- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#2264
PART 74
Selama seminggu gue menjalani peran double agent sebagai pacar Masayu dan gebetan yang masih ngegantung bagi Grace. Sebenernya gue juga enggak suka kayak gini, tapi gue lebih enggak suka lagi kalo harus kehilangan salah satu dari mereka.
Setelah konflik antara gue dan Masayu malam itu gue memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam berhubungan dengan dia. Sebagai seorang pria gue harus memetik hikmah dari kejadian itu. Gue enggak mau kalo besok-besok sampe kejadian kayak gitu lagi. Iya sih hubungan gue dengan Masayu maupun Grace akhirnya keluar dengan selamat, tapi hape gue enggak, LCD layar hape gue retak diremes Masayu.
Gue sendiri juga enggak paham, kadang Masayu tuh buka tutup botol air mineral aja tangannya merah semua bahkan sampe kapalan. Tapi gimana caranya galon air mineral kamar dia yang enggak gue angkat bisa nangkring di atas dispenser sendiri? Entahlah, misteri kekuatan cewek emang susah buat dipecahkan.
Tapi jangan panggil gue Dawi kalo enggak bisa memanfaatkan situasi ini. Layar hape yang rusak enggak gue biarin gitu aja, tapi gue pake buat alesan ke Masayu. Untuk beberapa saat, gue dapat terhindar dari amukan Masayu,
‘Yang kok lama balesnya sih?!’
‘Aduh, maaf layarnya tadi mati sendiri.’
‘Yang kok enggak kasih kabar sih?!’
‘Maaf Yang tadi layarnya ilang timbul.’
‘Yang ini bekas lipstick siapa? Mau alesan layar hape lagi?!’
Iya, hanya untuk beberapa saat, lebih tepatnya dua saat.
Gue masih inget sewaktu SMP diajarin guru gue tentang ilmu matematika, ilmu elektro, dan ilmu seni tari. Sejauh ini gue masih belum mengerti apa fungsi X dan Y dalam matematika untuk kehidupan berhitung sehari-hari. Maksud gue, gue belum pernah denger seorang kasir ngomong, “Ya jadi X nya dikurangin Y1 jadi total belanjanya Y8, mungkin pulsanya sekalian kakak?”
Gue yakin bakalan banyak orang yang bikin contekan cuma buat belanja di kasir. Satu-satunya X dan Y dalam matematika yang gue ketahui ada di kehidupan adalah Xoh wahYu. iya gue ngerti, dia emang perhitungan sehari-hari, apalagi soal wifii. Gue ambil wafer tango satu kotak aja dia tahu.
“Wi kabel internet abis kamu pake?” tanya koh Wahyu.
“Eh… enggak, seriusan enggak.”
“Kok bisa kecolok di netbookmu ya?”
“Anu… mungkin angin.”
Koh Wahyu menatap gue penuh iba, mungkin dia kasihan melihat seorang cowok yang enggak pandai berbohong terlahir di jaman ini.
Selain ilmu matematika, gue juga pernah diajarkan ilmu seni tari. Menurut gue ini awkward banget. Sewaktu kecil gue belajar tari Jaipong, dan ketika gede entah kenapa tariannya yang umum adalah break dance. Lomba-lomba di televisi juga isinya break dance dengan musik hiphop. Gue belum pernah lihat atau paling enggak denger kabar kalo ada event “Jaipong Battle” di salah satu stasiun gue. Padahal itu kan bagus banget, orang joget Jaipongan dengan timnya diiringi musik gamelan dan penabuh ala-ala DJ. Hostnya bakalan bilang, “YO! Nyonya Syai Wati is in de house! Battle back! Battle back yo! Wohoo… gerakan kacak pinggang model 164 dipadukan hentak kaki kiri belakang! Amazing! Amazing!”
Ok, kayaknya pikiran gue kejauhan, mungkin enggak sebagus yang gue kira, lupakan.
Tapi akhirnya guru gue berhasil mengajarkan gue suatu ilmu yang berguna untuk kehidupan gue, ilmu elektro. Gue jadi tukang servis elektronik terus dapet duit buat makan? Bukan, bukan itu. Dari ilmu elektro akhirnya gue tahu apa yang menyebabkan stun gun begitu mematikan. Dan dengan ilmu itu, gue bisa merasa lebih aman ketika menghadapi Grace nanti.
Menurut Wikipedia, yang menyebabkan stun gun begitu mematikan adalah arus DC yang melakukan gerakan vertikal melalui penghantar berkekuatan AC saat bersentuhan dengan kulit menyalurkan neuron yang dapat menyebabkan kapasitas jantung mengecil. Paham? Enggak. Sama kayak otak gue, netbook gue tiba-tiba force close ketika buka page tentang penghantar listrik dan arus AC-DC
Satu hal yang gue paham, sandal jepit dapat menghambat rasa sakit saat terkena stun gun. Entahlah, gue juga gagal paham. Gimana caranya sandal jepit bisa menghambat rasa sakit? Ditampolin ke muka sendiri, biar yang kerasa nanti sakitnya kena tampol dan bukan dari stun gun? Entahlah.
Malam ini gue janjian dengan Grace. Gue bilang kalo gue bakalan memberikan jawaban ke dia masalah pertanyaan dia di bioskop waktu itu. Tekad gue sudah bulat, gue harus mengakhiri hubungan tidak sehat ini. Dosa gue udah banyak, enggak seharusnya gue bohong ke Grace dan Masayu. Gue juga sudah menyiapkan sandal jepit, gue siap dengan kemungkinan terparah terkena stun gun lagi.
Sekitar jam tujuh malam, Grace datang seperti yang dijanjikan. Mata gue tertuju pada wajahnya, cantik, innocent tapi tetap cantik. Sedang mata dia tertuju pada kaki gue, sandal jepit.
“Kakak kenapa?” sapa Grace ketika gue memasuki mobil.
“Kenapa apanya?”
Dia menunjuk sandal jepit gue, “Itu, tumben banget.”
“Oh, anu… ini gerah banget,” kata gue asal.
“Oh….”
Perjalanan begitu hening, tangan Grace stay di dalam tasnya, seolah-olah bersiap menghujamkan stun gunnya jika nanti gue memberikan jawaban yang tidak dia inginkan. Hingga akhirnya di lampu merah dia mulai meembuka obrolan.
“Kak, aku minta kakak jawab jujur.”
Nah kan, belum gue jawab dianya udah mau nanya yang lain lagi. Tangan dia pasti udah gedein tegangan volt setinggi-tingginya. Dengan diam-diam gue meraih sandal jepit gue, perlaham tapi pasti sambil mennyembunyikan kegugupan gue.
“Kakak, jawab jujur ya?”
“I… iya…. Ada apa Grace?” jakun gue naik turun, gue gagal menyembunyikan rasa gugup.
Grace menghela nafas, “Kakak kutu air?”
“Hah? Apaan?” kata gue kurang yakin.
“Kakak kutu air?”
“Kutu air? Ya enggaklah.” Gue memiringkan kepala tanda kurang paham, “Kok kamu bisa nanya kayak gitu?”
“Ya, abisnya tiba-tiba kakak pake sandal jepit, sekarang malah pegang-pegang sandal, gimana aku enggak curiga.”
Oke, masuk akal, antisipasi stun gun kali ini gagal. Gue beneran lebih mirip kayak orang kena kutu air daripada orang mau mempertahankan diri.
Selama seminggu gue menjalani peran double agent sebagai pacar Masayu dan gebetan yang masih ngegantung bagi Grace. Sebenernya gue juga enggak suka kayak gini, tapi gue lebih enggak suka lagi kalo harus kehilangan salah satu dari mereka.
Setelah konflik antara gue dan Masayu malam itu gue memutuskan untuk lebih berhati-hati dalam berhubungan dengan dia. Sebagai seorang pria gue harus memetik hikmah dari kejadian itu. Gue enggak mau kalo besok-besok sampe kejadian kayak gitu lagi. Iya sih hubungan gue dengan Masayu maupun Grace akhirnya keluar dengan selamat, tapi hape gue enggak, LCD layar hape gue retak diremes Masayu.
Gue sendiri juga enggak paham, kadang Masayu tuh buka tutup botol air mineral aja tangannya merah semua bahkan sampe kapalan. Tapi gimana caranya galon air mineral kamar dia yang enggak gue angkat bisa nangkring di atas dispenser sendiri? Entahlah, misteri kekuatan cewek emang susah buat dipecahkan.
Tapi jangan panggil gue Dawi kalo enggak bisa memanfaatkan situasi ini. Layar hape yang rusak enggak gue biarin gitu aja, tapi gue pake buat alesan ke Masayu. Untuk beberapa saat, gue dapat terhindar dari amukan Masayu,
‘Yang kok lama balesnya sih?!’
‘Aduh, maaf layarnya tadi mati sendiri.’
‘Yang kok enggak kasih kabar sih?!’
‘Maaf Yang tadi layarnya ilang timbul.’
‘Yang ini bekas lipstick siapa? Mau alesan layar hape lagi?!’
Iya, hanya untuk beberapa saat, lebih tepatnya dua saat.
Gue masih inget sewaktu SMP diajarin guru gue tentang ilmu matematika, ilmu elektro, dan ilmu seni tari. Sejauh ini gue masih belum mengerti apa fungsi X dan Y dalam matematika untuk kehidupan berhitung sehari-hari. Maksud gue, gue belum pernah denger seorang kasir ngomong, “Ya jadi X nya dikurangin Y1 jadi total belanjanya Y8, mungkin pulsanya sekalian kakak?”
Gue yakin bakalan banyak orang yang bikin contekan cuma buat belanja di kasir. Satu-satunya X dan Y dalam matematika yang gue ketahui ada di kehidupan adalah Xoh wahYu. iya gue ngerti, dia emang perhitungan sehari-hari, apalagi soal wifii. Gue ambil wafer tango satu kotak aja dia tahu.
“Wi kabel internet abis kamu pake?” tanya koh Wahyu.
“Eh… enggak, seriusan enggak.”
“Kok bisa kecolok di netbookmu ya?”
“Anu… mungkin angin.”
Koh Wahyu menatap gue penuh iba, mungkin dia kasihan melihat seorang cowok yang enggak pandai berbohong terlahir di jaman ini.
Selain ilmu matematika, gue juga pernah diajarkan ilmu seni tari. Menurut gue ini awkward banget. Sewaktu kecil gue belajar tari Jaipong, dan ketika gede entah kenapa tariannya yang umum adalah break dance. Lomba-lomba di televisi juga isinya break dance dengan musik hiphop. Gue belum pernah lihat atau paling enggak denger kabar kalo ada event “Jaipong Battle” di salah satu stasiun gue. Padahal itu kan bagus banget, orang joget Jaipongan dengan timnya diiringi musik gamelan dan penabuh ala-ala DJ. Hostnya bakalan bilang, “YO! Nyonya Syai Wati is in de house! Battle back! Battle back yo! Wohoo… gerakan kacak pinggang model 164 dipadukan hentak kaki kiri belakang! Amazing! Amazing!”
Ok, kayaknya pikiran gue kejauhan, mungkin enggak sebagus yang gue kira, lupakan.
Tapi akhirnya guru gue berhasil mengajarkan gue suatu ilmu yang berguna untuk kehidupan gue, ilmu elektro. Gue jadi tukang servis elektronik terus dapet duit buat makan? Bukan, bukan itu. Dari ilmu elektro akhirnya gue tahu apa yang menyebabkan stun gun begitu mematikan. Dan dengan ilmu itu, gue bisa merasa lebih aman ketika menghadapi Grace nanti.
Menurut Wikipedia, yang menyebabkan stun gun begitu mematikan adalah arus DC yang melakukan gerakan vertikal melalui penghantar berkekuatan AC saat bersentuhan dengan kulit menyalurkan neuron yang dapat menyebabkan kapasitas jantung mengecil. Paham? Enggak. Sama kayak otak gue, netbook gue tiba-tiba force close ketika buka page tentang penghantar listrik dan arus AC-DC
Satu hal yang gue paham, sandal jepit dapat menghambat rasa sakit saat terkena stun gun. Entahlah, gue juga gagal paham. Gimana caranya sandal jepit bisa menghambat rasa sakit? Ditampolin ke muka sendiri, biar yang kerasa nanti sakitnya kena tampol dan bukan dari stun gun? Entahlah.
Malam ini gue janjian dengan Grace. Gue bilang kalo gue bakalan memberikan jawaban ke dia masalah pertanyaan dia di bioskop waktu itu. Tekad gue sudah bulat, gue harus mengakhiri hubungan tidak sehat ini. Dosa gue udah banyak, enggak seharusnya gue bohong ke Grace dan Masayu. Gue juga sudah menyiapkan sandal jepit, gue siap dengan kemungkinan terparah terkena stun gun lagi.
Sekitar jam tujuh malam, Grace datang seperti yang dijanjikan. Mata gue tertuju pada wajahnya, cantik, innocent tapi tetap cantik. Sedang mata dia tertuju pada kaki gue, sandal jepit.
“Kakak kenapa?” sapa Grace ketika gue memasuki mobil.
“Kenapa apanya?”
Dia menunjuk sandal jepit gue, “Itu, tumben banget.”
“Oh, anu… ini gerah banget,” kata gue asal.
“Oh….”
Perjalanan begitu hening, tangan Grace stay di dalam tasnya, seolah-olah bersiap menghujamkan stun gunnya jika nanti gue memberikan jawaban yang tidak dia inginkan. Hingga akhirnya di lampu merah dia mulai meembuka obrolan.
“Kak, aku minta kakak jawab jujur.”
Nah kan, belum gue jawab dianya udah mau nanya yang lain lagi. Tangan dia pasti udah gedein tegangan volt setinggi-tingginya. Dengan diam-diam gue meraih sandal jepit gue, perlaham tapi pasti sambil mennyembunyikan kegugupan gue.
“Kakak, jawab jujur ya?”
“I… iya…. Ada apa Grace?” jakun gue naik turun, gue gagal menyembunyikan rasa gugup.
Grace menghela nafas, “Kakak kutu air?”
“Hah? Apaan?” kata gue kurang yakin.
“Kakak kutu air?”
“Kutu air? Ya enggaklah.” Gue memiringkan kepala tanda kurang paham, “Kok kamu bisa nanya kayak gitu?”
“Ya, abisnya tiba-tiba kakak pake sandal jepit, sekarang malah pegang-pegang sandal, gimana aku enggak curiga.”
Oke, masuk akal, antisipasi stun gun kali ini gagal. Gue beneran lebih mirip kayak orang kena kutu air daripada orang mau mempertahankan diri.
Diubah oleh dasadharma10 30-07-2016 00:18
JabLai cOY memberi reputasi
1


