- Beranda
- Stories from the Heart
Life of Evelyn
...
TS
alexisrene
Life of Evelyn

cover by awayaye
Quote:
Title: Life of Evelyn
Model: Cerita fiksi
Genre: Family, Romance, Drama
Warning Content: Incest, Lesbian
Sinopsis:
Model: Cerita fiksi
Genre: Family, Romance, Drama
Warning Content: Incest, Lesbian
Sinopsis:
Rena Eveline, yang kelak bernama Emma Evelyn Ardianata adalah sosok gadis kecil yang dilahirkan dari keluarga miskin di pinggiran ibukota provinsi. Semasa kecil, ibunya selalu mengajarkannya membaca dan menulis. Sampai tiba suatu masa, ibunya pergi meninggalkannya bersama sang ayah. Ibunya tak pernah memberi kabar tentang kepergiannya ataupun kondisinya diluarsana. Kepergiannya sama sekali tidak meninggalkan jejak.
Hal itu menyebabkan sang ayah depresi. Bertahun-bertahun, sang ayah melampiaskan seluruh kekesalannya pada Eveline. Hingga tepat di tahun kelima Eveline bersekolah. Seseorang datang memberi bantuan. Seseorang yang akan memberinya dunia yang baru. Seseorang yang dapat memenuhi hasrat haus akan ilmunya.
Seseorang yang kemudian ia sebut sebagai kakak angkatnya. Seorang anak konglomerat negeri ini. Yang memintanya membangun usahanya kembali.
Quote:
Diubah oleh alexisrene 24-08-2016 18:05
anasabila memberi reputasi
1
3.7K
41
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
alexisrene
#7
"Eveline, ikut ibu sebentar." Titah Ibu Hana sekilas yang langsung melenggang pergi dari balik pintu kelas. Setiap pandang mata kini mengarah padaku. Bisik-bisik tak sedap mulai mengisi ruangan. Menghancurkan mentalku dengan hinaan-hinaan mereka.
Aku yang tidak nyaman dengan kondisi itu, segera mengekori kepergian Ibu Hana. Terik matahari langsung menyapa wajahku ketika kakiku berjumpa dengan tapak batu diluar kelas. Suara derap langkah didepan menandakan Ibu Hana belum jauh meninggalkanku. Langkahnya terkesan pelan. Memberiku kesempatan tuk mengejarnya.
"Ada apa bu?" Tanyaku penasaran setelah tepat berada disamping Bu Hana.
"Ah sudah, pokoknya ikut ibu aja, nggak usah banyak nanya. Kita mau nemuiin orang yang seneng sama kamu, Line." Ujar Bu Hana dengan senyum merekah dibibirnya.
Aku mengangguk mengerti. Dengan jawaban Bu Hana, bukannya terobati rasa penasaranku justru berkembang menjadi lebih parah. Dalam benak aku bertanya-tanya. Bagaimana bisa ada orang yang senang denganku? Memangnya apa yang telah kuperbuat?
Aku diarahkan ke ruang kepala sekolah. Aroma wangi lavender langsung menyapa indra penciumanku melalui semprotan pewangi ruangan. Perhatianku terpusat pada lelaki tua berpakaian jas rapih yang duduk disalah satu sofa ruangan. Ia tampak sudah menantikan kedatangan kami.
"Maaf nih Pak Rangga, jadi nunggu begini."
"Nggak apa-apa, Bu. Eh, ini anaknya ya?" Bapak yang disebut Rangga oleh Bu Hana itu berdiri tegak. Air mukanya memandangku ramah. Ia mengulurkan tangannya menyentuh puncak kepalaku untuk ia usap pelan.
"Iya ini anaknya, Pak. Line, ini namanya Om Rangga. Orang yang bakal ngasih kamu beasiswa." Jelas Bu Hana. "Nah ayo, salam dulu sama Om."
Aku menerima uluran tangan Pak Rangga. Membawanya menyentuh ujung pangkal hidungku. Ulas senyum dibibirnya menjadi balasannya. Tampak senang dengan perilakuku itu. Kami dipersilahkan duduk setelahnya.
"Rena Eveline ya.. gimana udah siap buat olimpiade besok?"
"Umm." Aku mengangguk mantap, memberinya sorot mata penuh keyakinan. Cukup yakin aku dapat memenangkan olimpiade kali ini. Sebab jauh-jauh hari aku sudah bermimpi mengikuti lomba adu kecerdasan sekelas olimpiade nasional, aku sudah mempersiapkannya matang-matang sejak pertama aku ditunjuk sebagai perwakilan sekolah.
Lalu, senyum Om Rangga semakin mekar melihat respon penuh percaya diriku.
"Iya jadi kemarin itu Ibu Hana ngasih kabar. Katanya Eveline ini punya prestasi disekolahnya. Tapi gak punya uang buat sekolahnya, ya?" Tanya Om Rangga dengan nada prihatin. Kepalanya menengok sebentar kearah Bu Hana. Meminta klarifikasi dari orang yang bersangkutan. Bu Hana mengangguk singkat tanda mengiyakan.
Aku mulai merasa tidak enak. Moodku hancur seketika ditanya pertanyaan seperti itu.
"I-Iya." Jawabku ragu-ragu. Terlalu malu untuk mengakuinya. Jujur saja aku merasa tertohok kerap kali seseorang 'menyinggung' ketidakmampuanku membayar biaya sekolah.
"Kalau boleh Om tau. Bapak kerja apa, Line?" Tanyanya seolah sengaja menyudutkanku. Jemari telunjuknya mengetuk-ngetuk paha terbalut celana hitamnya.
"Bapak.." Aku menggantungkan kalimatku. Tidak yakin apa aku harus menjawab pertanyaannya. Aku memalingkan mukaku memandang Bu Hana dengan tatapan memelas.
"Tidak apa-apa, Line. Jujur aja sama Om." Ucap Bu Hana lembut. Seakan mengerti dengan kegelisahan yang menyelimuti diriku.
"B-Bapak kerjanya jadi tukang ojek di kampung, om.." Jawabku bergetar.
"Oh begitu, kalau makan di rumah biasanya lauknya apa?"
Baiklah, menurutku pertanyaan itu tidak seharusnya terlontar. Ini diluar konteks beasiswa yang sedang kami bahas. Ini sudah menyinggung persoalan kehidupan pribadiku.
"M-Maaf?" Tanyaku retoris. Supaya Om Rangga sadar, pertanyaannya itu benar-benar tidak mengenakkan bagiku.
"Eveline.." Tegur Bu Hana, mendesakku agar mau lebih terbuka. Ekspresi wajah Bu Hana berangsur dingin. Tampak tak suka dengan sikap tertutupku.
"N-Nggak tahu Om. Eve biasa makan apa aja yang ada di meja makan." Tuturku yang semakin tertekan.
"Siapa yang biasanya masak makanan dirumah?" Tanpa jeda sedikitpun, ia kembali bertanya.
Sungguh! Sebenarnya apa esensi dari pertanyaan-pertanyaannya ini? Apakah ini berkaitan dengan beasiswa yang akan ia beri? Entah mengapa aku mulai merasa tidak yakin, pria tua dihadapanku benar-benar menawariku beasiswa.
"A-Aku."
"Loh kalau Ibu kemana, Line? Jadi kalau Eveline yang masak. Hapal dong tiap hari masak apa dirumah?" Om Rangga berbicara setengah bergurau. Ia menyandarkan tubuhnya ke badan sofa. Menyamankan dirinya.
"Err.." Aku tak tahu harus menjawab apa.
"Sudah tak perlu dijawab. Jadi benar ya Eveline ini sudah empat kali menang lomba selama sekolah?" Sambungnya dengan mimik muka santai.
"Iya Om."
"Yakin besok menang olimpiade?" Tukasnya mengulang pertanyaannya sebelumnya.
Lagi, aku mengangguk.
"Hahaha, ya sudah. Nih dari Om. Sekarang kamu ke kelas lagi. Habis istirahat, ada ulangan kan?"
Mataku melotot tidak percaya. Om Rangga tanpa ragu sedikitpun mengeluarkan tiga lembar ratusan ribu. Ia menyerahkannya padaku. Menuntun paksa tanganku mengenggam lembaran uang itu.
"Om ini banya-"
"Iya itu semuanya buat kamu, Eveline. Tenang-tenang itu bukan uang beasiswa yang om janjikan kok, itu buat jajan Eveline. Soal beasiswa, biar om ngobrol dulu sama Bu Hana dulu ya?"
Aku mengangguk pasrah seraya menerima uang pemberian Om Rangga. Jujur disepanjang usiaku, baru kali ini aku memegang uang sebanyak ini. Gemetar tanganku mengenggamnya.
Sadar kehadiranku tidak lagi dibutuhkan. Sedetik kemudian, kaki mungilku beranjak meninggalkan ruangan. Menaati perintah Om Rangga.
Aku mendesah lega. Ujian matematika akhirnya berlalu. Kulirik Dheane dalam satu pandangan di belakangku. Ia yang menyadarinya lantas memberiku satu kedipan mata. Senyum kepuasan tercetak dibibirnya. Pertanda bahwa peranku sebagai penolongnya selama ujian berlangsung sangat membantu.
Ia bergerak menghampiriku. Duduk di bangku kosong tepat disampingku.
"Hey? Jadi apa yang Bu Hana bicarakan denganmu di ruang kepala sekolah?"
"Emm.. entahlah. Aku lupa." Kelitku berbohong. Tak mengungkapkannya, karena aku tak mau dimusuhi Dheane. Mengatakan bahwa aku diberi beasiswa oleh seseorang? Itu pasti akan membuatnya iri.
"Yah, ya udah deh. Eh, Line. Pulang sekolah nanti ikut aku yuk pergi. Kita jalan-jalan keluar." Seru Dheane menggebu-gebu.
"K-Keluar?" Kataku membeo mengulang perkataannya. Terkejut dengan ajakannya itu. Biasanya tak ada seorangpun yang mau menawariku ajakan semacam itu, termasuk Dheane.
"Iya keluar. Ayo dong, Line. Kamu ikut ya? Udah lima tahun lho kita bareng masa ga pernah main keluar."
Dalam rangka apa Dheane berbaik hati memaksaku ikut main bersamanya sepulang sekolah? Mengapa ia tidak mengajak teman sepermainannya seperti biasanya? Aku masih bertanya-tanya. Tapi aku memilih mengesampingkan pemikiran-pemikiran itu. Tanpa berpikir panjang lagi. Aku mengangguk antusias menyetujuinya.
"Nah gitu dong. Tunggu aku sepulang sekolah nanti ya!"
Dheane beranjak kembali ke kursi yang ia singgahi. Teman-temannya yang sedari tadi menguping pembicaraan kami memasang wajah masam mereka. Seakan tak suka dengan keputusan Dheane mengajakku pergi. Bahkan mereka tanpa ragu mencibir Dheane.
Namun Dheane hanya menjulurkan lidahnya mendengar cercaan-cercaan itu. Tak mau ambil pusing dan tetap berlagak santai. Aku tak mengerti, roh apa yang telah merasuki Dheane sebenarnya? Sikapnya sudah kelewat baik terhadapku hari ini.
"Baiklah, Ibu langsung sebut hasil ulangan kalian. Dengerin baik-baik ya.."
"Ya Bu!"
"Eveline!!"
Tiba-tiba rengkuhan tangan mungil melingkar dileherku. Aku terkesiap menerima tindakan tak terduga itu. Dari suaranya, itu lengkingan bahagia milik Dheane. Aku memutar kepalaku, memastikan dugaanku benar.
"Dheane?" Panggilku heran. Tak mengerti dengan perilakunya ini.
"Makasih, makasih, makasih. Nggak nyangka gara-gara kamu. Nilai ulangan aku bisa sampai 91, Line!" Jeritnya sekali lagi.
"Ahaha, iya sama-sama." Aku terperangah, tertawa canggung menyadari aku menjadi pusat perhatian teman-temanku.
"Jadi kan kita pergi bareng sekarang?"
"J-Jadi." Cetusku ragu.
"Kalau begitu ayo cepat kita bergegas." Dheane menarik pergelangan tanganku pergi. Menyeret langkahku keluar kelas. Aku hanya bisa pasrah dan segera menyampirkan tas ranselku disatu punggungku buru-buru.
"Apa-apaan sih Dheane, kok dia malah ngajak si kutu kotor itu pergi ketimbang ngajakin kita?"
"Kalau soal ngebantuin dia pas ulangan sih kita juga bisa."
Celetukan-celetukan seperti itulah yang kira-kira menyapa gendang telingaku disela-sela kepergian kami. Membuatku meringis mendengarnya. Baik diriku maupun Dheane tak membuka mulut merespon ucapan-ucapan itu. Aku hanya bisa menelannya, sedang Dheane sama sekali tidak berniat mengindahkannya.
Sampai di gerbang sekolah, mata Dheane bergerilya. Mencari seseorang dari padatnya siswa siswi dan pengantar yang berbondong-bondong keluar sekolah. Ramainya orang yang memadati pintu gerbang, membuat Dheane sedikit kesulitan menemukan sosok yang ia cari.
Sampai kemudian, aku sadar siapa yang Dheane cari.
Aku yang tidak nyaman dengan kondisi itu, segera mengekori kepergian Ibu Hana. Terik matahari langsung menyapa wajahku ketika kakiku berjumpa dengan tapak batu diluar kelas. Suara derap langkah didepan menandakan Ibu Hana belum jauh meninggalkanku. Langkahnya terkesan pelan. Memberiku kesempatan tuk mengejarnya.
"Ada apa bu?" Tanyaku penasaran setelah tepat berada disamping Bu Hana.
"Ah sudah, pokoknya ikut ibu aja, nggak usah banyak nanya. Kita mau nemuiin orang yang seneng sama kamu, Line." Ujar Bu Hana dengan senyum merekah dibibirnya.
Aku mengangguk mengerti. Dengan jawaban Bu Hana, bukannya terobati rasa penasaranku justru berkembang menjadi lebih parah. Dalam benak aku bertanya-tanya. Bagaimana bisa ada orang yang senang denganku? Memangnya apa yang telah kuperbuat?
Aku diarahkan ke ruang kepala sekolah. Aroma wangi lavender langsung menyapa indra penciumanku melalui semprotan pewangi ruangan. Perhatianku terpusat pada lelaki tua berpakaian jas rapih yang duduk disalah satu sofa ruangan. Ia tampak sudah menantikan kedatangan kami.
"Maaf nih Pak Rangga, jadi nunggu begini."
"Nggak apa-apa, Bu. Eh, ini anaknya ya?" Bapak yang disebut Rangga oleh Bu Hana itu berdiri tegak. Air mukanya memandangku ramah. Ia mengulurkan tangannya menyentuh puncak kepalaku untuk ia usap pelan.
"Iya ini anaknya, Pak. Line, ini namanya Om Rangga. Orang yang bakal ngasih kamu beasiswa." Jelas Bu Hana. "Nah ayo, salam dulu sama Om."
Aku menerima uluran tangan Pak Rangga. Membawanya menyentuh ujung pangkal hidungku. Ulas senyum dibibirnya menjadi balasannya. Tampak senang dengan perilakuku itu. Kami dipersilahkan duduk setelahnya.
"Rena Eveline ya.. gimana udah siap buat olimpiade besok?"
"Umm." Aku mengangguk mantap, memberinya sorot mata penuh keyakinan. Cukup yakin aku dapat memenangkan olimpiade kali ini. Sebab jauh-jauh hari aku sudah bermimpi mengikuti lomba adu kecerdasan sekelas olimpiade nasional, aku sudah mempersiapkannya matang-matang sejak pertama aku ditunjuk sebagai perwakilan sekolah.
Lalu, senyum Om Rangga semakin mekar melihat respon penuh percaya diriku.
"Iya jadi kemarin itu Ibu Hana ngasih kabar. Katanya Eveline ini punya prestasi disekolahnya. Tapi gak punya uang buat sekolahnya, ya?" Tanya Om Rangga dengan nada prihatin. Kepalanya menengok sebentar kearah Bu Hana. Meminta klarifikasi dari orang yang bersangkutan. Bu Hana mengangguk singkat tanda mengiyakan.
Aku mulai merasa tidak enak. Moodku hancur seketika ditanya pertanyaan seperti itu.
"I-Iya." Jawabku ragu-ragu. Terlalu malu untuk mengakuinya. Jujur saja aku merasa tertohok kerap kali seseorang 'menyinggung' ketidakmampuanku membayar biaya sekolah.
"Kalau boleh Om tau. Bapak kerja apa, Line?" Tanyanya seolah sengaja menyudutkanku. Jemari telunjuknya mengetuk-ngetuk paha terbalut celana hitamnya.
"Bapak.." Aku menggantungkan kalimatku. Tidak yakin apa aku harus menjawab pertanyaannya. Aku memalingkan mukaku memandang Bu Hana dengan tatapan memelas.
"Tidak apa-apa, Line. Jujur aja sama Om." Ucap Bu Hana lembut. Seakan mengerti dengan kegelisahan yang menyelimuti diriku.
"B-Bapak kerjanya jadi tukang ojek di kampung, om.." Jawabku bergetar.
"Oh begitu, kalau makan di rumah biasanya lauknya apa?"
Baiklah, menurutku pertanyaan itu tidak seharusnya terlontar. Ini diluar konteks beasiswa yang sedang kami bahas. Ini sudah menyinggung persoalan kehidupan pribadiku.
"M-Maaf?" Tanyaku retoris. Supaya Om Rangga sadar, pertanyaannya itu benar-benar tidak mengenakkan bagiku.
"Eveline.." Tegur Bu Hana, mendesakku agar mau lebih terbuka. Ekspresi wajah Bu Hana berangsur dingin. Tampak tak suka dengan sikap tertutupku.
"N-Nggak tahu Om. Eve biasa makan apa aja yang ada di meja makan." Tuturku yang semakin tertekan.
"Siapa yang biasanya masak makanan dirumah?" Tanpa jeda sedikitpun, ia kembali bertanya.
Sungguh! Sebenarnya apa esensi dari pertanyaan-pertanyaannya ini? Apakah ini berkaitan dengan beasiswa yang akan ia beri? Entah mengapa aku mulai merasa tidak yakin, pria tua dihadapanku benar-benar menawariku beasiswa.
"A-Aku."
"Loh kalau Ibu kemana, Line? Jadi kalau Eveline yang masak. Hapal dong tiap hari masak apa dirumah?" Om Rangga berbicara setengah bergurau. Ia menyandarkan tubuhnya ke badan sofa. Menyamankan dirinya.
"Err.." Aku tak tahu harus menjawab apa.
"Sudah tak perlu dijawab. Jadi benar ya Eveline ini sudah empat kali menang lomba selama sekolah?" Sambungnya dengan mimik muka santai.
"Iya Om."
"Yakin besok menang olimpiade?" Tukasnya mengulang pertanyaannya sebelumnya.
Lagi, aku mengangguk.
"Hahaha, ya sudah. Nih dari Om. Sekarang kamu ke kelas lagi. Habis istirahat, ada ulangan kan?"
Mataku melotot tidak percaya. Om Rangga tanpa ragu sedikitpun mengeluarkan tiga lembar ratusan ribu. Ia menyerahkannya padaku. Menuntun paksa tanganku mengenggam lembaran uang itu.
"Om ini banya-"
"Iya itu semuanya buat kamu, Eveline. Tenang-tenang itu bukan uang beasiswa yang om janjikan kok, itu buat jajan Eveline. Soal beasiswa, biar om ngobrol dulu sama Bu Hana dulu ya?"
Aku mengangguk pasrah seraya menerima uang pemberian Om Rangga. Jujur disepanjang usiaku, baru kali ini aku memegang uang sebanyak ini. Gemetar tanganku mengenggamnya.
Sadar kehadiranku tidak lagi dibutuhkan. Sedetik kemudian, kaki mungilku beranjak meninggalkan ruangan. Menaati perintah Om Rangga.
'
'
'
'
'
Aku mendesah lega. Ujian matematika akhirnya berlalu. Kulirik Dheane dalam satu pandangan di belakangku. Ia yang menyadarinya lantas memberiku satu kedipan mata. Senyum kepuasan tercetak dibibirnya. Pertanda bahwa peranku sebagai penolongnya selama ujian berlangsung sangat membantu.
Ia bergerak menghampiriku. Duduk di bangku kosong tepat disampingku.
"Hey? Jadi apa yang Bu Hana bicarakan denganmu di ruang kepala sekolah?"
"Emm.. entahlah. Aku lupa." Kelitku berbohong. Tak mengungkapkannya, karena aku tak mau dimusuhi Dheane. Mengatakan bahwa aku diberi beasiswa oleh seseorang? Itu pasti akan membuatnya iri.
"Yah, ya udah deh. Eh, Line. Pulang sekolah nanti ikut aku yuk pergi. Kita jalan-jalan keluar." Seru Dheane menggebu-gebu.
"K-Keluar?" Kataku membeo mengulang perkataannya. Terkejut dengan ajakannya itu. Biasanya tak ada seorangpun yang mau menawariku ajakan semacam itu, termasuk Dheane.
"Iya keluar. Ayo dong, Line. Kamu ikut ya? Udah lima tahun lho kita bareng masa ga pernah main keluar."
Dalam rangka apa Dheane berbaik hati memaksaku ikut main bersamanya sepulang sekolah? Mengapa ia tidak mengajak teman sepermainannya seperti biasanya? Aku masih bertanya-tanya. Tapi aku memilih mengesampingkan pemikiran-pemikiran itu. Tanpa berpikir panjang lagi. Aku mengangguk antusias menyetujuinya.
"Nah gitu dong. Tunggu aku sepulang sekolah nanti ya!"
Dheane beranjak kembali ke kursi yang ia singgahi. Teman-temannya yang sedari tadi menguping pembicaraan kami memasang wajah masam mereka. Seakan tak suka dengan keputusan Dheane mengajakku pergi. Bahkan mereka tanpa ragu mencibir Dheane.
Namun Dheane hanya menjulurkan lidahnya mendengar cercaan-cercaan itu. Tak mau ambil pusing dan tetap berlagak santai. Aku tak mengerti, roh apa yang telah merasuki Dheane sebenarnya? Sikapnya sudah kelewat baik terhadapku hari ini.
"Baiklah, Ibu langsung sebut hasil ulangan kalian. Dengerin baik-baik ya.."
"Ya Bu!"
'
'
'
'
'
"Eveline!!"
Tiba-tiba rengkuhan tangan mungil melingkar dileherku. Aku terkesiap menerima tindakan tak terduga itu. Dari suaranya, itu lengkingan bahagia milik Dheane. Aku memutar kepalaku, memastikan dugaanku benar.
"Dheane?" Panggilku heran. Tak mengerti dengan perilakunya ini.
"Makasih, makasih, makasih. Nggak nyangka gara-gara kamu. Nilai ulangan aku bisa sampai 91, Line!" Jeritnya sekali lagi.
"Ahaha, iya sama-sama." Aku terperangah, tertawa canggung menyadari aku menjadi pusat perhatian teman-temanku.
"Jadi kan kita pergi bareng sekarang?"
"J-Jadi." Cetusku ragu.
"Kalau begitu ayo cepat kita bergegas." Dheane menarik pergelangan tanganku pergi. Menyeret langkahku keluar kelas. Aku hanya bisa pasrah dan segera menyampirkan tas ranselku disatu punggungku buru-buru.
"Apa-apaan sih Dheane, kok dia malah ngajak si kutu kotor itu pergi ketimbang ngajakin kita?"
"Kalau soal ngebantuin dia pas ulangan sih kita juga bisa."
Celetukan-celetukan seperti itulah yang kira-kira menyapa gendang telingaku disela-sela kepergian kami. Membuatku meringis mendengarnya. Baik diriku maupun Dheane tak membuka mulut merespon ucapan-ucapan itu. Aku hanya bisa menelannya, sedang Dheane sama sekali tidak berniat mengindahkannya.
Sampai di gerbang sekolah, mata Dheane bergerilya. Mencari seseorang dari padatnya siswa siswi dan pengantar yang berbondong-bondong keluar sekolah. Ramainya orang yang memadati pintu gerbang, membuat Dheane sedikit kesulitan menemukan sosok yang ia cari.
Sampai kemudian, aku sadar siapa yang Dheane cari.
0
