Kaskus

Story

ivory.cahayaAvatar border
TS
ivory.cahaya
Tak Selamanya [Selingkuh Itu] Indah (True Story)
TAK SELAMANYA [SELINGKUH ITU] INDAH (TRUE STORY)


Tak Selamanya [Selingkuh Itu] Indah (True Story)



Ketika kesetiaan cinta diuji, apakah Aku bisa bertahan atau malah menyerah?

Kalian bisa menghakimiku, mencaci maki, dan meludahiku dengan hinaan kalian, tapi jangan mereka, orang yang terlanjur mencintai. Cinta tidak pernah salah, yang salah adalah orang yang melakukan penyelewengan, apapun, cinta itu tetap suci. Aku memang sampah. Tetapi tidak dengan mereka.




Kata orang, mendua itu indah. Kata orang, mendua itu membuat bahagia. Mungkin bisa iya, mungkin juga tidak, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Ini sebuah kisah tentangku yang terjebak dalam dua hati yang sama-sama mencintai, menyembunyikan segala sesuatunya dari Istriku dan menjalani dua kehidupan.

Aku adalah penghuni baru di SFTH, selama ini hanya jadi Silent Reader, dan kali ini sedang berusaha untuk bercerita tentang kisahku yang agak kelam.

Kisah ini aku modifikasi sedemikian rupa, baik dari nama tempat, nama tokoh, dan tanggal kejadian, tetapi percayalah ini masih terjadi hingga saat ini. Saat aku belum bisa memutuskan langkah apa yang akan diambil, apakah tetap setia atau terus hidup seperti ini.

Beruntung, Cahaya, Istriku tidak tahu menahu tentang akun ini di Kaskus, bahkan ia tidak pernah sekalipun tertarik dengan Kaskus, sementara Ivory, aku yakin suatu saat ia akan menemukan cerita ini, tetapi tidak masalah.

Hati yang sudah mendua ini butuh pencerahan, karena semuanya kini sudah terlewat jauh dari batasan yang kumiliki sendiri.

Quote:


Maaf apabila ada salah kata, penulisan, atau sikap dalam berforum, mohon bimbingan dari teman-teman semua, dan apabila ditemukan gaya bahasa saya mirip dengan salah satu, atau banyak penulis di SFTH, mohon maklum, saya hanya penulis amatiran baru.

Selamat membaca.

Quote:
Polling
0 suara
Siapa yang harus gw (Sani) pilih?
Diubah oleh ivory.cahaya 11-05-2022 06:16
a.khordAvatar border
arieaduhAvatar border
mhdrdhoAvatar border
mhdrdho dan 19 lainnya memberi reputasi
20
977.8K
2.8K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
ivory.cahayaAvatar border
TS
ivory.cahaya
#1333
14 Mei 2016
14 MEI 2016


Itu adalah mobil milik Papa Mertuaku, dan orang yang mengemudikan mobil itu adalah Cahaya. Wajahnya nampak gusar di bawah temaramnya cahaya lampu teras yang menerangi ekspresinya saat ini. Ia tampak malas-malasan dengan apa yang harus ia lakukan kini.

Ia mengetuk pintu rumah ini sekali lagi, memperlakukan dirinya layaknya tamu, padahal aku tahu ia membawa kunci rumah ini.


“Kak,” panggilnya, nadanya mulai meninggi saat pintu rumah ini tak kunjung dibukakan.

“Kenapa?” sahutku lalu membukakan pintu untuknya, degup jantungku begitu cepat ketika melihat wanita itu memandangku dengan wajah yang begitu berbeda.

“Kak,” panggilnya pelan, “maafin Adek buat semua ini.”

“Adek tahu, apapun yang terjadi, semuanya pasti salah Adek.”

“Masuk dulu sini,” ujarku lalu menarik pelan jemari tangan Cahaya yang saat itu hanya memandangku dengan wajah yang sangat merah.

“Duduk dulu.”

“Iya Kak,” ujarnya lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu, ia tampak sangat canggung ketika memandangku saat ini.

“Adek tahu, apapun yang akan terjadi, Adek pasti akan balik ke Dean lagi.”

“Karena selama ini ada satu alasan yang Adek gak pernah kasih tahu ke Kakak.”

“Jujur, Adek masih sayang sama Dean.”

“Terus masalah Reva juga,” ujarnya ragu.

“Reva anaknya Dean kan?” tanyaku tenang, aku tetap berusaha tersenyum kepada wanita itu, ia hanya memandangku dengan tidak percaya.

“Ka…Kakak tahu?” tanyanya, wajahnya berubah menjadi pucat saat aku mengatakan hal itu, aku hanya tersenyum dan menghela napas panjang.

“Dari awal pas timeline kamu hamil juga aku udah ngerti kok.”

“Ada yang aneh, terus sikap kamu berubah, dan yang paling utama aku ngerasa gak ada satupun dari aku yang ada di Reva.”

“Hampir semua mirip kamu, sisanya mirip laki-laki laen.”

“Ya mirip sama Dean,” ujarku lalu tersenyum kepada wanita itu.

“Tapi, itu semua bukan penghalang aku buat cinta sama Reva.”

“Biarpun dia bukan darah daging aku sendiri, Reva tetep seorang anak yang gak bersalah.”

“Cuma, orang tua kandungnya aja yang salah,” ujarku lalu memandang wajah wanita yang masih terlihat sangat pucat mendengar penjelasanku.

“Tapi Kak,” ujarnya pelan, air matanya perlahan mengalir.

“Aku tahu,” ujarku pelan dan menepuk pelan pundaknya.

“Kamu masih cinta kan sama Dean?”

“Kamu masih belom bisa kan move on dari Dean?” tidak ada jawaban apapun dari wanita itu, kecuali anggukan pelan.

“Bisa enggak kamu janji akan terus ada buat Kakak kalo gak ada Dean?”


Suasana hening seketika ketika pertanyaan terakhir kulontarkan kepadanya, ia terdiam di dalam bungkamnya lisan yang terkunci akibat pertanyaanku, bahkan tidak ada satu sanggahan pun yang ia berikan saat ini. Hanya pandangan nanar yang seolah meminta belas kasihan yang diharapkan bisa mengubah segalanya.

Lima menit, kami saling terdiam, mendengar detak jantung masing-masing yang pasti bergedup sama kencangnya melawan sang waktu yang tidak akan pernah menengok ke belakang, begitu sombong melaju tanpa ampun.

Hingga pada akhirnya, Ivory keluar dari kamar dan tiba-tiba berada di antara kami, lalu diikuti dengan Rahma.

Suasana berubah mencekam saat pandangan tajam Cahaya terus-menerus menguliti Ivory yang saat itu hanya mengenakan kemeja yang kebesaran di tubuhnya. Sementara gadis itu hanya tertunduk, tidak berani sedikitpun memandang Cahaya yang menatapnya dengan penuh amarah.

Entahlah, berbeda sejak pertama kali aku melihat kondisi ini, kali ini aku menegakkan tubuhku dan menghampiri Ivory, menggenggam hangat tangannya di depan Cahaya yang juga akhirnya memandangku dengan penuh amarah.


“Ngapain sih Kak masih ngajak cewek gatel ini ke sini?” tanya Cahaya ketus, aku lalu tersenyum.

“Ngapain deh kamu ninggalin Reva cuma dikasih susu doang?”

“Justru Ivo yang bikin Reva bobo nyenyak semalem.”

“Ivo siapa emang?”

“Sementar kamu yang Ibu kandungnya malah gak tahu kemana.”

“Kalo kamu bilang gatel, siapa yang lebih gatel.”

“Gini-gini, Vo masih perawan,” ujarku, nadaku setengah tinggi saat melihat Cahaya yang masih menatapku dengan pandangan nanar.

“Terus apa pantes Kakak nyimpen cewek laen di rumah?”

“Terus apa iya kamu juga pantes nyimpen cowok laen di rumah?”

“Apa iya pantes juga kamu hamil dari anak orang laen, sementara aku kerja mati-matian buat kamu selama ini.”

“Apa pernah kamu mikirin perasaan aku?”

“Apa pernah kamu tanya, sekali aja tentang perasaanku?”

“Enggak kan?” tanyaku dengan tajam, meskipun nadanya cukup pelan.


Hening, bahkan aku dapat mendengar helaan napasku sendiri yang begitu terpacu setelah mengatakan kata-kata tadi kepada Cahaya. Kami semua hanya saling pandang saat itu. Ditambah dengan kehadiran Rahma, apa-apa yang terjadi kini terasa sangat mencekam.

Aku tidak mau memulai pembicaraan apapun sebelum Cahaya memberikan pernyataan atas sikapnya waktu itu.

Ia hanya memandangku dengan wajah yang begitu sedih, terlihat beban-beban itu seolah bertumpu pada pundaknya dan membuatnya tampak semakin terpuruk dengan apa-apa yang telah ia perbuat.

Seperti biasa, ia terlalu menjunjung tinggi harga dirinya, menempatkannya seolah-olah di atas orang lain. Hal itu justru akan semakin membuatnya merasa tinggi hati, tanpa sedikitpun merasa bersalah. Seolah-olah apa yang telah ia lakukan bersama Dean adalah satu hal yang benar.

Ia lalu beranjak dari tempatnya saat ini, menghampiriku dengan langkah yang begitu pelan lalu berhenti beberapa centimeter di depanku.


“Kak.”

“Bisa enggak aku dapet satu kesempatan lagi?” tanyanya lirih, aku hanya menghela napas, mencoba berpikir jawaban apa yang harus kuberikan.

“Untuk yang kesekian,” ujarku pelan, “mungkin enggak bisa Dek.”

“Kamu tahu, udah berapa kali ini terjadi, dan akhirnya kamu harus balik lagi sama Dean.”

“Inget gak janji kamu dulu?”


Suasana kembali hening. Kata-kata itu kembali terbungkam oleh serangkaian peristiwa yang terus menerus terngiang di kepalaku, membentuk sebuah gambaran kecil tentang semua yang pernah terjadi.

Aku sudah berada di sana, di saat aku harus mengalah dan terus mengerti akan apa-apa yang terjadi kepadaku.

Aku sudah meninggikan apa-apa yang kusebut dengan cinta, memikirkan kebahagiaan Cahaya tanpa aku pernah memikirkan kebahagiaanku sendiri. dan kini, aku tengah berhadapan dengan dilema yang saat ini tercipta dari pernyataanku sendiri.


“Aku kasih kamu satu kesempatan,” ujarku pelan, kupandang wajah Cahaya lalu Ivory, ada senyum tersungging dari bibir tipis gadis itu yang berjarak dua meter dari tempatku berdiri.

“Tapi sekali kamu bikin salah, aku gak akan maafin kamu.”


Cahaya terdiam, wajahnya berubah menjadi pucat saat aku mengatakan itu, cukup aneh menurutku meskipun pada akhirnya ia tersenyum dan menyiratkan banyak arti dalam senyumannya.

Mataku lalu mengarah kepada Ivory, gadis delapan-belas-tahun yang saat ini berdiri di sana, tersenyum dengan air mata yang perlahan mengalir dari kedua matanya. Entahlah, saat itu kakiku malah mengarah ke sana.

Aku berhenti cukup dekat di depan Ivory, kuseka perlahan air mata yang mengalir pelan di pipinya, dan kudekap ia dengan erat di depan Cahaya yang mungkin saat itu memandang ke arahku.


“Makasih buat semuanya ya Dek,” ujarku pelan di telinganya.

“Adek yang harusnya makasih sama Kakak.”

“Kakak udah kasih Adek kebahagiaan yang banyak banget.”

“Maaf ya Dek,” ujarku pelan, mencoba menelusup ke dalam perasaannya yang pasti sedang tidak menentu saat ini.

“Kakak gak perlu minta maaf.”

“Kakak gak salah, Adek yang salah, Adek yang dateng di kehidupan Kakak.”

“Ini semua takdir Dek,” ujarku pelan, “kalopun jodoh pasti kita akan ketemu lagi.”

“Temuin Kakak siang ini di ruko ya,” ujarku pelan, sangat pelan di telinga gadis itu.


*****


Semuanya berakhir, saat aku mengantarkan Ivory pulang ke rumahnya. Tangisannya terdengar begitu pilu ketika centi demi centi roda Sedan E Segment ini terus mendekat ke arah rumahnya.

Dan aku masih melihat kendaraan milik Dika berada di sana saat ini.

Bahkan, ia sejak tadi tidak henti-hentinya menggenggam tangan kiriku yang berada di center arm rest kendaraan ini. Seolah ia tidak ingin kehilanganku.

Ada perasaan berat yang begitu terasa di diriku, begitu sesak di dalam dada ini. Bahkan ketika aku menghentikan kendaraanku di depan rumah Ivory, berat rasanya jemari ini untuk membuka kunci pintu ini dari dalam.

Kuhela napas panjang seraya memadang wajah gadis itu.


“Dek,” panggilku pelan.

“Iya Kak.”

“Kakak janji, ini cuma sementara.”

“Kakak janji, ini gak akan lama.”

“Enggak apa-apa Kak,” ujar gadis itu, masih berusaha tersenyum, air matanya bahkan masih belum berhenti meleleh saat ini.

“Aku tahu ini gak akan bisa terus.”

“Adek minta maaf ya Kak.”

“Adek udah banyak salah selama ini ada sama Kakak yang bukan sepenuhnya milik Adek.”

“Adek udah egois maksain ini semua.”

“Gak kok,” ujarku pelan, ia lalu memandangku dengan begitu nanar, “tapi Adek udah banyak nyusahin Kakak,” sahut Ivory, aku lalu mendaratkan kedua tanganku di pipinya, menyeka air matanya perlahan dengan ibu jariku.

“Adek udah banyak kasih Kakak kebahagiaan.”

“Cuma Kakak aja yang bego, malah kasih harapan itu buat Adek.”

“Kakak janji, ini semua cuma sementara.”


Saat itu ia mencoba tersenyum walau terlihat amat pahit. Seketika aku mendaratkan Labia orisku di atasnya dan isakannya pun makin menjadi ketika detik demi detik waktu yang berlalu kami lewati dengan perasaan yang begitu campur aduk.

Ia lalu beranjak dari kursi depan dan meninggalkan senyuman yang sangat membekas di kepalaku. Terpatri di hatiku dengan begitu kuat seolah tak mau lepas.

Lambaian tangannya yang lesu pun ikut mengatarkan laju pelan kendaraan ini dalam wajah yang masih bersedih. Begitu berat rasanya aku beranjak pulang dari tempat ini.

*****


Alih-alih pulang ke rumah, aku malah berdiam diri di ruko yang sedari siang tadi ramai dengan pengunjung. Aku hanya duduk di kursi kasir dan beberapa kali melayani pengunjung yang datang silih berganti.

Suasana yang begitu ramai ini, entah mengapa aku masih merasakan sepi yang teramat sangat di hatiku. Hingga waktu menunjukkan pukul 10.00 malam, saat itu Cahaya datang ke ruko dengan mengendarai Hatchback B Segment yang ia bawa.

Tidak seperti biasanya, ia mengenakan pakaian yang begitu menggoda di depanku. Lekuk tubuhnya begitu terlihat sempurna di atas balutan gaun pendek, bagian bawahnya hanya menutupi setengah pahanya. Jujur, lamunanku mendadak buyar ketika langkah-langkahnya berjalan makin mendekat.

Ia tersenyum, wajahnya begitu menggodaku untuk sekadar menyentuhnya, tetapi aku tidak mengacuhkan apa-apa yang ia lakukan hingga jemarinya menarik tanganku begitu lembut untuk mengikutinya naik ke lantai dua.


“Kak,” ujar Cahaya pelan, “maaf kalo Adek selama ini selalu bikin Kakak sedih.”

“Maaf kalo Adek egois, gak pernah mau mikirin perasaan Kakak.”

“Gak apa kok,” ujarku pelan, kuhela napas pendek lalu tersenyum.

“Mau ngapain ke sini?” tanyaku keheranan.

“Kita kan masih Suami Istri, jadi boleh dong.”

“Seenggaknya, sekali aja bikin Kakak seneng.”


Ia mengajakku ke beranda belakang, lalu dengan begitu lihai ia menggodaku, tak lama kemudian ia berlutut, mencoba untuk melumpuhkan segala saraf sadarku.
deniiskandard
yusufchauza
yusufchauza dan deniiskandard memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.