- Beranda
- Stories from the Heart
Life of Evelyn
...
TS
alexisrene
Life of Evelyn

cover by awayaye
Quote:
Title: Life of Evelyn
Model: Cerita fiksi
Genre: Family, Romance, Drama
Warning Content: Incest, Lesbian
Sinopsis:
Model: Cerita fiksi
Genre: Family, Romance, Drama
Warning Content: Incest, Lesbian
Sinopsis:
Rena Eveline, yang kelak bernama Emma Evelyn Ardianata adalah sosok gadis kecil yang dilahirkan dari keluarga miskin di pinggiran ibukota provinsi. Semasa kecil, ibunya selalu mengajarkannya membaca dan menulis. Sampai tiba suatu masa, ibunya pergi meninggalkannya bersama sang ayah. Ibunya tak pernah memberi kabar tentang kepergiannya ataupun kondisinya diluarsana. Kepergiannya sama sekali tidak meninggalkan jejak.
Hal itu menyebabkan sang ayah depresi. Bertahun-bertahun, sang ayah melampiaskan seluruh kekesalannya pada Eveline. Hingga tepat di tahun kelima Eveline bersekolah. Seseorang datang memberi bantuan. Seseorang yang akan memberinya dunia yang baru. Seseorang yang dapat memenuhi hasrat haus akan ilmunya.
Seseorang yang kemudian ia sebut sebagai kakak angkatnya. Seorang anak konglomerat negeri ini. Yang memintanya membangun usahanya kembali.
Quote:
Diubah oleh alexisrene 24-08-2016 18:05
anasabila memberi reputasi
1
3.7K
41
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
alexisrene
#22
Pagi mengembun di Kota Bandung. Hujan kembali melanda Kota Kembang semalam tadi. Mengakibatkan bau lembab yang samar tercium bertebaran diudara.
Pagi ini sinar mentari bersinar redup. Cuaca tak dapat diprediksikan. Hujan bisa kembali turun membasahi jalanan kota. Beberapa orang yang hendak berpergian keluar membekali diri mereka dengan sebuah payung, ataupun jas hujan.
Sementara aku? Aku tak bisa membekali diriku dengan keduanya. Ayahku tidak pernah menyediakan benda-benda semacam itu di rumah. Ada pun jas hujan, itu milik ayahku. Ukurannya jelas takkan sesuai dengan ukuran tubuhku.
Aku menyandarkan diriku pada dinding ruangan, menatap langit-langit yang di beberapa bagian tempatnya terdapat sawang laba-laba. Kepalaku dipenuhi sekelumit pikiran. Seperti halnya, haruskah hari ini aku berpamitan dengan ayahku mengingat hari ini aku membutuhkan doanya?
Membuang napas mengusir gelisahku. Kubuka pintu kamar ayah lamat-lamat. Tampaklah sosoknya yang tengah terlelap diatas ranjang kapuknya. Ia tertidur bersama bekas-bekas botol minuman keras. Dengkuran kasar lolos dari celah dibibirnya. Aku menghampirinya dengan langkah mengendap-endap.
Kutatap wajah ayah yang dihiasi kerutan-kerutan derita. Hatiku terenyuh melihatnya. Tapi kebencianku terhadap tindakan kasarnya mengusir rasa belas kasihku itu. Sedikitnya masih tersisa, cukup untuk membuatku menundukkan kepala...
... 'tuk mencium keningnya.
"Aku pergi dulu, yah."
'
'
'
Life of Evelyn
You're My Savior, Mate! (2)
'
'
'
Suara riuh orang-orang di sekolah tempat olimpiade diadakan seakan menyambut kedatanganku ketika motor Pak Joko mulai memasuki area sekolah. Mobil-mobil pribadi berjejer rapih. Kebanyakan milik keluarga-keluarga peserta lomba. Terlihat dari pakaian informal yang mereka kenakan.
Aku menegukkan ludahku. Tidak menyangka peserta olimpiade bisa sebanyak ini. Nampaknya tingkat persaingan kali ini jauh lebih menantang dibanding lomba-lomba yang kuikuti sebelumnya.
Turun dari motor yang kutumpangi, Pak Joko langsung berkata,
"Gugup ga, Line?"
"Sedikit.."
"Masih percaya kamu bisa jadi juara kan?"
"Harus.." Aku berucap dengan mengepalkan tangan disamping jahitan rokku.
"Memang sudah seharusnya dia tetap menjaga kepercayaan dirinya, Pak. Tidak usah ditanyakan lagi." Sahut seseorang yang lain membenarkan kalimatku yang sumbang. Seorang pria tak berambut dengan kemeja putih polos yang bagian lengannya dilipat hingga sikutnya. Ia datang menghampiri kami.
"Bapak siapa y-"
"Om Rangga?" Tak sengaja aku memotong ucapan Pak Joko. Tak percaya dengan kehadiran Om Rangga. Sedang apa ia disini?
"Hey, Eveline." Sapanya seraya mengusap-usap kepalaku gemas. Lalu mengulurkan tangannya kearah Pak Joko.
"Rangga Ardianata, anda?"
"Saya Joko, guru bahasa indonesia Eveline." Pak Joko menerima uluran tangan Om Rangha. Mereka kemudian saling berjabat tangan.
"Wah saya kira yang datang menemani Eveline hari ini itu Ibu Hana langsung."
"Iya dia tidak bisa menemani Eveline di acara seperti ini. Jadi dia menunjukku." Jelas Pak Joko dengan nada sopan. "Kalau boleh tahu, anda ini siapanya Ibu Hana ya? Kok bisa kenal Eveline juga?"
"Begitu ya, saya ini.." Om Rangga menggantungkan kalimatnya, ia menatapku selama beberapa saat. Cara pandangnya, menyiratkan sebuah makna yang tak dapat kudefinisikan. Lalu kemudian..
"..Saya termasuk keluarganya Eveline." Tegas Om Rangga. Bibirnya mengumbar senyum tak bersalahnya.
"Benar begitu kan, Eveline?"
Akhirnya aku tahu maksud isyarat mata Om Rangga. Ia secara halus memintaku agar bermain andil mengaminkan kebohongannya. Sekarang aku tak tahu harus berbuat apa. Aku tak suka diajak berbohong meskipun aku sering melakukannya. Tapi disisi lain aku pun tahu, Om Rangga bukanlah orang jahat. Dia tidak akan menjerumuskanku.
"I-Iya." Kataku akhirnya. Menunduk kepalaku menahan malu karena ikut berbohong.
"Hahaha, Eveline ini memang anak yang pemalu ya Pak?"
"Yah begitulah." Tanggap Pak Joko sembari tertawa ringan. "Jadi anda kesini untuk Eveline..?"
"Tentunya, izinkan saya yang mengantarnya pulang nanti." Om Rangga membalikkan tubuhnya, menghadap kearah jejeran mobil yang terparkir rapih di pinggiran tempat.
"Nah Eveline, kamu tahu kan dimana mobil Om? Bisa kamu tunjukkin yang mana?"
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Tidak percaya dengan permintaan absurd Om Rangga. Tak sempat aku memikirkan kata-kata penolakanku. Om Rangga lebih dulu menuntut jawabanku,
"Ayo, Eveline. Supaya Pak Joko tahu. Kamu emang familiar dan kenal sama Om. Jangan bikin Pak Joko cemas dong." Sarkasnya seolah meledekku. Jadi ia sengaja menjebakku?
"Err.." keringat dingin mulai mengucur dari pelipisku. Tanganku bergetar saat mengangkatnya. Aku tak bisa menebak yang mana mobil milik Om Rangga.
"Yang.....?"
"I-Itu." Mengacungkan jari telunjukku kesembarang arah. Aku menutupkan mataku. Berharap tebakanku ini benar.
"Wow. Om terkesan tebakanmu tak meleset. Om senang jika kita memang dipersatukan oleh takdir. Tapi tetap saja berbohong itu tidak baik. Maka tetaplah jadi orang yang jujur." Katanya sambil menepuk-nepukan kepalaku dengan gemas.
"I-Iya." Ucapku penuh sesal. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam.
"Kerjakan lembar soalmu dengan jujur ya. Selamat berjuang." Om Rangga melangkahkan kaki meninggalkan kami.
"Tunggu dulu!" Sela Pak Joko menyentak Om Rangga. Menghentikan langkah Om Rangga ditempatnya. Om Rangga membalikkan tubuhnya, tak bergeming sampai Pak Joko tiba dihadapannya.
"Ya?"
"Apa maksud Bapak menjatuhkan mental anak didik saya? Dia memang berbohong, tapi tidak pernah sekalipun dia berlaku curang." Tegas Pak Joko dengan tatapan mata yang tajam.
"Hoo, dan mengapa Bapak sampai tersinggung seperti itu jika anak didik Bapak memang tidak pernah berbuat curang? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan 'kan jadinya?" Tantang Om Rangga.
"Bapak juga berbohong. Bilang Eveline ini termasuk keluarga Bapak!" Rupanya Pak Joko sudah menangkap kebohongan apa yang tengah aku dan Om Rangga bahas.
"Hst hst, saya kesini bukan untuk berdebat dengan Bapak. Saya kesini untuk melihat Eveline mengerjakan soalnya dengan baik lalu mengantarnya pulang." Tanpa memperdulikan ocehan Pak Joko. Om Rangga pergi dan berangsur memasuki mobil mercedez bens miliknya. Meninggalkan Pak Joko yang terus mengumpat-ngumpat tidak karuan.
"Ayo, Eveline. Lebih baik kita masuk ke ruanganmu sekarang."
"I-Iya.." Kataku pasrah.
Pagi ini sinar mentari bersinar redup. Cuaca tak dapat diprediksikan. Hujan bisa kembali turun membasahi jalanan kota. Beberapa orang yang hendak berpergian keluar membekali diri mereka dengan sebuah payung, ataupun jas hujan.
Sementara aku? Aku tak bisa membekali diriku dengan keduanya. Ayahku tidak pernah menyediakan benda-benda semacam itu di rumah. Ada pun jas hujan, itu milik ayahku. Ukurannya jelas takkan sesuai dengan ukuran tubuhku.
Aku menyandarkan diriku pada dinding ruangan, menatap langit-langit yang di beberapa bagian tempatnya terdapat sawang laba-laba. Kepalaku dipenuhi sekelumit pikiran. Seperti halnya, haruskah hari ini aku berpamitan dengan ayahku mengingat hari ini aku membutuhkan doanya?
Membuang napas mengusir gelisahku. Kubuka pintu kamar ayah lamat-lamat. Tampaklah sosoknya yang tengah terlelap diatas ranjang kapuknya. Ia tertidur bersama bekas-bekas botol minuman keras. Dengkuran kasar lolos dari celah dibibirnya. Aku menghampirinya dengan langkah mengendap-endap.
Kutatap wajah ayah yang dihiasi kerutan-kerutan derita. Hatiku terenyuh melihatnya. Tapi kebencianku terhadap tindakan kasarnya mengusir rasa belas kasihku itu. Sedikitnya masih tersisa, cukup untuk membuatku menundukkan kepala...
... 'tuk mencium keningnya.
"Aku pergi dulu, yah."
'
'
'
Life of Evelyn
You're My Savior, Mate! (2)
'
'
'
Suara riuh orang-orang di sekolah tempat olimpiade diadakan seakan menyambut kedatanganku ketika motor Pak Joko mulai memasuki area sekolah. Mobil-mobil pribadi berjejer rapih. Kebanyakan milik keluarga-keluarga peserta lomba. Terlihat dari pakaian informal yang mereka kenakan.
Aku menegukkan ludahku. Tidak menyangka peserta olimpiade bisa sebanyak ini. Nampaknya tingkat persaingan kali ini jauh lebih menantang dibanding lomba-lomba yang kuikuti sebelumnya.
Turun dari motor yang kutumpangi, Pak Joko langsung berkata,
"Gugup ga, Line?"
"Sedikit.."
"Masih percaya kamu bisa jadi juara kan?"
"Harus.." Aku berucap dengan mengepalkan tangan disamping jahitan rokku.
"Memang sudah seharusnya dia tetap menjaga kepercayaan dirinya, Pak. Tidak usah ditanyakan lagi." Sahut seseorang yang lain membenarkan kalimatku yang sumbang. Seorang pria tak berambut dengan kemeja putih polos yang bagian lengannya dilipat hingga sikutnya. Ia datang menghampiri kami.
"Bapak siapa y-"
"Om Rangga?" Tak sengaja aku memotong ucapan Pak Joko. Tak percaya dengan kehadiran Om Rangga. Sedang apa ia disini?
"Hey, Eveline." Sapanya seraya mengusap-usap kepalaku gemas. Lalu mengulurkan tangannya kearah Pak Joko.
"Rangga Ardianata, anda?"
"Saya Joko, guru bahasa indonesia Eveline." Pak Joko menerima uluran tangan Om Rangha. Mereka kemudian saling berjabat tangan.
"Wah saya kira yang datang menemani Eveline hari ini itu Ibu Hana langsung."
"Iya dia tidak bisa menemani Eveline di acara seperti ini. Jadi dia menunjukku." Jelas Pak Joko dengan nada sopan. "Kalau boleh tahu, anda ini siapanya Ibu Hana ya? Kok bisa kenal Eveline juga?"
"Begitu ya, saya ini.." Om Rangga menggantungkan kalimatnya, ia menatapku selama beberapa saat. Cara pandangnya, menyiratkan sebuah makna yang tak dapat kudefinisikan. Lalu kemudian..
"..Saya termasuk keluarganya Eveline." Tegas Om Rangga. Bibirnya mengumbar senyum tak bersalahnya.
"Benar begitu kan, Eveline?"
Akhirnya aku tahu maksud isyarat mata Om Rangga. Ia secara halus memintaku agar bermain andil mengaminkan kebohongannya. Sekarang aku tak tahu harus berbuat apa. Aku tak suka diajak berbohong meskipun aku sering melakukannya. Tapi disisi lain aku pun tahu, Om Rangga bukanlah orang jahat. Dia tidak akan menjerumuskanku.
"I-Iya." Kataku akhirnya. Menunduk kepalaku menahan malu karena ikut berbohong.
"Hahaha, Eveline ini memang anak yang pemalu ya Pak?"
"Yah begitulah." Tanggap Pak Joko sembari tertawa ringan. "Jadi anda kesini untuk Eveline..?"
"Tentunya, izinkan saya yang mengantarnya pulang nanti." Om Rangga membalikkan tubuhnya, menghadap kearah jejeran mobil yang terparkir rapih di pinggiran tempat.
"Nah Eveline, kamu tahu kan dimana mobil Om? Bisa kamu tunjukkin yang mana?"
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Tidak percaya dengan permintaan absurd Om Rangga. Tak sempat aku memikirkan kata-kata penolakanku. Om Rangga lebih dulu menuntut jawabanku,
"Ayo, Eveline. Supaya Pak Joko tahu. Kamu emang familiar dan kenal sama Om. Jangan bikin Pak Joko cemas dong." Sarkasnya seolah meledekku. Jadi ia sengaja menjebakku?
"Err.." keringat dingin mulai mengucur dari pelipisku. Tanganku bergetar saat mengangkatnya. Aku tak bisa menebak yang mana mobil milik Om Rangga.
"Yang.....?"
"I-Itu." Mengacungkan jari telunjukku kesembarang arah. Aku menutupkan mataku. Berharap tebakanku ini benar.
"Wow. Om terkesan tebakanmu tak meleset. Om senang jika kita memang dipersatukan oleh takdir. Tapi tetap saja berbohong itu tidak baik. Maka tetaplah jadi orang yang jujur." Katanya sambil menepuk-nepukan kepalaku dengan gemas.
"I-Iya." Ucapku penuh sesal. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam.
"Kerjakan lembar soalmu dengan jujur ya. Selamat berjuang." Om Rangga melangkahkan kaki meninggalkan kami.
"Tunggu dulu!" Sela Pak Joko menyentak Om Rangga. Menghentikan langkah Om Rangga ditempatnya. Om Rangga membalikkan tubuhnya, tak bergeming sampai Pak Joko tiba dihadapannya.
"Ya?"
"Apa maksud Bapak menjatuhkan mental anak didik saya? Dia memang berbohong, tapi tidak pernah sekalipun dia berlaku curang." Tegas Pak Joko dengan tatapan mata yang tajam.
"Hoo, dan mengapa Bapak sampai tersinggung seperti itu jika anak didik Bapak memang tidak pernah berbuat curang? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan 'kan jadinya?" Tantang Om Rangga.
"Bapak juga berbohong. Bilang Eveline ini termasuk keluarga Bapak!" Rupanya Pak Joko sudah menangkap kebohongan apa yang tengah aku dan Om Rangga bahas.
"Hst hst, saya kesini bukan untuk berdebat dengan Bapak. Saya kesini untuk melihat Eveline mengerjakan soalnya dengan baik lalu mengantarnya pulang." Tanpa memperdulikan ocehan Pak Joko. Om Rangga pergi dan berangsur memasuki mobil mercedez bens miliknya. Meninggalkan Pak Joko yang terus mengumpat-ngumpat tidak karuan.
"Ayo, Eveline. Lebih baik kita masuk ke ruanganmu sekarang."
"I-Iya.." Kataku pasrah.
Diubah oleh alexisrene 14-08-2016 22:33
0
