- Beranda
- Stories from the Heart
PENDEKAR SLEBOR
...
TS
ucln
PENDEKAR SLEBOR

Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta
Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.
Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).
Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.
Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan
Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.
Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..
Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.
Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..
And Here We Go.....
I N D E K S
Spoiler for Indeks 1:
TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya
GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 13:01
regmekujo dan anasabila memberi reputasi
0
99.6K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ucln
#27
Part 7
Ketika malam telah merayap. Dan ketika Andika terlelap. Orang tua berikat kepala merah itu dating lagi dalam mimpi Andika malam ini. Kalau saja anak muda tanggung ini pernah mengenal atau pernah melihat Ki Panji Agung yang kesohor itu, sudah tentu akan langsung mengenali gambaran seseorangyang muncul dalam mimpinya.Dengan senyum berwibawa, Ki Panji Agung dalam mimpi itu membelai-belai rambut Andika.
"Pergilah kau ke Lembah Pandam. Temui wanita Penjaga Pintu' di sana, pada malam purnama..." ujar Ki Panji Agung, lembut.
Begitu kata-kata itu selesai, Andika terjaga dengan peluh membasahi sekujur wajah. Tidak ada yang menakutkan dalam mimpi itu. Tapi entah kenapa, jantungnya berdetak keras dan napasnya memburu kencang. Barangkali mimpi itu semacam satu kekuatan gaib yang menelusup dalam rongga jiwanya. Sambil menyapu keringat di kening, Andika mengingat kembali pesan orang tua dalam mimpinya. Lembah Pandam? 'Penjaga Pintu'!
Begitu cepat ingatannya kembali pada syair di halaman kedua kitab kayu pemberian Ki Sanca. Sepertinya ada kesamaan antara pesan itu dengan salah satu baris syairnya. Cepat diambilnya kitab dalam buntalan yang tadi dijadikan bantal. Sebelum kitab itu benar-benar dikeluarkannya, diliriknya Ningrum yang tertidur tak jauh di sebelahnya. Wanita itu masih terpulas, jadi cukup aman untuk membukanya tanpa terusik kerahasiaannya.
Dibukanya kitab itu hati-hati tanpa menimbulkan bunyi. Diiringi beberapa tarikan napas, ditelitinya baris demi baris sampai akhirnya menemukan baris yang dicari. Benar saja! Ada kata-kata 'Penjaga Pintu' di sana, Dan ini berarti sama dengan ucapan orang tua dalammimpinya tadi.
"Lalu, untuk apa menemuinya?" hati Andika bertanya-tanya.
Sebelum Andika bisa berpikir, kantuk menyergapnya kembali. Segera tubuhnya direbahkan, dan sebentar saja terdengar tarikan napasnya yang halus.
Matahari beranjak sepenggalan. Sinarnya menyapu wajah tirus Andika, sehingga membuatnya terbangun.
"Pagi, Andika," sapa Ningrum.
Rupanya gadis itu telah bangun lebih awal. Di luar kandang kuda tua yang kini jadi tempat berteduh
sementara mereka, Ningrum membuat perapian untuk memasak air. Andika buru-buru bangkit. Hatinya agak malu juga bangun lebih siang dari pada Ningrum. Dengan menggaruk-garuk rambutnya yang sebahu tak teratur, Andika berusaha tersenyum.
"Pagi, Nini. Maafkan, aku bangun terlambat. Mestinya aku yang mencari kayu-kayu kering untuk perapian itu," sahut Andika.
"Hm... kalau begitu, biarlah akuyang mengambil air saja."
Ningrum hanya tersenyum. Andika siap akan melangkah, setelah mengambilember kayu yang tak jauh dari situ.
"O, ya Andika...," sahut Ningrum, menahan langkah Andika menuju mata air yang tak jauh dari sana. "Tolong jangan panggil aku dengan sebutan nini. Cukup Ningrum saja. Kalau terus-terusan begitu, aku jadi jengah."
Andika mengangkat alis dan bahunya berbarengan. Rasanya, dia memang tak perlu membantah permintaan Ningrum. Masalahnya, pemuda tanggung itu sendiri sudah lama ingin memanggil gadis ayu yang selalu membuatnya berdebar-debar ini.
"Ningrum...," ucap Andika, tanpa maksud apa-apa. Bisa jadi dia sedang melatih lidahnya agar nanti tak keluar lagi sebutan nini.
"Kau mau diam di situ terus, apa mau ke mata air?" usik Ningrum mendapatkan Andika masih saja menatap terpaku ke arahnya.
"Oh, iya...." Andika menepuk keningnya keras-keras menyadari apa yang barusan dilakukannya tanpa sadar.
Dan Ningrum hanya menggelengkan kepala. Bibirnya memperlihatkan senyum yang demikian mempesona, secerah pagi ini.
Tak begitu lama Andika mengambil air. Karena, selain tempatnya tidak terlalu jauh, Andika juga sedang menjajal ilmu lari cepatnya yang didapat tanpa diketahuinya. Tak heran kalau dia sudah kembali lagi di hadapan Ningrum.
Andika kini duduk bersila di pinggir perapian bersama Ningrum. Teh hangat dalam mangkuk tempurung kelapa ditangannya sesekali diseruput.
"Ng..., Ningrum. Apa kau tahu letak Lembah Pandam?" tanya Andika.
"Lembah Pandam?" ulang Ningrum ingin meyakinkan apa yang didengarnya dari mulut Andika.
"Iya, Lembah Pandam. Kenapa, Ningrum?" tanyaAndika, nggak berani melihat perubahan pada wajah gadis itu.
Ningrum segera menyembunyikan raut heran di wajahnya.
"Tidak apa-apa," kilah Ningrum, menghindar.
Diaduknya teh yang mendidih di kuali yang biasa digunakan untuk menggodok ramuan, sekadar mengalihkan perhatian pemuda tanggung itu. Andika yang sudah telanjur melihat perubahan sekilas
padawajah Ningrum, jadi bertanya-tanya.
"Ada apa dengan lembah itu, sehingga Ningrumbersikap seakan menyembunyikan sesuatu?"
"Ada apa dengan lembah itu, Ningrum? Apa tempat itu amat berbahaya?" selidik Andika.
"Tidak apa-apa. Aku hanya biasa ke lembah itu untuk mencari damar sebagai campuran ramuanku...," desah Ningrum, berkilah.
"Ooo." Andika mengangguk-angguk.
"Kau sendiri ada kepentingan apa menanyakan tempat itu?" Ningrum balik bertanya tanpa diduga Andika sama sekali.
"Anu...." Anak muda tanggung itu gelagapan.
"Ng....Aku hanya..., ya hanya ingin melihat bulan purnama."
Ningrum menatapnya heran. Hatinya seperti tidak puas dengan jawaban Andika yang tampak main-main.
"Sungguh! Apa kau tak tahu kalau di sana bulan purnama bersinar begitu jelas dan sangat indah," ujar Andika memberi alasan.
"Bagaimana kau tahu kalau di sana bulan purnama tampak lebih indah, sedangkan letak lembah itu kau masih tanya padaku?" desak Ningrum.
Andika jadi mati kutu. Kalaupun diteruskannya menjawab pertanyaan Ningrum, bisa-bisa akhirnya rahasia miliknya terbuka.
"Sialan! Aku kira hanya otakku saja yang encer!" gerutu pemuda tanggung itu dalam hati.
Andika jadi tersipu malu, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya, untuk mengangkat wajahnya berat sekali.
"Oh, ya. Hari tampaknya sudah cukup siang. Apa kau nanti tidak terlambat masuk kerja di kedai itu?" kata Andika, mengalihkan pembicaraan. Matanya langsung disipitkan, melihat ke arah matahariyang semakin naik.
"Astaga.... Kenapa aku jadi keenakan bicara denganmu...," tukas Ningrum seraya bergegas bangkit.
"Selamat..., selamat...," kata Andika dalam hati.
Tak lama kemudian Ningrum keluar dari kandang kuda itu, lalu berangkat ke kedai tempat kerjanya.
Letak Lembah Pandam berjarak satu hari berjalan kaki dari kotapraja. Dan tepat pada saat bulan beranjak perlahan di cakrawala tak berawan, Andika dan Ningrum tiba di sana. Andika sebetulnya berharap sekali dapat pergi sendiri ke tempat ini dengan arah petunjuk yang diberikan Ningrum. Namun, dia tak sampai hati meninggalkan sendirian perempuan seayu Ningrum. Apalagi, di kota praja yang segala kejahatan bisa saja terjadi. Dan setahu Andika, Ningrum selama di Perguruan Trisula Kembar hanya seorang tabib muda yang kebetulan menetap di perguruan itu.
Bagaimana Andika dapat menemui wanita 'Penjaga Pintu' seperti yang dikatakan orang tua dalam mimpinya, itu urusan nanti. Yang penting, akan dicarinya alasan tepat, jika nanti Ningrum bertanya. Kalau perlu, dia akan mengarang cerita yang bisa dipercaya Ningru agar rahasia tentang dirinya tidak bocor. Ini bukan berarti Andika tidak mempercayai Ningrum. Yang jelas, dia hanya sekadar menjaga agar dirinya sebagai keturunan Pendekar Lembah Kutukan dapat tetap terjaga kerahasiaannya, sampai semua pesan yang terkandung dalam syair di kitab kayu itu dapat dilaksanakan.
Lembah Pandam begitu sunyi, hanya diisi paduan nyanyian jangkrik. Tempat ini hanya berupa dataran berumput luas yang diapit kaki gunung, sehingga bulan purnama nampak berada dalam mangkuk raksasa bila dilihat dari lembah itu. Sungguh menawan! Berarti, tak salah dugaan Andika.
Di belakang segerombol semak lebat yang banyak tumbuh di sana, Andika dan Ningrum duduk dalam temaram sinar bulan. Angin malam menyapu wajah-wajah mereka. Bagi Andika, itu berarti pengintaian ter-sembunyi. Bagaimana bagi Ningrum?
"Jadi kau ke sini jauh-jauh hanya untuk duduk perti ini?" tanya Ningrum, kebingungan.
"Apa aku tidak boleh menikmati keindahan purnama bersamamu seperti sekarang?" balas Andika dengan mata tetap mengawasi dataran di depannya.
"Kenapa harus di semak-semak seperti ini? Kita kan bisa duduk di dataran rumput itu, dan membuat api unggun...," ujar Ningrum. Wajah mempesonanya tampak bersemu merah tanpa diketahui Andika.
"Tapi aku kan tidak bermaksud yang bukan-bukan. Jangan berpikiran ngaco!" sergah Andika sambil melirik Ningrum di sampingnya.
"Kau mau percaya atau tidak, aku ini pemuda baik-baik."
Ningrum tertawa kecil mendengar itu.
"Ssst... ssst!" cegah Andika.
"Kenapa jadi tertawa? Apa tadi ada yang lucu?"
"Bagaimana tidak lucu. Kau tadi mengatakan, ingin menikmati purnama. Tapi, kenapa malah duduk melingkar di semak dengan wajah tegang seperti itu...," kata Ningrum, sambil tersenyum manis.
Andika melirik Ningrum dengan alis tertaut.
"Jadi, maumu apa? Apa aku harus merangkulmu agar suasana lebih nikmat?" seloroh Andika, ceplas-ceplos.
Mata Ningrum kontan membesar, mangkel campur malu.
"Kau mulai kurang ajar padaku? Aku kan lebih tua darimu!" sindir Ningrum.
"Biar kau lebih tua, tapi aku toh tetap laki-laki," kata Andika lagi, makin membuat wajah wanita muda itu memerah tak karuan.
"Kau makin ngaco!" hardik gadis itu seraya bangkit.
Andika diam saja dan tetap tidak bergeming memandang ke depan. Ketika Ningrum berjalan keluar dari semak, baru anak muda tanggung itu menoleh.
"Mau ke mana kau?" tanya Andika setengah ber-bisik.
"Aku akan mencari damar!" jawab Ningrum ketus,
Baru kali inilah wanita muda yang anggun itu bersikapagak judes.
"Persediaan damarku habis!"
"Jangan! Nanti ada apa-apa! Tetap di sini saja!
"Menunggumu yang tegang memperhatikan dataran rumput? Ooo..., terima kasih banyak, Tuan Muda...,” ledek Ningrum, lalu melangkah.
"Lagi pula kau tidak perlu khawatir. Aku cukup kenal baik dengan daerah ini Jauh lebih baik ketimbang dirimu...."
"Huh, perempuan!" maki Andika, menggerutu.
Lama Andika meringkuk dalam semak seperti setan bodoh kesasar. Bahkan ketika malam makin tua pun, belum tampak ada tanda-tanda seorang perempuan yang lewat di padang rumput yang terhampar di depannya.
"Sialan...," gerutu pemuda tanggung itu sambil menggaruk kepala.
"Apa aku sudah dikibuli mimpi sendiri?"
Ketika malam telah merayap. Dan ketika Andika terlelap. Orang tua berikat kepala merah itu dating lagi dalam mimpi Andika malam ini. Kalau saja anak muda tanggung ini pernah mengenal atau pernah melihat Ki Panji Agung yang kesohor itu, sudah tentu akan langsung mengenali gambaran seseorangyang muncul dalam mimpinya.Dengan senyum berwibawa, Ki Panji Agung dalam mimpi itu membelai-belai rambut Andika.
"Pergilah kau ke Lembah Pandam. Temui wanita Penjaga Pintu' di sana, pada malam purnama..." ujar Ki Panji Agung, lembut.
Begitu kata-kata itu selesai, Andika terjaga dengan peluh membasahi sekujur wajah. Tidak ada yang menakutkan dalam mimpi itu. Tapi entah kenapa, jantungnya berdetak keras dan napasnya memburu kencang. Barangkali mimpi itu semacam satu kekuatan gaib yang menelusup dalam rongga jiwanya. Sambil menyapu keringat di kening, Andika mengingat kembali pesan orang tua dalam mimpinya. Lembah Pandam? 'Penjaga Pintu'!
Begitu cepat ingatannya kembali pada syair di halaman kedua kitab kayu pemberian Ki Sanca. Sepertinya ada kesamaan antara pesan itu dengan salah satu baris syairnya. Cepat diambilnya kitab dalam buntalan yang tadi dijadikan bantal. Sebelum kitab itu benar-benar dikeluarkannya, diliriknya Ningrum yang tertidur tak jauh di sebelahnya. Wanita itu masih terpulas, jadi cukup aman untuk membukanya tanpa terusik kerahasiaannya.
Dibukanya kitab itu hati-hati tanpa menimbulkan bunyi. Diiringi beberapa tarikan napas, ditelitinya baris demi baris sampai akhirnya menemukan baris yang dicari. Benar saja! Ada kata-kata 'Penjaga Pintu' di sana, Dan ini berarti sama dengan ucapan orang tua dalammimpinya tadi.
"Lalu, untuk apa menemuinya?" hati Andika bertanya-tanya.
Sebelum Andika bisa berpikir, kantuk menyergapnya kembali. Segera tubuhnya direbahkan, dan sebentar saja terdengar tarikan napasnya yang halus.
Matahari beranjak sepenggalan. Sinarnya menyapu wajah tirus Andika, sehingga membuatnya terbangun.
"Pagi, Andika," sapa Ningrum.
Rupanya gadis itu telah bangun lebih awal. Di luar kandang kuda tua yang kini jadi tempat berteduh
sementara mereka, Ningrum membuat perapian untuk memasak air. Andika buru-buru bangkit. Hatinya agak malu juga bangun lebih siang dari pada Ningrum. Dengan menggaruk-garuk rambutnya yang sebahu tak teratur, Andika berusaha tersenyum.
"Pagi, Nini. Maafkan, aku bangun terlambat. Mestinya aku yang mencari kayu-kayu kering untuk perapian itu," sahut Andika.
"Hm... kalau begitu, biarlah akuyang mengambil air saja."
Ningrum hanya tersenyum. Andika siap akan melangkah, setelah mengambilember kayu yang tak jauh dari situ.
"O, ya Andika...," sahut Ningrum, menahan langkah Andika menuju mata air yang tak jauh dari sana. "Tolong jangan panggil aku dengan sebutan nini. Cukup Ningrum saja. Kalau terus-terusan begitu, aku jadi jengah."
Andika mengangkat alis dan bahunya berbarengan. Rasanya, dia memang tak perlu membantah permintaan Ningrum. Masalahnya, pemuda tanggung itu sendiri sudah lama ingin memanggil gadis ayu yang selalu membuatnya berdebar-debar ini.
"Ningrum...," ucap Andika, tanpa maksud apa-apa. Bisa jadi dia sedang melatih lidahnya agar nanti tak keluar lagi sebutan nini.
"Kau mau diam di situ terus, apa mau ke mata air?" usik Ningrum mendapatkan Andika masih saja menatap terpaku ke arahnya.
"Oh, iya...." Andika menepuk keningnya keras-keras menyadari apa yang barusan dilakukannya tanpa sadar.
Dan Ningrum hanya menggelengkan kepala. Bibirnya memperlihatkan senyum yang demikian mempesona, secerah pagi ini.
Tak begitu lama Andika mengambil air. Karena, selain tempatnya tidak terlalu jauh, Andika juga sedang menjajal ilmu lari cepatnya yang didapat tanpa diketahuinya. Tak heran kalau dia sudah kembali lagi di hadapan Ningrum.
Andika kini duduk bersila di pinggir perapian bersama Ningrum. Teh hangat dalam mangkuk tempurung kelapa ditangannya sesekali diseruput.
"Ng..., Ningrum. Apa kau tahu letak Lembah Pandam?" tanya Andika.
"Lembah Pandam?" ulang Ningrum ingin meyakinkan apa yang didengarnya dari mulut Andika.
"Iya, Lembah Pandam. Kenapa, Ningrum?" tanyaAndika, nggak berani melihat perubahan pada wajah gadis itu.
Ningrum segera menyembunyikan raut heran di wajahnya.
"Tidak apa-apa," kilah Ningrum, menghindar.
Diaduknya teh yang mendidih di kuali yang biasa digunakan untuk menggodok ramuan, sekadar mengalihkan perhatian pemuda tanggung itu. Andika yang sudah telanjur melihat perubahan sekilas
padawajah Ningrum, jadi bertanya-tanya.
"Ada apa dengan lembah itu, sehingga Ningrumbersikap seakan menyembunyikan sesuatu?"
"Ada apa dengan lembah itu, Ningrum? Apa tempat itu amat berbahaya?" selidik Andika.
"Tidak apa-apa. Aku hanya biasa ke lembah itu untuk mencari damar sebagai campuran ramuanku...," desah Ningrum, berkilah.
"Ooo." Andika mengangguk-angguk.
"Kau sendiri ada kepentingan apa menanyakan tempat itu?" Ningrum balik bertanya tanpa diduga Andika sama sekali.
"Anu...." Anak muda tanggung itu gelagapan.
"Ng....Aku hanya..., ya hanya ingin melihat bulan purnama."
Ningrum menatapnya heran. Hatinya seperti tidak puas dengan jawaban Andika yang tampak main-main.
"Sungguh! Apa kau tak tahu kalau di sana bulan purnama bersinar begitu jelas dan sangat indah," ujar Andika memberi alasan.
"Bagaimana kau tahu kalau di sana bulan purnama tampak lebih indah, sedangkan letak lembah itu kau masih tanya padaku?" desak Ningrum.
Andika jadi mati kutu. Kalaupun diteruskannya menjawab pertanyaan Ningrum, bisa-bisa akhirnya rahasia miliknya terbuka.
"Sialan! Aku kira hanya otakku saja yang encer!" gerutu pemuda tanggung itu dalam hati.
Andika jadi tersipu malu, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya, untuk mengangkat wajahnya berat sekali.
"Oh, ya. Hari tampaknya sudah cukup siang. Apa kau nanti tidak terlambat masuk kerja di kedai itu?" kata Andika, mengalihkan pembicaraan. Matanya langsung disipitkan, melihat ke arah matahariyang semakin naik.
"Astaga.... Kenapa aku jadi keenakan bicara denganmu...," tukas Ningrum seraya bergegas bangkit.
"Selamat..., selamat...," kata Andika dalam hati.
Tak lama kemudian Ningrum keluar dari kandang kuda itu, lalu berangkat ke kedai tempat kerjanya.
***
Letak Lembah Pandam berjarak satu hari berjalan kaki dari kotapraja. Dan tepat pada saat bulan beranjak perlahan di cakrawala tak berawan, Andika dan Ningrum tiba di sana. Andika sebetulnya berharap sekali dapat pergi sendiri ke tempat ini dengan arah petunjuk yang diberikan Ningrum. Namun, dia tak sampai hati meninggalkan sendirian perempuan seayu Ningrum. Apalagi, di kota praja yang segala kejahatan bisa saja terjadi. Dan setahu Andika, Ningrum selama di Perguruan Trisula Kembar hanya seorang tabib muda yang kebetulan menetap di perguruan itu.
Bagaimana Andika dapat menemui wanita 'Penjaga Pintu' seperti yang dikatakan orang tua dalam mimpinya, itu urusan nanti. Yang penting, akan dicarinya alasan tepat, jika nanti Ningrum bertanya. Kalau perlu, dia akan mengarang cerita yang bisa dipercaya Ningru agar rahasia tentang dirinya tidak bocor. Ini bukan berarti Andika tidak mempercayai Ningrum. Yang jelas, dia hanya sekadar menjaga agar dirinya sebagai keturunan Pendekar Lembah Kutukan dapat tetap terjaga kerahasiaannya, sampai semua pesan yang terkandung dalam syair di kitab kayu itu dapat dilaksanakan.
Lembah Pandam begitu sunyi, hanya diisi paduan nyanyian jangkrik. Tempat ini hanya berupa dataran berumput luas yang diapit kaki gunung, sehingga bulan purnama nampak berada dalam mangkuk raksasa bila dilihat dari lembah itu. Sungguh menawan! Berarti, tak salah dugaan Andika.
Di belakang segerombol semak lebat yang banyak tumbuh di sana, Andika dan Ningrum duduk dalam temaram sinar bulan. Angin malam menyapu wajah-wajah mereka. Bagi Andika, itu berarti pengintaian ter-sembunyi. Bagaimana bagi Ningrum?
"Jadi kau ke sini jauh-jauh hanya untuk duduk perti ini?" tanya Ningrum, kebingungan.
"Apa aku tidak boleh menikmati keindahan purnama bersamamu seperti sekarang?" balas Andika dengan mata tetap mengawasi dataran di depannya.
"Kenapa harus di semak-semak seperti ini? Kita kan bisa duduk di dataran rumput itu, dan membuat api unggun...," ujar Ningrum. Wajah mempesonanya tampak bersemu merah tanpa diketahui Andika.
"Tapi aku kan tidak bermaksud yang bukan-bukan. Jangan berpikiran ngaco!" sergah Andika sambil melirik Ningrum di sampingnya.
"Kau mau percaya atau tidak, aku ini pemuda baik-baik."
Ningrum tertawa kecil mendengar itu.
"Ssst... ssst!" cegah Andika.
"Kenapa jadi tertawa? Apa tadi ada yang lucu?"
"Bagaimana tidak lucu. Kau tadi mengatakan, ingin menikmati purnama. Tapi, kenapa malah duduk melingkar di semak dengan wajah tegang seperti itu...," kata Ningrum, sambil tersenyum manis.
Andika melirik Ningrum dengan alis tertaut.
"Jadi, maumu apa? Apa aku harus merangkulmu agar suasana lebih nikmat?" seloroh Andika, ceplas-ceplos.
Mata Ningrum kontan membesar, mangkel campur malu.
"Kau mulai kurang ajar padaku? Aku kan lebih tua darimu!" sindir Ningrum.
"Biar kau lebih tua, tapi aku toh tetap laki-laki," kata Andika lagi, makin membuat wajah wanita muda itu memerah tak karuan.
"Kau makin ngaco!" hardik gadis itu seraya bangkit.
Andika diam saja dan tetap tidak bergeming memandang ke depan. Ketika Ningrum berjalan keluar dari semak, baru anak muda tanggung itu menoleh.
"Mau ke mana kau?" tanya Andika setengah ber-bisik.
"Aku akan mencari damar!" jawab Ningrum ketus,
Baru kali inilah wanita muda yang anggun itu bersikapagak judes.
"Persediaan damarku habis!"
"Jangan! Nanti ada apa-apa! Tetap di sini saja!
"Menunggumu yang tegang memperhatikan dataran rumput? Ooo..., terima kasih banyak, Tuan Muda...,” ledek Ningrum, lalu melangkah.
"Lagi pula kau tidak perlu khawatir. Aku cukup kenal baik dengan daerah ini Jauh lebih baik ketimbang dirimu...."
"Huh, perempuan!" maki Andika, menggerutu.
Lama Andika meringkuk dalam semak seperti setan bodoh kesasar. Bahkan ketika malam makin tua pun, belum tampak ada tanda-tanda seorang perempuan yang lewat di padang rumput yang terhampar di depannya.
"Sialan...," gerutu pemuda tanggung itu sambil menggaruk kepala.
"Apa aku sudah dikibuli mimpi sendiri?"
Diubah oleh ucln 19-08-2016 17:11
0