- Beranda
- Stories from the Heart
Sembunyi Sembunyi Sayang
...
TS
chocolavacake
Sembunyi Sembunyi Sayang
“
No one can separate us
No one
- TSH -
No one can separate us
No one
- TSH -
Spoiler for Index:
Prolog
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Spoiler for Prolog:
Apa sihyang terlintas di pikiran kalian ketika mendengar kota 'Jember'?
Anang Hermansyah? Dewi Persik? Opick? Atau Tembakau? Benar, mereka berasal dari Jember dan deretan nama itu sudah jadi langganan saat aku mencoba memperkenalkan diri dengan menyisipkan kota asalku.
Kalau kalian punya waktu, datanglah kemari. Bagiku dan mungkin bagi siapapun yang lahir di tanah ini, Jember adalah sebuah mahakarya. Kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, maka menurutku Jember diciptakan ketika Tuhan sedang berbahagia. Lihat saja, kabupaten ini memiliki wilayah dari pegunungan hingga lautan. Di daerah utara sana, membentang gagah Pegunungan Hyang dengan Gunung Argopuro sebagai atapnya. Di bagian timur, berjajar rangkaian Pegunungan Ijen yang selalu mewarnai keindahan matahari terbit di waktu fajar. Sedangkan di wilayah selatan terhampar Samudra Hindia yang katanya menjadi teritorial Ratu Pantai Selatan. Tak hanya itu, mungkin karena benar saat itu Tuhan sedang berbahagia, wilayah kami dikaruniai tanah yang subur. Padi, jagung, tembakau, kopi, kakao, serta beragam jenis tanaman dapat tumbuh di sini. Sungai Bedadung yang mengalir dari Pegunungan Hyang di bagian Tengah, Sungai Mayang yang bersumber dari Pegunungan Raung di bagian timur, dan Sungai Bondoyudo yang bersumber dari Pegunungan Semeru di bagian barat, bahu membahu membantu kami mengairi irigasi para petani. Banyak hal yang harus kalian ketahui tentang tempat kelahiranku ini, nanti akan aku ceritakan.
Tapi, selain besarnya kekayaan alam yang dianugrahkan Yang Maha Agung, ada satu hal yang membuatku selalu rindu untuk pulang.
Kenangan.
Benar, sehebat dan seagung apapun seseorang pasti memiliki kenangan, yang akan selalu tersimpan di otaknya, mambantu dalam bertahan, atau bahkan sebagai motivator untuk berjuang. Masa laluku, yang selanjutnya tertata rapi dalam gelembung-gelembung kenangan, membekas indah pada dinding-dinding putih sebuah sekolah.
Mungkin kalian sudah berulang kali membaca novel, cerpen, atau menonton film, sinetron, FTV, dengan latar belakang SMA. Akupun tidak membantah, karena seperti orang-orang bilang, SMA merupakan masa yang paling indah. Betapa tidak, topik tak terhingga selalu dapat dibahas dan menjadi gelak tawa saat reuni berlangsung. Tawa, tangis, canda, lara, cinta, setiap dari kalian pasti mengalaminya. Begitu juga aku.
Ada berjuta kisah berlatar SMA yang jauh lebih baik dan tersaji dengan apik di luar sana. Tapi ini kisahku, aku hanya ingin bercerita, berbagi gelembung kenangan yang selalu aku tutup rapat sebelumnya.
Spoiler for Gelembung 1: Ficus benjamina:
Yang aku ingat, hari itu bukanlah hari terbaikku. Karena sejak awal, aku bingung harus bagaimana.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Diubah oleh chocolavacake 21-11-2020 13:55
anasabila memberi reputasi
1
35.5K
Kutip
295
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chocolavacake
#256
Spoiler for Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun:
Hari ini aku bergitu bersukacita.
Tiga malam sebelumnya aku sama sekali tak bisa tidur. Kata Riana, adikku, aku lelap sebentar, mengigau-ngigau. Tak terhitung jari tiba-tiba aku melompat bangun, bersimbah keringat dengan dada kembang kempis. Mimpi buruk kerap kali menghantuiku. Yang terburuk, aku bermimpi melihat tart berbentuk bebek yang akan kupersembahkan tiba-tiba berubah bentuk menjadi wajah Ihsan, persis sempurna di setiap garis wajahnya. Namun, hal-hal di luar akal sehat itu tak sedikitpun membuatku gentar. Kata orang, mimpi adalah pertanda akan suatu kejadian di masa mendatang, dan biasanya kejadian itu berbanding terbalik dengan mimpi itu.
Aku lebih sering terbangun lalu berdiri di depan kaca, lama sekali. Kupandangi diriku sendiri, bertanya-tanya sendiri, dan kujawab sendiri. Di saat-saat seperti ini, kucoba sebisa mungkin melatih gestur tubuhku, agar nanti tak kaku di hadapan Naya.
Lain daripada itu, seringkali pikiran-pikiran ganjil menyentil lalu menjatuhkan mentalku. Ingatan akan kejadian tak sedap kemarin berulang kali mengubur niatku. Lalu, sudah menjadi kebiasaanku sebelumnya, berbagai kemungkinan pahit yang akan kualami nanti satu persatu kugambarkan dan kusambung-sambungkan sendiri.
Namun, bila mengingat bagaimana manisnya perkenalan kami dulu, bagaimana indahnya hari demi hari yang kita lalui bersama, atau bagaimana syahdunya janji demi janji yang telah kami ikrarkan, semangatku kembali bergelora, merinding persis kesebelasan PSSI yang tengah didengungkan Indonesia Raya di Gelora Bung Karno.
***
Matahari memadam. Sejak pulang sekolah aku telah bersemayam di rumah Rama. Berkali-kali ia menawariku makan, tapi wajah gugupku menyatakan aku telah kehilangan selera apapun kecuali atas seorang perempuan yang akan kutemui, lima jam lima puluh menit dari sekarang.
“Serius, Ji? Nggak papa?” tanya Rama ke tujuh belas kalinya.
Ia sedikit khawatir setelah tahu Disty akan menemani kami nanti. Alasannya? Entahlah. Hanya Rama dan Tuhan yang tahu. Lagipula, menurutku, tak ada salahnya Disty ikut. Semakin lama semakin meriah bukan? Toh tart pesananku masih berada di toko tantenya.
Rencananya, tepat jam 12 malam nanti kami bertiga mendatangi rumah Naya. Aku, Rama, dan Disty sudah punya job desk masing-masing. Aku, sebagai tokoh utama sudah tentu akan menyandang tart yang diatasnya berdiri dua angka dengan api menyala-nyala. Di ambang pintu rumah Naya, aku akan diapit dua sahabatku. Disty nanti akan membawa buket bunga yang jauh-jauh hari telah kupesan di sebuah floristdekat stasiun, sekaligus merangkap tukang foto. Rama, yang nanti berada di sebelah kananku, akan membawa berupa-rupa balon, tak lupa tangannya memegang sebuah kotak terbungkus kertas merah muda yang di dalamnya berisi kado untuk Naya.
Sesuai info dari Nafla, malam ini Naya sendirian di rumah. Ayah, ibu, kakak, dan kedua adiknya sedang tak berada di rumah. Acara keluarga katanya. Naya tak ikut, tugas yang bertumpuk-tumpuk memaksanya untuk tinggal di rumah. Sempat kuajak Nafla untuk memberi Naya kejutan malam nanti. Namun ia menolak. Ia dan teman-teman kelasnya sudah mempersiapkan kejutan mereka sendiri esok hari.
Jam 9 malam Disty datang. Sejenak aku dan Rama terpana dibuatnya. Disty lebih cantik dari biasanya. Dress kasual berwarna biru yang ia kenakan serasi dengan bentuk mukanya. Dress itu berlengan seperdelapan panjang tangannya, roknya menggantung anggun pada batas kesopanan yang diperbolehkan. Rambut panjangnya dibiarkan terurai di depan bahu kanan. Belum lagi bandana dengan detail bunga sebesar kepalan tangan memahkotai manis wajahnya. Disty malam itu lebih seperti princess-princess di film-film animasi Disney.
Segera kusambar sebuah kotak yang ada di tangan Disty. Wow! Aku takjub saat pertama kali membukanya. Tart pesananku untuk Naya benar-benar tak terbayangkan sama sekali.
Tart itu berbentuk bundar, sekitar dua puluh lima senti. Warna utamanya biru. Di setiap sisinya ditempel sedemikian rupa dengan lempeng-lempeng cokelat yang sebelumnya telah dibentuk potongan kayu. Cokelat-cokelat itu disusun berjajar membentuk seperti bak mandi yang terbuat kayu. Di sela-selanya diselipkan berutir-butir krim senada dengan warna tart seperti percikan air yang hendak keluar dari bak itu. Di atasnya, mematung sekeluarga bebek mungil persis mainan bebek berwarna kuning yang biasanya selalu ada di bak mandi. Mereka acuh tak acuh padaku, asyik mandi sambil sesekali tersenyum lucu. Beberapa butir krim berwarna putih perlambang gelembung busa hinggap di kepala mereka. Di dekat mereka bertengger dua angka kombinasi satu dan sembilan yang diatasnya tertancap lilin yang siap disulut. Tak lupa, kalimat “Selamat Ulang Tahun, Tanaya Syauqia Haq” membentang di depan bak mandi itu. Ringkasnya, kue buatan tante Disty ini adalah sebuah mahakarya.
Malam kian larut, kami bertiga telah sampai di dekat rumah Naya. Masih satu jam lagi menuju jam dua belas. Rama memarkirkan mobil milik ayahnya seratus meter dari gerbang rumah Naya. Disty dan Rama, di kursi depan tak henti-hentinya mengulang skenario yang akan kami eksekusi. Sedangkan aku, termenung menegar-negarkan hati ini agar siap tempur. Maklum, seumur-umur aku tak pernah memberi kejutan ulang tahun.
“Santai, Ji. Gugupnya diabisin di sini ya,” ucap Disty pelan.
Kutarik nafas panjang berulang kali, mencoba meredakan detak jantung yang semakin memburu dan keringat dingin yang tak berhenti mengalir. Melihatku seperti orang ketakutan, Rama berinisiatif mencairkan suasana dengan bualan kocaknya. Derai tawa berkali-kali pecah antara Disty dan Rama, namun tidak untukku. Di tengah remang-remang mobil yang lampunya tidak Rama hidupkan, nyaliku semakin menciut.
Pukul 23.55, kami bertiga terdiam. Hampir secara bersamaan Disty dan Rama menoleh padaku.
“Siap?” tanya Rama meyakinkanku.
“Siap, tentu, siap,” jawabku terbata-bata.
“Apapun yang terjadi, senervous apapun nanti, senyum aja Ji,” perintah Disty.
“Sisanya, serahin ke kami,” lanjutnya mantab.
Aku mengangguk setuju. Tersenyum memang bisa menjadi senjata untuk segala persoalan.
Tanpa dikomando, kami telah siap dengan perlengkapan masing-masing. Disty telah memangku buket bunga berukuran jumbo, dengan sebuah kamera di tangan kanannya. Di dekat Rama tergantung bermacam-macam balon yang hampir mengganggu pandangannya. Dan aku, kunyalakan lilin tart di pangkuanku.
“Bismillahirohmanirohim,” gumam kami dalam hati.
Belum sempat menyalakan mobil, sebuah mobil melaju pelan dari samping kanan kami. Lalu, kami bertiga terperanjat ketika mobil itu berhenti tepat di depan pintu gerbang rumah Naya.
Pikiranku mulai kalut. Kemungkinan-kemungkinan buruk malam-malam lalu perlahan menjenuhkan akal sehatku. Bila isi mobil itu keluarga Naya, tak jadi masalah. Hitung-hitung aku berkenalan dengan mereka. Belum lagi aku bersama dua orang yang siap membantuku kapan saja.
Dari jarak sejauh ini, aku tak terlalu jelas melihat. Satu persatu orang-orang di dalam mobil itu keluar. Dari pintu depan sebelah kiri, seorang wanita keluar sambil membawa seikat bunga, mirip bunga di pangkuan Disty. Meski samar, aku yakin wanita itu adalah ibu Naya, postur tubuh dan cara berjalannya masih kuingat sama persis saat di koridor rumah sakit. Dari pintu kemudi, seorang bapak-bapak keluar dengan sekotak kado di tangannya. Lalu, berduyun-duyun tiga orang pria membawa berikat-ikat balon berbentuk hati dan balon berbentuk huruf membentuk kata Naya. Kutaksir, salah satu dari mereka adalah kakak Naya dan sisanya adalah adiknya, si kembar.
Dengan saling menganggukkan kepala, kami sepakat untuk melihat lebih dekat apa yang akan terjadi di sana. Rama menghidupkan mesin dengan tanpa menyalakan lampu depan. Perlahan ia mendekatkan kami, setenang mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sekitar dua puluh meter dari mobil yang terparkir di depan kami, Rama menghentikan mobilnya secara mendadak. Ia, Disty, dan aku terkejut melihat seseorang keluar dari mobil itu.
IHSAN!
Tanganku menggigil melihat seseorang di sana. Ia membawa sebuah tart, sama sepertiku, namun lilinnya lebih banyak. Dengan langkah tegap, ia berjalan menuju pintu ruang tamu rumah itu. Ayah, Ibu, kakak dan adik-adik Naya sudah berada di sana, membentuk formasi seperti pagar yang akan mengawalnya.
Karena terhalang pagar, Rama mendekatkan kembali mobilnya sampai mendapatkan sudut pandang yang jelas namun tidak terlihat dari arah mereka.
“SURPRISE!!!” sebuah teriakan menggema dari sana, ketika seorang perempuan membuka pintu rumahnya. Kemudian lagu selamat ulang tahun sambung menyambung meledakkan tawa di antara mereka.
Kulihat tangan Naya menutup mulutnya, seakan tak percaya akan kejutan yang ia dapatkan malam itu. Wajahnya memerah menahan malu, sinar lilin membuat matanya berkaca-kaca. Setelah api-api kecil itu ditiup, sinar lampu kamera menyala-nyala, mengabadikan detik demi detik di pembuka empat November tahun ini.
Aku terpaku menatap lilin di pangkuanku. Bebek-bebek itu masih terlihat lucu, meskipun malam ini tak dapat ditemuinya senyum manis pengagumnya. Lalu tanpa sadar, hembusan napasku memadamkan lilin-lilin di atas angka 18 itu, menguap bersama keyakinanku sebelumnya. Kini aku tak lagi percaya, bahwa mimpi akan berkebalikan dengan kenyataan yang akan datang.
Disty dan Rama menatapku. Ditepuk-tepuknya pahaku oleh sahabat sebangkuku itu, seolah berkata bahwa semua baik-baik saja. Sementara Disty, tak mampu lagi ia sembunyikan kesedihan di wajahnya. Ia menangis.
Sedangkan aku, gugupku telah usai.
Kucoba tersenyum sesuai instruksi Disty, meski mereka tahu senyumku hanyalah sebuah tameng, dari kepedihan yang mungkin tak akan pernah mampu mereka tanggung.
Tiga malam sebelumnya aku sama sekali tak bisa tidur. Kata Riana, adikku, aku lelap sebentar, mengigau-ngigau. Tak terhitung jari tiba-tiba aku melompat bangun, bersimbah keringat dengan dada kembang kempis. Mimpi buruk kerap kali menghantuiku. Yang terburuk, aku bermimpi melihat tart berbentuk bebek yang akan kupersembahkan tiba-tiba berubah bentuk menjadi wajah Ihsan, persis sempurna di setiap garis wajahnya. Namun, hal-hal di luar akal sehat itu tak sedikitpun membuatku gentar. Kata orang, mimpi adalah pertanda akan suatu kejadian di masa mendatang, dan biasanya kejadian itu berbanding terbalik dengan mimpi itu.
Aku lebih sering terbangun lalu berdiri di depan kaca, lama sekali. Kupandangi diriku sendiri, bertanya-tanya sendiri, dan kujawab sendiri. Di saat-saat seperti ini, kucoba sebisa mungkin melatih gestur tubuhku, agar nanti tak kaku di hadapan Naya.
Lain daripada itu, seringkali pikiran-pikiran ganjil menyentil lalu menjatuhkan mentalku. Ingatan akan kejadian tak sedap kemarin berulang kali mengubur niatku. Lalu, sudah menjadi kebiasaanku sebelumnya, berbagai kemungkinan pahit yang akan kualami nanti satu persatu kugambarkan dan kusambung-sambungkan sendiri.
Namun, bila mengingat bagaimana manisnya perkenalan kami dulu, bagaimana indahnya hari demi hari yang kita lalui bersama, atau bagaimana syahdunya janji demi janji yang telah kami ikrarkan, semangatku kembali bergelora, merinding persis kesebelasan PSSI yang tengah didengungkan Indonesia Raya di Gelora Bung Karno.
***
Matahari memadam. Sejak pulang sekolah aku telah bersemayam di rumah Rama. Berkali-kali ia menawariku makan, tapi wajah gugupku menyatakan aku telah kehilangan selera apapun kecuali atas seorang perempuan yang akan kutemui, lima jam lima puluh menit dari sekarang.
“Serius, Ji? Nggak papa?” tanya Rama ke tujuh belas kalinya.
Ia sedikit khawatir setelah tahu Disty akan menemani kami nanti. Alasannya? Entahlah. Hanya Rama dan Tuhan yang tahu. Lagipula, menurutku, tak ada salahnya Disty ikut. Semakin lama semakin meriah bukan? Toh tart pesananku masih berada di toko tantenya.
Rencananya, tepat jam 12 malam nanti kami bertiga mendatangi rumah Naya. Aku, Rama, dan Disty sudah punya job desk masing-masing. Aku, sebagai tokoh utama sudah tentu akan menyandang tart yang diatasnya berdiri dua angka dengan api menyala-nyala. Di ambang pintu rumah Naya, aku akan diapit dua sahabatku. Disty nanti akan membawa buket bunga yang jauh-jauh hari telah kupesan di sebuah floristdekat stasiun, sekaligus merangkap tukang foto. Rama, yang nanti berada di sebelah kananku, akan membawa berupa-rupa balon, tak lupa tangannya memegang sebuah kotak terbungkus kertas merah muda yang di dalamnya berisi kado untuk Naya.
Sesuai info dari Nafla, malam ini Naya sendirian di rumah. Ayah, ibu, kakak, dan kedua adiknya sedang tak berada di rumah. Acara keluarga katanya. Naya tak ikut, tugas yang bertumpuk-tumpuk memaksanya untuk tinggal di rumah. Sempat kuajak Nafla untuk memberi Naya kejutan malam nanti. Namun ia menolak. Ia dan teman-teman kelasnya sudah mempersiapkan kejutan mereka sendiri esok hari.
Jam 9 malam Disty datang. Sejenak aku dan Rama terpana dibuatnya. Disty lebih cantik dari biasanya. Dress kasual berwarna biru yang ia kenakan serasi dengan bentuk mukanya. Dress itu berlengan seperdelapan panjang tangannya, roknya menggantung anggun pada batas kesopanan yang diperbolehkan. Rambut panjangnya dibiarkan terurai di depan bahu kanan. Belum lagi bandana dengan detail bunga sebesar kepalan tangan memahkotai manis wajahnya. Disty malam itu lebih seperti princess-princess di film-film animasi Disney.
Segera kusambar sebuah kotak yang ada di tangan Disty. Wow! Aku takjub saat pertama kali membukanya. Tart pesananku untuk Naya benar-benar tak terbayangkan sama sekali.
Tart itu berbentuk bundar, sekitar dua puluh lima senti. Warna utamanya biru. Di setiap sisinya ditempel sedemikian rupa dengan lempeng-lempeng cokelat yang sebelumnya telah dibentuk potongan kayu. Cokelat-cokelat itu disusun berjajar membentuk seperti bak mandi yang terbuat kayu. Di sela-selanya diselipkan berutir-butir krim senada dengan warna tart seperti percikan air yang hendak keluar dari bak itu. Di atasnya, mematung sekeluarga bebek mungil persis mainan bebek berwarna kuning yang biasanya selalu ada di bak mandi. Mereka acuh tak acuh padaku, asyik mandi sambil sesekali tersenyum lucu. Beberapa butir krim berwarna putih perlambang gelembung busa hinggap di kepala mereka. Di dekat mereka bertengger dua angka kombinasi satu dan sembilan yang diatasnya tertancap lilin yang siap disulut. Tak lupa, kalimat “Selamat Ulang Tahun, Tanaya Syauqia Haq” membentang di depan bak mandi itu. Ringkasnya, kue buatan tante Disty ini adalah sebuah mahakarya.
Malam kian larut, kami bertiga telah sampai di dekat rumah Naya. Masih satu jam lagi menuju jam dua belas. Rama memarkirkan mobil milik ayahnya seratus meter dari gerbang rumah Naya. Disty dan Rama, di kursi depan tak henti-hentinya mengulang skenario yang akan kami eksekusi. Sedangkan aku, termenung menegar-negarkan hati ini agar siap tempur. Maklum, seumur-umur aku tak pernah memberi kejutan ulang tahun.
“Santai, Ji. Gugupnya diabisin di sini ya,” ucap Disty pelan.
Kutarik nafas panjang berulang kali, mencoba meredakan detak jantung yang semakin memburu dan keringat dingin yang tak berhenti mengalir. Melihatku seperti orang ketakutan, Rama berinisiatif mencairkan suasana dengan bualan kocaknya. Derai tawa berkali-kali pecah antara Disty dan Rama, namun tidak untukku. Di tengah remang-remang mobil yang lampunya tidak Rama hidupkan, nyaliku semakin menciut.
Pukul 23.55, kami bertiga terdiam. Hampir secara bersamaan Disty dan Rama menoleh padaku.
“Siap?” tanya Rama meyakinkanku.
“Siap, tentu, siap,” jawabku terbata-bata.
“Apapun yang terjadi, senervous apapun nanti, senyum aja Ji,” perintah Disty.
“Sisanya, serahin ke kami,” lanjutnya mantab.
Aku mengangguk setuju. Tersenyum memang bisa menjadi senjata untuk segala persoalan.
Tanpa dikomando, kami telah siap dengan perlengkapan masing-masing. Disty telah memangku buket bunga berukuran jumbo, dengan sebuah kamera di tangan kanannya. Di dekat Rama tergantung bermacam-macam balon yang hampir mengganggu pandangannya. Dan aku, kunyalakan lilin tart di pangkuanku.
“Bismillahirohmanirohim,” gumam kami dalam hati.
Belum sempat menyalakan mobil, sebuah mobil melaju pelan dari samping kanan kami. Lalu, kami bertiga terperanjat ketika mobil itu berhenti tepat di depan pintu gerbang rumah Naya.
Pikiranku mulai kalut. Kemungkinan-kemungkinan buruk malam-malam lalu perlahan menjenuhkan akal sehatku. Bila isi mobil itu keluarga Naya, tak jadi masalah. Hitung-hitung aku berkenalan dengan mereka. Belum lagi aku bersama dua orang yang siap membantuku kapan saja.
Dari jarak sejauh ini, aku tak terlalu jelas melihat. Satu persatu orang-orang di dalam mobil itu keluar. Dari pintu depan sebelah kiri, seorang wanita keluar sambil membawa seikat bunga, mirip bunga di pangkuan Disty. Meski samar, aku yakin wanita itu adalah ibu Naya, postur tubuh dan cara berjalannya masih kuingat sama persis saat di koridor rumah sakit. Dari pintu kemudi, seorang bapak-bapak keluar dengan sekotak kado di tangannya. Lalu, berduyun-duyun tiga orang pria membawa berikat-ikat balon berbentuk hati dan balon berbentuk huruf membentuk kata Naya. Kutaksir, salah satu dari mereka adalah kakak Naya dan sisanya adalah adiknya, si kembar.
Dengan saling menganggukkan kepala, kami sepakat untuk melihat lebih dekat apa yang akan terjadi di sana. Rama menghidupkan mesin dengan tanpa menyalakan lampu depan. Perlahan ia mendekatkan kami, setenang mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sekitar dua puluh meter dari mobil yang terparkir di depan kami, Rama menghentikan mobilnya secara mendadak. Ia, Disty, dan aku terkejut melihat seseorang keluar dari mobil itu.
IHSAN!
Tanganku menggigil melihat seseorang di sana. Ia membawa sebuah tart, sama sepertiku, namun lilinnya lebih banyak. Dengan langkah tegap, ia berjalan menuju pintu ruang tamu rumah itu. Ayah, Ibu, kakak dan adik-adik Naya sudah berada di sana, membentuk formasi seperti pagar yang akan mengawalnya.
Karena terhalang pagar, Rama mendekatkan kembali mobilnya sampai mendapatkan sudut pandang yang jelas namun tidak terlihat dari arah mereka.
“SURPRISE!!!” sebuah teriakan menggema dari sana, ketika seorang perempuan membuka pintu rumahnya. Kemudian lagu selamat ulang tahun sambung menyambung meledakkan tawa di antara mereka.
Kulihat tangan Naya menutup mulutnya, seakan tak percaya akan kejutan yang ia dapatkan malam itu. Wajahnya memerah menahan malu, sinar lilin membuat matanya berkaca-kaca. Setelah api-api kecil itu ditiup, sinar lampu kamera menyala-nyala, mengabadikan detik demi detik di pembuka empat November tahun ini.
Aku terpaku menatap lilin di pangkuanku. Bebek-bebek itu masih terlihat lucu, meskipun malam ini tak dapat ditemuinya senyum manis pengagumnya. Lalu tanpa sadar, hembusan napasku memadamkan lilin-lilin di atas angka 18 itu, menguap bersama keyakinanku sebelumnya. Kini aku tak lagi percaya, bahwa mimpi akan berkebalikan dengan kenyataan yang akan datang.
Disty dan Rama menatapku. Ditepuk-tepuknya pahaku oleh sahabat sebangkuku itu, seolah berkata bahwa semua baik-baik saja. Sementara Disty, tak mampu lagi ia sembunyikan kesedihan di wajahnya. Ia menangis.
Sedangkan aku, gugupku telah usai.
Kucoba tersenyum sesuai instruksi Disty, meski mereka tahu senyumku hanyalah sebuah tameng, dari kepedihan yang mungkin tak akan pernah mampu mereka tanggung.
0
Kutip
Balas