Beda pendapat boleh, tapi jangan gigit jari kalau pendapat kita nggak sama
Jangan off topic yang sampai dimana kita ngomongin Brexit disini.
Jangan SARA, tapi kalau nikah SIRI boleh BADUMTSSS
Jangan kepo. Karena udah nggak ada lagi yang bisa dikepoin, ketika seseorang naruh hidupnya di internet.
NOTES FOR READER
Quote:
Gue bikin thread ini bukan buat compliments fishing/bikin lo empathy sama gue and vice versa.
Spoiler for BUKA:
I'm doing this for my sanity. Iye ye, gue tahu hidup itu menderita, ekonomi memburuk jadi susah buat ngelunasin Porche, tapi ya mau diapain? TBH gue emang seneng kalau tulisan gue bikin lo seneng dan itu udah cukup. Gue disini hanya untuk babbling, kadang self-loathing, kadang ngebahas yang lain (dan lebih seringnya begitu). Dan ingat, semua orang ada dosa+penderitaan masing-masing. Apa yang lo sebut penderitaan, bukan berarti gue juga idem. Likewise.
so, just enjoy the goddamn show.
PENTING!
Quote:
Original Posted By ninjaberpiyama►Share info aja buat yang baca ini and feeling suicidal, Kemenkes punya hotline suicide do 1 500 454 tiap hari kerja jam 8 sampe 16
Barusan, gue berpikir. Apakah membantuapabila gue menaruh penderitaan gue di internet seperti ini? Terus gue merasa bahwa ini nggak worth it, bahwa yang seperti sudah-sudah orang lain cuma ingin tahu hanya untuk membuat diri mereka lebih baik daripada yang gue rasakan. Tapi gue kemudian memutuskan bahwa nggak ada salahnya untuk menulis jurnal begini disini, di tempat orang yang kemungkinan besar bakalan kecil sekali kemungkinannya untuk bisa tahu siapa yang nulis jurnal ini. Atau siapa gue yang sebenar-benarnya.
Untuk seseorang yang memiliki mood disorder, gue termasuk orang yang cukup optimistik. Gue benci kalau cowok gue mikirnya dia orang yang sial melulu dan menyuruh dia buat lebih positif dikit orangnya. Meski harus gue akui, untuk seorang manusia dia lumayan apes orangnya. Tapi gue nggak mau dia tahu bahwa gue rada setuju sama mulutnya.
Sekarang ini gue merasa baik-baik aja, nggak yang tahu-tahu dadanya sesak dan otak gue cuma bisa mikirin segala hal yang pernah terjadi di otak gue yang lantas bikin gue cringe. Tapi yang gue pelajari dari diri gue selama berusia dua puluh begini adalah hidup itu kayak roller coaster, jam 9 pagi gue bisa aja ketawa-ketawa tapi jam 9 malam gue bisa aja tidur di kubangan air mata. Kadang seharian gue cuma mau nangis sesegukan dengan hebat, kadang gue nyari bahan buat dijadiin ribut sama cowok gue, dan kadang gue juga berusaha untuk ngasih tahu diri gue sendiri bahwa gue masih muda dan gue harus relax. Dan nggak jarang, ketiga itu dijadiin satu sehingga paru-paru gue kayak kepayahan dalam bernapas ketika merasakan semua itu ganti-gantian membuat gue membatu.
Tapi serius, yang paling kasihan diantara kita berdua adalah cowok gue. Terutama semenjak kita berdua tinggal bareng dan dia juga lagi mempersiapkan bahan buat bisnis dia selanjutnya, gue adalah bom waktu berjalan yang sewaktu-waktu cuma bisa bikin dia menatap gue dengan tatapan nanar. Dan sekalipun empati gue nyaris nol, gue berusaha keras untuk jadi posisi cowok gue yang sekarang, dimana gue nyadar bahwa jadi pacarnya orang depresi itu sama sekali nggak enak.
Kayak, dua-duanya hancur begitu.
Gue nggak mau dia ngerasa begitu.
Tapi gue nggak tahu, apakah antidepressant bisa membuat gue nggak terbelenggu lagi kayak begini. Tapi dari apa yang gue baca, bahkan ketika orang depresi lagi dalam proses pengobatan, itu cuma ngurangin, dan bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk sampai pada tahap bahwa akhirnya orang itu terbebas dari penderitaannya.
Cuma yang paling anjing sih, ketika lo lagi sakit mental begini orang yang kagak tahu apa-apaan mikirnya lo cari perhatian doang. Orang yang nggak tahu apa-apa, yang nggak ngerti sakitnya gimana nggak selalu stabil begini, selalu dengan santainya bilang. " Ya udah sih, jangan diterlalu pikirin. ", " Makanya bergaul biar otak lo kagak sedih melulu ", " Lo sedih karena kurang Tuhan tuh ", dsb. Bahkan ada yang berani bilang bahwa depresi itu cuma alasan supaya bisa melow-melow melankolis begitu.
Dan itu salah satu alasan, gue berhenti memberitahu orang betapa sakitnya gue. Terlepas dari penampilan eksterior gue yang selalu orang bilang bahwa gue ceria, sense of humournya bagus, cuek dan gila. Dibalik semua itu ada gue yang kesusahan untuk mempertahankan sanity gue.
.
Spoiler for we shall carry on living:
Dimata gue, sebuah profesi itu bukan cita-cita. Tapi i dopunya cita-cita. Cita-cita gue adalah lepas dari keluarga gue yang toxic.
Shocking.
Tapi serius, keluarga gue toxic dan dari posisi gue yang sekarang, gue nggak ada tempat lagi di antara mereka. Bokap gue sekarang udah punya keluarga baru (lagi) dimana dia menghasilkan spawn kecil-kecil, cewek-cowok. Jatuhnya sih jadi half sibling sama gue. Terus nyokap gue dia juga sibuk sendiri sama cowok yang statusnya unknown. Dari yang gue rasain saat hidup sama mereka secara berganti-gantian, gue udah nggak punya tempat lagi dimana-mana.
Gue akan menceritakan dulu dari keluarga nyokap gue.
Gue udah lama tahu bahwa nyokap gue mungkin juga depresi, ditutupi dengan sikap dia yang eksentrik. Dia adalah tipikal orang yang kalau bisa off gridders banget. Dan well, ketika gue ngasih tahu bahwa pengalaman pertama gue di tempat tidur adalah sama sahabatnya, dia langsung memberitahu gue bahwa nggak ada yang salah sama itu tapi disaat yang lain dia ngasih tahu gue bahwa gue udah nggak ada artinya. Dulu, itu nyakitin banget. Tapi sekarang? Well, fvck you mom.
Nenek gue adalah orang narsis yang seratus kali lebih baik ke orang lain daripada ke keluarganya sendiri. Dia selalu butuh persetujuan dari orang lain bahwa dia orang baik, orang sukses, dan sebagainya. Nenek gue adalah enabler, dimana dia memutuskan untuk hidup dengan penderitaan dimana om gue selalu pulang dengan mabok dan teriak-teriak ngamuk, daripada teriak minta tolong ke orang dan membawa polisi ke urusan begini. Nenek gue juga rada matre, dan kepingin banget punya mantu yang sarjana abcdefg atau nggak minimal orang kaya. Tapi semenjak menantu dia nggak ada yang kayak begitu, dia menaruh beban itu ke gue.
Tante gue merupakan kleptomania, yang percaya 100% dengan ilmu mistis dimana dia 'ngaku' bisa melihat setan dan yakin alasan kenapa dia nggak bisa nikah-nikah adalah celana dalamnya dikubur ke kuburan sama mantan suaminya. Dia juga pengecut, yang benci sama nenek gue tapi entah kenapa memutuskan untuk tinggal bareng sama nenek gue. Ada banyak barang gue yang dikasih-kasih ke orang tanpa persetujuan gue dengan alasan gue juga udah nggak perduli. Darimana pula dia tahu gue udah nggak perduli kalau dia nggak nanya dulu sama gue? And ya, fvck her too.
Sedangkan om gue? well, dia pathetic. dia minum alkohol siang-siang dan pulang mabok teriak-teriak. Dia adalah anak favorit dari nenek gue dan dia juga yang mau uang dari hasil jual rumah yang dimana nenek gue masih hidup didalamnya. Long story short, dia kagak mau kerja tapi mau uang banyak.
dan apa yang mereka selalu teriakin ke gue adalah, " keluar kamu dari rumah ini kalau nggak suka sama kita" dan semacamnya. Dan ketika gue pada akhirnya memutuskan hubungan gue dari mereka, mereka nyari-nyari gue lewat temen-temen gue, dan memohon ke mereka untuk bujuk gue balik ke rumah.
Buat apa balik ke mereka, ketika sesampainya gue disana gue cuma dikatain lagi? Tapi serius, bahkan setelah gue memutuskan hubungan dari mereka, mereka masih gangguin gue di kepala. Sebegitu hebatnya pengaruh mereka ke diri gue. Untungnya aja gue nggak suicidal.
Sedangkan dari keluarga bokap gue, bokap gue adalah pianis yang otodidak dan sepanjang hidupnya menjadi anak band. Dia musisi lah. Dia itu apatis sama sekelilingnya dan sibuk hidup di dunianya sendiri, nggak mau dikoreksi, dan entah kenapa selalu berteman dengan orang yang mau memanfaatkan dirinya aja. Dia adalah orang yang gue sayang, bahkan gue idolakan mungkin. Tapi belakangan gue sadar bahwa dia nggak lebih baik dari yang lain. Well, sewaktu gue tinggal sama dia di rumah pacarnya yang umurnya nyaris seabad, gue dapet sexual harassment dari bawahan pacarnya. Ketika gue ngasih tahu dia, dia cuma bilang "jangan diulangi lagi ya"blabla. astagadragon memang.
Istri bokap yang sekarang memiliki love-hate relationship sama gue, dan akan tetapi sekarang cuma straight enemy doang sama gue. Yang harus gue akui, partly adalah kesalahan gue. Tuntutan dia sederhana, dia minta gue buat jadi kakak yang baik buat anak-anak dia. Tapi bahkan tuntutan sesederhana itu aja gue kagak sanggup menuhinnya.
well, you know what? gue bakal ceritain lebih detil lagi dilain waktu. Somehow, lain waktu bakalan bisa lebih bercerita yang signifikan. (?)