- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#53
Part 7
Dengan tangan kanannya, Purwasih menahan tubuh Andika yang bergerak membungkuk. Tapi bukan Andika kalau tidak keras kepala. Dalam hatinya, orang yang menghormati seseorang sudah semestinya dibalas dengan penghormatan setimpal. Jadi, dengan acuh tak acuh, dipegangnya pergelangan tangan Purwasih. Lalu, tubuhnya digeser kesamping agar bisa tetap membungkuk untuk menjura. Purwasih langsung memperlihatkan wajah asam.
“Huh! Dasar kepala batu!” umpat gadis itu dalam hati.
Setelah Prabu Bratasena mempersilakan duduk, semua yang hadir pun meletakkan tubuh di kursi masing-masing. Beberapa saat suasana sunyi. Para pembesar kerajaan menatap wajah Prabu Bratasena yang berumur sekitar enam puluh delapan tahun. Tak heran kalau rambut, alis, dan kumisnya sudah memutih. Namun, kerutan di kening dan pipinya sama sekali tidak menghapus kewibawaan yang terpancar di wajahnya. Apalagi, dengan mata yang bergaris ramah serta hidung mancung. Sehingga menambah kesan kalau dia memiliki keteguhan hati. Tubuhnya tidak terlalu gemuk, terlihat dari pakaian kebesarannya yang agak longgar.
“Saudara-saudara sekalian, para pembesar Kerajaan Alengka yang sangat aku kasihi. Hari ini kita berkumpul di sini untuk menyambut kedatangan seorang pendekar yang patut dipuji sebagai pendekar bagi kaum tertindas...,” kata Prabu Bratasena memulai.
“Namanya, Andika. Dia adalah pendekar muda dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan yang amat dekat di hati rakyat. Pendekar yang menjadi cerita kepahlawanan hingga saat ini....”
Mendengar sanjungan yang menurutnya berlebihan, Andika hanya dapat menundukkan kepala. Sedangkan Purwasih yang melihat sikap Andika menjadi suka melihat kerendahan hati pemuda itu. Memang di dunia yang dipenuhi beragam watak manusia, sikap rendah hati sangat jarang ditemui. Manusia seringkali lebih suka terkagum-kagum pada setiap kelebihan diri sendiri, ketimbang harus menyembunyikannya.
Sementara itu, Patih Ranggapati tampak terkejut ketika Prabu Bratasena memperkenalkan Andika sebagai keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Sungguh sama sekali tidak disangka akan hal itu. Melihat penampilannya saja, orang tentu tidak yakin kalau pemuda itu seorang pendekar sakti! Apalagi melihat wajahnya yang terlalu muda dan terkadang terlihat agak bodoh. Memang, sewaktu pertama kali Purwasih memperkenalkannya pada anak muda itu, Andika langsung memotong ucapan Purwasih. Sehingga, Purwasih tidak sempat menyebutkan, siapa Andika sebenarnya.
“Pendekar muda kita ini berniat membantu kita memecahkan masalah pemberontakan Begal Ireng dan gerombolannya. Mereka telah terlalu banyak menimbulkan penderitaan rakyat. Terlalu banyak membuat keangkaramurkaan. Karena itu, hati anak muda ini rupanya tergerak untuk segera mengulurkan tangan. Bukan begitu, Andika?” sambung Prabu Bratasena.
Andika sebentar terkesiap.
“Oh! Ng... iya. Begitulah..., kira-kira,” jawab pemuda itu terbata.
“Apa kau tak ingin memperkenalkan julukanmu pada para pembesar kerajaan? Agar kami bisa lebih dekat mengenalmu?” tambah Prabu Bratasena.
Andika segera berdiri. Dan dia sendiri tak tahu, kenapa harus berdiri. Pokoknya, hanya ingin berdiri saja.
“Aku sebenarnya tidak pernah dijuluki oleh tokoh persilatan dengan sebutan apa pun. Karena, aku sendiri baru terjun ke dunia persilatan, setelah...,”
Andika ragu.
“Setelah apa, Andika?” desak Prabu Bratasena.
Sementara pandangan Purwasih dan para pembesar kerajaan tertuju lurus ke arah Andika, seperti menanti kelanjutannya.
“Setelah aku menjalani penyempurnaan di Lembah Kutukan...,” sambung Andika akhirnya.
Seketika terdengarlah decakan kagum yang susul-menyusul memenuhi ruang kehormatan. Bagi orang lain di luar keluarga Pendekar Lembah Kutukan, lembah yang baru saja disebut Andika memang amat mengerikan. Tak seorang pun yang pernah kembali, ketika secara kebetulan menemukan tempat itu. Mereka pernah mendengar cerita dari mulut ke mulut, kalau lembah itu dihujani petir setiap saat. Pernah juga seorang tokoh aliran sesat tanpa sengaja menemukan lembah itu, melalui jajaran pegunungan selatan yang terkenal ganas. Ketika melihat kedahsyatan lembah itu, dia kembali dalam keadaan gila dengan mulut terus mengoceh tentang ribuan lidah petir.
“Jadi, aku belum menerima julukan,” lanjut Andika, mengusik ketercengangan para pembesar istana.
“Tapi. beberapa orang menyebutku...”
Para pembesar istanadan Prabu Bratasena menunggu kelanjutan ucapan Andika. Dalam benak masing-masing, terdapat dugaan kalau julukan yang diberikan orang-orang yang disebutkan Andika tadi berkesan garang, segarang Lembah Kutukan.
“Ng.... Aku disebut sebagai Pendekar Slebor. He he he....”
Mendadak saja, semua orang yang hadir di situ memegang perut masing-masing, menahan tawa yang mau meletus!
“Yang Mulia!”
Tiba-tiba seorang prajurit berdiri di ambang pintu masuk ruang kehormatan.
“Ada apa?” tanya Prabu Bratasena.
“Ada seorang yang mengaku kenal baik dengan Tuan Andika. Dia ingin bertemu Tuan Andika,” lapor si prajurit.
Andika mengernyitkan kening. Rasanya, dia memang belum banyak mengenal orang selama terjun ke dunia persilatan. Bahkan hanya Purwasih yang dikenalnya.
“Kalau begitu, suruh dia masuk!” titah Prabu Bratasena.
Prajurit tadi segera berlari dari ambang pintu. Tak lama kemudian, dia datang lagi bersama seorang wanita. Mata Andika terbelalak. Lebih-lebih, Purwasih.
“Ningsih?” ucap Andika.
“Ningrum?” ucap Purwasih.
Lalu keduanya saling berpandangan. Ningrum atau Ningsih?
Andika sulit mengerti, mengapa Ningsih menyusulnya hingga ke istana. Sepengetahuannya, Ningsih maupun Perguruan Naga Merah telah menyelesaikan tugasnya, mengantarkan Andika dalam menjalani penyempurnaan kesaktian.
Setelah memohon diri pada Prabu Bratasena dan para pembesar kerajaan, Andika dan Purwasih segera menemui wanita itu lalu mengajaknya ke taman istana. Mereka lalu berjalan beriring menuju taman istana.
“Ada apa Ningsih?” tanya Andika, begitu tiba di taman istana.
“Ningrum! Rupanya kau...,” timpal Purwasih.
Purwasih lalu memandang Andika. Dia masih bingung kenapa Andika memanggil wanita itu Ningsih? Bukankah dia bernama Ningrum?
“Sudah dua kali kau menyebut Ningrum dengan panggilan Ningsih. Apa memang dia punya dua nama?” tanya Purwasih pada Andika.
“Ah! Aku hampir lupa,” tukas Andika bergegas.
Andika memang lupa untuk menjelaskan pada Purwasih tentang saudara kembar Ningrum, yaitu Ningsih.
“Ini Ningsih, saudara kembar Ningrum.”
(Lihat episode pertama: 'Lembah Kutukan').
“Jadi Ningrum benar-benar telah mati di tangan Begal Ireng? Ah! Kasihan sekali dia.... Kukira kau Ningrum. Habis mirip sekali dengan dia,” tutur Purwasih pada wanita di sisinya dengan wajah prihatin.
Wanita yang diajak bicara malah menggelengkan kepala.
“Aku memang Ningrum,” kata gadis yang justru malah mengaku Ningrum, perlahan.
Kini giliran Andika yang dibuat bingung. Bibirnya ditekuk seperti sedang meringis.
“Kau sedang bercanda kan, Ningsih?” tanya Andika seraya menggaruk-garuk kepala.
“Sungguh! Aku memang Ningrum,” jawab gadis itu lagi.
Dipandangnya wajah pemuda tampan itu lekat-lekat. Wajah dan bias mata gadis itu sulit digambarkan dengan kata-kata, bagai memendam sebongkah kekalutan serta kehilangan. Andika mengernyitkan kening dalam-dalam.
“Aku pasti salah dengar,” gumam Andika.
“Tapi Andika...,” sela Ningrum.
“Bisa kubuktikan kalau aku adalah Ningrum! Aku kenal Purwasih atau Naga Wanita. Dia pernah bertempur denganku sewaktu pertama kali berjumpa di Lembah Pandam. Waktu itu, kau hendak menunggu si 'Penjaga Pintu'. Dan ternyata orangnya, aku. Kalau aku Ningsih, mana mungkin kenal Purwasih?”
Andika menghentikan langkahnya. Tubuhnya mematung, membelakangi Ningrum dan Purwasih. Tampak, hatinya masih belum percaya kalau Ningrum masih hidup. Masih dapat dirasakan puing-puing kehancuran dalam hatinya, ketika mendengar berita kematian Ningrum, orang yang menanam benih cinta pertamanya. Sampai kini, luka di hatinya masih menganga. Dan tiba-tiba saja, wanita di belakangnya mengaku Ningrum?
Semestinya Andika gembira. Tapi kenapa yang hadir dalam hatinya pada saat itu justru setumpuk kekecewaan? Dia sendiri tak tahu. Atau, barangkali karena merasa telah dibohongi? Dengan kebohongan itu, harapan dan kebeningan cintanya pada Ningrum hancur.
“Kau tak gembira kalau aku masih hidup Andika?” desah Ningrum, dibebani rasa penyesalan.
“Aku mengaku salah. karena telah membohongimu. Dan tentang saudara kembarku yang sebenarnya, memang tak pernah ada. Tapi itu terpaksa kulakukan, agar kau memiliki semangat berapi-api untuk menjalani penyempurnaan, karena dorongan dendam terhadap Begal Ireng yang telah berusaha mem-bunuhku....”
“Aku sudah memiliki dendam pada Begal Ireng waktu itu!” penggal Andika kasar.
“Kau ingat pada Ki Sanca, guru Perguruan Trisula Kembar yang kuanggap sebagai orangtuaku? Atau, pada Kang Soma yang sudah menjadi kakak bagi diriku? Mereka dibunuh oleh keparat itu! Dan itu cukup menjadi pembakar semangatku untuk menjalani penyempurnaan!”
Dada Andika turun naik. Napasnya kontan berhembus cepat. Kegusaran yang tiba-tiba membludak berusaha dihelanya. Sementara Purwasih jadi tercekat. Sungguh tidak disangka Andika yang selama ini dikenal sebagai anak muda ugal-ugalan, ternyata dapat meledak-ledak seperti itu. Sementara itu, Ningrum menundukkan kepala dalam-dalam.
Matanya terhujam pada rerumputan halus di sekitar kakinya. Taman yang asri, berhias ragam bunga aneka warna tidak membuatnya menjadi nyaman. Kegalauan seketika mengepungnya dari setiap sudut.
“Kalau begitu, maafkan aku, Andika. Aku mengira....”
Ningrum terdiam sesaat. Seperti ada sesuatu yang berat hendak diangkat ketenggorokannya.
“Aku mengira kau mencintaiku. Sehingga, aku mengarang cerita itu agar kau benar-benar memiliki kekerasan hati untuk menjalani penyempurnaan,” tutur Ningrum, lirih.
“Rupanya aku salah. Ternyata, kau tidak mencintaiku. Maafkan aku, Andika....”
Kali ini kata-kata gadis itu dibarengi dengan isak halus.
“Tapi kedatanganku ke sini bukan untuk meminta belas kasihanmu, Andika. Yang jelas, ada sesuatu yang mesti kusampaikan. Begal Ireng dan gerombolannya dua minggu lalu berhasil menemukan perguruan kami. Bahkan semua murid Perguruan Naga Merah dibantainya tanpa belas kasihan. Termasuk, guru besar kami sendiri. Meski sebenarnya aku ingin mati saja bersama mereka, tapi guru menyuruhku lari dari sebuah jalan rahasia agar aku dapat menyampaikan kabar ini kepadamu,” sambung Ningrum.
Ningrum tak kuasa lagi membendung tangisnya. Dua tetes bening merambat perlahan di kedua belah pipinya yang putih.
“Begal Ireng keparat!” bentak Andika meledak, tiba-tiba. Tubuhnya langsung berbalik menghadang Ningrum dan Purwasih.
“Dari mana dia tahu letak perguruan itu? Bukankah letaknya dirahasiakan?”
“Kau ingat kitab kayu warisan Pendekar Lembah Kutukan yang dulu kau miliki?” tanya Ningrum, masih tersendat.
“Astaga! Tentu dia mencurinya dari balik bajuku, ketika aku tergeletak sehabis bertempur dengannya di Desa Banyu Gerabak!”
“Ya! Itu sebabnya, dia tahu tentang 'Penjaga Pintu' yang memiliki Kipas Naga. Ketika seorang murid perguruan kami turun gunung untuk mencari kebutuhan sandang, pasukan Begal Ireng berhasil mengikutinya sampai di perguruan kami. Entah bagaimana, anak buah Begal Ireng dapat melihat Kipas Naga milik murid itu. Sehingga, salah seorang murid Perguruan Naga Merah itu dapat mengenalinya sebagai 'Penjaga Pintu' juga,” sambung Ningrum masih menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Tangisnya makin kentara. Saat itu, kegusaran Andika terhadap Ningrum perlahan-lahan surut. Bahkan sudah diganti dengan rasa iba melihat gadis yang terseguk-seguk di hadapannya. Hatinya yang sebenarnya lembut tersentuh. Hatinya benar-benar terenyuh.
“Kini aku sebatang kara, Andika,” kata Ningrum lirih, nyaris tak kentara.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Andika segera menghampiri dan mendekapnya. Lalu, dibiarkannya Ningrum menumpahkan segala duka yang kini merejamnya di dada Andika.
“Maafkan aku, Ningrum. Aku tidak bermaksud kasar padamu. Sebenarnya, aku juga mencintaimu,” bisik Andika, di antara anak rambut Ningrum yang dipermainkan angin.
Purwasih yang ada di dekat mereka hanya memperhatikan. Sinar matanya sulit dijabarkan. Sebuah tatapan yang didorong rasa iba dan cemburu, berbaur jadi satu.
Desa Umbulwetan direbahi cahaya jingga. Matahari memang telah begitu redup tanda datangnya senja. Di saat seperti itu, penduduk desa itu seorang demi seorang meninggalkan sawah, memanggul cangkul masing-masing. Mereka melenggang ke rumah, menemui keluarga tercinta yang telah menunggu.
Desa Umbulwetan yang berbatasan dengan kotapraja bagian utara ini memerlukan waktu beberapa hari perjalanan untuk menuju ke pusat pemerintahan Alengka. Karena letaknya cukup dekat dengan pelabuhan di pesisir selatan, maka Desa Umbulwetan selalu menjadi jalan tembus bagi kereta-kereta kerajaan yang datang dari dermaga.
Seperti juga hari ini, sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda meluncur cepat di jalan tanah yang membelah Desa Umbulwetan. Di belakangnya, enam prajurit berkereta mengawal penuh waspada.
“Hiaaa...!”
Kusir kereta kuda berteriak lantang, seraya menghentakkan tali kekang. Memang muatan ini mesti secepatnya dibawa ke kerajaan. Dorongan tangung jawab membuatnya begitu bersemangat. Lagi pula, dia tidak ingin pasukan Begal Ireng mengetahui perjalanan ini, lalu merampok muatan keretanya.
Tanah yang digenangi air karena baru saja diguyur hujan sesaat, menghamburkan percikan berwarna coklat ketika kaki-kaki kuda menghantamnya. Tapi laju kereta kuda itu tiba-tiba terhenti, ketika sepasukan orang berkuda menghadang. Kusir seketika menarik tali kekang dan kuda pun berhenti. Sebagai orang yang berpengalaman membawa muatan, dia amat hafal gelagat orang-orang yang berniat tak baik. Segera tali kekangnya ditarik ke kiri, agar kuda-kudanya berbalik untuk menghindari penghadangan. Sementara, enam prajurit pengawal terus melaju menuju para penghadang.
“Usahakan agar muatan itu benar-benar sampai! Sampaikan pada pasukan Bratasena, kalau kami menghadapi kawanan Begal Ireng!” teriak pemimpin prajurit pengawal, pada kusir kereta kuda.
Kemudian, keenam prajurit gagah itu berhenti sekitar tujuh tombak di depan para penghadang berkuda yang terdiri dari lima belas orang. Keenam prajurit itu sudah tahu, kalau sedang menghadapi gerombolan Begal Ireng yang memang memiliki ciri khas. Mereka berpakaian hitam, seperti juga Begal Ireng.
Dengan tangan kanannya, Purwasih menahan tubuh Andika yang bergerak membungkuk. Tapi bukan Andika kalau tidak keras kepala. Dalam hatinya, orang yang menghormati seseorang sudah semestinya dibalas dengan penghormatan setimpal. Jadi, dengan acuh tak acuh, dipegangnya pergelangan tangan Purwasih. Lalu, tubuhnya digeser kesamping agar bisa tetap membungkuk untuk menjura. Purwasih langsung memperlihatkan wajah asam.
“Huh! Dasar kepala batu!” umpat gadis itu dalam hati.
Setelah Prabu Bratasena mempersilakan duduk, semua yang hadir pun meletakkan tubuh di kursi masing-masing. Beberapa saat suasana sunyi. Para pembesar kerajaan menatap wajah Prabu Bratasena yang berumur sekitar enam puluh delapan tahun. Tak heran kalau rambut, alis, dan kumisnya sudah memutih. Namun, kerutan di kening dan pipinya sama sekali tidak menghapus kewibawaan yang terpancar di wajahnya. Apalagi, dengan mata yang bergaris ramah serta hidung mancung. Sehingga menambah kesan kalau dia memiliki keteguhan hati. Tubuhnya tidak terlalu gemuk, terlihat dari pakaian kebesarannya yang agak longgar.
“Saudara-saudara sekalian, para pembesar Kerajaan Alengka yang sangat aku kasihi. Hari ini kita berkumpul di sini untuk menyambut kedatangan seorang pendekar yang patut dipuji sebagai pendekar bagi kaum tertindas...,” kata Prabu Bratasena memulai.
“Namanya, Andika. Dia adalah pendekar muda dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan yang amat dekat di hati rakyat. Pendekar yang menjadi cerita kepahlawanan hingga saat ini....”
Mendengar sanjungan yang menurutnya berlebihan, Andika hanya dapat menundukkan kepala. Sedangkan Purwasih yang melihat sikap Andika menjadi suka melihat kerendahan hati pemuda itu. Memang di dunia yang dipenuhi beragam watak manusia, sikap rendah hati sangat jarang ditemui. Manusia seringkali lebih suka terkagum-kagum pada setiap kelebihan diri sendiri, ketimbang harus menyembunyikannya.
Sementara itu, Patih Ranggapati tampak terkejut ketika Prabu Bratasena memperkenalkan Andika sebagai keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Sungguh sama sekali tidak disangka akan hal itu. Melihat penampilannya saja, orang tentu tidak yakin kalau pemuda itu seorang pendekar sakti! Apalagi melihat wajahnya yang terlalu muda dan terkadang terlihat agak bodoh. Memang, sewaktu pertama kali Purwasih memperkenalkannya pada anak muda itu, Andika langsung memotong ucapan Purwasih. Sehingga, Purwasih tidak sempat menyebutkan, siapa Andika sebenarnya.
“Pendekar muda kita ini berniat membantu kita memecahkan masalah pemberontakan Begal Ireng dan gerombolannya. Mereka telah terlalu banyak menimbulkan penderitaan rakyat. Terlalu banyak membuat keangkaramurkaan. Karena itu, hati anak muda ini rupanya tergerak untuk segera mengulurkan tangan. Bukan begitu, Andika?” sambung Prabu Bratasena.
Andika sebentar terkesiap.
“Oh! Ng... iya. Begitulah..., kira-kira,” jawab pemuda itu terbata.
“Apa kau tak ingin memperkenalkan julukanmu pada para pembesar kerajaan? Agar kami bisa lebih dekat mengenalmu?” tambah Prabu Bratasena.
Andika segera berdiri. Dan dia sendiri tak tahu, kenapa harus berdiri. Pokoknya, hanya ingin berdiri saja.
“Aku sebenarnya tidak pernah dijuluki oleh tokoh persilatan dengan sebutan apa pun. Karena, aku sendiri baru terjun ke dunia persilatan, setelah...,”
Andika ragu.
“Setelah apa, Andika?” desak Prabu Bratasena.
Sementara pandangan Purwasih dan para pembesar kerajaan tertuju lurus ke arah Andika, seperti menanti kelanjutannya.
“Setelah aku menjalani penyempurnaan di Lembah Kutukan...,” sambung Andika akhirnya.
Seketika terdengarlah decakan kagum yang susul-menyusul memenuhi ruang kehormatan. Bagi orang lain di luar keluarga Pendekar Lembah Kutukan, lembah yang baru saja disebut Andika memang amat mengerikan. Tak seorang pun yang pernah kembali, ketika secara kebetulan menemukan tempat itu. Mereka pernah mendengar cerita dari mulut ke mulut, kalau lembah itu dihujani petir setiap saat. Pernah juga seorang tokoh aliran sesat tanpa sengaja menemukan lembah itu, melalui jajaran pegunungan selatan yang terkenal ganas. Ketika melihat kedahsyatan lembah itu, dia kembali dalam keadaan gila dengan mulut terus mengoceh tentang ribuan lidah petir.
“Jadi, aku belum menerima julukan,” lanjut Andika, mengusik ketercengangan para pembesar istana.
“Tapi. beberapa orang menyebutku...”
Para pembesar istanadan Prabu Bratasena menunggu kelanjutan ucapan Andika. Dalam benak masing-masing, terdapat dugaan kalau julukan yang diberikan orang-orang yang disebutkan Andika tadi berkesan garang, segarang Lembah Kutukan.
“Ng.... Aku disebut sebagai Pendekar Slebor. He he he....”
Mendadak saja, semua orang yang hadir di situ memegang perut masing-masing, menahan tawa yang mau meletus!
“Yang Mulia!”
Tiba-tiba seorang prajurit berdiri di ambang pintu masuk ruang kehormatan.
“Ada apa?” tanya Prabu Bratasena.
“Ada seorang yang mengaku kenal baik dengan Tuan Andika. Dia ingin bertemu Tuan Andika,” lapor si prajurit.
Andika mengernyitkan kening. Rasanya, dia memang belum banyak mengenal orang selama terjun ke dunia persilatan. Bahkan hanya Purwasih yang dikenalnya.
“Kalau begitu, suruh dia masuk!” titah Prabu Bratasena.
Prajurit tadi segera berlari dari ambang pintu. Tak lama kemudian, dia datang lagi bersama seorang wanita. Mata Andika terbelalak. Lebih-lebih, Purwasih.
“Ningsih?” ucap Andika.
“Ningrum?” ucap Purwasih.
Lalu keduanya saling berpandangan. Ningrum atau Ningsih?
***
Andika sulit mengerti, mengapa Ningsih menyusulnya hingga ke istana. Sepengetahuannya, Ningsih maupun Perguruan Naga Merah telah menyelesaikan tugasnya, mengantarkan Andika dalam menjalani penyempurnaan kesaktian.
Setelah memohon diri pada Prabu Bratasena dan para pembesar kerajaan, Andika dan Purwasih segera menemui wanita itu lalu mengajaknya ke taman istana. Mereka lalu berjalan beriring menuju taman istana.
“Ada apa Ningsih?” tanya Andika, begitu tiba di taman istana.
“Ningrum! Rupanya kau...,” timpal Purwasih.
Purwasih lalu memandang Andika. Dia masih bingung kenapa Andika memanggil wanita itu Ningsih? Bukankah dia bernama Ningrum?
“Sudah dua kali kau menyebut Ningrum dengan panggilan Ningsih. Apa memang dia punya dua nama?” tanya Purwasih pada Andika.
“Ah! Aku hampir lupa,” tukas Andika bergegas.
Andika memang lupa untuk menjelaskan pada Purwasih tentang saudara kembar Ningrum, yaitu Ningsih.
“Ini Ningsih, saudara kembar Ningrum.”
(Lihat episode pertama: 'Lembah Kutukan').
“Jadi Ningrum benar-benar telah mati di tangan Begal Ireng? Ah! Kasihan sekali dia.... Kukira kau Ningrum. Habis mirip sekali dengan dia,” tutur Purwasih pada wanita di sisinya dengan wajah prihatin.
Wanita yang diajak bicara malah menggelengkan kepala.
“Aku memang Ningrum,” kata gadis yang justru malah mengaku Ningrum, perlahan.
Kini giliran Andika yang dibuat bingung. Bibirnya ditekuk seperti sedang meringis.
“Kau sedang bercanda kan, Ningsih?” tanya Andika seraya menggaruk-garuk kepala.
“Sungguh! Aku memang Ningrum,” jawab gadis itu lagi.
Dipandangnya wajah pemuda tampan itu lekat-lekat. Wajah dan bias mata gadis itu sulit digambarkan dengan kata-kata, bagai memendam sebongkah kekalutan serta kehilangan. Andika mengernyitkan kening dalam-dalam.
“Aku pasti salah dengar,” gumam Andika.
“Tapi Andika...,” sela Ningrum.
“Bisa kubuktikan kalau aku adalah Ningrum! Aku kenal Purwasih atau Naga Wanita. Dia pernah bertempur denganku sewaktu pertama kali berjumpa di Lembah Pandam. Waktu itu, kau hendak menunggu si 'Penjaga Pintu'. Dan ternyata orangnya, aku. Kalau aku Ningsih, mana mungkin kenal Purwasih?”
Andika menghentikan langkahnya. Tubuhnya mematung, membelakangi Ningrum dan Purwasih. Tampak, hatinya masih belum percaya kalau Ningrum masih hidup. Masih dapat dirasakan puing-puing kehancuran dalam hatinya, ketika mendengar berita kematian Ningrum, orang yang menanam benih cinta pertamanya. Sampai kini, luka di hatinya masih menganga. Dan tiba-tiba saja, wanita di belakangnya mengaku Ningrum?
Semestinya Andika gembira. Tapi kenapa yang hadir dalam hatinya pada saat itu justru setumpuk kekecewaan? Dia sendiri tak tahu. Atau, barangkali karena merasa telah dibohongi? Dengan kebohongan itu, harapan dan kebeningan cintanya pada Ningrum hancur.
“Kau tak gembira kalau aku masih hidup Andika?” desah Ningrum, dibebani rasa penyesalan.
“Aku mengaku salah. karena telah membohongimu. Dan tentang saudara kembarku yang sebenarnya, memang tak pernah ada. Tapi itu terpaksa kulakukan, agar kau memiliki semangat berapi-api untuk menjalani penyempurnaan, karena dorongan dendam terhadap Begal Ireng yang telah berusaha mem-bunuhku....”
“Aku sudah memiliki dendam pada Begal Ireng waktu itu!” penggal Andika kasar.
“Kau ingat pada Ki Sanca, guru Perguruan Trisula Kembar yang kuanggap sebagai orangtuaku? Atau, pada Kang Soma yang sudah menjadi kakak bagi diriku? Mereka dibunuh oleh keparat itu! Dan itu cukup menjadi pembakar semangatku untuk menjalani penyempurnaan!”
Dada Andika turun naik. Napasnya kontan berhembus cepat. Kegusaran yang tiba-tiba membludak berusaha dihelanya. Sementara Purwasih jadi tercekat. Sungguh tidak disangka Andika yang selama ini dikenal sebagai anak muda ugal-ugalan, ternyata dapat meledak-ledak seperti itu. Sementara itu, Ningrum menundukkan kepala dalam-dalam.
Matanya terhujam pada rerumputan halus di sekitar kakinya. Taman yang asri, berhias ragam bunga aneka warna tidak membuatnya menjadi nyaman. Kegalauan seketika mengepungnya dari setiap sudut.
“Kalau begitu, maafkan aku, Andika. Aku mengira....”
Ningrum terdiam sesaat. Seperti ada sesuatu yang berat hendak diangkat ketenggorokannya.
“Aku mengira kau mencintaiku. Sehingga, aku mengarang cerita itu agar kau benar-benar memiliki kekerasan hati untuk menjalani penyempurnaan,” tutur Ningrum, lirih.
“Rupanya aku salah. Ternyata, kau tidak mencintaiku. Maafkan aku, Andika....”
Kali ini kata-kata gadis itu dibarengi dengan isak halus.
“Tapi kedatanganku ke sini bukan untuk meminta belas kasihanmu, Andika. Yang jelas, ada sesuatu yang mesti kusampaikan. Begal Ireng dan gerombolannya dua minggu lalu berhasil menemukan perguruan kami. Bahkan semua murid Perguruan Naga Merah dibantainya tanpa belas kasihan. Termasuk, guru besar kami sendiri. Meski sebenarnya aku ingin mati saja bersama mereka, tapi guru menyuruhku lari dari sebuah jalan rahasia agar aku dapat menyampaikan kabar ini kepadamu,” sambung Ningrum.
Ningrum tak kuasa lagi membendung tangisnya. Dua tetes bening merambat perlahan di kedua belah pipinya yang putih.
“Begal Ireng keparat!” bentak Andika meledak, tiba-tiba. Tubuhnya langsung berbalik menghadang Ningrum dan Purwasih.
“Dari mana dia tahu letak perguruan itu? Bukankah letaknya dirahasiakan?”
“Kau ingat kitab kayu warisan Pendekar Lembah Kutukan yang dulu kau miliki?” tanya Ningrum, masih tersendat.
“Astaga! Tentu dia mencurinya dari balik bajuku, ketika aku tergeletak sehabis bertempur dengannya di Desa Banyu Gerabak!”
“Ya! Itu sebabnya, dia tahu tentang 'Penjaga Pintu' yang memiliki Kipas Naga. Ketika seorang murid perguruan kami turun gunung untuk mencari kebutuhan sandang, pasukan Begal Ireng berhasil mengikutinya sampai di perguruan kami. Entah bagaimana, anak buah Begal Ireng dapat melihat Kipas Naga milik murid itu. Sehingga, salah seorang murid Perguruan Naga Merah itu dapat mengenalinya sebagai 'Penjaga Pintu' juga,” sambung Ningrum masih menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Tangisnya makin kentara. Saat itu, kegusaran Andika terhadap Ningrum perlahan-lahan surut. Bahkan sudah diganti dengan rasa iba melihat gadis yang terseguk-seguk di hadapannya. Hatinya yang sebenarnya lembut tersentuh. Hatinya benar-benar terenyuh.
“Kini aku sebatang kara, Andika,” kata Ningrum lirih, nyaris tak kentara.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Andika segera menghampiri dan mendekapnya. Lalu, dibiarkannya Ningrum menumpahkan segala duka yang kini merejamnya di dada Andika.
“Maafkan aku, Ningrum. Aku tidak bermaksud kasar padamu. Sebenarnya, aku juga mencintaimu,” bisik Andika, di antara anak rambut Ningrum yang dipermainkan angin.
Purwasih yang ada di dekat mereka hanya memperhatikan. Sinar matanya sulit dijabarkan. Sebuah tatapan yang didorong rasa iba dan cemburu, berbaur jadi satu.
***
Desa Umbulwetan direbahi cahaya jingga. Matahari memang telah begitu redup tanda datangnya senja. Di saat seperti itu, penduduk desa itu seorang demi seorang meninggalkan sawah, memanggul cangkul masing-masing. Mereka melenggang ke rumah, menemui keluarga tercinta yang telah menunggu.
Desa Umbulwetan yang berbatasan dengan kotapraja bagian utara ini memerlukan waktu beberapa hari perjalanan untuk menuju ke pusat pemerintahan Alengka. Karena letaknya cukup dekat dengan pelabuhan di pesisir selatan, maka Desa Umbulwetan selalu menjadi jalan tembus bagi kereta-kereta kerajaan yang datang dari dermaga.
Seperti juga hari ini, sebuah kereta yang ditarik empat ekor kuda meluncur cepat di jalan tanah yang membelah Desa Umbulwetan. Di belakangnya, enam prajurit berkereta mengawal penuh waspada.
“Hiaaa...!”
Kusir kereta kuda berteriak lantang, seraya menghentakkan tali kekang. Memang muatan ini mesti secepatnya dibawa ke kerajaan. Dorongan tangung jawab membuatnya begitu bersemangat. Lagi pula, dia tidak ingin pasukan Begal Ireng mengetahui perjalanan ini, lalu merampok muatan keretanya.
Tanah yang digenangi air karena baru saja diguyur hujan sesaat, menghamburkan percikan berwarna coklat ketika kaki-kaki kuda menghantamnya. Tapi laju kereta kuda itu tiba-tiba terhenti, ketika sepasukan orang berkuda menghadang. Kusir seketika menarik tali kekang dan kuda pun berhenti. Sebagai orang yang berpengalaman membawa muatan, dia amat hafal gelagat orang-orang yang berniat tak baik. Segera tali kekangnya ditarik ke kiri, agar kuda-kudanya berbalik untuk menghindari penghadangan. Sementara, enam prajurit pengawal terus melaju menuju para penghadang.
“Usahakan agar muatan itu benar-benar sampai! Sampaikan pada pasukan Bratasena, kalau kami menghadapi kawanan Begal Ireng!” teriak pemimpin prajurit pengawal, pada kusir kereta kuda.
Kemudian, keenam prajurit gagah itu berhenti sekitar tujuh tombak di depan para penghadang berkuda yang terdiri dari lima belas orang. Keenam prajurit itu sudah tahu, kalau sedang menghadapi gerombolan Begal Ireng yang memang memiliki ciri khas. Mereka berpakaian hitam, seperti juga Begal Ireng.
0