- Beranda
- Stories from the Heart
Life of Evelyn
...
TS
alexisrene
Life of Evelyn

cover by awayaye
Quote:
Title: Life of Evelyn
Model: Cerita fiksi
Genre: Family, Romance, Drama
Warning Content: Incest, Lesbian
Sinopsis:
Model: Cerita fiksi
Genre: Family, Romance, Drama
Warning Content: Incest, Lesbian
Sinopsis:
Rena Eveline, yang kelak bernama Emma Evelyn Ardianata adalah sosok gadis kecil yang dilahirkan dari keluarga miskin di pinggiran ibukota provinsi. Semasa kecil, ibunya selalu mengajarkannya membaca dan menulis. Sampai tiba suatu masa, ibunya pergi meninggalkannya bersama sang ayah. Ibunya tak pernah memberi kabar tentang kepergiannya ataupun kondisinya diluarsana. Kepergiannya sama sekali tidak meninggalkan jejak.
Hal itu menyebabkan sang ayah depresi. Bertahun-bertahun, sang ayah melampiaskan seluruh kekesalannya pada Eveline. Hingga tepat di tahun kelima Eveline bersekolah. Seseorang datang memberi bantuan. Seseorang yang akan memberinya dunia yang baru. Seseorang yang dapat memenuhi hasrat haus akan ilmunya.
Seseorang yang kemudian ia sebut sebagai kakak angkatnya. Seorang anak konglomerat negeri ini. Yang memintanya membangun usahanya kembali.
Quote:
Diubah oleh alexisrene 24-08-2016 18:05
anasabila memberi reputasi
1
3.7K
41
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
alexisrene
#1
Prolog
Rintikan hujan membasuh setapak jalan. Guyurannya semakin deras menghantam bumi seiring berjalannya waktu. Langit seakan datang menutupi tangis kemalangan sosok gadis mungil berpakaian kemeja putih lusuh terbasuh air hujan.
Pakaian seragam sekolah yang melekat ditubuhnya sudah tak lagi berbentuk. Kala itu, rembulan bersembunyi dibalik gumpalan awan hitam. Sang bulan tak ingin memandang gadis malang itu, yang duduk bersimpuh pasrah di depan pintu rumahnya.
Eveline, tiada hentinya menyeka garis air mata di pipinya. Tangan mungilnya bergerak-gerak mengusap genangan-genangan kristal bening itu. Tangisnya terus terkumandang, menyaingi suara gemuruh hujan di udara. Ia tak berdaya, tubuhnya sudah lemas tak menyisakan tenaga. Sedang malam telah larut.
Sudah nyaris empat jam lamanya ia dibiarkan terlantar. Sang gadis tak bergeming di posisinya semula sejak itu. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia hanya bisa meratapi kesalahannya; mengabaikan kewajiban membersihkan kandang ayam milik sang ayah karena tak sengaja tertidur sepanjang sore selepas pulang sekolah. Bukan tanpa sebab ia menjadi lalai seperti itu, melainkan ia harus mengikuti pelajaran tambahan hari ini. Bagaimanapun, ia kini menjadi peserta olimpiade tingkat sekolah dasar mewakili sekolahnya.
Letak rumah Eveline yang terletak tepat ditengah belantara hutan menyulitkan orang-orang menyadari penderitaannya. Tak ayal, ia hanya bisa meraung-raung dibawah guyuran hujan tanpa ada satu orangpun yang mendengarkan. Sedang satu penghuni rumah lainnya tengah mentulikan telinganya ditemani beberapa botol minuman keras.
Eveline tampaknya harus berbaring diteras rumah dengan tetap mengenakan busana sekolah malam ini. Ia berhenti menangis tatkala kelopak matanya sudah terasa berat. Tiada gunanya pula ia terus mengemis meminta maaf pada ayahnya. Nurani sang ayah sudah lama mati.
Eveline membereskan ceceran buku-bukunya. Beberapa saat lalu ketika amarah sang ayah berada dipuncaknya, buku-buku Eveline memang secara sengaja dibuang kesembarang arah keluar rumah. Kini setelah tangis Eveline sedikit mereda, ia merangkak memungguti satu persatu buku-bukunya. Sebagian telah lusuh terkena terpaan air hujan. Ia menepuk-nepuk bukunya hingga tetes air hujan menetes dari sela-sela helai kertas. Eveline hanya bisa merenggut dalam hati ketika tinta-tinta yang mengisi bukunya meluber. Ia takkan bisa menggunakan atau membaca buku-bukunya lagi..
Eveline meraih tas hijau toscanya yang dihiasi bercak-bercak noda tanah. Membuka lemah resletingnya, lalu menempatkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia hendak jadikan tasnya sandaran kepala, agar ia tetap bisa terlelap dalam keadaan seperti itu. Ia sudah berencana untuk tetap sekolah keesokan paginya, setelah membenahi beberapa hal buah dari kesalahannya di mata sang ayah.
Setelah menopangkan kepalanya diatas tas ransel miliknya dan merebahkan tubuhnya menghadap keluar, kilat petir langsung melumat-lumat dihadapannya, menggelegar menyapa indra pendengaran Eveline. gadis itu tak sedikitpun merasa getir. kantuk telah menyerang kesadarannya. Tangisnya benar-benar telah merampas tenaganya. Tak membutuhkan waktu lama sampai ia benar-benar terjatuh ke alam mimpi. Sementara ayahnya tak kunjung memberinya izin memasuki rumah.
'
'
'
Life of Evelyn
'
'
'
Kelopak mataku perlahan menampilkan iris aquaku. Bukan karena kerasnya lantai marmer yang mengusik tidurku. Melainkan gendang telingaku merasa asing karena tidak mendengar kebisingan dari arah luar. Memastikan keadaan disekitarku, aku mengerjap-ngerjapkan mataku, menghilangkan pandangan kabur dari lensa mataku.
Air hujan telah berhenti menetes. Langit berangsur membiru. Samar-samar, aku bisa mendengar ayam mulai berkokok. Menandakan waktu menjelang pagi. Kontan, meluruskan benang kusut ingatanku tentang apa yang terjadi tempo waktu. Cepat-cepat aku bangkit dari posisi berbaringku. Membenahi penampilanku selama beberapa jenak.
Menegakkan tubuhku, mataku berpedar. Mengamati keadaan disekelilingku dan mencari tahu apa yang bisa kulakukan untuk saat ini. Aku tak mau membuang-buang waktuku, aku tak mau ayah memarahiku lagi. Setidaknya aku ingin pertengkaran ini berakhir.
Aku beranjak setelah mataku tertuju pada kandang ayam yang menjadi titik permasalahan kemarin malam. Memutar langkah kaki menuju sumur di halaman belakang rumah. Kaki beralas sandal jepitku menciptakan suara gemericik dari sisa-sisa genangan air hujan. Disekitar rumah kumuhku, genangan-genangan air itu berubah menjadi lumpur. Mengharuskanku agar lebih berhati-hati melangkahkan kaki supaya cipratan lumpur itu tidak akan menjadi noda membekas di rok seragam merahku.
Sumur dibelakang rumah tak dilengkapi penerangan apapun. Sebagai alternatif penerangan, aku melebarkan pupil mataku. Aku hanya bisa mengandalkan kemampuanku itu saat mencari beberapa benda yang akan membantuku menuntaskan pekerjaanku.
Setelah menarik sikat keluar dari sarangnya disela-sela tumpukkan barang rerongsokkan. Aku merenggangkan sikut-sikut tanganku, mempersiapkan diri menarik tambang. Kuularkan tangan mencengkram tambang. Menariknya sepenuh tenaga. Meskipun ini bukan kali pertamaku menemba air di sumur. Tetap saja masih terasa berat kuangkat. Gesekan kulit tanganku pada utas tali tambang akan menimbulkan bekas kemerahan yang terasa panas.
Ember hitam berisi tiga perempat air menyembul keluar. Tanganku secara cekatan meraihnya, melepas kaitan tambang diujung atasnya. Urat-urat tanganku seketika menampaki sekitaran tangan. Tidak mudah menjaga keseimbangan tubuhku bahkan ketika aku telah mengerahkan kedua tangan untuk mengiring ember berisi air ini.
Langit biru masih terbentang luas walau kilas lembayung di ufuk timur mulai membayangi. Burung-burung mengepakkan sayapnya menembus udara. Mengeluaran cicitan merdu setiap kali melintas. Perhatianku terpaku pada kotoran-kotoran yang berserakan di sekitar kandang. Bau busuk langsung menusuk indra penciumanku. Tentu saja itu bersumber dari objek benda tersebut. Aku hanya bisa mendesah pasrah sambari menempatkan posisi tumit kakiku duduk bersimpuh.
Membanjur tempat-tempat tertentu dengan basuhan air sumur. Aku mulai menyikatinya intens. Ayah akan murka jika ada tempat yang belum tersikat. Mendesakku lebih telaten memerhatikan kotoran-kotoran itu sirna. Lebam memar berwarna biru di punggungku menjadi tamparan keras bagiku. Aku tak ingin kejadian serupa seperti tadi malam terulang kembali.
Aku mengulangi pengisian air di sumur sebanyak tiga kali, ember kecil hitam ini tak mampu menampung banyak air. Keringat mengucur membasahi pelipisku. Akhir pekerjaanku, sinar matahari mulai menerpa kulit kuning langsatku. Menerangi separuh tubuh yang mengkilap karena keringatku itu. Napasku tersengal-sengal, namun demikian kelegaan telah menyelimuti hatiku. Akhirnya tuntas juga.
Aku harus segera berbilas dan membenahi penampilanku sebelum berangkat ke sekolah. Menengok sekilas kearah pintu rumah yang masih tertutup rapat, aku memastikan tidak ada sedikitpun tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah. Itu memudahkanku melakukan aktivitasku dan mengendap-ngendap keluar.
Seusai menempatkan peralatan-peralatan itu ke tempat asalnya. Aku melucuti lembaran pakaianku hingga tubuhku polos. Tubuhku menguarkan aroma busuk. Tentu ini akan menjadi masalah di lingkungan sekolahku jikalau teman-temanku menghirup aroma busuk ini. Aku tidak mau ragaku menjadi bahan caci maki dan olok-olok teman-temanku,---tidak lagi. Cukuplah penderitaanku ini dialami di lingkungan keluargaku saja.
'
'
'
Matahari bersinar terik menusuk ujung kepala. Waktu telah menunjukkan pukul tengah hari. Waktu istirahat sekolah. Mataku masih terpaku tulisan-tulisan yang tertera di buku tulisku. Menyalin ulang catatanku yang sebelumnya telah luntur dibasahi hujan.
Pandanganku tidak sedikitpun beralih darisana, meski godaan aroma masakan kantin yang mengudara seantaro kelas nyaris membuyarkan konsentrasiku. Tanganku terus bergerak-gerak lihai menorehkan tinta hitam diatas kertas-kertas bukuku. Sesekali aku menghela napas ketika rasa sesak menyeruak dihati. Sebenarnya aku tidak perlu terburu-buru menyalin catatan. Tapi aku tengah menyibukkan diri supaya tidak terbesit dalam pikiranku ingin membeli jajanan makanan seperti anak-anak lainnya.
"Hey Line?" Sapa satu suara feminim disampingku. Sosok itu menyentuh pundakku halus.
"Ya?" Menoleh ke asal suara, aku memandang heran raut muka penuh kecemasan Dheane. Gadis itu tengah mengenggam sekotak susu ditangannya, sedang satu tangannya terulur menyentuh pundakku.
"Kamu gak ngelicin seragam kamu, Line? Kok kusut banget sih?" Tanya Dheane penasaran. Matanya mengamati rupa pakaianku. Ia memindahkan posisi tangannya sedikit kebawah. Jemarinya memilin-milin pakaianku. Memastikan dugaannya benar.
Aku mengikuti arah pandang Dheane. Tampak jelas garis-garis kusut menghiasi kemeja seragam putihku. Tidak heran, Dheane sampai menyadarinya. Aku menghirup napas, mengumpulkan keberanian menjawab pertanyaan Dheane.
"Ah iya, Dhen. Aku kemarin naruhnya asal-asalan di kamar. Jadi ya gini deh." Dustaku diiringi tawa kikuk.
"Hmm, gitu ya. Ya sudah. Kamu mau ini ga?" Dheane sigap mengeluarkan satu lagi kotak susu dari dalam saku roknya. Ia lekas menaruhnya diatas mejaku. Gerakan gesitnya membuatku tak mampu menepis tawarannya.
"Enggak, Dhen. Makasih, aku lagi ga haus." Meraih benda itu, aku kembali menyodorkan susu kotak itu pada Dheane.
"Ehh, tapi susu juga bisa ngilangin laper loh. Kan gawat kalau ulangan nanti kamu ga fokus ngerjainnya gara-gara kelaperan. Ntar aku ga bisa minta contekan." Dheane terkikik geli seraya melangkah pergi meninggalkanku. Tak menggubris segala bentuk penolakanku.
"Dheane.." Gumamku lirih menyebut gadis cantik berambut legam sebahu itu. Dheane hanyalah salah satu dari segelintir orang yang sudi menganggapku seorang teman. Kebanyakan teman sekolahku menganggapku sebagai makhluk miskin dan kotor yang haram mereka dekati.
Nyaris tidak satu orangpun selain Dheane mau menghampiriku selama jam istirahat berlangsung. Kebanyakan dari mereka membentuk kubu-kubu di suatu tempat tertentu. Aku? Aku tidak masuk dalam kubu manapun. Jelas mereka akan menolakku bergabung sekalipun aku memintanya. Bahkan kehadiranku dikelas dianggap seperti hama. Kalau bukan karena prestasiku, aku takkan sanggup melanjutkan sekolahku. Tidak sepeser uangpun aku berikan kepada pihak sekolah. Ibu Hana, guru matematikaku yang merangkap sebagai kepala sekolah. Memberikanku keringanan selagi aku menyumbang prestasi untuk sekolahku. Hal itu dianggap tindakan diskriminasi bagi siswa siswi lain. Mereka jadi menyisihkanku dari lingkar pergaulan mereka.
Aku terus berkutat dengan buku catatanku. Sampai sepatah kata terucap dari bibir wanita paruh baya yang baru saja tiba diambang pintu kelas,
"Eveline, ikut ibu sebentar."
***
Rintikan hujan membasuh setapak jalan. Guyurannya semakin deras menghantam bumi seiring berjalannya waktu. Langit seakan datang menutupi tangis kemalangan sosok gadis mungil berpakaian kemeja putih lusuh terbasuh air hujan.
Pakaian seragam sekolah yang melekat ditubuhnya sudah tak lagi berbentuk. Kala itu, rembulan bersembunyi dibalik gumpalan awan hitam. Sang bulan tak ingin memandang gadis malang itu, yang duduk bersimpuh pasrah di depan pintu rumahnya.
Eveline, tiada hentinya menyeka garis air mata di pipinya. Tangan mungilnya bergerak-gerak mengusap genangan-genangan kristal bening itu. Tangisnya terus terkumandang, menyaingi suara gemuruh hujan di udara. Ia tak berdaya, tubuhnya sudah lemas tak menyisakan tenaga. Sedang malam telah larut.
Sudah nyaris empat jam lamanya ia dibiarkan terlantar. Sang gadis tak bergeming di posisinya semula sejak itu. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia hanya bisa meratapi kesalahannya; mengabaikan kewajiban membersihkan kandang ayam milik sang ayah karena tak sengaja tertidur sepanjang sore selepas pulang sekolah. Bukan tanpa sebab ia menjadi lalai seperti itu, melainkan ia harus mengikuti pelajaran tambahan hari ini. Bagaimanapun, ia kini menjadi peserta olimpiade tingkat sekolah dasar mewakili sekolahnya.
Letak rumah Eveline yang terletak tepat ditengah belantara hutan menyulitkan orang-orang menyadari penderitaannya. Tak ayal, ia hanya bisa meraung-raung dibawah guyuran hujan tanpa ada satu orangpun yang mendengarkan. Sedang satu penghuni rumah lainnya tengah mentulikan telinganya ditemani beberapa botol minuman keras.
Eveline tampaknya harus berbaring diteras rumah dengan tetap mengenakan busana sekolah malam ini. Ia berhenti menangis tatkala kelopak matanya sudah terasa berat. Tiada gunanya pula ia terus mengemis meminta maaf pada ayahnya. Nurani sang ayah sudah lama mati.
Eveline membereskan ceceran buku-bukunya. Beberapa saat lalu ketika amarah sang ayah berada dipuncaknya, buku-buku Eveline memang secara sengaja dibuang kesembarang arah keluar rumah. Kini setelah tangis Eveline sedikit mereda, ia merangkak memungguti satu persatu buku-bukunya. Sebagian telah lusuh terkena terpaan air hujan. Ia menepuk-nepuk bukunya hingga tetes air hujan menetes dari sela-sela helai kertas. Eveline hanya bisa merenggut dalam hati ketika tinta-tinta yang mengisi bukunya meluber. Ia takkan bisa menggunakan atau membaca buku-bukunya lagi..
Eveline meraih tas hijau toscanya yang dihiasi bercak-bercak noda tanah. Membuka lemah resletingnya, lalu menempatkan buku-bukunya ke dalam tas. Ia hendak jadikan tasnya sandaran kepala, agar ia tetap bisa terlelap dalam keadaan seperti itu. Ia sudah berencana untuk tetap sekolah keesokan paginya, setelah membenahi beberapa hal buah dari kesalahannya di mata sang ayah.
Setelah menopangkan kepalanya diatas tas ransel miliknya dan merebahkan tubuhnya menghadap keluar, kilat petir langsung melumat-lumat dihadapannya, menggelegar menyapa indra pendengaran Eveline. gadis itu tak sedikitpun merasa getir. kantuk telah menyerang kesadarannya. Tangisnya benar-benar telah merampas tenaganya. Tak membutuhkan waktu lama sampai ia benar-benar terjatuh ke alam mimpi. Sementara ayahnya tak kunjung memberinya izin memasuki rumah.
'
'
'
Life of Evelyn
'
'
'
Kelopak mataku perlahan menampilkan iris aquaku. Bukan karena kerasnya lantai marmer yang mengusik tidurku. Melainkan gendang telingaku merasa asing karena tidak mendengar kebisingan dari arah luar. Memastikan keadaan disekitarku, aku mengerjap-ngerjapkan mataku, menghilangkan pandangan kabur dari lensa mataku.
Air hujan telah berhenti menetes. Langit berangsur membiru. Samar-samar, aku bisa mendengar ayam mulai berkokok. Menandakan waktu menjelang pagi. Kontan, meluruskan benang kusut ingatanku tentang apa yang terjadi tempo waktu. Cepat-cepat aku bangkit dari posisi berbaringku. Membenahi penampilanku selama beberapa jenak.
Menegakkan tubuhku, mataku berpedar. Mengamati keadaan disekelilingku dan mencari tahu apa yang bisa kulakukan untuk saat ini. Aku tak mau membuang-buang waktuku, aku tak mau ayah memarahiku lagi. Setidaknya aku ingin pertengkaran ini berakhir.
Aku beranjak setelah mataku tertuju pada kandang ayam yang menjadi titik permasalahan kemarin malam. Memutar langkah kaki menuju sumur di halaman belakang rumah. Kaki beralas sandal jepitku menciptakan suara gemericik dari sisa-sisa genangan air hujan. Disekitar rumah kumuhku, genangan-genangan air itu berubah menjadi lumpur. Mengharuskanku agar lebih berhati-hati melangkahkan kaki supaya cipratan lumpur itu tidak akan menjadi noda membekas di rok seragam merahku.
Sumur dibelakang rumah tak dilengkapi penerangan apapun. Sebagai alternatif penerangan, aku melebarkan pupil mataku. Aku hanya bisa mengandalkan kemampuanku itu saat mencari beberapa benda yang akan membantuku menuntaskan pekerjaanku.
Setelah menarik sikat keluar dari sarangnya disela-sela tumpukkan barang rerongsokkan. Aku merenggangkan sikut-sikut tanganku, mempersiapkan diri menarik tambang. Kuularkan tangan mencengkram tambang. Menariknya sepenuh tenaga. Meskipun ini bukan kali pertamaku menemba air di sumur. Tetap saja masih terasa berat kuangkat. Gesekan kulit tanganku pada utas tali tambang akan menimbulkan bekas kemerahan yang terasa panas.
Ember hitam berisi tiga perempat air menyembul keluar. Tanganku secara cekatan meraihnya, melepas kaitan tambang diujung atasnya. Urat-urat tanganku seketika menampaki sekitaran tangan. Tidak mudah menjaga keseimbangan tubuhku bahkan ketika aku telah mengerahkan kedua tangan untuk mengiring ember berisi air ini.
Langit biru masih terbentang luas walau kilas lembayung di ufuk timur mulai membayangi. Burung-burung mengepakkan sayapnya menembus udara. Mengeluaran cicitan merdu setiap kali melintas. Perhatianku terpaku pada kotoran-kotoran yang berserakan di sekitar kandang. Bau busuk langsung menusuk indra penciumanku. Tentu saja itu bersumber dari objek benda tersebut. Aku hanya bisa mendesah pasrah sambari menempatkan posisi tumit kakiku duduk bersimpuh.
Membanjur tempat-tempat tertentu dengan basuhan air sumur. Aku mulai menyikatinya intens. Ayah akan murka jika ada tempat yang belum tersikat. Mendesakku lebih telaten memerhatikan kotoran-kotoran itu sirna. Lebam memar berwarna biru di punggungku menjadi tamparan keras bagiku. Aku tak ingin kejadian serupa seperti tadi malam terulang kembali.
Aku mengulangi pengisian air di sumur sebanyak tiga kali, ember kecil hitam ini tak mampu menampung banyak air. Keringat mengucur membasahi pelipisku. Akhir pekerjaanku, sinar matahari mulai menerpa kulit kuning langsatku. Menerangi separuh tubuh yang mengkilap karena keringatku itu. Napasku tersengal-sengal, namun demikian kelegaan telah menyelimuti hatiku. Akhirnya tuntas juga.
Aku harus segera berbilas dan membenahi penampilanku sebelum berangkat ke sekolah. Menengok sekilas kearah pintu rumah yang masih tertutup rapat, aku memastikan tidak ada sedikitpun tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah. Itu memudahkanku melakukan aktivitasku dan mengendap-ngendap keluar.
Seusai menempatkan peralatan-peralatan itu ke tempat asalnya. Aku melucuti lembaran pakaianku hingga tubuhku polos. Tubuhku menguarkan aroma busuk. Tentu ini akan menjadi masalah di lingkungan sekolahku jikalau teman-temanku menghirup aroma busuk ini. Aku tidak mau ragaku menjadi bahan caci maki dan olok-olok teman-temanku,---tidak lagi. Cukuplah penderitaanku ini dialami di lingkungan keluargaku saja.
'
'
'
Matahari bersinar terik menusuk ujung kepala. Waktu telah menunjukkan pukul tengah hari. Waktu istirahat sekolah. Mataku masih terpaku tulisan-tulisan yang tertera di buku tulisku. Menyalin ulang catatanku yang sebelumnya telah luntur dibasahi hujan.
Pandanganku tidak sedikitpun beralih darisana, meski godaan aroma masakan kantin yang mengudara seantaro kelas nyaris membuyarkan konsentrasiku. Tanganku terus bergerak-gerak lihai menorehkan tinta hitam diatas kertas-kertas bukuku. Sesekali aku menghela napas ketika rasa sesak menyeruak dihati. Sebenarnya aku tidak perlu terburu-buru menyalin catatan. Tapi aku tengah menyibukkan diri supaya tidak terbesit dalam pikiranku ingin membeli jajanan makanan seperti anak-anak lainnya.
"Hey Line?" Sapa satu suara feminim disampingku. Sosok itu menyentuh pundakku halus.
"Ya?" Menoleh ke asal suara, aku memandang heran raut muka penuh kecemasan Dheane. Gadis itu tengah mengenggam sekotak susu ditangannya, sedang satu tangannya terulur menyentuh pundakku.
"Kamu gak ngelicin seragam kamu, Line? Kok kusut banget sih?" Tanya Dheane penasaran. Matanya mengamati rupa pakaianku. Ia memindahkan posisi tangannya sedikit kebawah. Jemarinya memilin-milin pakaianku. Memastikan dugaannya benar.
Aku mengikuti arah pandang Dheane. Tampak jelas garis-garis kusut menghiasi kemeja seragam putihku. Tidak heran, Dheane sampai menyadarinya. Aku menghirup napas, mengumpulkan keberanian menjawab pertanyaan Dheane.
"Ah iya, Dhen. Aku kemarin naruhnya asal-asalan di kamar. Jadi ya gini deh." Dustaku diiringi tawa kikuk.
"Hmm, gitu ya. Ya sudah. Kamu mau ini ga?" Dheane sigap mengeluarkan satu lagi kotak susu dari dalam saku roknya. Ia lekas menaruhnya diatas mejaku. Gerakan gesitnya membuatku tak mampu menepis tawarannya.
"Enggak, Dhen. Makasih, aku lagi ga haus." Meraih benda itu, aku kembali menyodorkan susu kotak itu pada Dheane.
"Ehh, tapi susu juga bisa ngilangin laper loh. Kan gawat kalau ulangan nanti kamu ga fokus ngerjainnya gara-gara kelaperan. Ntar aku ga bisa minta contekan." Dheane terkikik geli seraya melangkah pergi meninggalkanku. Tak menggubris segala bentuk penolakanku.
"Dheane.." Gumamku lirih menyebut gadis cantik berambut legam sebahu itu. Dheane hanyalah salah satu dari segelintir orang yang sudi menganggapku seorang teman. Kebanyakan teman sekolahku menganggapku sebagai makhluk miskin dan kotor yang haram mereka dekati.
Nyaris tidak satu orangpun selain Dheane mau menghampiriku selama jam istirahat berlangsung. Kebanyakan dari mereka membentuk kubu-kubu di suatu tempat tertentu. Aku? Aku tidak masuk dalam kubu manapun. Jelas mereka akan menolakku bergabung sekalipun aku memintanya. Bahkan kehadiranku dikelas dianggap seperti hama. Kalau bukan karena prestasiku, aku takkan sanggup melanjutkan sekolahku. Tidak sepeser uangpun aku berikan kepada pihak sekolah. Ibu Hana, guru matematikaku yang merangkap sebagai kepala sekolah. Memberikanku keringanan selagi aku menyumbang prestasi untuk sekolahku. Hal itu dianggap tindakan diskriminasi bagi siswa siswi lain. Mereka jadi menyisihkanku dari lingkar pergaulan mereka.
Aku terus berkutat dengan buku catatanku. Sampai sepatah kata terucap dari bibir wanita paruh baya yang baru saja tiba diambang pintu kelas,
"Eveline, ikut ibu sebentar."
Diubah oleh alexisrene 11-08-2016 22:36
0
