- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#39
Part 9
Penjaga Pintu adalah sebutan untuk orang-orang perguruan wanita Naga Merah yang mendapat tugas dari gurunya untuk mencari seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang mendapat warisan kesaktian, lalu mengantarnya ke Lembah Kutukan untu menjalani penyempurnaan. Dan perguruan itu sendiri berada tepat di gerbang masuk Lembah Kutukan.
Untuk menjalani tugas tanpa dicurigai, Ningrum memang menyamar sebagai seorang tabib muda yang tampak hanya sedikit memiliki ilmu olah kanuragan. Hingga sampai saat ini, Ningrum belum sekalipun menjelaskan penyempurnaan macam apa yang harus dijalani Andika. Sewaktu di Lembah Pandam, dia hanya meminta bukti pada Andika kalau dirinya memang benar salah seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Dan Andika menceritakan semua kejadian yang dialami, termasuk menunjukkan pada Ningrum kitab kayu pemberian Ki Sanca. Baru setelah itu, Ningrum lebih banyak diam. Meski, Andika kerap kali menggoda dan merayunya.
Sewaktu di perjalanan tiga hari berkuda, Andika mau tak mau jadi lebih banyak bertanya pada Purwasih. Dan selaku seorang pendekar kerajaan yang berkepentingan dengan keturunan Pendekar Lembah Kutukan, nyatanya Purwasih lebih banyak tahu mengenai kisah-kisah kewiraan keluarga itu, ketimbang Andika sendiri yang merupakan keturunan Iangsung.
Lucu memang. Tapi biar bagaimanapun, hal itu wajar saja bagi Andika. Jangankan untuk mengetahui asal-usulnya, sedang orang tuanya saja hingga kini tidak pernah dikenalnya. Kata Purwasih, seluruh keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang menjadi pewaris kesaktian pendekar itu selalu muncul dengan jurus-jurus berbeda. Termasuk, Ki Panji Agung yang baru diketahui Andika kalau dialah orang tua yang datang dalam mimpinya, saat Purwasih menggambarkan sosok orangnya.
Cerita Purwasih itu amat membuat penasaran Andika. Kenapa mereka memiliki jurus-jurus berbeda? Yang diketahuinya selama ini, seorang yang mewarisi kedigdayaan keluarganya biasanya tetap memiliki jurus-jurus sama. Dan Andika belum bisa menjawab rasa penasarannya.
Agak jauh memasuki kota kabupaten, mereka berhenti di sebuah kedai untuk beristirahat.Kedai itu tak begitu luas dan agak kotor. Namun, mereka tetap turun dari kuda masing-masing, dan menambatkannya di depan kedai. Dengan agak terpaksa. mereka masuk juga karena memang hanya kedai itu satu-satunya yang ada di kota Kabupaten Banyugerabak.
Lima orang berwajah tak ramah tampak duduk terpencar di beberapa meja kayu bundar. Hampir semuanya memegang gelas bambu berisi tuak. Rupanya hari yang kelewat panas membuat mereka hanya berselera untuk minum.
Andika, Ningrum, dan Purwasih lalu menuju sebuah meja kosong yang terletak di sudut. Sebentar kemudian mereka sudah duduk melingkari meja itu.
"Pelayan, berikan kami makanan!" seru Andika tanpa membuka caping yang dikenakan.
Tak lama menunggu, makanan dengan lauk sederhana disediakan seorang pelayan tua dengan sikap sopan.
"Terima kasih, Ki...," ucap Andika ramah.
Dan belum lagi pelayan di sampingnya beranjak, Andika sudah mengangkat kaki di atas kursi. Lalu,
disantapnya makanan tanpa niat mencuci tangannya yang berdaki. Padahal, Purwasih yang bersedia membayar seluruh makanan pun belum sempat mempersilakan. Dan sesaat kemudian, terdengarlah alunan mulut Andika yang sibuk mengunyah makanan penuh nafsu. Seakan, dia baru menemukannya selama seminggu.
"Memalukan kau, Andika! Apa kau tidak bisa makan dengan tata cara yang baik?" gerutu Ningrum.
Andika tetap tidak peduli.
"Apa salahnya kau menghormati Purwasih...," lanjut Ningrum. Wajahnya tertekuk kesal.
"Aku bukan dari kalangan istana yang bisa menghormat dengan cara mereka. Aku rasa, Nyai Purwasih bisa maklum," sahut Andika yakin.
"Huh, tapi...."
"Pak Pelayan!" panggil Andika, memotong gerutuan Ningrum lebih lanjut.
Pelayan tua yang baru saja hendak beranjak, menghentikan langkah.
"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan berusia tujuh puluhtiga tahun itu.
"Apa Aki punya persediaan ayam?" tanya Andika.
"O, tentu.... Kedai kami ini sebenarnya menyediakan Iauk-pauk yang cukup lengkap, Tuan. Ada belut, kambing bakar, lele, dan ikan-ikanan. Apalagi, hanya ayam...," jawab pelayan itu dengan wajah bangga.
"Kalau begitu, biar ayamnya diadu dengan ayam betina cerewet ini," tukas Andika seraya mencibir kearah Ningrum.
Pelayan itu jadi tertawa geli setelah mengerti guyonan Andika.
Sedangkan Ningrum tambah mangkel. Wajahnya merah padam seperti dilanda kebakaran.
Purwasih hanya tersenyum kecil. Setelah cukup mengenal, hatinya harus mengakui kalau pemuda
tanggung itu menyenangkan. Terkadang dia bisa amat berwibawa, tapi terkadang bisa menjengkelkan.
Kekaguman lain yang mesti diakuinya adalah, pesona diri pemuda tanggung itu. Kalau saja Andika bukan seorang pemuda belasan tahun, tentu Purwasih akan cepat jatuh hati.
"Hhem...," Ningrum mendehem ketika mendapatkan mata Purwasih sedang menatap lekat pada wajahAndika yang sebagian tertutup caping.
Menyadari dirinya tertangkap basah, Purwasih cepat-cepat mengalihkan perhatian.
"Ki, aku minta tuak ya...," ujar Purwasih pada pelayan yang kebetulan belum beranjak.
"Baik, Nini.... Beruntung sekali, karena ini persediaan tuak kami yang tersisa."
Pelayan tadi segera melangkah ke belakang. Dan, tak lama dia kembali lagi membawa satu kendi kecil tuak.Kini mereka menyantap makanan yang tersuguh di atas meja.
Saat itu, terdengar ringkik kuda yang dihentikan mendadak bersama kepulan debu yang sebagian sempat singgah ke dalam kedai. Sebentar kemudian, terdengar langkah orang menuju kedai. Kini di pintu kedai, berdiri angkuh tiga orang berwajah bengis tanpa sedikit pun garis keramahan. Dua orang di antaranya yang berkepala gundul serta bermata sipit, menerabas dengan pandangan langsung ke dalam kedai Seorang lagi nampak tetap rapih, meski tampak habis melakukan perjalanan jauh. Berpakaian hitam-hitam seperti halnya Andika, namun pinggangnya dihiasi cemeti kasar. Wajahnya cukup kasar dan amat dingjn.
Purwasih yang duduk menghadap pintu jadi terperangah. Amat dikenalinya ketiga orang itu. Begal Ireng, pemberontak besar yang sedang diselidikinya, bersama dua orang kaki tangannya, si Kembar dari Tiongkok. Maka cepat-cepat Purwasih memalingkan wajah, me-nyembunyikannya dari tatapan Begal Ireng.
"Keparat itu ada di sini...," bisik Purwasih amat hati-hati.
Andika dan Ningrum yang membelakangi pintu se-rentak menatap mata Purwasih.
"Siapa?" tanya Andika dengan suara wajar.
"Ssst..., Begal Ireng dan dua orang Tiongkok jahanam itu," bisik Purwasih lagi.
Andika mengernyitkan wajah. Dia memang merasa asing dengan nama-nama itu. Begitu juga Ningrum, meski termasuk orang dunia persilatan, dia sedikit pun tidak tahu-menahu mengenai Begal Ireng. Yang diketahuinya hanya tugas untuk mencari pendekar pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan. Itu saja!
"Kau tidak tahu siapa dia?" tanya Purwasih tetap berbisik.
"Dialah dalang semua kekacauan di dunia persilatan belakangan ini. Tokoh nomor satu dari golongan hitam. Dan, dialah yang membunuh Ki Panji Agung. Bahkan belum lama ini, kudengar dia membantai habis satu perguruan kecil di suatu bukit. Kalau tidak salah,Perguruan Trisula Kembar...."
Andika kontan terperangah. Tanpa terasa, ingatannya dibawa kembali .kepada peristiwa beberapa waktu lalu. Tentang api yang berkobar ganas, tentang tubuh Soma yang sudah seperti kakaknya sendiri dalam keadaan tercabik di sana-sini. Juga, tentang tubuh tua Ki Sanca yang menyedihkan. Mayat lelaki dan perempuan yang berserakan bagai tak berarti apa-apa, teriakan anak-anak kecil dan wanita yang masih hidup, semuanya amat menyesakkan dadanya. Mereka telah dihancurkan pada saat Andika merasa telah menemukan keluarga yang selama ini dirindukan.
Napas Andika jadi kembang-kempis akibat sesak dari dendam dan rasa kehilangan yang saat itu menyerang sekujur dadanya. Otot-otot di tangannya yang kurus mengejang dalam satu kepalan geram.
"Ningrum! Apakah orang-orang itu yang kau lihat waktu bekerja di kedai kotapraja?" tanya Andika bergetar.
Hati-hati wanita muda itu menoleh pada tiga orang yang baru masuk. Mereka kini sudah menempati satu meja tepat di sisi pintu keluar. Tak lama, Ningrum mengangguk. Dan gadis itu dapat melihat, bagaimana terbakarnya mata Andika dengan warna merah.
"Aku harus menuntut balas," geram Andika.
Menyadari hal itu, Ningrum cepat meraih tangan Andika. Digenggamnya tangan itu erat-erat, berusaha menenangkan kerusuhan dalam dada pemuda tanggung di sebelahnya. .
"Jangan bertindak sebodoh itu, selama belum menjalani penyempurnaanmu, Andika...," bisik Ningrum mencoba meyakinkan pemuda yang sudah naik darah itu.
Namun bayangan-bayangan menyakitkan itu lebih kuat menguasainya.
"Mereka tidak bisa seenaknya membunuh orang-orang yang aku sayangi, seperti membunuh anjing
gelandangan. Mereka tidak bisa membunuh mereka kalau hanya aku yang dicari...," gumam Andika saat itu juga terdengar giginya yang bergemeletuk.
"Andika, benar kata Ningrum.... Mereka bukan tokoh golongan hitam yang sembarangan. Untuk menghadapi Begal Ireng saja, kita bertiga pun belum tentu mampu. Kau harus siap dulu Andika...," sergah Purwasih menenangkan Andika yang semakin kalap. Dia menye-sal, kenapa sudah selancang itu mengatakan tentang mereka pada Andika.
"Mereka tentu datang kesini untukmencari aku dan untuk membunuhku, seperti mereka membunuh Ki Panji Agung.... Keparat-keparat itu rupanya mendapat hari bagus menemukanku di sini!"
Sehabis berkata demikian, Andika bangkit. Sehingga menimbulkan bunyi tak beraturan akibat meja yang terdorong.
"Andika!" tahan Ningrum dengan wajah demikian khawatir.
"Demi aku, tolonglah tunda kemarahanmu sampai sudah menjalani penyempurnaan...," pinta Ningrum, memelas sekali.
Sia-sia. Andika malah sudah bertolak pinggang, menghadap ke arah tiga tokoh hitam itu.
"Begal Ireng keparat!"Tubuh Andika berputar langsung melenting dan berputaran di udara, lalu hinggap dua meja di dekat meja ketiga orang itu duduk.
Kemudian, langsung ditatap ketiga orang itu satu persatu dengan sinar mata jalang tak terkendali.
"Kau mencari keturunan Pendekar Lembah Kutukan, bukan?! Hari ini kau beruntung...."
Sementara itu, lima orang yang sedari tadi asyik menikmati tuaknya seketika keluar kedai dengan wajah pucat, begitu mendengar nama Begal Ireng diteriakkan Andika. Sementara ketiga manusia busuk itu bagai tak merasa terusik oleh kehadiran Andika.
"Pelayan, sediakan kami tuak!" ujar Begal Ireng. Bibir Begal Ireng tersenyum amat sinis, kemudian
kembali tidak mempedulikan pemuda berang itu.
"Ayo, tunggu apa lagi bajingan?!" hardik Andika makin mata gelap.
Dan Andika sudah membuka caping yang masih menutup kepalanya. Dibantingnya benda itu persis di meja mereka. Sengaja Andika melakukan itu, dengan harapan kemarahan mereka akan terpancing.
Prakkk!
Caping yang dibanting tanpa sedikit pun pengerahan tenaga dalam, langsung menghantam permukaan meja, lantas terpantul ke arah wajah Begal Ireng. Amat mudah bagi Begal Ireng untuk menggelengkan kepalanya sedikit, sehingga terhindar dari benda nyasar itu. Namun, Begal Ireng kembali seperti biasa.
Sementara pelayan tua itu sudah datang ke hadapan tiga tokoh hitam ini bagai seekor kera menghampiri harimau. Badannya menciut demikian rupa, sebagai pertanda kalau demikian ketakutan.
"Ma..., maaf Tuan. Kami kehabisan persediaan tuak," ucap pelayan itu tergagap.
"Kalau begitu, kau bisa ambil kendi tuak di meja dua perempuan itu," ujar Begal Ireng.
"Tapi, Tuan.... Tapi, mereka sudah memesannya lebih dahulu."
"Kau mau ambilkan atau tidak?!" ancam Begal Ireng.
Matanya menatap dingin pada pelayan itu, menusukkan sinar kengerian.
"Keterlaluan! Apa kau pikir dunia ini milikmu!" geram Andika. Kemarahannya kini benar-benar sampai pada batas yang tidak bisa lagi ditahan.
"Hiaaat...!"
Tiba-tiba teriakan mengguntur keluar dari mulut Andika. Kekuatan tenaga dalam yang kini berada di tubuhnya, tanpa disadari terikut dalam teriakan. Akibatnya, kendi-kendi tuak kosong itu pecah berkeping. Bahkan pelayan tua yang nampaknya tak memiliki kepandaian apa-apa menutup telinganya dengan wajah kesakitan. Sedang Ningrum dan Purwasih pun sempat merasakan tusukan nyeri pada telinga, tapi mampu diatasi dengan menyalurkan hawa murni pada telinga masing-masing.
Kedua tangan Andika sudah menggenggam keras sepasang trisula yang dicabut dari pinggangnya. Dengan satu terkaman harimau, diserangnya ubun-ubun Begal Ireng!
Singngng!
Namun dengan egosan ke belakang yang manis sekali, tusukan sepasang trisula itu hanya menyambar angin di depan Begal Ireng. Sedangkan tubuh Andika meluncur deras, melabrak dinding kayu kedai, hingga membuat lubang besar. Dan begitu mendaratkan kakinya di luar, Andika sudah siap dengan kuda-kuda tempurnya.
"Keluarlah kau, Begal Ireng! Apakah kau sejenis anjing buduk pengecut?!" teriak Andika.
Tak ada lagi yang dipikirkan anak muda tanggung itu, kecuali segera menghabisi nyawa manusia-manusia yang telah merusak kebahagiaan yang baru saja dikenyamnya saat berada di Perguruan Trisula Kembar. Manusia-manusia yang tidak hanya membunuh harapannya untuk memilikikeluarga besar seperti saat itu, tapi juga membunuh orang-orang yang sudah menjadi keluarga sendiri secara
keji.
Untuk sedikit memikirkan keselamatannya sendiri saja, sudah tidak ada di benaknya saat ini. Dan kalaupun harus mati, Andika sudah siap.
Dengan langkahtenang teratur, Begal Ireng melangkah keluar, diikuti dua orang botak kaki tangannya.
"Hiaaat!"
Andika langsung menyerangkembali. Ujung runcing trisula di tangan kanannya menyabet ke arah leher Begal Ireng. Namun dengan kecepatan mengagumkan, Begal Ireng melenting dan berputaran beberapa kali kebelakang. Lalu dengan amat ringan kakinya menjejak tanah kembali. Sikapnya masih tetap menganggap enteng Andika, dengan kedua tangan terlipat di dada.
Andika bagai tak mau memberi kesempatan. Diserbunya kembali Begal Ireng. Jurus-jurus 'Trisula Kembarnya menyabet ke sana kemari tanpa aturan. Memang, pengalamannya yang terlalu hijau dalam dunia persilatan, membuat Andika tidak tahu kalau kekalapan pada saat bertempur bisa berarti kelemahan. Begitu Andika menyabetkan trisulanya ke dada, Begal Ireng cepat menangkis dengan punggung tangan.
Plakkk!
Dua kekuatan tenaga dalam luar biasa beradu pada satu titik, menghasilkan benturan yang amat keras. Dan ternyata, hal ini mengakibatkan Begal Ireng terseret dalam keadaan berdiri lima depa ke belakang! Tampak kepulan debu menyebar di sekitar kakinya.
Begal Ireng terperangah. Tak pernah diduga kalau kekuatan tenaga tusukan tangan Andika yang bau kencur itu setingkat dengan tokoh kelas atas.
"Gila!" umpat Begal Ireng dalam hati sambil memegangi punggung tangannya yang terasa nyeri bukan main.
Memang, keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan sering kali sulit dipahami. Dia sendiri tidak dapat menebak, kenapa jenazah Ki Panji Agung yang dihabisinya dulu mengeluarkan cahaya kemilau. Dan belum tuntas kebingungan itu terjawab, kini pemuda yang diburunya belakangan ini memperlihatkan tingkat tenaga dalam yang tidak mungkin bisa didapat secara mudah oleh anak ingusan macam Andika.
Begal Ireng memang tahu kalau kecepatan gerak Andika benar-benar menakjubkan. Itu diketahuinya saat melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Andika menamatkan riwayat Jari Iblis di kota Praja. Sebenarnya, itu pun sudah membuatnya terheran-heran, di samping kagum dan benci. Makanya, Begal Ireng langsung dapat menduga kalau Andika adalah salah seorangketurunan Pendekar Lembah Kutukan, dan langsung menguntit untuk membunuhnya.
Sementara, Andika sendiri terpelanting ke belakang, karena kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulingan bermandikan debu di jalan panas. Tak beda dengan Begal Ireng, dia pun merasakan nyeri yang bukan kepalang di bagian tangannya. Namun tak lama kemudian, pemuda tanggung itu sudah bangkit kembali. Serangan berikut dari Andika kembali datang ke Begal Ireng dengan lebih menggila. Jurus-jurus 'Trisula Kembar' tergabung menjadi satu, membuat tubuh Andika terlihat hanya kelebatan yang meluncur ngawur.
Kali ini, Begal Ireng tidak ingin lagi menganggapnya enteng. Dia tahu, serangan kalap itu akan banyak memberi keuntungan adanya. Namun, kecepatan dan kekuatan tenaga dalam Andika bukan berarti tidak membahayakan!
"Hiaaat!"
Beberapa saat, serangan membabi buta Andika cukup merepotkan Begal Ireng. Namun dibanding Andika, jelas Begal Ireng jauh berpengalaman. Malang melintang di dunia persilatan membuatnya benar-benar matang sebagai tokoh kelas atas golongan hitam. Ditambah, kekalapan Andika yang banyak memberi keuntungan baginya. Tak heran ketika suatu saat, Andika harus menelan pil pahit!
Saat itu Andika melesat cepat sambil menyabetkan 'Trisula Kembar'-nya. Namun dengan hanya melenting ke atas, sebentar trisula itu berhasil dihindari Begal Ireng. Dan baru saja kakinya mendarat, kembali datang serangan kalap dari Andika. Maka cepat Begal Ireng merunduk. Seketika di luar dugaan, Begal Ireng cepat melepaskan satu gedoran telapak tangan berisi tenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya, sehingga Andika tak mampu berkelit. Sehingga....
Desss!
"Aaakh!"
Trisulanya terpencar jauh dari tubuhnya. Begitu jatuh di tanah, Andika meringis kesakitan. Tangannya memegangi dada yang telak terhajar telapak tangan Begal Ireng. Sedangkan dari mulutnya, darah kehitam-hitaman menciprati tanah berdebu.
"Andika...!"
Jerit Ningrum tatkala matanya melihat, bagaimana tubuh kurus Andika melayang tak beda selembar daun kering diterpa angin. Maka dari dalam kedai dia berlari mendekati Andika yang tersuruk mencoba bangkit kembali.
Dua orang botak dan sipit kaki tangan Begal Ireng yang berdiri tak jauh dari pintu kedai, sama sekali tidak mencegahnya. Dengan amat dingin dan kaku, mereka hanya melirik tubuh Ningrum yang sintal.
"Keparat kau, Begal Ireng!" jerit Ningrum menyayat, setelah merangkul tubuh Andika yang limbung.
Bagi Ningrum, Andika adalah segalanya. Andika berarti satu tugas amat berat yang diembannya dari Perguruan Naga Merah. Andika berarti seorang sahabat yang amat menyenangkan. Dan Andika juga berarti cinta pertamanya yang tumbuh subur, semenjak pertama kali turun dalam dunia persilatann. Cinta yang kini tak lagi bisa dianggapnya sebagai rasa kasihan belaka. Cinta yang mekar semerbak di kedalaman hati gadis ini.
Sambil memapah tubuh Andika, mata Ningrum yang legam indah menjadi beringas. Dari bagian bawah bulu mata lentiknya, garis-garis bening mengambang berbaur murka yang tak terbendung. Dan setelah merebahkan kembali tubuh Andika yang tak berdaya, Ningrum bangkit. Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah Begal Ireng.
"Kubunuh kau, Begal Ireng!"
Bersama lengking kemarahan, Ningrum mencabut senjata kipasnya yang selama ini selalu disembunyikan.
Kini kembali Begal Ireng melayani seorang yang kalap. Maka pertarungan sengit tak dapat dihindari lagi. Jurus-jurus mereka bertemu, menerbangkan angin dan menimbulkan bunyi-bunyian mendebarkan.
Mata Andika yang berkunang-kunang memperhatikan pertarungan dengan perasaan kekhawatiran yang sangat. Ingin dia berteriak pada Ningrum agar tidak berurusan dengan Begal Ireng. Tapi rasa sesak yang demikian mendera dada, membuatnya tak bisa menggetarkan pita suara sedikit pun.
Hal yang amat tak diharapkan pun terjadi juga. Sebentar saja Ningrum sudah terdesak. Bahkan tiba-tiba saja satu hantaman tangan Begal Ireng mendarat tepat di dagunya, sehingga membuatnya terpental. Bunyi rahang yang remuk terdengar keras. Tidak hanya menyayat telinga, tapi juga hati Andika!
Pemuda tanggung itu tergagap, berusaha meneriakkan nama Ningrum. Namun dari mulutnya hanya keluar suara serak tak berarti. Ketika Andika melihat bagaimana Ningrum jatuh keras dan tak berkutik lagi di sisi jalan, rasa sesak di dadanya tidak lagi dihiraukan. Kerongkongan yang semula bagai terkunci, tiba-tiba meledak menciptakan teriakan yang terdengar seperti lolongan menyayat.
"Aaa...!"
Penjaga Pintu adalah sebutan untuk orang-orang perguruan wanita Naga Merah yang mendapat tugas dari gurunya untuk mencari seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang mendapat warisan kesaktian, lalu mengantarnya ke Lembah Kutukan untu menjalani penyempurnaan. Dan perguruan itu sendiri berada tepat di gerbang masuk Lembah Kutukan.
Untuk menjalani tugas tanpa dicurigai, Ningrum memang menyamar sebagai seorang tabib muda yang tampak hanya sedikit memiliki ilmu olah kanuragan. Hingga sampai saat ini, Ningrum belum sekalipun menjelaskan penyempurnaan macam apa yang harus dijalani Andika. Sewaktu di Lembah Pandam, dia hanya meminta bukti pada Andika kalau dirinya memang benar salah seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Dan Andika menceritakan semua kejadian yang dialami, termasuk menunjukkan pada Ningrum kitab kayu pemberian Ki Sanca. Baru setelah itu, Ningrum lebih banyak diam. Meski, Andika kerap kali menggoda dan merayunya.
Sewaktu di perjalanan tiga hari berkuda, Andika mau tak mau jadi lebih banyak bertanya pada Purwasih. Dan selaku seorang pendekar kerajaan yang berkepentingan dengan keturunan Pendekar Lembah Kutukan, nyatanya Purwasih lebih banyak tahu mengenai kisah-kisah kewiraan keluarga itu, ketimbang Andika sendiri yang merupakan keturunan Iangsung.
Lucu memang. Tapi biar bagaimanapun, hal itu wajar saja bagi Andika. Jangankan untuk mengetahui asal-usulnya, sedang orang tuanya saja hingga kini tidak pernah dikenalnya. Kata Purwasih, seluruh keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang menjadi pewaris kesaktian pendekar itu selalu muncul dengan jurus-jurus berbeda. Termasuk, Ki Panji Agung yang baru diketahui Andika kalau dialah orang tua yang datang dalam mimpinya, saat Purwasih menggambarkan sosok orangnya.
Cerita Purwasih itu amat membuat penasaran Andika. Kenapa mereka memiliki jurus-jurus berbeda? Yang diketahuinya selama ini, seorang yang mewarisi kedigdayaan keluarganya biasanya tetap memiliki jurus-jurus sama. Dan Andika belum bisa menjawab rasa penasarannya.
Agak jauh memasuki kota kabupaten, mereka berhenti di sebuah kedai untuk beristirahat.Kedai itu tak begitu luas dan agak kotor. Namun, mereka tetap turun dari kuda masing-masing, dan menambatkannya di depan kedai. Dengan agak terpaksa. mereka masuk juga karena memang hanya kedai itu satu-satunya yang ada di kota Kabupaten Banyugerabak.
Lima orang berwajah tak ramah tampak duduk terpencar di beberapa meja kayu bundar. Hampir semuanya memegang gelas bambu berisi tuak. Rupanya hari yang kelewat panas membuat mereka hanya berselera untuk minum.
Andika, Ningrum, dan Purwasih lalu menuju sebuah meja kosong yang terletak di sudut. Sebentar kemudian mereka sudah duduk melingkari meja itu.
"Pelayan, berikan kami makanan!" seru Andika tanpa membuka caping yang dikenakan.
Tak lama menunggu, makanan dengan lauk sederhana disediakan seorang pelayan tua dengan sikap sopan.
"Terima kasih, Ki...," ucap Andika ramah.
Dan belum lagi pelayan di sampingnya beranjak, Andika sudah mengangkat kaki di atas kursi. Lalu,
disantapnya makanan tanpa niat mencuci tangannya yang berdaki. Padahal, Purwasih yang bersedia membayar seluruh makanan pun belum sempat mempersilakan. Dan sesaat kemudian, terdengarlah alunan mulut Andika yang sibuk mengunyah makanan penuh nafsu. Seakan, dia baru menemukannya selama seminggu.
"Memalukan kau, Andika! Apa kau tidak bisa makan dengan tata cara yang baik?" gerutu Ningrum.
Andika tetap tidak peduli.
"Apa salahnya kau menghormati Purwasih...," lanjut Ningrum. Wajahnya tertekuk kesal.
"Aku bukan dari kalangan istana yang bisa menghormat dengan cara mereka. Aku rasa, Nyai Purwasih bisa maklum," sahut Andika yakin.
"Huh, tapi...."
"Pak Pelayan!" panggil Andika, memotong gerutuan Ningrum lebih lanjut.
Pelayan tua yang baru saja hendak beranjak, menghentikan langkah.
"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan berusia tujuh puluhtiga tahun itu.
"Apa Aki punya persediaan ayam?" tanya Andika.
"O, tentu.... Kedai kami ini sebenarnya menyediakan Iauk-pauk yang cukup lengkap, Tuan. Ada belut, kambing bakar, lele, dan ikan-ikanan. Apalagi, hanya ayam...," jawab pelayan itu dengan wajah bangga.
"Kalau begitu, biar ayamnya diadu dengan ayam betina cerewet ini," tukas Andika seraya mencibir kearah Ningrum.
Pelayan itu jadi tertawa geli setelah mengerti guyonan Andika.
Sedangkan Ningrum tambah mangkel. Wajahnya merah padam seperti dilanda kebakaran.
Purwasih hanya tersenyum kecil. Setelah cukup mengenal, hatinya harus mengakui kalau pemuda
tanggung itu menyenangkan. Terkadang dia bisa amat berwibawa, tapi terkadang bisa menjengkelkan.
Kekaguman lain yang mesti diakuinya adalah, pesona diri pemuda tanggung itu. Kalau saja Andika bukan seorang pemuda belasan tahun, tentu Purwasih akan cepat jatuh hati.
"Hhem...," Ningrum mendehem ketika mendapatkan mata Purwasih sedang menatap lekat pada wajahAndika yang sebagian tertutup caping.
Menyadari dirinya tertangkap basah, Purwasih cepat-cepat mengalihkan perhatian.
"Ki, aku minta tuak ya...," ujar Purwasih pada pelayan yang kebetulan belum beranjak.
"Baik, Nini.... Beruntung sekali, karena ini persediaan tuak kami yang tersisa."
Pelayan tadi segera melangkah ke belakang. Dan, tak lama dia kembali lagi membawa satu kendi kecil tuak.Kini mereka menyantap makanan yang tersuguh di atas meja.
Saat itu, terdengar ringkik kuda yang dihentikan mendadak bersama kepulan debu yang sebagian sempat singgah ke dalam kedai. Sebentar kemudian, terdengar langkah orang menuju kedai. Kini di pintu kedai, berdiri angkuh tiga orang berwajah bengis tanpa sedikit pun garis keramahan. Dua orang di antaranya yang berkepala gundul serta bermata sipit, menerabas dengan pandangan langsung ke dalam kedai Seorang lagi nampak tetap rapih, meski tampak habis melakukan perjalanan jauh. Berpakaian hitam-hitam seperti halnya Andika, namun pinggangnya dihiasi cemeti kasar. Wajahnya cukup kasar dan amat dingjn.
Purwasih yang duduk menghadap pintu jadi terperangah. Amat dikenalinya ketiga orang itu. Begal Ireng, pemberontak besar yang sedang diselidikinya, bersama dua orang kaki tangannya, si Kembar dari Tiongkok. Maka cepat-cepat Purwasih memalingkan wajah, me-nyembunyikannya dari tatapan Begal Ireng.
"Keparat itu ada di sini...," bisik Purwasih amat hati-hati.
Andika dan Ningrum yang membelakangi pintu se-rentak menatap mata Purwasih.
"Siapa?" tanya Andika dengan suara wajar.
"Ssst..., Begal Ireng dan dua orang Tiongkok jahanam itu," bisik Purwasih lagi.
Andika mengernyitkan wajah. Dia memang merasa asing dengan nama-nama itu. Begitu juga Ningrum, meski termasuk orang dunia persilatan, dia sedikit pun tidak tahu-menahu mengenai Begal Ireng. Yang diketahuinya hanya tugas untuk mencari pendekar pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan. Itu saja!
"Kau tidak tahu siapa dia?" tanya Purwasih tetap berbisik.
"Dialah dalang semua kekacauan di dunia persilatan belakangan ini. Tokoh nomor satu dari golongan hitam. Dan, dialah yang membunuh Ki Panji Agung. Bahkan belum lama ini, kudengar dia membantai habis satu perguruan kecil di suatu bukit. Kalau tidak salah,Perguruan Trisula Kembar...."
Andika kontan terperangah. Tanpa terasa, ingatannya dibawa kembali .kepada peristiwa beberapa waktu lalu. Tentang api yang berkobar ganas, tentang tubuh Soma yang sudah seperti kakaknya sendiri dalam keadaan tercabik di sana-sini. Juga, tentang tubuh tua Ki Sanca yang menyedihkan. Mayat lelaki dan perempuan yang berserakan bagai tak berarti apa-apa, teriakan anak-anak kecil dan wanita yang masih hidup, semuanya amat menyesakkan dadanya. Mereka telah dihancurkan pada saat Andika merasa telah menemukan keluarga yang selama ini dirindukan.
Napas Andika jadi kembang-kempis akibat sesak dari dendam dan rasa kehilangan yang saat itu menyerang sekujur dadanya. Otot-otot di tangannya yang kurus mengejang dalam satu kepalan geram.
"Ningrum! Apakah orang-orang itu yang kau lihat waktu bekerja di kedai kotapraja?" tanya Andika bergetar.
Hati-hati wanita muda itu menoleh pada tiga orang yang baru masuk. Mereka kini sudah menempati satu meja tepat di sisi pintu keluar. Tak lama, Ningrum mengangguk. Dan gadis itu dapat melihat, bagaimana terbakarnya mata Andika dengan warna merah.
"Aku harus menuntut balas," geram Andika.
Menyadari hal itu, Ningrum cepat meraih tangan Andika. Digenggamnya tangan itu erat-erat, berusaha menenangkan kerusuhan dalam dada pemuda tanggung di sebelahnya. .
"Jangan bertindak sebodoh itu, selama belum menjalani penyempurnaanmu, Andika...," bisik Ningrum mencoba meyakinkan pemuda yang sudah naik darah itu.
Namun bayangan-bayangan menyakitkan itu lebih kuat menguasainya.
"Mereka tidak bisa seenaknya membunuh orang-orang yang aku sayangi, seperti membunuh anjing
gelandangan. Mereka tidak bisa membunuh mereka kalau hanya aku yang dicari...," gumam Andika saat itu juga terdengar giginya yang bergemeletuk.
"Andika, benar kata Ningrum.... Mereka bukan tokoh golongan hitam yang sembarangan. Untuk menghadapi Begal Ireng saja, kita bertiga pun belum tentu mampu. Kau harus siap dulu Andika...," sergah Purwasih menenangkan Andika yang semakin kalap. Dia menye-sal, kenapa sudah selancang itu mengatakan tentang mereka pada Andika.
"Mereka tentu datang kesini untukmencari aku dan untuk membunuhku, seperti mereka membunuh Ki Panji Agung.... Keparat-keparat itu rupanya mendapat hari bagus menemukanku di sini!"
Sehabis berkata demikian, Andika bangkit. Sehingga menimbulkan bunyi tak beraturan akibat meja yang terdorong.
"Andika!" tahan Ningrum dengan wajah demikian khawatir.
"Demi aku, tolonglah tunda kemarahanmu sampai sudah menjalani penyempurnaan...," pinta Ningrum, memelas sekali.
Sia-sia. Andika malah sudah bertolak pinggang, menghadap ke arah tiga tokoh hitam itu.
"Begal Ireng keparat!"Tubuh Andika berputar langsung melenting dan berputaran di udara, lalu hinggap dua meja di dekat meja ketiga orang itu duduk.
Kemudian, langsung ditatap ketiga orang itu satu persatu dengan sinar mata jalang tak terkendali.
"Kau mencari keturunan Pendekar Lembah Kutukan, bukan?! Hari ini kau beruntung...."
***
Sementara itu, lima orang yang sedari tadi asyik menikmati tuaknya seketika keluar kedai dengan wajah pucat, begitu mendengar nama Begal Ireng diteriakkan Andika. Sementara ketiga manusia busuk itu bagai tak merasa terusik oleh kehadiran Andika.
"Pelayan, sediakan kami tuak!" ujar Begal Ireng. Bibir Begal Ireng tersenyum amat sinis, kemudian
kembali tidak mempedulikan pemuda berang itu.
"Ayo, tunggu apa lagi bajingan?!" hardik Andika makin mata gelap.
Dan Andika sudah membuka caping yang masih menutup kepalanya. Dibantingnya benda itu persis di meja mereka. Sengaja Andika melakukan itu, dengan harapan kemarahan mereka akan terpancing.
Prakkk!
Caping yang dibanting tanpa sedikit pun pengerahan tenaga dalam, langsung menghantam permukaan meja, lantas terpantul ke arah wajah Begal Ireng. Amat mudah bagi Begal Ireng untuk menggelengkan kepalanya sedikit, sehingga terhindar dari benda nyasar itu. Namun, Begal Ireng kembali seperti biasa.
Sementara pelayan tua itu sudah datang ke hadapan tiga tokoh hitam ini bagai seekor kera menghampiri harimau. Badannya menciut demikian rupa, sebagai pertanda kalau demikian ketakutan.
"Ma..., maaf Tuan. Kami kehabisan persediaan tuak," ucap pelayan itu tergagap.
"Kalau begitu, kau bisa ambil kendi tuak di meja dua perempuan itu," ujar Begal Ireng.
"Tapi, Tuan.... Tapi, mereka sudah memesannya lebih dahulu."
"Kau mau ambilkan atau tidak?!" ancam Begal Ireng.
Matanya menatap dingin pada pelayan itu, menusukkan sinar kengerian.
"Keterlaluan! Apa kau pikir dunia ini milikmu!" geram Andika. Kemarahannya kini benar-benar sampai pada batas yang tidak bisa lagi ditahan.
"Hiaaat...!"
Tiba-tiba teriakan mengguntur keluar dari mulut Andika. Kekuatan tenaga dalam yang kini berada di tubuhnya, tanpa disadari terikut dalam teriakan. Akibatnya, kendi-kendi tuak kosong itu pecah berkeping. Bahkan pelayan tua yang nampaknya tak memiliki kepandaian apa-apa menutup telinganya dengan wajah kesakitan. Sedang Ningrum dan Purwasih pun sempat merasakan tusukan nyeri pada telinga, tapi mampu diatasi dengan menyalurkan hawa murni pada telinga masing-masing.
Kedua tangan Andika sudah menggenggam keras sepasang trisula yang dicabut dari pinggangnya. Dengan satu terkaman harimau, diserangnya ubun-ubun Begal Ireng!
Singngng!
Namun dengan egosan ke belakang yang manis sekali, tusukan sepasang trisula itu hanya menyambar angin di depan Begal Ireng. Sedangkan tubuh Andika meluncur deras, melabrak dinding kayu kedai, hingga membuat lubang besar. Dan begitu mendaratkan kakinya di luar, Andika sudah siap dengan kuda-kuda tempurnya.
"Keluarlah kau, Begal Ireng! Apakah kau sejenis anjing buduk pengecut?!" teriak Andika.
Tak ada lagi yang dipikirkan anak muda tanggung itu, kecuali segera menghabisi nyawa manusia-manusia yang telah merusak kebahagiaan yang baru saja dikenyamnya saat berada di Perguruan Trisula Kembar. Manusia-manusia yang tidak hanya membunuh harapannya untuk memilikikeluarga besar seperti saat itu, tapi juga membunuh orang-orang yang sudah menjadi keluarga sendiri secara
keji.
Untuk sedikit memikirkan keselamatannya sendiri saja, sudah tidak ada di benaknya saat ini. Dan kalaupun harus mati, Andika sudah siap.
Dengan langkahtenang teratur, Begal Ireng melangkah keluar, diikuti dua orang botak kaki tangannya.
"Hiaaat!"
Andika langsung menyerangkembali. Ujung runcing trisula di tangan kanannya menyabet ke arah leher Begal Ireng. Namun dengan kecepatan mengagumkan, Begal Ireng melenting dan berputaran beberapa kali kebelakang. Lalu dengan amat ringan kakinya menjejak tanah kembali. Sikapnya masih tetap menganggap enteng Andika, dengan kedua tangan terlipat di dada.
Andika bagai tak mau memberi kesempatan. Diserbunya kembali Begal Ireng. Jurus-jurus 'Trisula Kembarnya menyabet ke sana kemari tanpa aturan. Memang, pengalamannya yang terlalu hijau dalam dunia persilatan, membuat Andika tidak tahu kalau kekalapan pada saat bertempur bisa berarti kelemahan. Begitu Andika menyabetkan trisulanya ke dada, Begal Ireng cepat menangkis dengan punggung tangan.
Plakkk!
Dua kekuatan tenaga dalam luar biasa beradu pada satu titik, menghasilkan benturan yang amat keras. Dan ternyata, hal ini mengakibatkan Begal Ireng terseret dalam keadaan berdiri lima depa ke belakang! Tampak kepulan debu menyebar di sekitar kakinya.
Begal Ireng terperangah. Tak pernah diduga kalau kekuatan tenaga tusukan tangan Andika yang bau kencur itu setingkat dengan tokoh kelas atas.
"Gila!" umpat Begal Ireng dalam hati sambil memegangi punggung tangannya yang terasa nyeri bukan main.
Memang, keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan sering kali sulit dipahami. Dia sendiri tidak dapat menebak, kenapa jenazah Ki Panji Agung yang dihabisinya dulu mengeluarkan cahaya kemilau. Dan belum tuntas kebingungan itu terjawab, kini pemuda yang diburunya belakangan ini memperlihatkan tingkat tenaga dalam yang tidak mungkin bisa didapat secara mudah oleh anak ingusan macam Andika.
Begal Ireng memang tahu kalau kecepatan gerak Andika benar-benar menakjubkan. Itu diketahuinya saat melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Andika menamatkan riwayat Jari Iblis di kota Praja. Sebenarnya, itu pun sudah membuatnya terheran-heran, di samping kagum dan benci. Makanya, Begal Ireng langsung dapat menduga kalau Andika adalah salah seorangketurunan Pendekar Lembah Kutukan, dan langsung menguntit untuk membunuhnya.
Sementara, Andika sendiri terpelanting ke belakang, karena kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulingan bermandikan debu di jalan panas. Tak beda dengan Begal Ireng, dia pun merasakan nyeri yang bukan kepalang di bagian tangannya. Namun tak lama kemudian, pemuda tanggung itu sudah bangkit kembali. Serangan berikut dari Andika kembali datang ke Begal Ireng dengan lebih menggila. Jurus-jurus 'Trisula Kembar' tergabung menjadi satu, membuat tubuh Andika terlihat hanya kelebatan yang meluncur ngawur.
Kali ini, Begal Ireng tidak ingin lagi menganggapnya enteng. Dia tahu, serangan kalap itu akan banyak memberi keuntungan adanya. Namun, kecepatan dan kekuatan tenaga dalam Andika bukan berarti tidak membahayakan!
"Hiaaat!"
Beberapa saat, serangan membabi buta Andika cukup merepotkan Begal Ireng. Namun dibanding Andika, jelas Begal Ireng jauh berpengalaman. Malang melintang di dunia persilatan membuatnya benar-benar matang sebagai tokoh kelas atas golongan hitam. Ditambah, kekalapan Andika yang banyak memberi keuntungan baginya. Tak heran ketika suatu saat, Andika harus menelan pil pahit!
Saat itu Andika melesat cepat sambil menyabetkan 'Trisula Kembar'-nya. Namun dengan hanya melenting ke atas, sebentar trisula itu berhasil dihindari Begal Ireng. Dan baru saja kakinya mendarat, kembali datang serangan kalap dari Andika. Maka cepat Begal Ireng merunduk. Seketika di luar dugaan, Begal Ireng cepat melepaskan satu gedoran telapak tangan berisi tenaga dalam tinggi. Begitu cepatnya, sehingga Andika tak mampu berkelit. Sehingga....
Desss!
"Aaakh!"
Trisulanya terpencar jauh dari tubuhnya. Begitu jatuh di tanah, Andika meringis kesakitan. Tangannya memegangi dada yang telak terhajar telapak tangan Begal Ireng. Sedangkan dari mulutnya, darah kehitam-hitaman menciprati tanah berdebu.
"Andika...!"
Jerit Ningrum tatkala matanya melihat, bagaimana tubuh kurus Andika melayang tak beda selembar daun kering diterpa angin. Maka dari dalam kedai dia berlari mendekati Andika yang tersuruk mencoba bangkit kembali.
Dua orang botak dan sipit kaki tangan Begal Ireng yang berdiri tak jauh dari pintu kedai, sama sekali tidak mencegahnya. Dengan amat dingin dan kaku, mereka hanya melirik tubuh Ningrum yang sintal.
"Keparat kau, Begal Ireng!" jerit Ningrum menyayat, setelah merangkul tubuh Andika yang limbung.
Bagi Ningrum, Andika adalah segalanya. Andika berarti satu tugas amat berat yang diembannya dari Perguruan Naga Merah. Andika berarti seorang sahabat yang amat menyenangkan. Dan Andika juga berarti cinta pertamanya yang tumbuh subur, semenjak pertama kali turun dalam dunia persilatann. Cinta yang kini tak lagi bisa dianggapnya sebagai rasa kasihan belaka. Cinta yang mekar semerbak di kedalaman hati gadis ini.
Sambil memapah tubuh Andika, mata Ningrum yang legam indah menjadi beringas. Dari bagian bawah bulu mata lentiknya, garis-garis bening mengambang berbaur murka yang tak terbendung. Dan setelah merebahkan kembali tubuh Andika yang tak berdaya, Ningrum bangkit. Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah Begal Ireng.
"Kubunuh kau, Begal Ireng!"
Bersama lengking kemarahan, Ningrum mencabut senjata kipasnya yang selama ini selalu disembunyikan.
Kini kembali Begal Ireng melayani seorang yang kalap. Maka pertarungan sengit tak dapat dihindari lagi. Jurus-jurus mereka bertemu, menerbangkan angin dan menimbulkan bunyi-bunyian mendebarkan.
Mata Andika yang berkunang-kunang memperhatikan pertarungan dengan perasaan kekhawatiran yang sangat. Ingin dia berteriak pada Ningrum agar tidak berurusan dengan Begal Ireng. Tapi rasa sesak yang demikian mendera dada, membuatnya tak bisa menggetarkan pita suara sedikit pun.
Hal yang amat tak diharapkan pun terjadi juga. Sebentar saja Ningrum sudah terdesak. Bahkan tiba-tiba saja satu hantaman tangan Begal Ireng mendarat tepat di dagunya, sehingga membuatnya terpental. Bunyi rahang yang remuk terdengar keras. Tidak hanya menyayat telinga, tapi juga hati Andika!
Pemuda tanggung itu tergagap, berusaha meneriakkan nama Ningrum. Namun dari mulutnya hanya keluar suara serak tak berarti. Ketika Andika melihat bagaimana Ningrum jatuh keras dan tak berkutik lagi di sisi jalan, rasa sesak di dadanya tidak lagi dihiraukan. Kerongkongan yang semula bagai terkunci, tiba-tiba meledak menciptakan teriakan yang terdengar seperti lolongan menyayat.
"Aaa...!"
Diubah oleh ucln 20-08-2016 04:29
regmekujo memberi reputasi
1