- Beranda
- Stories from the Heart
Life of Evelyn
...
TS
alexisrene
Life of Evelyn

cover by awayaye
Quote:
Title: Life of Evelyn
Model: Cerita fiksi
Genre: Family, Romance, Drama
Warning Content: Incest, Lesbian
Sinopsis:
Model: Cerita fiksi
Genre: Family, Romance, Drama
Warning Content: Incest, Lesbian
Sinopsis:
Rena Eveline, yang kelak bernama Emma Evelyn Ardianata adalah sosok gadis kecil yang dilahirkan dari keluarga miskin di pinggiran ibukota provinsi. Semasa kecil, ibunya selalu mengajarkannya membaca dan menulis. Sampai tiba suatu masa, ibunya pergi meninggalkannya bersama sang ayah. Ibunya tak pernah memberi kabar tentang kepergiannya ataupun kondisinya diluarsana. Kepergiannya sama sekali tidak meninggalkan jejak.
Hal itu menyebabkan sang ayah depresi. Bertahun-bertahun, sang ayah melampiaskan seluruh kekesalannya pada Eveline. Hingga tepat di tahun kelima Eveline bersekolah. Seseorang datang memberi bantuan. Seseorang yang akan memberinya dunia yang baru. Seseorang yang dapat memenuhi hasrat haus akan ilmunya.
Seseorang yang kemudian ia sebut sebagai kakak angkatnya. Seorang anak konglomerat negeri ini. Yang memintanya membangun usahanya kembali.
Quote:
Diubah oleh alexisrene 24-08-2016 18:05
anasabila memberi reputasi
1
3.7K
41
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
alexisrene
#32
Chap II, Bagian III
Aku mengacak-ngacak rambutku dengan frustasi. Uh! Bodohnya aku. Kenapa aku sampai lupa cara menghitung debit air. Aku membalik-balikan kertas buku catatanku. Berharap suatu ketika, catatanku itu mengikuti rumus yang kugunakan saat tes. Tapi biar bagaimanapun harapanku itu tetap menjadi khalayan.
Bagaimana jika Pak Joko tahu aku gagal dalam tes? Perasaan takut mulai menghantui pikiranku. Ini semua gara-gara Om Rangga! Gara-gara dia. Aku tidak bisa berpikir jernih selama tes berlangsung. Kebencian merasuk dalam diriku pada sosok pria tua itu. Aku juga ikut mengutuk diriku yang terperngaruhi oleh perkataannya
"Ukhh!" Mendesah gelisah. Tiba-tiba seseorang datang menepuk bahuku.
"Eveline?"
Mengangkat kepalaku, aku melihat wajah Mama Dheane sedang memandangku dengan raut muka khawatir. Mama sungguh-sungguh datang menjemputku kemari? Tidak bisa kupungkiri, kelegaan langsung menyeruak dihatiku.
"Mama!" Kataku yang langsung berhambur memeluk pinggang Mama Dheane.
"Loh kamu kenapa? Gimana tesnya tadi? Kamu bisa kan?" Tanya Mama Dheane bertubi-tubi.
"A-aku gagal, ma." Akuku sambil menguatkan cengkramanku pada gaun terusan Mama Dheane. Mencoba menguatkan diriku sendiri.
"Eveline kok kamu bilangnya gitu sih? Kan pengumumannya masih satu jam lagi.." Mama mendorong tubuhku untuk melepas dekapanku. Saat kulihat kedua manik mata Mama, ia menatapku dengan penuh kelembutan.
"Kamu jangan pesimis gini ya. Eveline pasti jadi juara, mama yakin!" Mama tersenyum menyakinkan.
Mendengar kata-kata penyejuk Mama, membuat kegelisahanku berangsur sirna. Aku mengangguk kecil. Membalas senyum mama dengan senyumku yang seadanya. Kuharap aku benar-benar masih memiliki kesempatan untuk menjadi juara.
"Kamu minum ini dulu. Biar lebih tenangan." Mama menyodorkan sekotok susu dingin padaku.
"Diusiamu yang sekarang. Kamu harus minum susu yang banyak. Biar jadi tinggi, ngalahin Dheane. Otak juga jadi fresh." Ucapan mama belum selesai. Ia mengambil napasnya, setelah itu barulah ia menambahkan,
"Nah uang jajan kamu. Kamu gunain buat beli susu setiap harinya. Uang kamu mama kasih 50ribu dulu, gak baik anak seusia kamu megang uang sebanyak itu. Nanti setiap minggunya mama kasih 50rb. Oke?"
Jujur saja, aku takjub dengan perhatian yang Mama berikan padaku. Aku merasa hubungan kami ini layaknya hubungan ibu dan anak sebenar-benarnya. Aku merindukan ini. Sangat.
"I-Iya Ma." Jawabku. Secara perlahan otot-otot diwajahku mengendur seiring dengan turunnya tensi emosiku.
"Sambil nunggu hasil, kita beli makan dulu yuk di kantin." Ajak Mama. Tangannya mulai mencekal pergelangan tanganku untuk ia bawa ke tempat yang dimaksud. Tapi aku menahannya,
"B-Bentar Ma. Pak Joko kemana?" Aku tak melihatnya sejak ia mengatarku masuk ke ruang tes. Seharusnya dia yang lebih dulu menjemputku datang kesini daripada Mama Dheane. Sementara ini sudah masuk menit ke-15 setelah bel pertanda tes berakhir berdering.
"Gak tahu, emangnya Pak Joko datang kesini ya?"
"Pak Joko yang nganterin Eve kesini.."
"Hmm begitu. Ah nanti juga palingan kita ketemu Pak Joko pas pengumuman." Tanggap Mama Dheane enteng. Perkataannya ada benarnya, tidak mungkin Pak Joko meninggalkanku disini. Ia kan berkeinginan mendampingiku saat pengumuman nanti.
"I-Iya."
"Yaudah yuk."
Kami menuju kantin makanan yang ramai dikunjungi para peserta olimpiade. Mereka saling bercengkrama satu sama lain. Membicarakan soal-soal yang baru mereka kerjakan. Ada yang membahasnya dengan semangat yang menggebu-gebu. Ada pula yang tampak lesu. Sementara aku? Aku menolak membahasnya. Itu hanya membuatku tambah sakit hati. Tapi Mama malah mengungkit-ungkit,
"Kenapa kamu punya pikiran tesnya gagal?" Tanya Mama prihatin.
"A-Ada beberapa soal yang aku salah ngerjain Ma.." lirihku sambil memutar-mutar sedotan dalam kotak susu.
"Ada berapa banyak?"
Aku mengangkat bola mataku. Menghitung kembali soal-soal yang kupikir aku telah keliru dalam mengerjakannya. Jumlahnya sih memang tidak terlalu banyak. Tapi tetap saja itu mengurangi peluang yang aku miliki agar lolos seleksi.
"E-Empat."
"Hanya empat? Kalau begitu tidak ada yang perlu kamu khawatirin Line..."
"I-Iya tapi kan--"
"Hst ga ada tapi-tapian. Sekarang kamu mau makan apa?"
Aku menggeleng lemah. Tidak bernafsu memakan apapun. Tapi nasihat Mama Dheane ada benarnya. Susu dingin membuat otakku lebih rileks. Mungkin aku akan akan membelinya lagi dengan uang jajanku.
"Kamu yakin? Yaudah Mama beli makan dulu. Mama belum sarapan pagi ini."
Aku mengangguk mengiyakan. Diikuti oleh kepergian Mama yang masuk ke dalam kerumunan orang-orang. Tak berselang lama sepeninggal Mama, seorang lelaki duduk dihadapanku. Ia memandangku lurus. Seperti memperhatikan.
Aku yang sedari tadi melihat gerak-geriknya kini menunduk canggung. Apa-apaan laki-laki itu? Ia datang dan bertingkah aneh. Ini membuat sedikit tidak nyaman.
"Siapa namamu?" Sahutnya membuka topik pembicaraan.
Aku melirik lelaki itu sedikit. Memastikan lelaki itu benar-benar sedang mengajakku berbicara. Bukan orang lain. Menyadari ia memang mengajakku bicara, barulah aku angkat bicara.
"Eveline."
"Eveline. Kamu cantik banget. Dari sekolah mana kamu?"
"A-Aku dari SD Anugrah 4.."
"Oh begitu. Kenalin, namaku Aldiano. Aku dari SD Pita Harapan 3." Ia mengulurkan tangannya. Sedikit berdiri untuk mengapai jarak denganku.
"I-Iya..."
"Aduh Adi. Ternyata kamu disini, Mama cariin kemana-mana!" Sewot seorang wanita seusia Mama Dheane dengan berkacak pinggang dibelakang anak itu.
"Mama! Kenalin Ma, ini namanya Eveline. Dia dari SD Anugrah 3. Katanya sih dia yang bakal menangin olimpiade ma!"
Aku membelalakan mataku mendengar lancangnya perkataan Aldiano, "Ti-Tidak begitu kok.." kataku menyanggah. Hey, aku tidak pernah bilang aku akan menjadi pemenang nantinya!
"Oh ya? Bagus-bagus." Bisa kulihat perempuan itu tidak banyak merespon karena letih. Ia akhirnya duduk disamping putranya sambil membuang napas lega.
"Ma nanti Eveline boleh ke rumah ya? Aku mau belajar matematika sama Eveline!" Seru Adi menggebu-gebu. Lagi aku dikejutkan perkataannya yang seenaknya saja berbicara.
"Boleh." Jawab sang Ibu sekenanya.
Uh aku tidak mengerti dengan tingkah laku mereka ini.
"Wah-wah ada siapa ini? Temen kamu ya Line?" Tanya Mama Dheane setibanya di meja yang kami singgahi. Ia membawa satu kotak sterofom berisi makanan.
"Bu--"
"Iya aku temennya dia, namaku Aldiano!" Kata Adi kembali berseru lantang memotong ucapanku.
"Ohahaha. Aldiano ya. Aldi ikut olimpiade juga?"
"Ikut tante! Tante mamanya Eveline ya? Mamanya Eveline ternyata cantik juga, seperti Eveline!"
"Ah masa iya? Padahal tante ini bukan mamanya Eveline lho.." Kata Mama Dheane disertai senyum jahil. Membuat rona kemerahan menyembul dikedua pipi anak itu.
"Aduh maafin anak saya, bu.. dia emang sifatnya begitu." Timpal Ibu Adi ikut menanggung malu.
"Ah gak apa-apa. Saya senang kalau Eveline punya temen baru disini."
"Iya yah bu. Tapi Eveline ini anaknya memang cantik. Dia siapanya ibu ya?"
"Saya Mama dari sahabatnya Eveline. Saya datang kesini khusus buat nemenin dia." Aku Mama Dheane yang sedetik kemudian membuka kotak makanannya.
"Aduh ibu kok baik sekali mau nemenin anak orang lain." Puji Ibu Adi sambil menyentuh satu pipinya. Merasa tersentuh.
"Ah biasa saja. Saya makan dulu ya Bu."
"Oh iya silahkan."
'
'
'
"Saya akan membacakan peserta yang lolos di olimpiade tingkat kota dan akan melanjutkan usahanya ke tingkat provinsi. Dari 250 siswa saya hanya akan menyebut tiga nama siswa saja. Jadi dengarkan saya baik-baik."
Aku memasang kuping dan pendengaranku baik-baik. Atensiku sudah terpusat pada pria berbadan subur yang tengah mengenggam selembar kertas diatas panggung. Ia memberi jeda menunggu keheningan tercipta di ruangan itu. Sementara itu, Mama Dheane menangkup satu tanganku. Berusaha menyalurkan kekuatan dari genggaman tangannya. Lalu..
"Peserta 3, dimenangkan oleh Fras Putra Ramadhan. Bagi siswa yang bersangkutan dan guru pendampingnya, silahkan maju kedepan."
Aku melihat seorang anak laki-laki jangkung mengacungkan kepalan tangannya ke udara. Lalu selanjutnya ia diberi kesempatan untuk menaiki panggung setelah derai tepukan tangan tercipta diantara para hadirin. Setelah keadaan kembali hening, Bapak itu melanjutkan bacaannya.
"Peserta kedua, dimenangkan oleh..." Rasanya detik itu juga aku berhenti bernapas. Perasaan haru dan senang berpadu menjadi satu seiring dengan mataku yang mengikuti gerak bibir pria itu
"Rena Eveline!"
Mama dengan cekatan membimbing tanganku ikut terangkat keatas. Aku berdiri dan mulai melangkah maju keatas panggung. Derai tepuk tangan kembali memeriahkan kondisi seantaro ruangan. Aku masih tidak percaya kalau aku berhasil lolos diseleksi olimpiade tingkat kota. Ini bukan mimpi kan? Bukankah seharusnya aku gagal dalam seleksi?
Aku berdiri dengan tatapan kosong. Masih tidak mempercayai kalau aku memang benar-benar telah lolos seleksi. Tapi kemudian, suara MC menyadarkanku dari lamunan.
"Pendampingnya?"
"Hah?" Aku menoleh kesana kemari. Benar saja, aku tidak bisa melihat tanda-tanda keberadaan Pak Joko diseluruh penghujung ruangan. Kepanikanku itu semakin menjadi-jadi setelah seorang pria botak pelontos berdiri tegak.
"Oh maaf. Saya, saya!" Ujarnya dari tempatnya berpijak. Itu Om Rangga. Kenapa dia ada disini? Kenapa Pak Joko justru tidak ada disini disaat pengumuman lolosnya peserta disebutkan? Kemana perginya Pak Joko? Apa yang telah terjadi pada dirinya?
"Halo lagi, Eveline." Om Rangga memberi salam. Tangan lebarnya kembali menyentuh kepalaku untuk ia usap pelan. Kali ini sentuhannya terasa dingin ketika kulit tangannya bersinggungan dengan kulit kepalaku. Aku bergidik ngeri karenanya.
"Selamat ya udah jadi juara." Katanya lagi.
"Baiklah, selanjutnya saya akan mengumumkan kembali peserta yang lolos. Peserta pertama kita, dengan perolehan skor tertinggi. Aldiano Revaldi Wiranto!"
Kali ini napasku benar-benar tercekat. Bagaimana bisa, dia ternyata...
Adi berjalan kedepan dengan penuh percaya diri. Langkah tegapnya menunjukkan kepercayaannya tersebut. Ekspresi wajahnya sama sekali tidak terlihat terkejut, Adi seperti sudah menduga bahwa ia akan lolos dalam seleksi ini. Ia melempar satu kedipan mata ketika sudah berdiri tepat disampingku.
"Benarkan? Aku bilang juga kamu pasti bakal menang, Eveline!"
Bagaimana jika Pak Joko tahu aku gagal dalam tes? Perasaan takut mulai menghantui pikiranku. Ini semua gara-gara Om Rangga! Gara-gara dia. Aku tidak bisa berpikir jernih selama tes berlangsung. Kebencian merasuk dalam diriku pada sosok pria tua itu. Aku juga ikut mengutuk diriku yang terperngaruhi oleh perkataannya
"Ukhh!" Mendesah gelisah. Tiba-tiba seseorang datang menepuk bahuku.
"Eveline?"
Mengangkat kepalaku, aku melihat wajah Mama Dheane sedang memandangku dengan raut muka khawatir. Mama sungguh-sungguh datang menjemputku kemari? Tidak bisa kupungkiri, kelegaan langsung menyeruak dihatiku.
"Mama!" Kataku yang langsung berhambur memeluk pinggang Mama Dheane.
"Loh kamu kenapa? Gimana tesnya tadi? Kamu bisa kan?" Tanya Mama Dheane bertubi-tubi.
"A-aku gagal, ma." Akuku sambil menguatkan cengkramanku pada gaun terusan Mama Dheane. Mencoba menguatkan diriku sendiri.
"Eveline kok kamu bilangnya gitu sih? Kan pengumumannya masih satu jam lagi.." Mama mendorong tubuhku untuk melepas dekapanku. Saat kulihat kedua manik mata Mama, ia menatapku dengan penuh kelembutan.
"Kamu jangan pesimis gini ya. Eveline pasti jadi juara, mama yakin!" Mama tersenyum menyakinkan.
Mendengar kata-kata penyejuk Mama, membuat kegelisahanku berangsur sirna. Aku mengangguk kecil. Membalas senyum mama dengan senyumku yang seadanya. Kuharap aku benar-benar masih memiliki kesempatan untuk menjadi juara.
"Kamu minum ini dulu. Biar lebih tenangan." Mama menyodorkan sekotok susu dingin padaku.
"Diusiamu yang sekarang. Kamu harus minum susu yang banyak. Biar jadi tinggi, ngalahin Dheane. Otak juga jadi fresh." Ucapan mama belum selesai. Ia mengambil napasnya, setelah itu barulah ia menambahkan,
"Nah uang jajan kamu. Kamu gunain buat beli susu setiap harinya. Uang kamu mama kasih 50ribu dulu, gak baik anak seusia kamu megang uang sebanyak itu. Nanti setiap minggunya mama kasih 50rb. Oke?"
Jujur saja, aku takjub dengan perhatian yang Mama berikan padaku. Aku merasa hubungan kami ini layaknya hubungan ibu dan anak sebenar-benarnya. Aku merindukan ini. Sangat.
"I-Iya Ma." Jawabku. Secara perlahan otot-otot diwajahku mengendur seiring dengan turunnya tensi emosiku.
"Sambil nunggu hasil, kita beli makan dulu yuk di kantin." Ajak Mama. Tangannya mulai mencekal pergelangan tanganku untuk ia bawa ke tempat yang dimaksud. Tapi aku menahannya,
"B-Bentar Ma. Pak Joko kemana?" Aku tak melihatnya sejak ia mengatarku masuk ke ruang tes. Seharusnya dia yang lebih dulu menjemputku datang kesini daripada Mama Dheane. Sementara ini sudah masuk menit ke-15 setelah bel pertanda tes berakhir berdering.
"Gak tahu, emangnya Pak Joko datang kesini ya?"
"Pak Joko yang nganterin Eve kesini.."
"Hmm begitu. Ah nanti juga palingan kita ketemu Pak Joko pas pengumuman." Tanggap Mama Dheane enteng. Perkataannya ada benarnya, tidak mungkin Pak Joko meninggalkanku disini. Ia kan berkeinginan mendampingiku saat pengumuman nanti.
"I-Iya."
"Yaudah yuk."
Kami menuju kantin makanan yang ramai dikunjungi para peserta olimpiade. Mereka saling bercengkrama satu sama lain. Membicarakan soal-soal yang baru mereka kerjakan. Ada yang membahasnya dengan semangat yang menggebu-gebu. Ada pula yang tampak lesu. Sementara aku? Aku menolak membahasnya. Itu hanya membuatku tambah sakit hati. Tapi Mama malah mengungkit-ungkit,
"Kenapa kamu punya pikiran tesnya gagal?" Tanya Mama prihatin.
"A-Ada beberapa soal yang aku salah ngerjain Ma.." lirihku sambil memutar-mutar sedotan dalam kotak susu.
"Ada berapa banyak?"
Aku mengangkat bola mataku. Menghitung kembali soal-soal yang kupikir aku telah keliru dalam mengerjakannya. Jumlahnya sih memang tidak terlalu banyak. Tapi tetap saja itu mengurangi peluang yang aku miliki agar lolos seleksi.
"E-Empat."
"Hanya empat? Kalau begitu tidak ada yang perlu kamu khawatirin Line..."
"I-Iya tapi kan--"
"Hst ga ada tapi-tapian. Sekarang kamu mau makan apa?"
Aku menggeleng lemah. Tidak bernafsu memakan apapun. Tapi nasihat Mama Dheane ada benarnya. Susu dingin membuat otakku lebih rileks. Mungkin aku akan akan membelinya lagi dengan uang jajanku.
"Kamu yakin? Yaudah Mama beli makan dulu. Mama belum sarapan pagi ini."
Aku mengangguk mengiyakan. Diikuti oleh kepergian Mama yang masuk ke dalam kerumunan orang-orang. Tak berselang lama sepeninggal Mama, seorang lelaki duduk dihadapanku. Ia memandangku lurus. Seperti memperhatikan.
Aku yang sedari tadi melihat gerak-geriknya kini menunduk canggung. Apa-apaan laki-laki itu? Ia datang dan bertingkah aneh. Ini membuat sedikit tidak nyaman.
"Siapa namamu?" Sahutnya membuka topik pembicaraan.
Aku melirik lelaki itu sedikit. Memastikan lelaki itu benar-benar sedang mengajakku berbicara. Bukan orang lain. Menyadari ia memang mengajakku bicara, barulah aku angkat bicara.
"Eveline."
"Eveline. Kamu cantik banget. Dari sekolah mana kamu?"
"A-Aku dari SD Anugrah 4.."
"Oh begitu. Kenalin, namaku Aldiano. Aku dari SD Pita Harapan 3." Ia mengulurkan tangannya. Sedikit berdiri untuk mengapai jarak denganku.
"I-Iya..."
"Aduh Adi. Ternyata kamu disini, Mama cariin kemana-mana!" Sewot seorang wanita seusia Mama Dheane dengan berkacak pinggang dibelakang anak itu.
"Mama! Kenalin Ma, ini namanya Eveline. Dia dari SD Anugrah 3. Katanya sih dia yang bakal menangin olimpiade ma!"
Aku membelalakan mataku mendengar lancangnya perkataan Aldiano, "Ti-Tidak begitu kok.." kataku menyanggah. Hey, aku tidak pernah bilang aku akan menjadi pemenang nantinya!
"Oh ya? Bagus-bagus." Bisa kulihat perempuan itu tidak banyak merespon karena letih. Ia akhirnya duduk disamping putranya sambil membuang napas lega.
"Ma nanti Eveline boleh ke rumah ya? Aku mau belajar matematika sama Eveline!" Seru Adi menggebu-gebu. Lagi aku dikejutkan perkataannya yang seenaknya saja berbicara.
"Boleh." Jawab sang Ibu sekenanya.
Uh aku tidak mengerti dengan tingkah laku mereka ini.
"Wah-wah ada siapa ini? Temen kamu ya Line?" Tanya Mama Dheane setibanya di meja yang kami singgahi. Ia membawa satu kotak sterofom berisi makanan.
"Bu--"
"Iya aku temennya dia, namaku Aldiano!" Kata Adi kembali berseru lantang memotong ucapanku.
"Ohahaha. Aldiano ya. Aldi ikut olimpiade juga?"
"Ikut tante! Tante mamanya Eveline ya? Mamanya Eveline ternyata cantik juga, seperti Eveline!"
"Ah masa iya? Padahal tante ini bukan mamanya Eveline lho.." Kata Mama Dheane disertai senyum jahil. Membuat rona kemerahan menyembul dikedua pipi anak itu.
"Aduh maafin anak saya, bu.. dia emang sifatnya begitu." Timpal Ibu Adi ikut menanggung malu.
"Ah gak apa-apa. Saya senang kalau Eveline punya temen baru disini."
"Iya yah bu. Tapi Eveline ini anaknya memang cantik. Dia siapanya ibu ya?"
"Saya Mama dari sahabatnya Eveline. Saya datang kesini khusus buat nemenin dia." Aku Mama Dheane yang sedetik kemudian membuka kotak makanannya.
"Aduh ibu kok baik sekali mau nemenin anak orang lain." Puji Ibu Adi sambil menyentuh satu pipinya. Merasa tersentuh.
"Ah biasa saja. Saya makan dulu ya Bu."
"Oh iya silahkan."
'
'
'
"Saya akan membacakan peserta yang lolos di olimpiade tingkat kota dan akan melanjutkan usahanya ke tingkat provinsi. Dari 250 siswa saya hanya akan menyebut tiga nama siswa saja. Jadi dengarkan saya baik-baik."
Aku memasang kuping dan pendengaranku baik-baik. Atensiku sudah terpusat pada pria berbadan subur yang tengah mengenggam selembar kertas diatas panggung. Ia memberi jeda menunggu keheningan tercipta di ruangan itu. Sementara itu, Mama Dheane menangkup satu tanganku. Berusaha menyalurkan kekuatan dari genggaman tangannya. Lalu..
"Peserta 3, dimenangkan oleh Fras Putra Ramadhan. Bagi siswa yang bersangkutan dan guru pendampingnya, silahkan maju kedepan."
Aku melihat seorang anak laki-laki jangkung mengacungkan kepalan tangannya ke udara. Lalu selanjutnya ia diberi kesempatan untuk menaiki panggung setelah derai tepukan tangan tercipta diantara para hadirin. Setelah keadaan kembali hening, Bapak itu melanjutkan bacaannya.
"Peserta kedua, dimenangkan oleh..." Rasanya detik itu juga aku berhenti bernapas. Perasaan haru dan senang berpadu menjadi satu seiring dengan mataku yang mengikuti gerak bibir pria itu
"Rena Eveline!"
Mama dengan cekatan membimbing tanganku ikut terangkat keatas. Aku berdiri dan mulai melangkah maju keatas panggung. Derai tepuk tangan kembali memeriahkan kondisi seantaro ruangan. Aku masih tidak percaya kalau aku berhasil lolos diseleksi olimpiade tingkat kota. Ini bukan mimpi kan? Bukankah seharusnya aku gagal dalam seleksi?
Aku berdiri dengan tatapan kosong. Masih tidak mempercayai kalau aku memang benar-benar telah lolos seleksi. Tapi kemudian, suara MC menyadarkanku dari lamunan.
"Pendampingnya?"
"Hah?" Aku menoleh kesana kemari. Benar saja, aku tidak bisa melihat tanda-tanda keberadaan Pak Joko diseluruh penghujung ruangan. Kepanikanku itu semakin menjadi-jadi setelah seorang pria botak pelontos berdiri tegak.
"Oh maaf. Saya, saya!" Ujarnya dari tempatnya berpijak. Itu Om Rangga. Kenapa dia ada disini? Kenapa Pak Joko justru tidak ada disini disaat pengumuman lolosnya peserta disebutkan? Kemana perginya Pak Joko? Apa yang telah terjadi pada dirinya?
"Halo lagi, Eveline." Om Rangga memberi salam. Tangan lebarnya kembali menyentuh kepalaku untuk ia usap pelan. Kali ini sentuhannya terasa dingin ketika kulit tangannya bersinggungan dengan kulit kepalaku. Aku bergidik ngeri karenanya.
"Selamat ya udah jadi juara." Katanya lagi.
"Baiklah, selanjutnya saya akan mengumumkan kembali peserta yang lolos. Peserta pertama kita, dengan perolehan skor tertinggi. Aldiano Revaldi Wiranto!"
Kali ini napasku benar-benar tercekat. Bagaimana bisa, dia ternyata...
Adi berjalan kedepan dengan penuh percaya diri. Langkah tegapnya menunjukkan kepercayaannya tersebut. Ekspresi wajahnya sama sekali tidak terlihat terkejut, Adi seperti sudah menduga bahwa ia akan lolos dalam seleksi ini. Ia melempar satu kedipan mata ketika sudah berdiri tepat disampingku.
"Benarkan? Aku bilang juga kamu pasti bakal menang, Eveline!"
0
