uclnAvatar border
TS
ucln 
PENDEKAR SLEBOR


Penulis: Pijar El
Penerbit: Cintamedia, Jakarta



Sebenarnya ini adalah cerita silat pertama yang saya gandrungi semasa sekolah dahulu, ditengah boomingnya cerita silat Wiro Sableng karangan Bastian Tito yang terbit setiap bulan pada saat itu.

Jaman itu pun kayaknya Ken-Ken alias pemeran utama diserial Wiro Sableng juga masih dalam masa pencarian jati diri (masa-masa sekolah).

Sebenarnya saya adalah seorang yang hobi membaca sebuah cerita yang berbau non-fiksi dan yang terlebih lagi yang berupa fiksi. Pendekar slebor inilah yang awalnya membawa saya untuk menggemari dunia membaca, dilanjut dengan Wiro Sableng, Tikam Samurai, Pendekar Mabuk, Dewa arak, Pendekar Rajawali, Pendekar Pedang Buntung 131 dan lain sebagainya.

Seiring berjalannya waktu (makin dewasa) tentu saja selera membaca yang saya punya juga merambah keberbagai jenis novel, seperti karya2nya fredi s, zara zetira, tara zagita atau yang beberapa hari yang lalu baru saja saya tamatkan membaca yaitu sebuah novel karyanya Rhein Fathia yang berjudul CoupL(ov)e. Beberapa Fiksi & novel terjemahan pengarang luar juga tak lepas dari santapan sehari-hari. Seperti Lord of The ring, Pasukan Mau Tahu, Lima Sekawan, Harpot, Eragon, bahkan sejenis Enny arrow & Nick Carter pun tak lepas dari santapan

Beberapa bulan yang lalu saya diperkenalkan kepada forum tercinta ini oleh sebuah status diberanda FB yang membagikan cerita dengan judul "Dia Dia Dia Sempurna". Berawal dari sini, hobi membaca sebuah tulisan yang beberapa waktu belakangan sempat hilang tiba-tiba muncul kembali. Kisah2 legendaris yang berstatus tamat atau masih on going/kentang, ataupun cerita2 para sepuh yang masih tersimpan rapi di archive kaskus satu persatu saya lahap. 24 Jam sehari, & 7 hari seminggu dengan sedikit mengabaikan dunia nyata, semua karya2 tersebut saya tamatkan untuk membaca. Mulai kehilangan bacaan saya beralih kepada thread2 baru yang masih berjalan belasan part ataupun masih beberapa part.

Fix.., kira2 sebulan yang lalu mulai kehabisan bahan bacaan... Sifat iseng mulai muncul, mulai deh bikin komentar2 yang rada2 nyindir dibeberapa thread yang berbau mistis (entah kenapa saya kurang suka dengan thread2 mistis, padahal kalau baca novel horor sih saya suka). Cuma tahan berdebat Beberapa saat karena ujung2nya komentar saya cuma diabaikan & mulai tidak ada perlawanan, lagi2 kebosanan melanda..

Sambil bolak-balik kebeberapa thread on going yang saya bookmark, mulai kepikiran nih untuk bikin cerita sendiri. Tapi memang pada dasarnya saya tidak punya kisah perjalan hidup yang "njelimet" seperti para TS diforum ini untuk diangkat sebagai cerita, ya akhirnya pikiran untuk bikin Thread sendiri cuma jadi angan-angan belaka.

Setelah berhari-hari bermeditasi untuk mendapatkan ide, akhirnya sebuah idepun muncul. Kenapa tidak mencoba mengangkat kembali karya lama yang membuat saya jatuh cinta terhadap dunia membaca?? Dan pilihan itupun jatuh terhadap Cerita Silat lawas "Pendekar Slebor". Setelah dari tadi pagi bolak balik beberapa blog yang menyediakan versi pdf cerita ini, akhirnya didapatkanlah bahan untuk beberapa episode kedepan..

And Here We Go.....

I N D E K S


Spoiler for Indeks 1:



TSnya tidak usah dikasih yang ijo-ijo, cukup dilemparin bata saja
Jangan lupa rate & sharenya


GRAZIE..!!!
Diubah oleh ucln 04-01-2017 06:01
anasabila
anasabila memberi reputasi
1
98.7K
350
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Tampilkan semua post
uclnAvatar border
TS
ucln 
#21
Part 4

Ki Panji Agung yang menyadari kalau keadaannya tidak menguntungkan, segera saja mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Sebelumnya, dia telah menotok beberapa jalan darah di bagian tubuhnya, tatkala mengetahui kalau pukulan si Kembar dari Tiongkok ternyata beracun.

"Hiaaat...."

Begal Ireng mulai merangsek kembali. Serangannya sekarang tidak tanggung-tanggung lagi. Cemetinya menggeletar di udara, menimbulkan bunyi menggelegar dan percikan api. Bahkan sekarang dua orang botak itu ikut andil pula dalam serangan puncak. Dengan ganas mereka mengeroyok pendekar tua beraliran putih ini. Maka pertarungan sengit tak dapat dielakkan lagi.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Pendekar tua berkesaktian tinggi itu rupanya tetap tidak mudah diruntuhkan, meski telah terluka dalam yang parah. Pukulan-pukulan geledeknya yang telah dikerahkan hingga puncaknya, beberapa kali membuat kekompakan tiga orang
pengeroyoknya menjadi sedikit kacau.

Hingga menjelang fajar, pertarungan alot ini terus berlangsung. Sementara tubuh Ki Panji Agung sudah terkoyak disana-sini, terkena sabetan cemeti Begal Ireng yang setajam mata pedang iblis. Darah makin banyak mengucur dari tubuhnya. Dan ini membuat Ki Panji Agung semakin lemah dan tersuruk-suruk di antara serangan bertubi-tubi tiga tokoh golongan hitam itu.

Hingga matahari mulai mengintip di ujung timur cakrawala, sebuah sabetan cemeti Begal Ireng melecut kebagian mata Ki Panji Agung.

Ctarrr!
"Aaakh!"

Belum juga Ki Panji Agung menguasai diri, dua pukulan berisi tenaga pamungkas dari siKembar dari Tiongkok seketika menghantam dada kiri dan kanan Ki Panji Agung.

"Ugh!"

Ki Panji Agung memang sudah tak kuasa menghindar dari dua serangan itu. Tubuhnya kontan terpental amat jauh diiringi pekikan tertahan. Dan tubuhnya lurus meluncurseperti batu yang dilontarkan. Kemudian, dia jatuh di muka bumi dan langsung terguling-guling mengenaskan. Tubuh Ki Panji Agung hanya sempat bergeming sedikit. Kepalanya bergerak dengan mata menatap sayu kearah tiga pengeroyoknya. Anehnya, bibirnya justru tersenyum. Dan ini membuat Begal Ireng menautkanalis tak mengerti.

Sesaat kemudian, Ki Panji Agung tak berkutik lagi. Pendekar tua yang sakti itu telah tiada. Dengan sebuah senyum manis menyertai kepergiannya. Begal Ireng yang mengetahui musuh utamanya telah benar-benar mampus, langsung tertawa terbahak-bahak. Dianggapnya, itu merupakan kemenangan yangamat besar dalam hidupnya. Selama ini, tidak ada satu tokoh golongan hitam pun yang mampu menandingi KI Panji. Agung.Apalagi, membunuhnya.

Sedangkan dua orang botak yang membantunya hanya menatap dingin tubuh Ki Panji Agung. Tatapan nya berkesan memuakkan, seperti sedang melihat sepotong bangkai tikus menjijikkan.

Begal Ireng belum puas juga tertawa, sampai akhirnya tercekat oleh sesuatu yang amat ganjil. Dari jasadKi Panji Agung, tiba-tiba keluar cahaya keperakan yangmasih dapat tertangkap mata, karena matahari belumbegitu muncul benar.Sinar itu melayang cepat keangkasa, lantas meluncur ke arah barat seperti hendak menjauhi matahari Dan sinar
itu lurus meluncur, mirip bintang jatuh... menuju Perguruan Trisula Kembar.

Sinar itu terus menembus atap padepokan, lalu menyelusup ke dalam tubuh salah seorang murid yang masih terpulas, karena lelah akibat latihan semalam. Murid itu adalah..., Andika. Dan itu tanpa disadari Andika sendiri.

***


Seorang gadis tinggal di padepokan Perguruan Trisula Kembar. Rambutnya panjang disanggul kecil. Tampak anak rambutnya menjuntai di depan telinga. Kulitnya kuning langsat, tubuhnya langsing, dan wajahayu. Dan itu membuatnya semakin mempesona. Bibirnya yang kerap tersenyum, sering kali menggetarkan kalbu laki-laki. Namanya, Ningrum.

Kira-kira empat purnama yang lalu, Ningrum datang ke perguruan ini dengan mengaku sebagai tabibwanita yang tersesat di hutan sebelah selatan, ketika mencari rempah-rempah dan dedaunan untuk bahan obat-obatan. Sejak saat itulah, dia tinggal di sana. ka
rena kebetulan perguruan waktu itu belum memiliki tabib, maka Ki Sanca memutuskan untuk menerima Ningrum.

Dan pagi ini, Ningrum tampak tengah sibuk di dapurperguruan. Tangannya dengan lincah mencari-cari daunan yang digunakan untuk obat, kemudian di tumbuknya. Setelah itu racikannya dimasukkan ke dalamkuali, dan mulai mengaduk perlahan-lahan. Gadis memang tengah membuat jamu godokan untuk murid-murid Perguruan Trisula Kembar.

"Pagi, Nini...," sapa Andika pada Ningrum yang usianya lebih tua sekitar lima tahun.
"Pagi...," sahut Ningrum seraya tersenyum teduh.
"Sedang menggodok ramuan apa, Nini?" lanjut Andika.

Padahal, sebenarnya Andika harus membantu Soma membelah kayu bakar seperti biasanya. Tadi, waktu pergi ke dapur untuk mengambil kapak, tanpa sengaja Andika melihat Ningrum. Ada yang menyejukkan hati pemuda tanggung itu, tatkala matanya bertemu tatapan lembut Ningrum. Mata yang berbulu lentik dan memancarindah itu telah menggetarkan sendi-sendi kelaki-lakian Andika Dan pemuda tanggung itu sendiri tidak mengerti, perasaan apa yang menjalar hatinya.

'Ini ramuan beras kencur...," sahut Ningrum, singkat.
"Beras kencur?" tanya Andika dalam hati.

Mendadak terlintas pikiran nakal yang selalu saja muncul di benak anak gelandangan kotapraja seperti Andika.

"Benar," jawab Ningrum, tanpa menghentikan gerakan tangannya yang halus dalam mengaduk kuali tanah liat
.
"Untuk pegal kena pukulan bisa?"
"Tentu saja, bisa...."
"He he he...," batin Andika terkekeh.

Sekejap kemudian wajah Andika dibuat memelas. Mulutnya meringis-ringis di depan Ningrum.

"Kalau begitu, Nini bisa menolongku, bukan? Tanganku ini semalam kena gagang trisula waktu latihan" ujar Andika seraya menjulurkan tangannya pada ningrum.

"Yang mana?" tanya Ningrum heran, karena tidak melihat ada bekas terpukul sedikit pun pada tangan pemuda tanggung itu.

"Ini..., yang ini," tunjuk Andika pada bagian tangan yang dianggap kaku.

Ningrum memegang tangan kurus itu, dan memperhatikan daerah yang ditunjuk Andika.

"Kok, tidak ada memar?" tanya Ningrum, heran.
"Memang... memang," sergah Andika.
"Tapi kalau dipegang, terasa nyeri. Kalau Nini tidak percaya, pegang saja!"

Walaupun agak sedikit mengerutkan kening kareru bingung, Ningrum memijit juga bagian tangan yang ditunjuk Andika. Setiap kali ditekan, anak badung iti langsung menjerit-jerit seperti amat menderita dengan wajah meringis-ringis sedemikian rupa. Andika tidak peduli, bila wajahnya di mata Ningrum terlihat sepert orang kesakitan. Atau, lebih mirip orang yang sedangbuang hajat besar. Pokoknya, meringis. Biar sandiwara nya kelihatan benar-benar bagus!

"Adouuuw!" teriak Andika.
"Sakit sekali, ya?" tanya Ningrum kebingungan.
"Iya! Kau tahu rasa sakit terkena tusukan seribu sembilu?" kata Andika, menggambarkan rasa sakit yangdibuat-buat.

Dalam hati, Andika sendiri mau tertawa sekeras kerasnya melihat mata Ningrum yang bergerak bingung ketika dia menjerit-jerit.

"Adouuuw!" sekali lagi mulut Andika memperde ngarkan teriakan.
"Lho?! Aku kan belum memijit tanganmu lagi?" sela Ningrum dengan alis mata terangkat.
"Belum, ya? Ng..., makanya pijit lagi, biar aku teriak lagi...," kata Andika, ketolol-tololan.

Sebelum tangan halus Ningrum memegang kembali lengan kurus Andika, tiba-tiba....

"Lagi apa kau di sini?" Terdengar suara Soma, menegur Andika. Seketika Andika menarik
tangannya.

Memang kakak seperguruannya itu sudah berada di belakangnya sambil berkacak pinggang, begitu Andika menoleh. Dan pemuda tanggung itu jadi cengar-cengir.

"Minta beras kencur...," jawab Andika asal jadi.

Soma memelototi anak itu. Dia tahu, apa maksud Andika sebenarnya. Seketika dijewernya telinga Andika sekeras-kerasnya.

"Ayo, ikut aku membelah kayu! Orang lain sudah sungsang sumbel, kau masih enak-enak minta beras kencur!"

"Ampuuun. Ampuuun, Kang Soma!"

Soma terus berjalan sambil menarik Andika, keluar dari dapur. Setelah agak jauh dari tempat Ningrum, barulah jeweran pada Andika dilepasnya.

"Kau memang tidak boleh melihat 'ayam' mulus!" maki Soma, jengkel.
Andika tidak menjawab. Sementara tangannya sibukmengusap-usaptelinganyayangmerah matang. Wajahnya masih meringis seperti sewaktu di depan Ningrum. Tapi, kali ini bukan pura-pura lagi.

"Hey! Aku bicara denganmu!"
"Alaaah, Kakang Soma ini.... Kenapa jadi begitu mangkel? Kalau memang Kang Soma juga suka dengan nini tadi itu, saya bersedia mengalah...," canda Andika seenak perut.

Soma hanya menggeleng-geleng kepala.

"Monyet kecil brengsek!" hardik Soma, setengah tertawa. Ditamparnya kening Andika, seraya berjalan ketempat dia tadi membelah kayu.

Bergegas Andika memikul kapak yang tidak sesuaidengan ukuran tubuhnya yang kurus. Segera disusulnya Soma.

"Kang! Tunggu, Kang! Nama nini tadi itu siapa, ya?” tanya Andika ingin tahu.

***


Siang memanggang bulat-bulat kotapraja, membuat debu jalan menjadi amat ringan. Hingga tatkala anginbertiup, debu-debu itu beterbangan menjengkelkan. Matahari memang bersinar terik. Tapi biarpun begitu kotapraja tetap ramai. Terlebih lagi, siang itu ada acara yang banyak mengundang minat orang di sekitarnya.

Soma yang kebetulan pergi ke kotapraja bersa Andika untuk menjual kelebihan jagung dan belanja beberapa keperluan, tidak luput dari rasa ingin tahu. Mereka bergegas mempercepat lari kuda yang menarik pedati.

"Ada apa ya, Kang?" tanya Andika ketika pedati yang dikendarai kini sudah kosong, melewati sebuahkerumunan yang ditengah-tengahnya terdapat sebuahpanggung.

"Nampaknya ada pertandingan silat," jawab Soma menduga-duga.
Setahu Soma, jika ada panggung besar di kotapraja seperti itu, biasanya akan ada pertunjukan kesenian rakyat, atau pertandingan silat.

"Kita nonton dulu ya, Kang...," ajak Andika, sambil menatap kakak seperguruannya.
"Bagaimana, ya...," Soma ragu-ragu. Dia agak khawatir Ki Sanca nanti menegurnya kalau pulang terlambat.

"Jangan terlalu lama berpikir seperti itu, Kang!" usik Andika pada pemuda kekar yang saat itu mengenakan pakaian lurik, sehingga nampak seperti rakyat biasa.
.
"Kalau Ki Sanca nanti mengomeli kita, biar aku yang bertanggung jawab," desak Andika kemudian.

"Baik... baik." Soma menyerah.
Kalau Soma tidak menuruti keinginannya, bisa-bisa disepanjang perjalanan pulang kunyuk itu terus saja nyerocos.

Mereka pun menjalankan pedati ke sudut dekat kedai makan, tidak jauh dari panggung itu. Sebentar kemudian, pedati itu ditambatkan di situ. Dalam hati Soma, setelah mereka cukup puas melihat keramaian itu, barulah akan mencari bahan keperluan sehari-hari.

"Ingat, jangan coba macam-macam!" pesan Soma tatkala mereka turun dari pedati.
Andika hanya mengacungkan satu ibu jarinya seraya mencibir. Seakan-akan, dia meyakinkan Soma agar tak perlu khawatir dengan dirinya.

Kerumunan orang makin padat saat mereka telah bergabung. Banyak dari mereka yang hadir berpakaian seperti layaknya orang persilatan. Beberapa orang menyandang pedang, sebagian lain ada yang membawa tombak, golok, keris, dan toya. Tampaknya dugaan Soma ada benarnya. Mereka pasti berkumpul untuk ikutdalam pertandingan silat di atas panggung besar di depan sana.

Tiba-tiba Andika menunjuk seorang pendekar wanita dengan rambut berkepang kuda. Pedang besar yan tidak sesuai dengan tubuhnya, tampak tersandang punggung. Cantik, namun terlihat judes.

"Lebih cantik mana dia dengan Nini Ningrum?” tanya Andika, usil.

Lantas saja Soma menepak jari tangan Andika. Danseketika pemuda tanggung itu menekuk wajahnya yang menukik itu, makin menukik.

"Kenapa Kang Soma selalu saja gusar kalau akubicara soal Nini Ningrum?"
"Hus! Bukan begitu! Jarimu yang menunjuk-nunjuk seenaknya itu bisa bikin perkara...."
"O, jadi bukan...."
"Sudah, diam! Apa mulutmu bisa kaku kalau tida bicara agak lama?"
"He he he...!" Andika menggerak-gerakkan kedua alisnya, menggoda Soma.
"Jadi, apa maumu?" tanya Soma.
"Kakang belum jawab pertanyaanku tadi."
"Apa?"
"Kakang cemburu, bukan?"
"Astaga! Jadi, kau masih meributkan masalah kemarin pagi itu?"

Andika tersenyum nakal, seraya mengangguk mantap.

"Kemarin aku melarangmu mengganggu Nini Ningrum, karena dia lebih tua darimu, Tolol! Kau harus hormat kepadanya...," dengus Soma.
"Ah, syukurlah kalau begitu."
"Apa maksudmu?"
'Tidak apa-apa...."

Kembali mereka mengarahkan pandangan ke atas panggung. Tampak seseorang naik keatasnya, membacakan sebuah pariwara.

"Saudara-saudara... kisanak dan nisanak! Tuan Cokro Adi sebagai seorang saudagar kaya, membutuhkanseorang pendekar yang mampu melindungi dirinya, sekaligus keluarga dan hartanya. Maka untuk itulah, pangung ini disediakan, agar para pendekar yang berminat menjadi pengawal bayaran Tuan Cokro Adi,dapat memperlihatkan ketangguhan ilmu kedigdayaannya. Dua orang yang tak terkalahkan akan berhak dipilih Tuan Cokro Adi...," kata orang itu, lantang.

Begitu orang itu selesai membacakan pariwara, menyusul seorang bertampang kasar dan membawa sebilah kapak, naik ke atas panggung. Dia orang pertama yang berminat. Untuk beberapa saat, dia berdiri angkuh, seakan-akan menunggu orang yang ingin menantangnya.

Tak lama kemudian, seorang laki-laki bertubuh kurus kering naik ke atas panggung. Tubuhnya amat berlawanan dengan orang yang membawa kapak. Denganpakaian merah-merah yang agak kebesaran, kakinyamelangkah menuju panggung. Dari sorot matanya orang akan segera tahu kalau ilmu kesaktiannya tidak bisa dipandang remeh.

"Bayuganda...," kata laki-laki kurus itu segera mem perkenalkan diri, seraya membungkuk hormat pada laki-Iaki yang membawa kapak. "Orang-orang menjuluk aku si Jari Iblis...."

Mendadak saja terdengar riuh kecil di sana-sini. Memang, julukan Jari Iblis untuk kalangan persilatan tidak asing lagi. Dia pendekar aneh, karena sikaprra amat santun kepada orang lain. Namun dalam urusan bunuh-membunuh, tak pernah ada satu lawan pun yang disisakan. Dia bekerja untuk siapa saja yang bisa membayarnya mahal.

"Ha ha ha...! Jadi, ini orangnya yang berjuluk JariIblis itu," seloroh orang bertampang kasar di hadapannya.

"Rupanya hari ini, si Kapak Setan beruntung dapatmenjajal kebolehanmu, Ki Bayuganda...."
"Hm... silakan, Kisanak. Mari kita mulai," ujar JariIblis.

Kini, pertandingan siap dimulai. Masing-masing memasang kuda-kudanya dengan mantap. Gaungan Kapak besar yang diputar-putar orang bertampang kasar yang mengaku berjuluk Kapak Setan sesekali terdengar. Selangkah demi selangkah, mereka menjejaki panggung, mencari peluang yang tepat untuk memulai serangan.

"Hiaaat!"
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.