengan percakapan itu. Padahal, saya masih ingin tahu. Sangat sangat penasaran.

“Udah, ya, nak. Ibu mau pulang, udah sore. Udah, nggak usah kau cari-cari. Kalau kau rasa ada hantu disitu, ya, setiap rumah memang pasti ada. Gak usah kau pikir aneh-aneh. Aku pun gak tahu kalau kau tanya ada apa dulu disitu. Kami semua pun nggak ada yang tahu. Kalau masalah ada yang meninggal, dimana pun kau berpijak di tanah negeri ini, pasti ada yang meninggal dulu disitu. Sudahlah. Makasih banyak ya, es tebu sama rotinya.”

Dia pun pergi meninggalkan saya. Dia mengambil topinya, dan pergi mengayuh sepedanya yang sudah reyot. Bunyi decitan dari rantai sepedanya sungguh nyaring. Di satu sisi, saya merasa mendapat sedikit jawaban. Jawaban yang tanggung. Saya sebenarnya masih belum puas, meskipun, memang benar yang dikatakannya. Dia seakan menyembunyikan sesuatu. Tapi ya sudahlah, saya tidak bisa memaksakan kehendaknya.

Sejak saat itu, pencarian saya tentang tangga, terhenti sepenuhnya. Saya tidak akan mencari tahu tentang itu lebih dalam. Yang jelas, tangga itu dulunya bukanlah bagian dari rumah atau bangunan siapapun, melainkan ada sumur. Tidak tahu, apakah dulu sumur itu ada di dekat tangga atau persis dibawah tangga itu sekarang berdiri. Yang jelas, berdasarkan yang saya baca. Jin juga menjadikan lubang-lubang yang gelap sebagai tempat tinggal mereka.

Tapi, tentu saja, misteri itu belum terpecahkan. Karena, berdasarkan yang saya alami, gangguan-gangguan itu bukan hanya dari rumah saja. Bagaimana dengan guci? Keris? Benda-benda itu pernah mengganggu kami dan mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan tangga itu. Masih ada misteri di sisi lain yang sebenarnya tidak berhubungan dengan tangga itu. Saya pun kembali memikirkan semuanya, mengulang kembali apa-apa yang telah terjadi. Tapi, mungkin tidak secepat itu. Saya akhirnya kembali ke pedoman utama; biarlah waktu yang menjawab. Tidak perlu menghabiskan waktu hanya untuk hal-hal yang tidak perlu, meskipun mengganggu.

Ya, waktu libur masih panjang. Yang awalnya saya hanya bersepeda kesana kemari, saat itu saya mulai sering berjalan kaki sendiri, mengelilingi kompleks. Tapi, bukan pagi, siang maupun sore, melainkan saat malam. Saya rasa malam adalah waktu yang tepat karena suasana sudah lebih tenang dan tidak panas. Sedangkan saat pagi, hmm rasanya sulit sekali di saat-saat libur harus bangun pagi-pagi. Kegiatan ‘jurit malam’ itu saya lakukan atas dasar rasa bosan.

Seringkali, saat saya berjalan melewati rumah-rumah warga yang memelihara anjing di depan rumah mereka, anjing mereka selalu menggonggong dengan sangat hebat. Mereka melolong, mengaum dan menyalak. Mereka bersembunyi dari saya, anjing-anjing itu mengintip dengan sorot mata yang mengerikan. Saya sebenarnya selalu takut setiap kali hal itu terjadi. Tapi, rasanya selalu ada yang menenangkan saya.

Saya sering duduk sendiri di pinggiran danau kompleks. Menikmati hembusan angin. Terkadang ada beberapa teman saya sekompleks yang sedang kebetulan lewat dan ikut bergabung dengan saya untuk ngobrol sejenak.

Sudah berhari-hari saya melakukan ‘jurit malam’ itu. Hampir setiap malam, saya juga melihat ada anak perempuan yang juga duduk-duduk di danau. Terkadang ia duduk bersama orang lain. Tidak tahu apakah mereka temannya atau keluarganya. Tidak ada yang aneh dengan mereka, begitulah prasangka saya. Akhirnya, pada satu kesempatan, saya memberanikan diri menghampirinya. Karena selama ini sudah cukup sering kami berpapasan mata, tanpa saling menegur. Saya mendekatinya. Dia melihat ke arah saya. Wajahnya manis, sepertinya dia lebih muda dari saya saat itu. Rambutnya digerai. Pakaiannya bersih, tapi cara berpakaiannya agak aneh. Dia mengenakan rok panjang dan kemeja dibalut cardigan berbahan tipis. Dia tersenyum, tanpa mengucapkan apa-apa. Sejenak, dia memperhatikan ke arah belakang saya, dan wajahnya langsung berubah. Sejujurnya saya merasa marah, marah dengan ‘sesuatu’ yang mungkin benar-benar selalu mengikuti saya dan membuat orang-orang takut. Saya bertanya ada apa, tapi ia diam saja. Senyumnya sudah hilang. Saya mencoba bertanya dimana rumahnya. Dia diam, dan kembali senyum. Percakapan itu terasa begitu aneh. Di senyumannya yang kedua, ada perasaan yang begitu aneh dalam benak saya. Yang awalnya saya ingin berkenalan dengannya, saat itu rasanya saya membencinya dengan amat sangat. Tapi semua itu saya tahan. Saya tidak ingin terus-terusan dikendalikan oleh bisikan-bisikan aneh di dalam benak saya sendiri. Anak perempuan itu belum menjawab pertanyaan saya, dia justru membalikkan badan. Tapi akhirnya ada kata-kata yang terlontar dari mulutnya.
“Blok **, nomor **.”
Ia kembali menolehkan wajahnya ke belakang, ke arah wajah saya, sambil tersenyum sedikit.
Saya merasa ada yang berbeda dengan ekspresi wajahnya, juga suaranya. Suaranya tidak terasa asing. Suaranya lembut.
Tanpa berlama-lama, saya bergegas berjalan kembali ke rumah karena angin berhembus kencang. Sepertinya akan turun hujan. Setibanya di rumah, saya membuka pagar. Dan, saya melihat angka yang tertempel di tembok rumah saya. Blok **, no **. Astaga. Saya baru menyadari. Saya masih ingat dengan jelas. Alamat rumah yang anak tadi sampaikan, adalah alamat rumah saya sendiri!

(to be continued…)
Diubah oleh hafizwidjojo 26-08-2016 06:07
AnakRumahan580
elnusha
Horror.Lovers
Horror.Lovers dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.