- Beranda
- Stories from the Heart
(Horror) Diary [TAMAT]
...
TS
ayanokouji
(Horror) Diary [TAMAT]
![(Horror) Diary [TAMAT]](https://s.kaskus.id/images/2016/08/12/8901141_20160812100754.jpg)
Illustration courtesy of Awayaye
Halo, dan salam kenal buat agan-agan semua.
Perkenalkan saya anggota lama kaskus tapi newbie di forum SFTH.
Nah, berhubung saya lihat banyak yang menceritakan pengalamannya terutama untuk yang berbau-bau mistis. kebetulan saya dekat dengan seseorang yang memang punya kemampuan lebih untuk melihat yang semacam itu.
Cerita ini adalah berdasarkan kisah nyata, yang memang diambil langsung dari Diary dia
Langsung saja dimulai lah ya
Untuk Postingan pertama saya langsung Posting 2 part deh, karena prologue blum masuk ke cerita
Spoiler for Rules:
Atas permintaan yang punya Diary, mohon dibaca RULESnya sebelum membaca Diary ini ya :
1. Diary ini adalah hasil convert dari catatan di kertas menjadi bentuk elektronik. Jadi ini adalah benar-benar berasal dari Diary asli, kalau sampai ada yang baca dan tidak percaya, it's OK, tidak masalah tapi mohon jangan coba2 menantang apapun 'mahluk' yang disebutkan di Diary ini. Apabila terjadi sesuatu kami tidak bisa menolong.
2. Ini memang bukan urusan TS, tapi usahakan kalau sampai merasakan sesuatu yang tidak beres setelah baca isi Diary teman saya, harap dekatkan diri ke Tuhan segera. Karena seberapa besar Tuhan menolong itu tergantung dari iman kita ketika meminta. Dan percayalah, meminta saat belum melihat apapun dan ketika 'mereka' ada di depanmu itu akan menyebabkan bedanya besar Iman bagi yang tidak terbiasa.
Terimakasih sebelumnya, dan ingat baik2, jangan bermain-main dengan sesuatu dari dunia lain
Part I - Prologue (tanggal Diary - 3 September 2010)
Spoiler for Part I:
3 September 2010
Hallo Diary..
Mulai hari ini aku akan sedikit merubah apa yang aku tulis di dalam lembarmu yach..
Sebenarnya aku sih berniat tidak pernah berkeinginan untuk mengungkapkan rahasia ini, karena aku pasti akan dicap sebagai orang aneh..
Hanya kamu yang mau mendengarkan semua cerita aku tanpa mengeluh, mulai dari aku menyukai siapapun sampai sendirian seperti sekarang (hiks..hiks.. yahh aku tau, trims anyway)
Okay, jadi aku akan menceritakan pengalaman hari ini.. yaah ini kesekian kalinya sudah terjadi padaku, dan untuk teman sejatiku yaitu kamu my Diary, aku akan menuliskan ini, rahasiakan ini yaah..
Ceritanya aku akan mulai dari pengalaman tadi pagi..
Oh ya, sebelumnya aku akan kasihtau sedikit rahasia kepada kamu..
Kamu tau.. ehm.. aku ini bisa melihat hantu atau semacamnya.. guru Agamaku berkata ini adalah anugrah, menurutku lebih seperti kutukan.
Kamu tau, Diary? Mungkin tidak banyak orang yang tau, tapi hantu itu berbeda dengan setan atau semacamnya. Kalau misalkan diumpamakan, hantu itu lebih ke arwah orang-orang yang meninggal atau dalam Bahasa Inggris disebut dengan Ghost. Sedangkan setan bukan arwah, atau mungkin saja tadinya mereka arwah, yang pasti setan itu sudah lebih melewati tingkat keseraman dari Hantu. Dan diatas itu, masih ada lagi yang aku namakan jejadian. Nah, apabila setan itu bentuknya tidak dapat dikatakan bentuk apakah itu, kalau jejadian ini setidaknya sebagian besar dari bentuknya adalah bagian dari hewan-hewan.
Dan diary, dari kesialanku mendapatkan kutukan kemampuan ini, syukurlah aku hanya bisa melihat hantu saja. Yaah, kadang memang ada sedikit pengecualian, yang membuatku enggak tau kenapa bisa melihat yang lebih aneh daripada hantu.
But I tell you my Diary, melihat hantu saja sudah cukup menakutkan lho. Jangan dikira penampilan mereka itu normal-normal saja.. yahh, memang ada yang normal dan tersamar tapi hampir disetiap kejadian mereka akan menunjukkan wujud asli mereka kalau mereka tau kita bisa melihat mereka, dan mereka selalu tau kalau aku bisa melihat mereka.
Upps… sudah jam 11 ternyata, tadinya aku mau menceritakan kejadian penglihatan yang kulihat hari ini, tapi sudah terlalu malam nih, besok aku janji pasti akan cerita padamu dehhh, jangan ngambek yahh
See you tomorrow my Diary, Mulai hari ini aku akan melaporkannya padamu kalau aku melihat sesuatu yang aneh itu, hehe.. Nite
Part II - Misteri Toilet Wanita di lantai 7 - catatan tanggal 4 September 2010
Spoiler for Part II:
4 September 2010
Hallo friend,
As my promise stated, aku bakal ceritain hal yang kemarin terjadi sama aku. Jangan takut yaah, karena aku sudah cukup takut untuk mengingat-ingat ini, jadi tolong semangati aku (he..he..)
Oookay, cerita ini bermulai waktu aku bersama cindy sedang ada ditoilet di lantai 7 kampus kemarin siang setelah kuliah pak Zainul.
Ingatkan aku untuk memarahi Cindy nanti karena dia meninggalkan aku sendirian di toilet itu..
Kau dengar? Meninggalkan aku!
Berkat dia aku jadi melihat.. yahh, sesuatu yang jauh dari menyenangkan..
Sewaktu aku keluar dari bilik toilet dan mencari-cari Cindy, aku tidak menemukannya dimana-mana, aku rasa sih dia pergi buru-buru menemui pacarnya.. ya Tuhan, persahabatan kita hanya sebatas selama pacar tidak mengganggu.
Lalu aku berpikir, ya sudahlah, aku akan membetulkan make-up sebentar dan akan pergi ke food court, sepertinya #### belum datang menjemputku deh, setidaknya aku harus terlihat cantik kaan (he-he-he)
Tiba-tiba aku merasakan udara menjadi dingin, cukup untuk membuat bibirmu bergetar secara reflek.
Dan itu jelas-jelas tidak benar, toilet ini kan jelas-jelas pengap dan tanpa AC dimanapun. Dan otakku baru saja berpikir kalau ada yang tidak beres nih..
Tiba-tiba sudah berdiri seorang wanita dibelakangku, rambutnya panjang dan menutupi separuh mukanya, dia memakai baju kaus berwarna merah menyala dan celana jeans.
Aku langsung berbalik dan reflek berkata kalau dia membuatku kaget. Dan hal berikutnya yang terjadi membuatku hampir saja mengompol
Dia menempelkan mukanya tepat didepan mukaku, kulitnya benar-benar mengerikan, kau tau karpet yang ada tonjolan-tonjolannya begitu? Mukanya dan seluruh kulitnya penuh dengan seperti itu. Dan warna kulitnya sangat pucat, seperti warna krem kekuningan. Dan yang paling mengerikan dari semuanya adalah bola matanya, warna urat darah dibola matanya berwarna coklat kekuningan dan pupil matanya hitam dan bebercak merah.
Dari situ aku langsung tau kalau aku sedang bertemu dengan hantu, dan kali ini bukan hantu yang baik.
Perlahan-lahan dia mendekati aku, tapi tidak pernah menempel pada badanku, mukanya sangat dekat pada mukaku, dan tangannya yang dipenuhi dengan tonjolan-tonjolan itu juga menggapai tubuhku seakan ingin menyentuhku, tapi sentuhan itu tidak pernah terjadi.
Aku merasakan bahwa sekitar 1 jam dia hanya memandangiku saja, berkali-kali berusaha menempelkan dirinya pada badanku, tapi tidak pernah berhasil. Jujur Diary, aku tidak tau kenapa dia tidak bisa menyentuhku, tapi syukurlah karena disaat itu, aku sama sekali tidak bisa bergerak.
Setelah sekitar 1 jam itu, dia akhirnya mundur, kemudian matanya membelalak. Lebih besar dari lebar mata yang bisa dibuka oleh manusia normal, sepertinya seakan-akan semua kelopak matanya tertelan ke dalam rongga matanya. Kemudian warnanya bola matanya perlahan-lahan menjadi merah tua dan kemudian akhirnya menjadi hitam.
Kemudian dia berteriak sambil melompat kehadapanku, dan menghilang tepat didepan mukaku. Aku yakin aku mengompol sedikit kemarin.
Setelah itu suhu di toilet itu kembali pengap. Kakiku terasa kehilangan tulangnya dan aku terduduk di lantai toilet tanpa tenaga.
Kemudian suara handphoneku berbunyi mengagetkan aku, aku mengangkatnya dan #### ternyata menelponku. Dia mengatakan bahwa sudah 5 menit dia mencoba menelponku dan tidak diangkat-angkat. Aku meminta maaf dan berkata mungkin aku tidak mendengarnya tadi.
Ngomong-ngomong… waktu yang berlalu hanya 15 menit, tapi terasa seperti satu jam saat kejadian tadi..
Lain kali ingatkan aku jangan pernah lagi masuk di toilet lantai 7 sendirian ya.
UPDATED!!! PART XLV - "Serangan yang disengaja - II"
Spoiler for INDEX:
part III- Melayat
Part IV - Siapa yang mengikuti aku?
Part V - Bagaimana kutukan ini dimulai
Part VI - Perkemahan SMP
Part VII - Jurit Malam 1
Part VIII - Jurit Malam 2
Part IX - Penghuni Kampusku
Part X - Wanita dress putih
Part X (Final) - Wanita dress putih (lanjutan)
Part XI - Mereka ada di sekeliling kita
Part XII - Kalau kau jahat
Part XIII - Lauren dan ketiga anaknya
Part XIV- WARNING!! Baca catatan saya sebelum lanjut baca - Si Nenek dan Cucunya 1
Part XV - Si Nenek dan Cucunya 2
Part XVI - Wanita Dress Putih is back
Part XVII - Lift kampusku
Part XVIII - Tiga anak lauren kembali
Part XIX - Mahluk aneh
Part XX - Kampus sarang Kunti
Part XXI - Sang "dewa" jahat
Part XXII - Curiousity Kills the Cat
Part XXII - Bagian 2 - Robert and the Devil 1
Part XXII - Bagian 3 - Robert and the Devil 2
Part XXIII - Kembalinya si mahluk aneh
Part XXIV - Part I - si "dewa" jahat kembali 1
Part XXIV - Part II - si "dewa" jahat kembali 2
Part XXV - Robert
Part XXVI - aku dan kegelapan
part XXVII - Wewe Hitam
Part XXVIII - Wewe Hitam dan Wewe Putih
Part XXIX (bagian pertama) - He and Me (bag 1)
Part XXX (Bagian kedua) - He and Me (bag 2)
Part XXXI - sang pelindung
Part XXXII - Villa di gunung 1
Part XXXIII - Villa di gunung 2
Part XXXIV - Villa di gunung 3
Part XXXV - Villa di gunung (tamat) bag awal
Part XXXV - bagian akhir - Villa di gunung (tamat) bag akhir
Part XXXVI - Kutukan baru
Part XXXVI - Tambahan - Kutukan baru (tambahan)
Part XXXVII - Bagian Pertama - Iblis bag 1 -(Ketika dia terluka)
Part XXXVIII - bagian kedua - Iblis bag 2 - (si pemilik mata)
Part XXXIX - Cermin
Part XL - Ketika Ayano sakit
Part XLI - Goodbye
PART XLII - Mahluk di Jendela
PART XLIII - Akhir si "dewa" jahat
PART XLIII (lanjutan) - Akhir si "dewa" jahat (bag Akhir)
Part XLIV - Serangan yang disengaja - I
PART XLV - Serangan yang disengaja - 2 UPDATE
Bonus Story : Pengalaman TS dan yang punya Diary
Pengalaman bersama dia yang menulis Diary I
Bonus Story II Ketika yang tidak biasa melihat diperlihatkan
BONUS STORY III - Pengalaman Horror ketika main game
BONUS STORY IV : Kejadian di Malam Jumat Kliwon[
*SPECIAL* Bonus Story IV - part 2 - Elisa's POV
Bonus Story V - Part I
Bonus Story V - Part 2
Bonus Story V - part 3
Bonus Story VI
Bonus Story VII #awasbebehplusplus
Bonus Story VIII
Bonus Story IX
Bonus Story X
Bonus Story XI
BONUS PART XII - Bagian ketiga (Elisa POV)
Kiriman cerita dari para pembaca :
Kiriman cerita dari agan Gent4r - 1 (Gent4r, Romi vs Miss K)
Pengalaman agan Gent4r kedua
Kiriman cerita dari pembaca
Thread lainnya tentang saya dan Elisa
Saya dan Gadis bermata Indigo
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 39 suara
Berhubung banyak yang nyaranin Untuk ganti judul Thread, mohon masukan terkait itu :
Judul Thread tetap, soalnya daripada ribet nyari Threadnya lagi
56%
Judul Thread diganti ke judul Thread yang di dalem
33%
Judul Thread kudu diganti ke judul Thread yang beda dan lebih menarik
10%
Diubah oleh ayanokouji 19-11-2016 12:18
radorada dan 23 lainnya memberi reputasi
24
1.1M
Kutip
2.2K
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ayanokouji
#355
Halo, ini aku Elisa.
Mohon maaf ya semuanya. Cerita ini adalah hasil penceritaan ulang atas catatan Diary asliku. Jalan ceritaku yang agak detail kali ini aku rubah menjadi tidak terlalu menceritakan tentang si 'mahluk' itu melainkan mengenai pelindungku.
30 Mei 2011
Diary hari ini aku baru pulang dari rumah omaku di desa.
Sepertinya aku lagi-lagi berurusan dengan ‘mereka’ lagi.
Tapi aku takut Diary…
Rasa takut yang benar-benar berbeda dari sebelum-sebelumnya…
Bukan berarti aku tidak takut ketika bertemu dengan ‘mereka’ yang lain sebelumnya.
Tapi entahlah… kali ini aku merasa nyawaku terancam.
Aku akan coba menceritakan sebisaku padamu ya..
Jadi kurang lebih tiga hari lalu aku kembali ke kampungku di ********
Sudah sekitar empat tahun aku tidak kembali ke sana. Semuanya jadi terlihat berbeda, semuanya jadi terlihat telah melompati waktu hingga menjadi desa yang jauh lebih modern dari sebelumnya.
Sudah ada plaza kecil yang dibangun di dekat bandara, dan suasananya lebih terlihat bagaikan di perkotaan sekarang.
Tapi sayangnya kampungku bukan di daerah kota itu, namun berjarak 3 jam perjalanan dengan bus ke pedesaan.
Jadi aku menaiki bus yang akan membawaku ke kampung halamanku.
Tiga jam perjalanan tidak terasa karena aku tertidur hampir di seluruh perjalanan. Sepertinya perjalanan dari kost ku di Jakarta sampai ke Bandara saat subuh tadi dan ditambah dengan perjalanan dengan pesawat yang kurang nyaman membuatku sedikit letih.
Akhirnya sampailah aku di kampung halamanku yang tercinta.
Aku segera menuruni bus dan berlari-lari kecil menuju rumah tempat aku tinggal semasa kecil.
Rumah yang sederhana namun selalu apik terawat oleh tangan dingin nenekku.
“Oma!!” aku berseru memanggil nenekku dari luar pagar.
Ketika aku memasuki ruangan tengah, aku melihat nenekku duduk dengan sesosok nenek berkebaya putih-putih yang duduk di hadapannya.
Di belakang nenek dengan kebaya putih itu, berdiri sesosok mahluk tinggi besar. Mahluk itu mengenakan baju hitam-hitam dengan beberapa alur-alur emas di pakaiannya yang menyerupai nyala api layaknya seorang bangsawan, rambutnya panjang sepunggung dan putih, serta sangat lebat hingga terlihat mekar dan menutupi sebagian tubuh dan wajahnya tertutup topeng polos. Maksudnya topeng itu benar-benar polos, hanya permukaan putih saja, tanpa adanya lubang untuk mata dan lainnya. Benar-benar hanya permukaan putih polos.
‘Mahluk’ tinggi besar itu mengarahkan wajahnya yang tertutup topeng ke arahku.
Aku mundur sedikit ke arah pintu masuk. Aura dari ‘mahluk’ itu menakutkanku.
“Lis? Kenapa malah mundur gitu? Kenalin ini teman oma, namanya Oma Eli” kata nenekku.
Nenek berkebaya putih-putih yang sebelumnya kukira adalah salah satu dari ‘mereka’ tersenyum ramah melihatku.
Kemudian dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku seraya merangkulku.
“Oh ini yang namanya Elisa ya. Nama kita mirip lho” kata nenek Eli.
“Iya, salam kenal oma Eli” jawabku.
“Kamu bisa lihat Piyak ya?” tanya nenek Eli sambil menyebutkan nama yang ternyata adalah nama ‘mahluk’ di belakangnya.
Aku menatap nenek Eli, mimik wajahnya nampak seperti sedang menunggu jawabanku. Nenek Eli sedang mengetesku, pikirku.
Aku menjawab “Ya oma, aku bisa”.
Nenek Eli tersenyum, kemudian berbisik lagi padaku “Tidak apa-apa, bisa melihat si Piyak artinya bisa mendapat perlindungan”
“Perlindungan?” tanyaku.
Sebelum nenek Eli sempat menjawab, Nenekku memanggil kami “Kalian ini bisik-bisik apa?” tanyanya.
Nenek Eli hanya menjawab “Cucumu ini cantik sekali, wo bilang dia mirip cucu wo” jelas nenek Eli ke nenekku.
“Hmm-hmm” nenekku mengangguk-angguk “Jarang-jarang yu bisa langsung dekat sama orang, cucu wo ini memang kesayangan wo, tapi bolehlah wo kasih izin ke rumah yu nanti, biar yu tidak kesepian terus. Sudah tua tapi tidak ada yang kunjungi” kata nenekku.
“Bagus itu, bagus itu” kata nenek Eli “nanti main ke rumah oma ya” ucap nenek Eli menepuk bahuku dan beranjak ke luar pintu.
“Iya oma, nanti saya pasti datang” jawabku pada oma Eli yang melambai-lambaikan tangannya pada kami dari luar pagar.
Jadi, setelah makan siang aku berniat berjalan-jalan ke sungai belakang tempatku sering main-main dulu saat masih kecil.
Sungai kecil yang berasal dari air terjun mini. Air yang mengalir di sungai itu sangat jernih, dan lapangan rumput hijau yang terletak di sebelah hutan yang sangat luas menjadi tempat bermain anak-anak di desaku.
Benar saja, begitu sampai di sana, beberapa anak-anak terlihat bermain-main di pinggir sungai itu. Anak-anak kecil yang ditemani oleh beberapa anak yang sudah remaja tampak bersantai di lapangan rumput itu.
Akupun ikut bersantai di padang rumput dengan merebahkan badanku dan berbaring di rerumputan.
Selagi berbaring, mataku menangkap semacam aliran asap hitam melintas di udara di hadapanku.
Awalnya aku mengira ada yang merokok sehingga aku langsung bangun dan berniat menegurnya.
Tapi aku tidak menemukan seorangpun merokok dari remaja-remaja yang berkumpul di tepi sungai.
Aku kembali mendongak dan mendapati kalau asap itu masih berada di sana. Aku mengikuti alur asap itu dan mendapati kalau asap hitam itu datang dari arah hutan.
Aku segera berdiri dan berjalan menuju hutan itu. Khawatir kalau-kalau terjadi kebakaran hutan yang dampaknya akan sangat besar pada desaku yang dikelilingi oleh hutan sebagai pembatas desa.
Asap itu bersumber dari tengah kolam kecil yang di tengah-tengahnya terdapat batu besar.
Tepat diatas batu itu, aku melihat gumpalan berwarna hitam pekat. Lebih hitam dari apapun yang pernah kulihat sebelumnya. Seakan gumpalan hitam itu menyedot cahaya di sekitarnya sehingga warna hitam yang terlihat benar-benar sangat pekat.
Gumpalan hitam itu terlihat melayang-layang di atas batu itu. Aku baru memperhatikan bahwa asap berwarna hitam yang kulihat bukan berasal dari gumpalan itu, melainkan asap itu diserap masuk oleh gumpalan hitam yang melayang itu.
Aku mencium bau hangus bercampur bau belerang yang sangat kental berasal dari gumpalan hitam itu, dan semakin kentara semakin banyak asap hitam terserap ke dalam pusat gumpalan hitam ini.
Tidak butuh waktu lama untuk seluruh asap hitam terhisap seluruhnya ke dalam gumpalan hitam itu.
Dari dalam gumpalan hitam itu, aku melihat sebentuk satu mata terbuka.
Mata itu memiliki bentuk yang bulat sempurna dengan pupil yang sama bulatnya dan berwarna merah cerah seperti batu ruby.
Mata merah itu menatapku, aku merasakan tubuhku kaku tidak bisa bergerak seperti ditahan oleh sesuatu.
Kemudian, ‘mahluk’ dengan satu mata itu melesat cepat ke arahku dan menerjangku dengan keras hingga membuatku terpental.
Aku hanya merasakan rasa sakit bagaikan ditabrak oleh sesuatu yang besar dan berat. Aku sempat merasakan perasaan badanku melayang selama beberapa saat sebelum rasa sakit yang menajam dan dingin terasa dari bagian belakang kepalaku.
Setelah itu semuanya gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Hingga akhirnya aku tersadar oleh suara yang memanggil namaku.
Aku membuka mataku dan melihat nenek Eli duduk disampingku.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya nenek Eli lembut.
“..” aku berusaha membuka mulutku untuk menjawab tapi tidak ada suara yang keluar. Karena itu aku hanya bisa mengangguk kecil.
“Kamu bertemu dengan ‘dewa’ di desa ini rupanya” nenek Eli berkata lembut kepadaku.
“Dewa?” bisikku lirih.
“Iya, kamu inget kan tentang hutan ‘dewa’?”
Aku mengangguk lagi.
Catatan :
Hutan dewa adalah cerita yang diceritakan turun temurun di kampungku. Inti ceritanya adalah adanya ‘dewa’ ganas yang menguasai kampung kami ini. ‘Dewa’ ini menguasai malam, dan mengancam penduduk desa akan malam yang tidak berakhir apabila penduduk desa tidak memberikan sesajen padanya.
Penduduk desa akhirnya memberikan sesajen berupa hewan kurban dari ternak mereka. Hingga pada akhir cerita, ‘dewa’ lalim ini diusir oleh seorang sakti yang kebetulan lewat kesana. Mahluk yang menyebut dirinya ‘dewa’ itu akhirnya disegel di sebuah batu di tengah hutan. Seorang sakti itu juga memasang semacam ‘dinding pembatas’ sehingga penjara dewa itu tidak kasat mata oleh para penduduk, dan agar ‘dewa’ itu tidak bisa melihat para manusia.
Tapi, penduduk memilih untuk menjauhi hutan tersebut dengan menjadikannya sebagai hutan keramat atau hutan dewa untuk mengingatkan anak-anak mereka agar tidak masuk ke hutan itu.
“Maksud nenek… ‘mahluk’ hitam yang kulihat tadi?” tanyaku, suaraku terasa serak dan lemah.
Nenek Eli mengangguk “Iya, itu adalah si ‘dewa’ sesat dari hutan dewa”
Aku berusaha mengingat-ingat kejadian pertemuanku dengan si ‘dewa’ itu hingga sebelum kesadaranku menghilang.
“Nek!” ujarku seraya bangkit duduk.
“Hmm?”
“Mahluk itu… maksud saya ‘dewa’ itu… ‘dia’…”
“Lepas kan? Dia sudah tidak ada di atas batu segelnya, nenek sudah lihat”
Aku merinding sampai ke tulang belakangku.
“Apa.. itu gara-gara saya?” tanyaku.
Nenek Eli menggeleng dan tersenyum lembut “Tidak lah, kamu datang dan tidak datangpun ‘dia’ tetap akan lepas hari ini, justru kamu lagi sial kebetulan ada di sana pas waktu dia lepas” jelas nenek Eli dengan lembut seraya mengusap rambutku.
Nenek Eli membantuku berdiri dan mengajakku berjalan pulang ke desa.
“Kamu lihat wujudnya?” tanya nenek Eli
Aku teringat wujud hitam dengan satu mata itu dan menceritakannya pada nenek Eli. Mendengar ceritaku, beliau hanya mendengarkan dengan serius dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Satu mata ya.. mungkin kita masih bisa melakukan sesuatu dengan itu” kata nenek Eli.
Kemudian nenek Eli mengambil sesuatu dari lipatan kebayanya. Sebuah batu berwarna putih yang sangat bening seperti kaca tersemat di gelang dengan ukiran wayang.
Nenek Eli membawa gelang itu ke dekat mulutnya dan membisikkan kata-kata yang tidak bisa kudengar dan meniup batu di gelang itu.
Hening beberapa saat. Kemudian dari kejauhan aku melihat sosok dengan rambut putih panjang melesat ke arah desa dari atas bukit.
Aku menatap nenek Eli, beliau tersenyum “Iya, itu Piyak, penjaga oma” jelasnya.
Kami kembali ke desa dan nenek Eli mengantarku sampai ke rumah nenekku. Kemudian nenek mengajak nenek Eli untuk makan bersama. Setelah beberapa bujukan akhirnya beliau bersedia untuk ikut makan malam bersama kami.
Hari sudah terlalu malam ketika nenek Eli mohon diri untuk pulang, karena itu nenekku menawarkan beliau untuk menginap saja.
Nenek Eli menolak dengan alasan tidak enak untuk merepotkan nenekku. Tapi sesaat nenek Eli melirikku dan menyetujui tawaran nenekku.
Aku langsung tertidur ketika menyentuh Kasur.
Dan terbangun karena merasakan rasa basah pada punggungku.
“Uhh….”
“Ahh!!”
Aku terbangun dengan mendapati kalau aku sedang terbaring di pinggiran danau tempat batu besar ‘dewa’.
Dan di atas batu besar itu, berdiri sosok yang berbentuk manusia, hanya saja aku tidak bisa melihat tubuh dari ‘mahluk’ itu karena seakan dia terbentuk dari bayangan. Seluruh tubuhnya hitam pekat sehingga terlihat bagaikan siluet yang kontras dengan terang bulan yang menyinari danau kecil itu.
Seluruh tubuh ‘mahluk’ itu gelap, namun di bagian yang adalah kepala dari ‘mahluk’ itu, sebuah mata menatapku tajam.
Mata yang sama seperti mata pada gumpalan hitam yang kulihat siang tadi.
‘Mahluk’ itu mulai melangkah dari batu tempatnya berdiri itu, menuruni batu itu dan berjalan dengan santainya di atas permukaan air.
Semakin ‘mahluk’ itu mendekat, aku baru menyadari kalau ‘mahluk’ ini sangat besar. Tingginya hampir dua kali lipat dari tinggiku sendiri.
Aku hanya diam membatu ketika ‘mahluk’ itu menghampiri dan berdiri menjulang tinggi di hadapanku.
Matanya yang bersinar bagaikan batu ruby menatapku tanpa bergeming. Bentuk matanya kini lebih menyerupai mata manusia, lengkap dengan sudut lancip di kedua sisinya berbeda dengan bentuk bola mata bulat yang kulihat pada saat ‘mahluk’ ini berbentuk seperti gumpalan hitam.
Tanpa peringatan apa-apa, ‘mahluk’ itu mencekikku dan mengangkatku dari tanah.
“ookh!” seruku tertahan karena leherku yang sedang terjepit tangan besar berjari jamak ‘mahluk’ itu.
Dia mengangkatku hingga setingkat dengan tinggi matanya. Mata ruby itu menatapku dengan pandangan kosong pada awalnya.
Kemudian, perlahan-lahan mata itu melengkung…
‘Mahluk ini tersenyum?’ pikirku.
Tapi aku sangat yakin, ekspresi yang diwakilkan oleh mata itu tidak lain adalah mata yang tersenyum.
Aku bertanya-tanya apa maksud ‘mahluk’ ini tersenyum padaku.
Tapi aku tidak pernah sempat memikirkan hal itu karena ‘mahluk’ itu melemparku mundur hingga aku mendarat pada punggungku.
“Ughh!!” eraman tertahan keluar dari mulutku, rasanya udara dipaksa terpompa keluar dari tubuhku.
Aku membuka kedua mataku dan mendapati kalau ‘mahluk’ itu sudah berdiri menjulang tepat di atas tempatku berada.
Tangannya kembali menggapai tubuhku.
Kali ini dia menggenggam tanganku hingga tubuhku terangkat.
“Aduh…” keluhku karena menahan sakit yang muncul dari otot lenganku yang dipaksa menahan berat tubuhku.
Lagi-lagi tanpa peringatan ‘mahluk’ itu menyentakku dan melemparku lagi.
“AAHHH!!” teriakku kesakitan ketika aku merasakan kalau lenganku terlepas dari engselnya.
“AHHH!!”
“AHH!!”
Aku hanya bisa mengerang tidak karuan sambil memegang lenganku yang kini terasa bagaikan terbakar dan disundut oleh es bersamaan.
Keringat dingin mulai membasahi wajah dan tubuhku.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHA”
Tawa tanpa suara memasuki kepalaku.
Tawa yang sangat kencang dan begitu Cumiakkan telinga.
Aku melirik ke arah ‘mahluk’ itu dan melihat matanya kembali tersenyum.
Namun yang lebih mengerikan adalah ketika mata ‘mahluk’ itu yang semula berada di tengah-tengah kepalanya perlahan bergeser, dan sebuah mata lagi perlahan bagaikan tumbuh dan membuka di sisi wajahnya satu lagi.
Yang menjijikkan… adalah kedua mata ‘mahluk’ itu tidak sama ketinggiannya. Sebuah mata yang baru tumbuh itu berada jauh di atas mata mahluk itu sebelumnya.
‘Mahluk’ itu kembali berjalan mendekatiku. Kini dia tersenyum dengan kedua matanya.
‘Krincing-Krincing-Krincing’
Terdengar bunyi krincingan yang datang dari belakangku.
Aku hendak menengok ketika nenek Eli sudah duduk berlutut di sebelah kepalaku.
Di tangannya dia menggenggam tali-tali berwarna kuning yang dipenuhi oleh puluhan atau ratusan bel kecil.
Nenek Eli menggoyang-goyangkan pita-pita penuh bel kecil itu hingga berbunyi nyaring dan berirama.
“Kamu nggak apa-apa kan mey?” tanya nenek Eli (Mey adalah panggilan yang biasa digunakan orang tua ke anak gadis di desaku).
Aku hanya mengangguk, tapi tidak sengaja aku meringis dan berteriak sakit ketika kembali merasakan lenganku yang terlepas dari engselnya.
“Oh..” nenek Eli melihat dan tampak baru menyadari keadaanku.
“Sabar sebentar” kata nenek Eli, kemudian dia memutar-mutar sambil menggoyangkan bel-bel kecil itu di atasku.
Kemudian, sekedipan mata, tampak wujud ‘Piyak’ sedang berlutut di seberang nenek Eli tepat disamping tubuhku.
Sang Piyak mengacungkan tangannya di atas badanku dan menghunus pedang Mandau hingga bersilangan dengan tangannya.
Kemudian, sang Piyak membuka telapak tangannya yang dipenuhi oleh aksara yang aku kenali sebagai aksara Sanskrit.
“Tutup mata mey” bisik nenek Eli.
Aku menurutinya.
Seluruh tubuhku dialiri oleh rasa hangat.
“Sudah tidak sakit kan?” tanya nenek Eli setengah berbisik ke telingaku.
Aku mengangguk.
“Ayo, tetap di sebelah oma ya” kata nenek Eli.
Lalu nenek Eli mulai menggoyang-goyangkan pita dengan belnya hingga bunyi gemerincing memenuhi hutan yang sepi itu.
Sementara sang Piyak, mahluk dengan rambut putih itu menggunakan pedang Mandaunya untuk menebas-nebas si ‘mahluk’ hitam itu.
Tapi pedang sang Piyak seakan menebas asap dan tidak mengenai si ‘mahluk’ hitam itu.
“Hmm” nenek Eli maju perlahan sambil menggenggam tanganku untuk mengikuti dia. Nenek Eli mengguncang pita belnya semakin keras sehingga bunyi gemerincing semakin memenuhi hutan sunyi itu.
‘CRINGG’
‘CRINGG’
‘CRINGG’
Nenek Eli menggoyangkan belnya dengan gerakan-gerakan terpatah-patah dengan langkah tegap.
Seiring dengan itu, sang Piyak melakukan tarian di depan si ‘mahluk’ hitam itu.
Kemudian nenek Eli menyebutkan kata-kata yang aku tidak mengerti artinya. Kemudian beliau menyentak tali merah yang berada di pangkal pita pengikat bel itu.
Kemudian beliau dengan tangan kirinya beliau menekan pundakku hingga aku menunduk lebih rendah dari tinggi beliau. Nenek Eli mengangkat tangannya tinggi dan memutar pita bel itu yang langsung tercerai berai menjadi ratusan bel-bel kecil yang terlepas dari pengikatnya dan berjatuhan di sekeliling kami.
Nenek Eli kembali menggumamkan mantra yang tidak aku mengerti artinya.
‘TAPP’ ‘CRINGG’
Nenek Eli menepukkan tangan di depan dadanya seperti posisi orang berdoa, dan tepat ketika tangannya menepuk, bel-bel kecil yang berceceran di tanah berbunyi nyaring bersamaan.
‘TAPP’ ‘CRINGG’
‘TAPP’ ‘CRINGG’
‘GROOOOOOOOOOAAAAAAAARRRRRRR’
Suara raungan tanpa suara bergema di kepalaku. Raungan itu rasanya membuat kakiku mati rasa hingga aku jatuh terduduk sambil menutup mataku.
“HAHH!!” ‘TAPP’ ‘CRINGG’
‘GROOAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaarrrrrr….’
Raungan tanpa suara itu bergema kembali di kepalaku, namun berbeda dari sebelumnya, raungan itu perlahan mengecil dan pada akhirnya menghilang.
Aku memberanikan diri membuka sedikit mataku, dan melihat si ‘mahluk’ hitam mulai terlihat kabur dan berangsur menghilang.
Namun, tepat ketika ‘mahluk’ itu menghilang sepenuhnya, aku kembali melihat ke arah dua mata ‘mahluk’.
Mata itu tersenyum….
Dan menatapku tajam….
Kemudian ‘mahluk’ menghilang sepenuhnya. Nenek Eli membantuku berdiri dan berkata dengan ramah “Dia sudah pergi” katanya.
“Apa dia sudah tersegel?” tanyaku.
Nenek Eli menggeleng “Oma hanya bisa mengusirnya dari desa ini, dan dia sudah mengakui kekuasaan Piyak atas desa ini. Selama Piyak masih melindunginya, dia tidak akan kembali kesini” jelas nenek Eli.
Aku mengangguk dan menatap ke sosok sang Piyak yang menyarungkan pedang Mandaunya kembali di pinggangnya dan perlahan menghilang.
Sisa hari-hari di kampungku berjalan dengan normal dan baik-baik saja semenjak itu.
Namun Diary, mudah-mudahan ini hanya perasaanku saja.
Tapi dalam perjalanan pulang ke sini, aku yakin aku merasakan pandangan dari kedua mata yang tersenyum itu.
Ditambah bau hangus dan belerang yang sangat kuat ketika aku berada di dalam pesawat.
Jujur.. itu membuatku sangat takut Diary.
PS :
Mohon baca postingan Ayan sebelum part ini apabila ternyata ada daripada para pembaca yang diganggu oleh 'mahluk' yang berada di cerita ini.
PSS :
Yang menyarankan saya untuk menemui orang-orang 'berilmu' untuk masalah saya, pertama-tama saya ucapkan terimakasih. Tapi untuk sementara saya tidak ingin untuk menghilangkan kemampuan ini. Lagipula, di cerita pada part ini saya juga memperkenalkan orang yang sampai sekarang menjadi penolong saya untuk hal-hal semacam ini. Jadi terimakasih sebelumnya untuk perhatian kalian semua.
- Salam -
Elisa
Mohon maaf ya semuanya. Cerita ini adalah hasil penceritaan ulang atas catatan Diary asliku. Jalan ceritaku yang agak detail kali ini aku rubah menjadi tidak terlalu menceritakan tentang si 'mahluk' itu melainkan mengenai pelindungku.
Spoiler for Part XXI:
30 Mei 2011
Diary hari ini aku baru pulang dari rumah omaku di desa.
Sepertinya aku lagi-lagi berurusan dengan ‘mereka’ lagi.
Tapi aku takut Diary…
Rasa takut yang benar-benar berbeda dari sebelum-sebelumnya…
Bukan berarti aku tidak takut ketika bertemu dengan ‘mereka’ yang lain sebelumnya.
Tapi entahlah… kali ini aku merasa nyawaku terancam.
Aku akan coba menceritakan sebisaku padamu ya..
Jadi kurang lebih tiga hari lalu aku kembali ke kampungku di ********
Sudah sekitar empat tahun aku tidak kembali ke sana. Semuanya jadi terlihat berbeda, semuanya jadi terlihat telah melompati waktu hingga menjadi desa yang jauh lebih modern dari sebelumnya.
Sudah ada plaza kecil yang dibangun di dekat bandara, dan suasananya lebih terlihat bagaikan di perkotaan sekarang.
Tapi sayangnya kampungku bukan di daerah kota itu, namun berjarak 3 jam perjalanan dengan bus ke pedesaan.
Jadi aku menaiki bus yang akan membawaku ke kampung halamanku.
Tiga jam perjalanan tidak terasa karena aku tertidur hampir di seluruh perjalanan. Sepertinya perjalanan dari kost ku di Jakarta sampai ke Bandara saat subuh tadi dan ditambah dengan perjalanan dengan pesawat yang kurang nyaman membuatku sedikit letih.
Akhirnya sampailah aku di kampung halamanku yang tercinta.
Aku segera menuruni bus dan berlari-lari kecil menuju rumah tempat aku tinggal semasa kecil.
Rumah yang sederhana namun selalu apik terawat oleh tangan dingin nenekku.
“Oma!!” aku berseru memanggil nenekku dari luar pagar.
Ketika aku memasuki ruangan tengah, aku melihat nenekku duduk dengan sesosok nenek berkebaya putih-putih yang duduk di hadapannya.
Di belakang nenek dengan kebaya putih itu, berdiri sesosok mahluk tinggi besar. Mahluk itu mengenakan baju hitam-hitam dengan beberapa alur-alur emas di pakaiannya yang menyerupai nyala api layaknya seorang bangsawan, rambutnya panjang sepunggung dan putih, serta sangat lebat hingga terlihat mekar dan menutupi sebagian tubuh dan wajahnya tertutup topeng polos. Maksudnya topeng itu benar-benar polos, hanya permukaan putih saja, tanpa adanya lubang untuk mata dan lainnya. Benar-benar hanya permukaan putih polos.
‘Mahluk’ tinggi besar itu mengarahkan wajahnya yang tertutup topeng ke arahku.
Aku mundur sedikit ke arah pintu masuk. Aura dari ‘mahluk’ itu menakutkanku.
“Lis? Kenapa malah mundur gitu? Kenalin ini teman oma, namanya Oma Eli” kata nenekku.
Nenek berkebaya putih-putih yang sebelumnya kukira adalah salah satu dari ‘mereka’ tersenyum ramah melihatku.
Kemudian dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku seraya merangkulku.
“Oh ini yang namanya Elisa ya. Nama kita mirip lho” kata nenek Eli.
“Iya, salam kenal oma Eli” jawabku.
“Kamu bisa lihat Piyak ya?” tanya nenek Eli sambil menyebutkan nama yang ternyata adalah nama ‘mahluk’ di belakangnya.
Aku menatap nenek Eli, mimik wajahnya nampak seperti sedang menunggu jawabanku. Nenek Eli sedang mengetesku, pikirku.
Aku menjawab “Ya oma, aku bisa”.
Nenek Eli tersenyum, kemudian berbisik lagi padaku “Tidak apa-apa, bisa melihat si Piyak artinya bisa mendapat perlindungan”
“Perlindungan?” tanyaku.
Sebelum nenek Eli sempat menjawab, Nenekku memanggil kami “Kalian ini bisik-bisik apa?” tanyanya.
Nenek Eli hanya menjawab “Cucumu ini cantik sekali, wo bilang dia mirip cucu wo” jelas nenek Eli ke nenekku.
“Hmm-hmm” nenekku mengangguk-angguk “Jarang-jarang yu bisa langsung dekat sama orang, cucu wo ini memang kesayangan wo, tapi bolehlah wo kasih izin ke rumah yu nanti, biar yu tidak kesepian terus. Sudah tua tapi tidak ada yang kunjungi” kata nenekku.
“Bagus itu, bagus itu” kata nenek Eli “nanti main ke rumah oma ya” ucap nenek Eli menepuk bahuku dan beranjak ke luar pintu.
“Iya oma, nanti saya pasti datang” jawabku pada oma Eli yang melambai-lambaikan tangannya pada kami dari luar pagar.
Jadi, setelah makan siang aku berniat berjalan-jalan ke sungai belakang tempatku sering main-main dulu saat masih kecil.
Sungai kecil yang berasal dari air terjun mini. Air yang mengalir di sungai itu sangat jernih, dan lapangan rumput hijau yang terletak di sebelah hutan yang sangat luas menjadi tempat bermain anak-anak di desaku.
Benar saja, begitu sampai di sana, beberapa anak-anak terlihat bermain-main di pinggir sungai itu. Anak-anak kecil yang ditemani oleh beberapa anak yang sudah remaja tampak bersantai di lapangan rumput itu.
Akupun ikut bersantai di padang rumput dengan merebahkan badanku dan berbaring di rerumputan.
Selagi berbaring, mataku menangkap semacam aliran asap hitam melintas di udara di hadapanku.
Awalnya aku mengira ada yang merokok sehingga aku langsung bangun dan berniat menegurnya.
Tapi aku tidak menemukan seorangpun merokok dari remaja-remaja yang berkumpul di tepi sungai.
Aku kembali mendongak dan mendapati kalau asap itu masih berada di sana. Aku mengikuti alur asap itu dan mendapati kalau asap hitam itu datang dari arah hutan.
Aku segera berdiri dan berjalan menuju hutan itu. Khawatir kalau-kalau terjadi kebakaran hutan yang dampaknya akan sangat besar pada desaku yang dikelilingi oleh hutan sebagai pembatas desa.
Asap itu bersumber dari tengah kolam kecil yang di tengah-tengahnya terdapat batu besar.
Tepat diatas batu itu, aku melihat gumpalan berwarna hitam pekat. Lebih hitam dari apapun yang pernah kulihat sebelumnya. Seakan gumpalan hitam itu menyedot cahaya di sekitarnya sehingga warna hitam yang terlihat benar-benar sangat pekat.
Gumpalan hitam itu terlihat melayang-layang di atas batu itu. Aku baru memperhatikan bahwa asap berwarna hitam yang kulihat bukan berasal dari gumpalan itu, melainkan asap itu diserap masuk oleh gumpalan hitam yang melayang itu.
Aku mencium bau hangus bercampur bau belerang yang sangat kental berasal dari gumpalan hitam itu, dan semakin kentara semakin banyak asap hitam terserap ke dalam pusat gumpalan hitam ini.
Tidak butuh waktu lama untuk seluruh asap hitam terhisap seluruhnya ke dalam gumpalan hitam itu.
Dari dalam gumpalan hitam itu, aku melihat sebentuk satu mata terbuka.
Mata itu memiliki bentuk yang bulat sempurna dengan pupil yang sama bulatnya dan berwarna merah cerah seperti batu ruby.
Mata merah itu menatapku, aku merasakan tubuhku kaku tidak bisa bergerak seperti ditahan oleh sesuatu.
Kemudian, ‘mahluk’ dengan satu mata itu melesat cepat ke arahku dan menerjangku dengan keras hingga membuatku terpental.
Aku hanya merasakan rasa sakit bagaikan ditabrak oleh sesuatu yang besar dan berat. Aku sempat merasakan perasaan badanku melayang selama beberapa saat sebelum rasa sakit yang menajam dan dingin terasa dari bagian belakang kepalaku.
Setelah itu semuanya gelap dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Hingga akhirnya aku tersadar oleh suara yang memanggil namaku.
Aku membuka mataku dan melihat nenek Eli duduk disampingku.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya nenek Eli lembut.
“..” aku berusaha membuka mulutku untuk menjawab tapi tidak ada suara yang keluar. Karena itu aku hanya bisa mengangguk kecil.
“Kamu bertemu dengan ‘dewa’ di desa ini rupanya” nenek Eli berkata lembut kepadaku.
“Dewa?” bisikku lirih.
“Iya, kamu inget kan tentang hutan ‘dewa’?”
Aku mengangguk lagi.
Catatan :
Hutan dewa adalah cerita yang diceritakan turun temurun di kampungku. Inti ceritanya adalah adanya ‘dewa’ ganas yang menguasai kampung kami ini. ‘Dewa’ ini menguasai malam, dan mengancam penduduk desa akan malam yang tidak berakhir apabila penduduk desa tidak memberikan sesajen padanya.
Penduduk desa akhirnya memberikan sesajen berupa hewan kurban dari ternak mereka. Hingga pada akhir cerita, ‘dewa’ lalim ini diusir oleh seorang sakti yang kebetulan lewat kesana. Mahluk yang menyebut dirinya ‘dewa’ itu akhirnya disegel di sebuah batu di tengah hutan. Seorang sakti itu juga memasang semacam ‘dinding pembatas’ sehingga penjara dewa itu tidak kasat mata oleh para penduduk, dan agar ‘dewa’ itu tidak bisa melihat para manusia.
Tapi, penduduk memilih untuk menjauhi hutan tersebut dengan menjadikannya sebagai hutan keramat atau hutan dewa untuk mengingatkan anak-anak mereka agar tidak masuk ke hutan itu.
“Maksud nenek… ‘mahluk’ hitam yang kulihat tadi?” tanyaku, suaraku terasa serak dan lemah.
Nenek Eli mengangguk “Iya, itu adalah si ‘dewa’ sesat dari hutan dewa”
Aku berusaha mengingat-ingat kejadian pertemuanku dengan si ‘dewa’ itu hingga sebelum kesadaranku menghilang.
“Nek!” ujarku seraya bangkit duduk.
“Hmm?”
“Mahluk itu… maksud saya ‘dewa’ itu… ‘dia’…”
“Lepas kan? Dia sudah tidak ada di atas batu segelnya, nenek sudah lihat”
Aku merinding sampai ke tulang belakangku.
“Apa.. itu gara-gara saya?” tanyaku.
Nenek Eli menggeleng dan tersenyum lembut “Tidak lah, kamu datang dan tidak datangpun ‘dia’ tetap akan lepas hari ini, justru kamu lagi sial kebetulan ada di sana pas waktu dia lepas” jelas nenek Eli dengan lembut seraya mengusap rambutku.
Nenek Eli membantuku berdiri dan mengajakku berjalan pulang ke desa.
“Kamu lihat wujudnya?” tanya nenek Eli
Aku teringat wujud hitam dengan satu mata itu dan menceritakannya pada nenek Eli. Mendengar ceritaku, beliau hanya mendengarkan dengan serius dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Satu mata ya.. mungkin kita masih bisa melakukan sesuatu dengan itu” kata nenek Eli.
Kemudian nenek Eli mengambil sesuatu dari lipatan kebayanya. Sebuah batu berwarna putih yang sangat bening seperti kaca tersemat di gelang dengan ukiran wayang.
Nenek Eli membawa gelang itu ke dekat mulutnya dan membisikkan kata-kata yang tidak bisa kudengar dan meniup batu di gelang itu.
Hening beberapa saat. Kemudian dari kejauhan aku melihat sosok dengan rambut putih panjang melesat ke arah desa dari atas bukit.
Aku menatap nenek Eli, beliau tersenyum “Iya, itu Piyak, penjaga oma” jelasnya.
Kami kembali ke desa dan nenek Eli mengantarku sampai ke rumah nenekku. Kemudian nenek mengajak nenek Eli untuk makan bersama. Setelah beberapa bujukan akhirnya beliau bersedia untuk ikut makan malam bersama kami.
Hari sudah terlalu malam ketika nenek Eli mohon diri untuk pulang, karena itu nenekku menawarkan beliau untuk menginap saja.
Nenek Eli menolak dengan alasan tidak enak untuk merepotkan nenekku. Tapi sesaat nenek Eli melirikku dan menyetujui tawaran nenekku.
Aku langsung tertidur ketika menyentuh Kasur.
Dan terbangun karena merasakan rasa basah pada punggungku.
“Uhh….”
“Ahh!!”
Aku terbangun dengan mendapati kalau aku sedang terbaring di pinggiran danau tempat batu besar ‘dewa’.
Dan di atas batu besar itu, berdiri sosok yang berbentuk manusia, hanya saja aku tidak bisa melihat tubuh dari ‘mahluk’ itu karena seakan dia terbentuk dari bayangan. Seluruh tubuhnya hitam pekat sehingga terlihat bagaikan siluet yang kontras dengan terang bulan yang menyinari danau kecil itu.
Seluruh tubuh ‘mahluk’ itu gelap, namun di bagian yang adalah kepala dari ‘mahluk’ itu, sebuah mata menatapku tajam.
Mata yang sama seperti mata pada gumpalan hitam yang kulihat siang tadi.
‘Mahluk’ itu mulai melangkah dari batu tempatnya berdiri itu, menuruni batu itu dan berjalan dengan santainya di atas permukaan air.
Semakin ‘mahluk’ itu mendekat, aku baru menyadari kalau ‘mahluk’ ini sangat besar. Tingginya hampir dua kali lipat dari tinggiku sendiri.
Aku hanya diam membatu ketika ‘mahluk’ itu menghampiri dan berdiri menjulang tinggi di hadapanku.
Matanya yang bersinar bagaikan batu ruby menatapku tanpa bergeming. Bentuk matanya kini lebih menyerupai mata manusia, lengkap dengan sudut lancip di kedua sisinya berbeda dengan bentuk bola mata bulat yang kulihat pada saat ‘mahluk’ ini berbentuk seperti gumpalan hitam.
Tanpa peringatan apa-apa, ‘mahluk’ itu mencekikku dan mengangkatku dari tanah.
“ookh!” seruku tertahan karena leherku yang sedang terjepit tangan besar berjari jamak ‘mahluk’ itu.
Dia mengangkatku hingga setingkat dengan tinggi matanya. Mata ruby itu menatapku dengan pandangan kosong pada awalnya.
Kemudian, perlahan-lahan mata itu melengkung…
‘Mahluk ini tersenyum?’ pikirku.
Tapi aku sangat yakin, ekspresi yang diwakilkan oleh mata itu tidak lain adalah mata yang tersenyum.
Aku bertanya-tanya apa maksud ‘mahluk’ ini tersenyum padaku.
Tapi aku tidak pernah sempat memikirkan hal itu karena ‘mahluk’ itu melemparku mundur hingga aku mendarat pada punggungku.
“Ughh!!” eraman tertahan keluar dari mulutku, rasanya udara dipaksa terpompa keluar dari tubuhku.
Aku membuka kedua mataku dan mendapati kalau ‘mahluk’ itu sudah berdiri menjulang tepat di atas tempatku berada.
Tangannya kembali menggapai tubuhku.
Kali ini dia menggenggam tanganku hingga tubuhku terangkat.
“Aduh…” keluhku karena menahan sakit yang muncul dari otot lenganku yang dipaksa menahan berat tubuhku.
Lagi-lagi tanpa peringatan ‘mahluk’ itu menyentakku dan melemparku lagi.
“AAHHH!!” teriakku kesakitan ketika aku merasakan kalau lenganku terlepas dari engselnya.
“AHHH!!”
“AHH!!”
Aku hanya bisa mengerang tidak karuan sambil memegang lenganku yang kini terasa bagaikan terbakar dan disundut oleh es bersamaan.
Keringat dingin mulai membasahi wajah dan tubuhku.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHA”
Tawa tanpa suara memasuki kepalaku.
Tawa yang sangat kencang dan begitu Cumiakkan telinga.
Aku melirik ke arah ‘mahluk’ itu dan melihat matanya kembali tersenyum.
Namun yang lebih mengerikan adalah ketika mata ‘mahluk’ itu yang semula berada di tengah-tengah kepalanya perlahan bergeser, dan sebuah mata lagi perlahan bagaikan tumbuh dan membuka di sisi wajahnya satu lagi.
Yang menjijikkan… adalah kedua mata ‘mahluk’ itu tidak sama ketinggiannya. Sebuah mata yang baru tumbuh itu berada jauh di atas mata mahluk itu sebelumnya.
‘Mahluk’ itu kembali berjalan mendekatiku. Kini dia tersenyum dengan kedua matanya.
‘Krincing-Krincing-Krincing’
Terdengar bunyi krincingan yang datang dari belakangku.
Aku hendak menengok ketika nenek Eli sudah duduk berlutut di sebelah kepalaku.
Di tangannya dia menggenggam tali-tali berwarna kuning yang dipenuhi oleh puluhan atau ratusan bel kecil.
Nenek Eli menggoyang-goyangkan pita-pita penuh bel kecil itu hingga berbunyi nyaring dan berirama.
“Kamu nggak apa-apa kan mey?” tanya nenek Eli (Mey adalah panggilan yang biasa digunakan orang tua ke anak gadis di desaku).
Aku hanya mengangguk, tapi tidak sengaja aku meringis dan berteriak sakit ketika kembali merasakan lenganku yang terlepas dari engselnya.
“Oh..” nenek Eli melihat dan tampak baru menyadari keadaanku.
“Sabar sebentar” kata nenek Eli, kemudian dia memutar-mutar sambil menggoyangkan bel-bel kecil itu di atasku.
Kemudian, sekedipan mata, tampak wujud ‘Piyak’ sedang berlutut di seberang nenek Eli tepat disamping tubuhku.
Sang Piyak mengacungkan tangannya di atas badanku dan menghunus pedang Mandau hingga bersilangan dengan tangannya.
Kemudian, sang Piyak membuka telapak tangannya yang dipenuhi oleh aksara yang aku kenali sebagai aksara Sanskrit.
“Tutup mata mey” bisik nenek Eli.
Aku menurutinya.
Seluruh tubuhku dialiri oleh rasa hangat.
“Sudah tidak sakit kan?” tanya nenek Eli setengah berbisik ke telingaku.
Aku mengangguk.
“Ayo, tetap di sebelah oma ya” kata nenek Eli.
Lalu nenek Eli mulai menggoyang-goyangkan pita dengan belnya hingga bunyi gemerincing memenuhi hutan yang sepi itu.
Sementara sang Piyak, mahluk dengan rambut putih itu menggunakan pedang Mandaunya untuk menebas-nebas si ‘mahluk’ hitam itu.
Tapi pedang sang Piyak seakan menebas asap dan tidak mengenai si ‘mahluk’ hitam itu.
“Hmm” nenek Eli maju perlahan sambil menggenggam tanganku untuk mengikuti dia. Nenek Eli mengguncang pita belnya semakin keras sehingga bunyi gemerincing semakin memenuhi hutan sunyi itu.
‘CRINGG’
‘CRINGG’
‘CRINGG’
Nenek Eli menggoyangkan belnya dengan gerakan-gerakan terpatah-patah dengan langkah tegap.
Seiring dengan itu, sang Piyak melakukan tarian di depan si ‘mahluk’ hitam itu.
Kemudian nenek Eli menyebutkan kata-kata yang aku tidak mengerti artinya. Kemudian beliau menyentak tali merah yang berada di pangkal pita pengikat bel itu.
Kemudian beliau dengan tangan kirinya beliau menekan pundakku hingga aku menunduk lebih rendah dari tinggi beliau. Nenek Eli mengangkat tangannya tinggi dan memutar pita bel itu yang langsung tercerai berai menjadi ratusan bel-bel kecil yang terlepas dari pengikatnya dan berjatuhan di sekeliling kami.
Nenek Eli kembali menggumamkan mantra yang tidak aku mengerti artinya.
‘TAPP’ ‘CRINGG’
Nenek Eli menepukkan tangan di depan dadanya seperti posisi orang berdoa, dan tepat ketika tangannya menepuk, bel-bel kecil yang berceceran di tanah berbunyi nyaring bersamaan.
‘TAPP’ ‘CRINGG’
‘TAPP’ ‘CRINGG’
‘GROOOOOOOOOOAAAAAAAARRRRRRR’
Suara raungan tanpa suara bergema di kepalaku. Raungan itu rasanya membuat kakiku mati rasa hingga aku jatuh terduduk sambil menutup mataku.
“HAHH!!” ‘TAPP’ ‘CRINGG’
‘GROOAAAAAAAAAAAAAAAAAaaaaaaaaaaarrrrrr….’
Raungan tanpa suara itu bergema kembali di kepalaku, namun berbeda dari sebelumnya, raungan itu perlahan mengecil dan pada akhirnya menghilang.
Aku memberanikan diri membuka sedikit mataku, dan melihat si ‘mahluk’ hitam mulai terlihat kabur dan berangsur menghilang.
Namun, tepat ketika ‘mahluk’ itu menghilang sepenuhnya, aku kembali melihat ke arah dua mata ‘mahluk’.
Mata itu tersenyum….
Dan menatapku tajam….
Kemudian ‘mahluk’ menghilang sepenuhnya. Nenek Eli membantuku berdiri dan berkata dengan ramah “Dia sudah pergi” katanya.
“Apa dia sudah tersegel?” tanyaku.
Nenek Eli menggeleng “Oma hanya bisa mengusirnya dari desa ini, dan dia sudah mengakui kekuasaan Piyak atas desa ini. Selama Piyak masih melindunginya, dia tidak akan kembali kesini” jelas nenek Eli.
Aku mengangguk dan menatap ke sosok sang Piyak yang menyarungkan pedang Mandaunya kembali di pinggangnya dan perlahan menghilang.
Sisa hari-hari di kampungku berjalan dengan normal dan baik-baik saja semenjak itu.
Namun Diary, mudah-mudahan ini hanya perasaanku saja.
Tapi dalam perjalanan pulang ke sini, aku yakin aku merasakan pandangan dari kedua mata yang tersenyum itu.
Ditambah bau hangus dan belerang yang sangat kuat ketika aku berada di dalam pesawat.
Jujur.. itu membuatku sangat takut Diary.
PS :
Mohon baca postingan Ayan sebelum part ini apabila ternyata ada daripada para pembaca yang diganggu oleh 'mahluk' yang berada di cerita ini.
PSS :
Yang menyarankan saya untuk menemui orang-orang 'berilmu' untuk masalah saya, pertama-tama saya ucapkan terimakasih. Tapi untuk sementara saya tidak ingin untuk menghilangkan kemampuan ini. Lagipula, di cerita pada part ini saya juga memperkenalkan orang yang sampai sekarang menjadi penolong saya untuk hal-hal semacam ini. Jadi terimakasih sebelumnya untuk perhatian kalian semua.
- Salam -
Elisa
jenggalasunyi dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Kutip
Balas