- Beranda
- Sejarah & Xenology
Khalid ibn Al-Walid, the Sword of God
...
TS
plonard
Khalid ibn Al-Walid, the Sword of God
Semua yang saya tulis pada posting #1 sampai posting #10 adalah terjemahan bebas dari artikel Khalid ibn Al-Walid di en.wikipedia.org Oktober 2012. Saya tambahkan juga sedikit daftar istilah untuk membantu Agan-agan yang belum terlalu memahami istilah militer dan geografis di zaman bersangkutan hidup. Jika ada ketikan saya dengan format "[angka]", kode ini adalah nomor footnote atau catatan kaki. Contoh: [1] dan [25].
Semoga bermanfaat.
Khalid ibn Al-Walid
Indeks
Posting #1 sampai Posting #10 akan berisi garis besar kehidupan Khalid. Berikut ini adalah indeks yang bisa langsung diklik untuk memudahkan Agan-agan mengakses posting-posting tentang kehidupan Khalid yang lebih detail.
Posting #32 Pertempuran Walaja tahun 633 M (Detail Gambar dan Kronologi)
Posting #45 Pengepungan Damaskus tahun 635 M (Detail Gambar dan Kronologi)
Posting #69 Pertempuran Yarmuk tahun 636 M (Detail Gambar dan Kronologi)
Posting #95 Ucapan-ucapan tentang Khalid ibn Al-Walid
Posting #97 Bibliografi Buku The Sword of Allah: Khalid bin Al-Waleedkarya A.I. Akram
Posting #97 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 1: Sang Anak Lelaki
Posting #100 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 2: Agama Baru (Bagian I)
Posting #103 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 2: Agama Baru (Bagian II)
Posting #105 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian I)
Posting #107 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian II)
Posting #109 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian III)
Posting #120 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian IV)
Posting #123 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian V)
Posting #146 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian VI)
Posting #147 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian VII)
Posting #161 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 4: Pertempuran Parit (Bagian I)
Posting #162 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 4: Pertempuran Parit (Bagian II)
Posting #165 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 4: Pertempuran Parit (Bagian III)
Posting #174 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 4: Pertempuran Parit (Bagian IV)
Posting #175 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 5: Masuk Islamnya Khalid
Posting #187 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 6: Mu’tah dan Pedang Allah
Posting #191 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 7: Penaklukan Makkah (Bagian I)
Posting #193 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 7: Penaklukan Makkah (Bagian II)
Posting #194 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 8: Pertempuran Hunayn (Bagian I)
Posting #195 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 8: Pertempuran Hunayn (Bagian II)
Posting #198 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 9: Pengepungan Tha'if
Posting #201 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 10: Petualangan di Dawmatul Jandal
Posting #204 Bagian II: Perang Riddah - Bab 11: Badai yang Berkumpul (Bagian I)
Posting #208 Bagian II: Perang Riddah - Bab 11: Badai yang Berkumpul (Bagian II)
Posting #213 Bagian II: Perang Riddah - Bab 12: Abu Bakr Menyerang (Bagian I)
Posting #214 Bagian II: Perang Riddah - Bab 12: Abu Bakr Menyerang (Bagian II)
Posting #215 Bagian II: Perang Riddah - Bab 13: Thulayhah Si Nabi Palsu (Bagian I)
Posting #218 Bagian II: Perang Riddah - Bab 13: Thulayhah Si Nabi Palsu (Bagian II)
Posting #220 Bagian II: Perang Riddah - Bab 13: Thulayhah Si Nabi Palsu (Bagian III)
Posting #222 Bagian II: Perang Riddah - Bab 14: Pemimpin-pemimpin Pendusta (Bagian I)
Posting #224 Bagian II: Perang Riddah - Bab 14: Pemimpin-pemimpin Pendusta (Bagian II)
Posting #226 Bagian II: Perang Riddah - Bab 15: Akhir Hayat Malik bin Nuwayrah
Posting #229 Bagian II: Perang Riddah - Bab 16: Pertempuran Yamamah (Bagian I)
Posting #235 Bagian II: Perang Riddah - Bab 16: Pertempuran Yamamah (Bagian II)
Posting #239 Bagian II: Perang Riddah - Bab 16: Pertempuran Yamamah (Bagian III)
Posting #242 Bagian II: Perang Riddah - Bab 16: Pertempuran Yamamah (Bagian IV)
Posting Nomor Depan > Bagian II: Perang Riddah - Bab 17: Tumbangnya Gerakan Murtad (Bagian I)
Daftar Istilah Penting
Al-Hirah
Arabia
Bizantin
Double Envelopment
Garda Gerak Cepat (Mobile Guard)
Garnisun
Ghassan
Imperium
Kavaleri
Kekhalifahan
Khalifah
Levant
Mesopotamia
Negara Vasal
Persia-Sassanid
Romawi
Syam
Garis Besar Biografi
Khālid ibn al-Walīd (Bahasa Arab: خالد بن الوليد; 592–642) juga dikenal sebagai Sayfullāh Al-Maslūl(Pedang Allah yang Terhunus), adalah seorang sahabat Muhammad, Nabi Islam. Ia terkenal karena kecakapan dan taktik militernya, menjadi komandan pasukan Madinah di bawah kepemimpinan Muhammad dan pasukan-pasukan penerusnya, Kekhalifahan Ar-Rasyidun; Abu Bakr dan Umar ibn Khattab.[1] Di bawah kepemimpinan militernya, Arab bersatu di bawah sebuah entitas politik untuk pertama kali dalam sejarah, Kekhalifahan. Ia memenangkan lebih dari seratus pertempuran, melawan pasukan-pasukan Imperium (Kekaisaran) Romawi-Bizantin, Imperium (Kekisraan) Persia-Sassanid, dan sekutu-sekutu mereka, ditambah lagi beberapa suku Arab lainnya. Prestasi strategisnya antara lain penaklukan Arab, Mesopotamia milik Persia, dan Syam milik Romawi, dalam beberapa tahun sejak 632 sampai 636. Ia juga dikenang karena kemenangan pentingnya di Yamamah, Ullays, dan Firaz, serta kesuksesan taktisnya di Walaja dan Yarmuk.[2]
Khalid ibn Al-Walid (Khalid anak Al-Walid, secara harfiah berarti Khalid anak Si yang Baru Lahir) berasal dari Suku Quraysh dari Makkah, dari sebuah klan yang pada awalnya menentang Muhammad. Ia memainkan peran vital dalam kemenangan Makkah saat Pertempuran Uhud. Ia masuk Islam dan bergabung dengan Muhammad setelah Perjanjian Hudaybiyyah, serta berpartisipasi dalam sejumlah ekspedisi militer dengannya, seperti Pertempuran Mu’tah. Setelah wafatnya Muhammad, ia memainkan peran kunci dalam komando Pasukan Madinah pimpinan Abu Bakr pada Perang Ridda, menaklukkan Arab tengah dan menundukkan suku-suku Arab. Ia merebut Kerajaan Al-Hirah yang merupakan negara vasal Persia-Sassanid, dan mengalahkan pasukan-pasukan Persia-Sassanid selama proses penaklukan Iraq (Mesopotamia). Ia lalu ditransfer ke front pertempuran di barat untuk merebut Syam milik Romawi dan Kerajaan Ghassan, negara vasal Romawi. Meskipun Umar kemudian melepas jabatan Khalid dari komando tertinggi, ia tetaplah pimpinan sebenarnya dari kesatuan tempur melawan Bizantin selama fase-fase awal Perang Bizantin-Arab.[1] Di bawah komandonya, Damaskus direbut tahun 634 dan kemenangan kunci Arab atas Bizantin diraih dalam Pertempuran Yarmuk (636),[1] yang membuka jalan dalam proses penaklukan Syam (Levant). Tahun 638, pada puncak karirnya, ia diberhentikan dari ketentaraan.
(bersambung)...
Semoga bermanfaat.
Khalid ibn Al-Walid
Indeks
Posting #1 sampai Posting #10 akan berisi garis besar kehidupan Khalid. Berikut ini adalah indeks yang bisa langsung diklik untuk memudahkan Agan-agan mengakses posting-posting tentang kehidupan Khalid yang lebih detail.
Posting #32 Pertempuran Walaja tahun 633 M (Detail Gambar dan Kronologi)
Posting #45 Pengepungan Damaskus tahun 635 M (Detail Gambar dan Kronologi)
Posting #69 Pertempuran Yarmuk tahun 636 M (Detail Gambar dan Kronologi)
Posting #95 Ucapan-ucapan tentang Khalid ibn Al-Walid
Posting #97 Bibliografi Buku The Sword of Allah: Khalid bin Al-Waleedkarya A.I. Akram
Posting #97 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 1: Sang Anak Lelaki
Posting #100 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 2: Agama Baru (Bagian I)
Posting #103 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 2: Agama Baru (Bagian II)
Posting #105 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian I)
Posting #107 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian II)
Posting #109 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian III)
Posting #120 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian IV)
Posting #123 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian V)
Posting #146 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian VI)
Posting #147 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 3: Pertempuran Uhud (Bagian VII)
Posting #161 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 4: Pertempuran Parit (Bagian I)
Posting #162 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 4: Pertempuran Parit (Bagian II)
Posting #165 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 4: Pertempuran Parit (Bagian III)
Posting #174 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 4: Pertempuran Parit (Bagian IV)
Posting #175 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 5: Masuk Islamnya Khalid
Posting #187 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 6: Mu’tah dan Pedang Allah
Posting #191 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 7: Penaklukan Makkah (Bagian I)
Posting #193 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 7: Penaklukan Makkah (Bagian II)
Posting #194 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 8: Pertempuran Hunayn (Bagian I)
Posting #195 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 8: Pertempuran Hunayn (Bagian II)
Posting #198 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 9: Pengepungan Tha'if
Posting #201 Bagian I: Di Masa Kehidupan Nabi - Bab 10: Petualangan di Dawmatul Jandal
Posting #204 Bagian II: Perang Riddah - Bab 11: Badai yang Berkumpul (Bagian I)
Posting #208 Bagian II: Perang Riddah - Bab 11: Badai yang Berkumpul (Bagian II)
Posting #213 Bagian II: Perang Riddah - Bab 12: Abu Bakr Menyerang (Bagian I)
Posting #214 Bagian II: Perang Riddah - Bab 12: Abu Bakr Menyerang (Bagian II)
Posting #215 Bagian II: Perang Riddah - Bab 13: Thulayhah Si Nabi Palsu (Bagian I)
Posting #218 Bagian II: Perang Riddah - Bab 13: Thulayhah Si Nabi Palsu (Bagian II)
Posting #220 Bagian II: Perang Riddah - Bab 13: Thulayhah Si Nabi Palsu (Bagian III)
Posting #222 Bagian II: Perang Riddah - Bab 14: Pemimpin-pemimpin Pendusta (Bagian I)
Posting #224 Bagian II: Perang Riddah - Bab 14: Pemimpin-pemimpin Pendusta (Bagian II)
Posting #226 Bagian II: Perang Riddah - Bab 15: Akhir Hayat Malik bin Nuwayrah
Posting #229 Bagian II: Perang Riddah - Bab 16: Pertempuran Yamamah (Bagian I)
Posting #235 Bagian II: Perang Riddah - Bab 16: Pertempuran Yamamah (Bagian II)
Posting #239 Bagian II: Perang Riddah - Bab 16: Pertempuran Yamamah (Bagian III)
Posting #242 Bagian II: Perang Riddah - Bab 16: Pertempuran Yamamah (Bagian IV)
Posting Nomor Depan > Bagian II: Perang Riddah - Bab 17: Tumbangnya Gerakan Murtad (Bagian I)
Daftar Istilah Penting
Al-Hirah
Kerajaan yang berlokasi di Iraq Modern (Mesopotamia), negara vasal Imperium Persia-Sassanid, dengan mayoritas warga adalah orang Arab dari suku Bani Lakhm.
Arabia
Wilayah yang terbentang dari Syam dan Mesopotamia sampai Jazirah Arab, dihuni oleh mayoritas orang Arab serta minoritas orang Israel, Eropa (Romawi), Persia, dan Ethiopia.
Bizantin
Imperium superpowerlanjutan dari Romawi, sering juga dikenal sebagai Imperium Romawi Timur. Bizantin beribukota di Konstantinopel (Istanbul Modern) dan menjadi satu-satunya penerus Romawi sejak dihancurkannya Imperium Romawi Barat (beribukota di Roma) pada Abad ke-4. Warga negaranya menganggap mereka adalah warga Romawi dan warga negara lain di masa itu pun memanggil mereka sebagai orang-orang Romawi. Di masa Khalid, wilayah kekuasaan mereka membentang dari daerah Balkan di Eropa, sebagian Libya dan Mesir di Eropa, serta Jazirah Turki, Armenia, dan Levant (Syam) di Asia.
Double Envelopment
Sebuah manuver lapangan dalam pertempuran di mana sebuah pasukan berupaya untuk melingkupi musuh sehingga dapat menyerangnya dari segala arah. Biasanya, pertempuran akan dimulai dalam garis pembeda yang jelas antara dua pasukan yang bertempur. Dengan memanfaatkan kondisi maupun penggunaan taktik tertentu, pasukan musuh dapat diserang dari samping dan belakang. Contoh penggunaan taktik ini ada pada Pertempuran Cannae dan Pertempuran Walaja.
Garda Gerak Cepat (Mobile Guard)
Kavaleri ringan pasukan Muslim awal, dibangun oleh Khalid ibn Al-Walid dengan tujuan menjadi penyeimbang kelemahan infantri Muslim yang berbaju baja ringan. Gerakannya cepat, menerapkan taktik hit and run, efektif melawan kavaleri berat, dan sering menjadi garda depan pendahulu pasukan utama. Khalid dipecat saat menjabat sebagai komandan garda khusus ini. Penggantinya adalah Dhirar ibn Azwar.
Garnisun
Pasukan yang berkedudukan atau memiliki tempat pertahanan yang tetap, misalnya dalam benteng atau sebuah kota.
Ghassan
Kerajaan yang berlokasi di Syam Selatan, negara vasal Imperium Bizantin. Mayoritas warga negaranya adalah orang Arab beragama Kristen dari suku Bani Ghassan.
Imperium
Sebuah negara yang terdiri atas sekelompok bangsa, memiliki sebuah wilayah geografi yang luas, dipimpin oleh seorang kaisar atau sekelompok elit.
Kavaleri
Secara harfiah berarti pasukan berkuda, namun dalam prakteknya di masa kuno, unta dan gajah juga digunakan. Dalam peperangan modern, pasukan berkendara lapis baja maupun bukan juga termasuk dalam kavaleri. Di masa Khalid, kavaleri Bizantin dan Persia merupakan kavaleri berat, memakai baju besi tebal (termasuk kudanya) dan menutupi hampir seluruh tubuh. Kavaleri Muslim awal merupakan kavaleri ringan, berbaju baja dan bersenjata ringan.
Kekhalifahan
Sebuah sistem pemerintahan berbasis Islam yang menunjukkan kesatuan politik ummat Islam. Sistem ini dapat berupa sistem musyawarah perwakilan ataupun monarki konstitusional, dengan konstitusinya berupa Syariah. Karena dalam kekhalifahan ada kesatuan ummat, kekhalifahan selalu melingkupi banyak bangsa sehingga bisa dikategorikan sebagai bentuk Imperium.
Khalifah
Kepala negara dan pemerintahan sistem negara kekhalifahan, dapat dipilih oleh khalifah sebelumnya, ditunjuk oleh komite terpilih, dipilih langsung oleh rakyat, atau diturunkan pada keluarga khalifah sebelumnya.
Levant
Disebut juga Syam, daerah yang meliputi pantai timur Laut Mediterania, antara Anatolia (Jazirah Turki Modern) dan Mesir. Daerah ini meliputi wilayah-wilayah negara modern: Suriah, Lebanon, Yordania, Palestina (Otoritas maupun yang dijajah oleh Israel), Siprus, Provinsi Hatay (Turki Tenggara) dan sebagian wilayah Iraq-Jazirah Sinai.
Mesopotamia
Daerah yang meliputi daerah aliran Sungai Tigris dan Eufrat, yaitu wilayah-wilayah modern: Iraq, sedikit daerah timur laut Suriah, sebagian Turki Tenggara, dan sebagian kecil barat daya Iran.
Negara Vasal
Negara yang tunduk kepada entitas politik lain yang lebih besar dan biasanya lebih kuat, tetapi diberi otoritas untuk mengurus negaranya sendiri.
Persia-Sassanid
Imperium superpowerdi Asia Barat pada Abad ke-4 sampai Abad ke-7, juga disebut oleh warga negaranya sendiri sebagai Ērānshahr atau Ērān, berdiri tahun 224 dan diruntuhkan oleh Kekhalifahan Islam pada tahun 651. Saat Khalid hidup, imperium ini menguasai wilayah modern Iran, sebagian Asia Tengah dan barat laut India, serta sebagian pantai timur dan selatan Jazirah Arab.
Romawi
Lihat Bizantin.
Syam
Lihat Levant.
Garis Besar Biografi
Khālid ibn al-Walīd (Bahasa Arab: خالد بن الوليد; 592–642) juga dikenal sebagai Sayfullāh Al-Maslūl(Pedang Allah yang Terhunus), adalah seorang sahabat Muhammad, Nabi Islam. Ia terkenal karena kecakapan dan taktik militernya, menjadi komandan pasukan Madinah di bawah kepemimpinan Muhammad dan pasukan-pasukan penerusnya, Kekhalifahan Ar-Rasyidun; Abu Bakr dan Umar ibn Khattab.[1] Di bawah kepemimpinan militernya, Arab bersatu di bawah sebuah entitas politik untuk pertama kali dalam sejarah, Kekhalifahan. Ia memenangkan lebih dari seratus pertempuran, melawan pasukan-pasukan Imperium (Kekaisaran) Romawi-Bizantin, Imperium (Kekisraan) Persia-Sassanid, dan sekutu-sekutu mereka, ditambah lagi beberapa suku Arab lainnya. Prestasi strategisnya antara lain penaklukan Arab, Mesopotamia milik Persia, dan Syam milik Romawi, dalam beberapa tahun sejak 632 sampai 636. Ia juga dikenang karena kemenangan pentingnya di Yamamah, Ullays, dan Firaz, serta kesuksesan taktisnya di Walaja dan Yarmuk.[2]
Khalid ibn Al-Walid (Khalid anak Al-Walid, secara harfiah berarti Khalid anak Si yang Baru Lahir) berasal dari Suku Quraysh dari Makkah, dari sebuah klan yang pada awalnya menentang Muhammad. Ia memainkan peran vital dalam kemenangan Makkah saat Pertempuran Uhud. Ia masuk Islam dan bergabung dengan Muhammad setelah Perjanjian Hudaybiyyah, serta berpartisipasi dalam sejumlah ekspedisi militer dengannya, seperti Pertempuran Mu’tah. Setelah wafatnya Muhammad, ia memainkan peran kunci dalam komando Pasukan Madinah pimpinan Abu Bakr pada Perang Ridda, menaklukkan Arab tengah dan menundukkan suku-suku Arab. Ia merebut Kerajaan Al-Hirah yang merupakan negara vasal Persia-Sassanid, dan mengalahkan pasukan-pasukan Persia-Sassanid selama proses penaklukan Iraq (Mesopotamia). Ia lalu ditransfer ke front pertempuran di barat untuk merebut Syam milik Romawi dan Kerajaan Ghassan, negara vasal Romawi. Meskipun Umar kemudian melepas jabatan Khalid dari komando tertinggi, ia tetaplah pimpinan sebenarnya dari kesatuan tempur melawan Bizantin selama fase-fase awal Perang Bizantin-Arab.[1] Di bawah komandonya, Damaskus direbut tahun 634 dan kemenangan kunci Arab atas Bizantin diraih dalam Pertempuran Yarmuk (636),[1] yang membuka jalan dalam proses penaklukan Syam (Levant). Tahun 638, pada puncak karirnya, ia diberhentikan dari ketentaraan.
(bersambung)...
Diubah oleh plonard 16-08-2016 13:52
0
76.4K
287
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
6.5KThread•11.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
plonard
#228
Terjemahan dari bahasa asli, Bahasa Inggris. Ebook dapat diakses di:
The Sword of Allah: Khalid bin Al-Waleed
Bab 15: Akhir Hayat Malik bin Nuwayrah
(Halaman 1)
Mereka adalah para Anshar. Petinggi-petinggi mereka datang menemui Khalid dan mengatakan bahwa mereka tidak mau berangkat ke Butah. Mereka menyatakan, “Apa yang engkau rencanakan sekarang tidak termasuk dalam instruksi-instruksi Khalifah. Instruksinya adalah untuk bertempur di Buzakha dan membebaskan daerah di sekitarnya dari kemurtadan. Setelah itu, kita akan menunggu instruksi lanjutannya.”
Khalid terkejut dengan pernyataan ini. Ia tidak ingin membiarkan kelompok ini untuk menghalangi rencana yang menurutnya tepat meskipun mereka adalah sekelompok Sahabat (Nabi-pent) yang sangat dihormati. Ia menjawab, “Itu mungkin instruksi Khalifah kepada kalian, tetapi instruksinya kepadaku adalah untuk memerangi kaum kafir. Dalam kondisi apapun, saya adalah panglima pasukan ini. Saya mengetahui informasi yang lebih lengkap daripada kalian. Jika saya melihat suatu kesempatan meskipun hal itu tidak diinstruksikan secara spesifik, saya tidak akan membiarkannya berlalu begitu saja. Akankah ketika kita dihadapkan dengan ancaman meskipun tidak ada instruksi khusus dari Khalifah, apakah kita akan membiarkannya begitu saja? Malik bin Nuwayrah ada di sana dan saya akan memeranginya. Cukup para Muhajirin dan mereka yang berkeinginan, untuk mengikutiku. Mereka yang tidak mau, aku tidak akan memaksakan hal ini.”[2]
Khalid berangkat tanpa para Anshar.
Belum sampai satu jam berlalu, Anshar menyadari kesalahan serius mereka dalam menolak perintah berangkat bersama korps. Salah seorang dari mereka berkata, “Jika mereka berhasil, kita akan mendapat bagian.” Salah seorang yang lain menambahkan, “Dan jika mereka gagal, tidak seorang pun akan mau berbicara dengan kita lagi.” Mereka dengan segera memutuskan. Mereka mengirim seseorang yang memiliki kendaraan cepat untuk menemui Khalid untuk mengatakan, “Tunggu! Kami ikut berangkat.” Khalid pun menunggu sampai mereka bergabung dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Butah.
Sekitar pekan pertama November 632 M (pertengahan Sya’ban 11 H), Khalid tiba di Butah dan bersiap untuk bertempur. Tetapi Butah tidak mempersiapkan diri untuk melawan. Tidak seorang prajurit musuh pun tampak di sana.
Ketika Sajah sang nabiyah palsu meninggalkan Arabia menuju Iraq, Malik bin Nuwayrah mulai meragukan keputusannya untuk ikut serta dalam konspirasi melawan Islam. Ia menerima laporan tentang bagaimana Pedang Allah telah menghancurkan pasukan Thulayhah. Ia juga mendengar bagaimana hukuman berat yang dijatuhkan Khalid kepada para kriminal pembunuh Muslimin. Malik ketakutan. Dengan perginya Sajah, ia kehilangan sekutu yang kuat. Ia merasa telah ditinggalkan dan dikhianati.
Ia mulai menyadari betapa serius keputusannya untuk membuat perjanjian dengan sang nabiyah palsu. Rasa penyesalannya pada kemurtadan sangat jelas dan tidak bisa dibantah. Malik adalah seorang pemberani, tetapi ia merasa tidak sanggup untuk memerangi Khalid.
Catatan Kaki Halaman 1
[1] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, Dar Abi Hayyan, Kairo, Edisi I. 1416/1996, Vol. 6 hlm.394.
[2] Ath-Thabari: Vol. 2, hlm. 501. Dari percakapan ini, terlihat bahwa keputusan Khalid untuk berangkat ke Butah adalah keputusannya sendiri dan tidak termasuk dalam rencana yang dibuat oleh Khalifah, tetapi menurut Ath-Thabari (Vol.2, hlm. 480 dan 483), instruksi Abu Bakr kepada Khalid dengan jelas termasuk untuk memerangi Malik bin Nuwayrah di Butah setelah urusan dengan Thulayhah telah diselesaikan. Kemungkinan, prajurit-prajurit yang menolak berangkat tidak mengetahui bahwa Khalifah telah memberikan arahan ini kepada komandan mereka.
____________________________________________________________________________
(Halaman 2)
Merasa tidak berdaya dan ditinggalkan sekutunya, Malik memutuskan untuk menyelamatkan apa yang bisa ia selamatkan. Ia bermaksud untuk menebus kesalahannya dengan bertobat dan menyerahkan diri, suatu tindakan yang harus ia lakukan secara politis karena tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain dari hal tersebut. Malik mengumpulkan anggota klannya dari Bani Yarbu’ dan mengumumkan kepada mereka,
“Wahai Bani Yarbu’! Kita telah mengabaikan pemerintah kita ketika kita diajak untuk tetap bertahan dalam keimanan. Dan kita juga telah mencegah orang lain untuk taat pada mereka. Kita telah melakukan hal yang buruk. Aku telah mempelajari situasi saat ini. Aku menilai bahwa situasi saat ini berpihak kepada mereka sementara kita tidak bisa berbuat apa-apa. Janganlah kalian melawan mereka! Pulanglah ke rumah kalian dan berbuat baiklah pada mereka.”[1]
Dengan perintah ini, prajuritnya bubar. Malik kemudian pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari Butah, kembali kepada istrinya, Layla, yang cantik menawan.
Satu tindakan lagi Malik lakukan untuk menunjukkan perubahan hatinya. Ia mengumpulkan semua zakat dan mengirimnya kepada Khalid yang sedang dalam perjalanan menuju Butah ketika utusannya bertemu dengan Khalid. Khalid mengambil zakat tersebut, tetapi tidak menganggapnya sebagai bentuk tobat dan penyesalan yang cukup karena pengiriman zakat adalah memang sebuah kewajiban.
Khalid bertanya kepada utusan Malik, “Apa yang membuat kalian bersekutu dengan Sajah?” Utusan-utusan itu menjawab, “Tidak lebih dari keinginan untuk membalas dendam kepada suku-suku musuh.”[2]
Khalid tidak bertanya lebih jauh, tetapi ia tetap dalam kecurigaan. Bisa jadi, ini adalah trik untuk membuatnya lengah dan untuk memancingnya pada sergapan tiba-tiba. Sejak ia disergap di Hunayn, Khalid tidak pernah mengendurkan kewaspadaannya. Ia terus maju dengan standar militer bersiap menghadapi perlawanan musuh bersenjata.
Khalid tiba di Butah yang tidak memiliki pertahanan maupun prajurit. Tidak ada pasukan yang hendak mereka perangi. Ia menaklukkan Butah dan mengirim sejumlah detasemen kavaleri untuk menyisir ke wilayah sekitar untuk mencari klan-klan murtad dari Bani Tamim. Kepada setiap komandan detasemen ini, ia mengulangi instruksi Khalifah: ketika bertemu suatu klan, mereka akan memanggil dengan adzan; jika klan itu memenuhi panggilan adzan, klan itu akan dibiarkan; jika tidak, klan itu akan diserang.
Pada keesokan jarinya, satu detasemen yang dikomando oleh Dhirar bin Al-Azwar menemukan rumah Malik bin Nuwayrah. Dhirar menangkap Malik dan Layla, beserta sejumlah orang dari Bani Yarbu’. Detasemen-detasemen lain tidak menemui masalah karena semua klan menyerah tanpa perlawanan.
Malik dan Layla dibawa menghadap Khalid. Malik dihadapkan dalam pengadilan sebagai pemimpin pemberontak dan pemimpin murtad atas perbuatan kriminalnya melawan Negara dan Islam. Penampilannya terlihat menantang, sesuai dengan kondisinya sebagai bangsawan sukunya. Ia menghadapi pengadilannya dengan martabat seorang bangsawan. Ia tidak bisa merendahkan dirinya di hadapan siapa pun.
Khalid mulai berbicara. Ia menyampaikan perbuatan-perbuatan kriminal yang telah Malik lakukan dan kerusakan apa saja yang telah ia sebabkan kepada Islam. Kemudian Khalid mengajukan beberapa pertanyaan. Dalam jawabannya, Malik memanggil nabi yang mulia sebagai “pemimpinmu”. Khalid murka dengan perilaku terdakwa yang angkuh dan tidak menunjukkan rasa penyesalan. Khalid berkata, “Tidakkah engkau menganggap dirinya sebagai pemimpinmu?”[3]
Khalid merasa yakin bahwa Malik telah bersalah, tidak bertobat, dan tetap dalam kekafiran. Ia memberikan perintah eksekusi mati. Dhirar membawa Malik pergi dan melakukan sendiri eksekusi mati tersebut. Demikianlah akhir hayat Malik bin Nuwayrah.
Layla pun menjadi janda muda, tetapi tidak dalam waktu lama. Malam itu juga, Khalid menikahinya! Belum sempat ia berduka atas meninggalnya suaminya ketika ia menjadi pengantin kembali, kali ini dengan Pedang Allah!
Ketika Khalid mengumumkan keinginannya untuk menikahi Layla, sejumlah Muslim tidak bisa menganggap enteng permasalahan ini. Beberapa orang di antara mereka bahkan mengira bahwa Malik telah masuk Islam kembali dan Khalid memerintahkan hukuman mati dengan tujuan agar dapat menikahi Layla. Salah seorang yang terpandang dari golongan Sahabat (nabi-pent), yaitu Abu Qatadah, memprotes langsung kepada Khalid, tetapi Khalid menjawabnya dengan argumen yang cukup kuat. Merasa diabaikan dan marah atas apa yang ia anggap sebagai tindakan sewenang-wenang dari Khalid, Abu Qatadah memacu kudanya secepat mungkin menuju Madinah pada keesokan harinya. Sesampainya di ibukota, ia langsung menemui Abu Bakr dan mengabarkan bahwa Malik bin Nuwayrah adalah seorang Muslim dan Khalid telah membunuhnya agar dapat menikahi Layla yang cantik. Abu Qatadah juga adalah orang yang sama yang dahulu memberi laporan dan pengaduan kepada nabi bahwa Khalid telah dengan kejam membunuh Bani Jadzimah meskipun mereka menyerah, sesaat setelah Penaklukan Makkah. Celaannya kepada Khalid bukan hal yang baru.
Catatan Kaki Halaman 2
[1] Ath-Thabari: Vol. 2, hlm. 501-502.
[2] Ibid.
[4] Ibid: Vol.2, hlm. 504.
____________________________________________________________________________
(Halaman 3)
Namun Abu Bakr tampak tidak senang melihat Abu Qatadah yang meninggalkan posnya tanpa persetujuan panglimanya. “Kembalilah ke posmu!” perintah Khalifah dan Abu Qatadah pun kembali ke Butah.[1]
Tetapi sebelum Abu Qatadah pergi, informasi darinya telah tersebar di Madinah. ‘Umar yang mendengar kabar ini dengan segera menemui Abu Bakr. ‘Umar berkata kepada Khalifah, “Engkau telah menunjuk seorang panglima yang membunuh Muslim dan membakar orang hidup-hidup.”[2] Abu Bakr tidak terkesan. Ia mengetahui dengan pasti bahwa Malik tidak mengirimkan kewajiban zakat dari klannya ketika mendengar berita wafatnya nabi, begitu juga dengan informasi bahwa ia bersekutu dengan Sajah. Tidak diragukan lagi bahwa Malik telah murtad. Tentang hukuman bakar hidup-hidup, Khalifah sendiri yang memerintahkan bahwa orang-orang murtad yang membakar Muslim harus dihukum dengan cara yang sama.[3] Khalid tidak melakukan hukum bakar secara serampangan.
‘Umar melanjutkan, “Ada kedzhaliman pada pedang Khalid. Ia harus dibawa pulang dalam keadaan dibelenggu. Pecat orang ini!”
Abu Bakr paham bahwa ada sedikit rivalitas antara kedua laki-laki besar ini. Ia menjawab dengan tegas, “Wahai ‘Umar, jaga lidahmu dari mencela Khalid. Saya tidak akan menyarungkan kembali pedang yang telah Allah hunuskan terhadap para kafir.” Saat itu, Khalid sudah secara umum dipanggil sebagai Pedang Allah.
‘Umar bersikeras, “Tetapi musuh Allah ini telah membunuh seorang Muslim dan mengambil istrinya!”[4] Abu Bakr akhirnya mengikuti kemauan ‘Umar. Ia memanggil Khalid.
Saat itu, Khalid telah mengetahui bahwa penentangan terhadap perbuatannya ini telah tersebar. Ia pasrah dan hal ini terlihat dari kata-katanya, “Ketika Allah menetapkan sesuatu, pastilah itu akan terjadi.”[5] Bagaimanapun juga, sebuah kritik kecil tidak membuat Khalid khawatir. Kemudian, datanglah panggilan Khalifah kepadanya untuk pulang ke Madinah. Khalid mengira bahwa panggilan ini terkait tuduhan kepada dirinya dan ia pun mulai merasa khawatir.
Setibanya ia di Madinah, Khalid langung berjalan menuju masjid. Di masa tersebut, masjid bukan hanya sebagai tempat beribadah. Masjid juga adalah ruang rapat, tempat pertemuan, sekolah, tempat beristirahat, dan pusat kegiatan pemerintahan. Khalid memakai sorban yang berhiaskan anak panah. Penampilan ini membuatnya terlihat agak mewah, berbeda dengan kebanyakan Muslim yang memilih untuk lebih sederhana dalam berpakaian dan menghindari segala bentuk yang menunjukkan kesombongan.
‘Umar berada di masjid dan melihat Khalid. Dengan wajah memerah marah, ia berjalan ke arah Khalid, mematahkan hiasan anak panah di sorbannya. ‘Umar membentaknya, “Engkau telah membunuh seorang Muslim dan mengambil istrinya. Engkau seharusnya dirajam.”[6] Khalid paham bahwa ‘Umar memiliki pengaruh besar dalam kebijakan Abu Bakr. Khawatir bahwa Khalifah memiliki pendapat yang sama, ia pergi dan tidak meladeni ‘Umar.
Ia kemudian menemui Abu Bakr yang langsung meminta penjelasan darinya. Khalid menyampaikan keseluruhan laporannya. Setelah menimbang dan menilai kondisinya, Khalifah memutuskan bahwa Khalid tidak bersalah. Namun, ia menegur keras jenderalnya karena menikahi Layla. Dan karena masih ada kemungkinan kesalahan dari sisi Khalid, Abu Bakr tetap memerintahkan pembayaran uang diyat kepada ahli waris Malik.
Catatan Kaki Halaman 3
[1] Ath-Thabari: Vol.2, hlm. 501-502.
[2] Baladzuri: hlm. 107.
[3] Ath-Thabari: Vol.2, hlm. 482.
[4] Ibid: Vol.2, hlm. 503-504; Baladzuri: hlm. 107.
[5] Ath-Thabari: Vol.2, hlm. 502.
[6] Ath-Thabari: Vol.2, hlm. 504.
____________________________________________________________________________
(Halaman 4)
Khalid keluar dari rumah Khalifah. Langkahnya ringan dan lepas dari beban pikiran, ia berjalan menuju masjid di mana ‘Umar duduk bercengkerama dengan sejumlah sahabatnya. Kali ini, Khalid memiliki pijakan lebih kuat dan merasa bisa menjawab dalam argumen. Ia memanggil ‘Umar, “Kemarilah, wahai Kidal!”[1] ‘Umar segera paham bahwa Khalifah telah membebaskan Khalid dari tuduhan. Ia berdiri dan tanpa berkata-kata, langsung pulang ke rumahnya.
Permasalahan Malik dan Layla ini telah menjadi bahan perselisihan dalam sejarah Muslim. Beberapa dari mereka mengutip sumber seperti Abu Qatadah yang mengatakan bahwa keluarga Malik telah mengumandangkan adzan dan bahwa Malik telah kembali masuk Islam sebelum ia ditahan. Pendapat lainnya menyatakan bahwa Khalid tidak pernah memerintahkan hukuman mati pada Malik, tetapi karena cuaca saat itu dingin dan Khalid mengatakan kepada prajuritnya, “Hangatkanlah tawananmu,” perintah ini dimaknai berbeda oleh Dhirar yang mengira bahwa dalam beberapa dialek Arab, “menghangatkan” memiliki makna konotasi “membunuh”.
Versi-versi ini, dari berbagai kemungkinan yang ada, tidaklah benar. Kedua pendapat ini telah ditawarkan oleh dua pihak: pihak pertama yang ingin menjelaskan penentangan ‘Umar kepada Khalid dan pihak kedua yang ingin membersihkan nama Khalid dari tuduhan kemungkinan bersalah dalam membunuh seorang Muslim.
Tidak ada keraguan dalam hal kemurtadan dan pemberontakan Malik bin Nuwayrah, penolakannya membayar zakat, persekutuannya dengan Sajah, dan partisipasi prajurit pengikutnya dalam aksi militer Sajah. Semua sejarawan tanpa kecuali melaporkan kejadian ini. Tidak ada keraguan juga dalam pikiran penulis bahwa Khalid memerintahkan hukuman mati kepada Malik dan ia melakukannya dengan niat jujur dan murni karena keterlibatan Malik dalam kemurtadan dan pemberontakan. Tetapi kecurigaan terus tersembunyi dalam benak sejumlah orang Arab, salah satunya ‘Umar, bahwa putusan hukuman tersebut dipengaruhi keinginan pribadi. ‘Umar juga semakin diyakinkan dengan pendapat ini oleh saudara laki-laki Malik yang datang mengunjunginya dan mengabarkan kepadanya bahwa Malik adalah seorang yang sangat baik dan betapa tragisnya ia jatuh menjadi korban hawa nafsu Khalid!
Intinya, Malik dihukum mati dan Layla yang cantik, bermata dan berkaki indah, menjadi istri Khalid bin Al-Walid. Suatu hari, ia akan membayar mahal untuk kebahagiaannya ini!
Catatan Kaki Halaman 4
[1] Ath-Thabari: Vol.2, hlm. 504.
--Akhir dari Bab 15--
The Sword of Allah: Khalid bin Al-Waleed
Bab 15: Akhir Hayat Malik bin Nuwayrah
(Halaman 1)
“Kami dahulu seperti teman minum-minumnya Jadzimah
untuk beberapa lama, sampai-sampai dikatakan, kami tidak akan berpisah.
Kami menghabiskan waktu terbaik hidup kami, tetapi di hadapan kami,
kematian telah menghancurkan bangsa Kisra dan Tubba’.
Ketika kami berpisah, seakan-akan Malik dan aku,
meski telah lama bersama, tidak pernah bertemu meskipun hanya semalam.”
[Mutammim bin Nuwayrah, berduka karena kematian saudaranya, Malik.][1]
Setelah menyelesaikan urusannya dengan Salmah dan para pengikutnya, Khalid memberi perintah kepada pasukannya untuk berangkat ke Butah untuk menghadapi Malik bin Nuwayrah. Ia sama sekali tidak mengira bahwa pasukannya sendiri akan menentang rencananya ini. Persiapan untuk berangkat dilaksanakan sesuai perintah, tetapi ketika waktu keberangkatan tiba, sekelompok besar prajuritnya menolak untuk berangkat.untuk beberapa lama, sampai-sampai dikatakan, kami tidak akan berpisah.
Kami menghabiskan waktu terbaik hidup kami, tetapi di hadapan kami,
kematian telah menghancurkan bangsa Kisra dan Tubba’.
Ketika kami berpisah, seakan-akan Malik dan aku,
meski telah lama bersama, tidak pernah bertemu meskipun hanya semalam.”
[Mutammim bin Nuwayrah, berduka karena kematian saudaranya, Malik.][1]
Mereka adalah para Anshar. Petinggi-petinggi mereka datang menemui Khalid dan mengatakan bahwa mereka tidak mau berangkat ke Butah. Mereka menyatakan, “Apa yang engkau rencanakan sekarang tidak termasuk dalam instruksi-instruksi Khalifah. Instruksinya adalah untuk bertempur di Buzakha dan membebaskan daerah di sekitarnya dari kemurtadan. Setelah itu, kita akan menunggu instruksi lanjutannya.”
Khalid terkejut dengan pernyataan ini. Ia tidak ingin membiarkan kelompok ini untuk menghalangi rencana yang menurutnya tepat meskipun mereka adalah sekelompok Sahabat (Nabi-pent) yang sangat dihormati. Ia menjawab, “Itu mungkin instruksi Khalifah kepada kalian, tetapi instruksinya kepadaku adalah untuk memerangi kaum kafir. Dalam kondisi apapun, saya adalah panglima pasukan ini. Saya mengetahui informasi yang lebih lengkap daripada kalian. Jika saya melihat suatu kesempatan meskipun hal itu tidak diinstruksikan secara spesifik, saya tidak akan membiarkannya berlalu begitu saja. Akankah ketika kita dihadapkan dengan ancaman meskipun tidak ada instruksi khusus dari Khalifah, apakah kita akan membiarkannya begitu saja? Malik bin Nuwayrah ada di sana dan saya akan memeranginya. Cukup para Muhajirin dan mereka yang berkeinginan, untuk mengikutiku. Mereka yang tidak mau, aku tidak akan memaksakan hal ini.”[2]
Khalid berangkat tanpa para Anshar.
Belum sampai satu jam berlalu, Anshar menyadari kesalahan serius mereka dalam menolak perintah berangkat bersama korps. Salah seorang dari mereka berkata, “Jika mereka berhasil, kita akan mendapat bagian.” Salah seorang yang lain menambahkan, “Dan jika mereka gagal, tidak seorang pun akan mau berbicara dengan kita lagi.” Mereka dengan segera memutuskan. Mereka mengirim seseorang yang memiliki kendaraan cepat untuk menemui Khalid untuk mengatakan, “Tunggu! Kami ikut berangkat.” Khalid pun menunggu sampai mereka bergabung dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Butah.
Sekitar pekan pertama November 632 M (pertengahan Sya’ban 11 H), Khalid tiba di Butah dan bersiap untuk bertempur. Tetapi Butah tidak mempersiapkan diri untuk melawan. Tidak seorang prajurit musuh pun tampak di sana.
Ketika Sajah sang nabiyah palsu meninggalkan Arabia menuju Iraq, Malik bin Nuwayrah mulai meragukan keputusannya untuk ikut serta dalam konspirasi melawan Islam. Ia menerima laporan tentang bagaimana Pedang Allah telah menghancurkan pasukan Thulayhah. Ia juga mendengar bagaimana hukuman berat yang dijatuhkan Khalid kepada para kriminal pembunuh Muslimin. Malik ketakutan. Dengan perginya Sajah, ia kehilangan sekutu yang kuat. Ia merasa telah ditinggalkan dan dikhianati.
Ia mulai menyadari betapa serius keputusannya untuk membuat perjanjian dengan sang nabiyah palsu. Rasa penyesalannya pada kemurtadan sangat jelas dan tidak bisa dibantah. Malik adalah seorang pemberani, tetapi ia merasa tidak sanggup untuk memerangi Khalid.
Catatan Kaki Halaman 1
[1] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, Dar Abi Hayyan, Kairo, Edisi I. 1416/1996, Vol. 6 hlm.394.
[2] Ath-Thabari: Vol. 2, hlm. 501. Dari percakapan ini, terlihat bahwa keputusan Khalid untuk berangkat ke Butah adalah keputusannya sendiri dan tidak termasuk dalam rencana yang dibuat oleh Khalifah, tetapi menurut Ath-Thabari (Vol.2, hlm. 480 dan 483), instruksi Abu Bakr kepada Khalid dengan jelas termasuk untuk memerangi Malik bin Nuwayrah di Butah setelah urusan dengan Thulayhah telah diselesaikan. Kemungkinan, prajurit-prajurit yang menolak berangkat tidak mengetahui bahwa Khalifah telah memberikan arahan ini kepada komandan mereka.
____________________________________________________________________________
(Halaman 2)
Merasa tidak berdaya dan ditinggalkan sekutunya, Malik memutuskan untuk menyelamatkan apa yang bisa ia selamatkan. Ia bermaksud untuk menebus kesalahannya dengan bertobat dan menyerahkan diri, suatu tindakan yang harus ia lakukan secara politis karena tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain dari hal tersebut. Malik mengumpulkan anggota klannya dari Bani Yarbu’ dan mengumumkan kepada mereka,
“Wahai Bani Yarbu’! Kita telah mengabaikan pemerintah kita ketika kita diajak untuk tetap bertahan dalam keimanan. Dan kita juga telah mencegah orang lain untuk taat pada mereka. Kita telah melakukan hal yang buruk. Aku telah mempelajari situasi saat ini. Aku menilai bahwa situasi saat ini berpihak kepada mereka sementara kita tidak bisa berbuat apa-apa. Janganlah kalian melawan mereka! Pulanglah ke rumah kalian dan berbuat baiklah pada mereka.”[1]
Dengan perintah ini, prajuritnya bubar. Malik kemudian pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari Butah, kembali kepada istrinya, Layla, yang cantik menawan.
Satu tindakan lagi Malik lakukan untuk menunjukkan perubahan hatinya. Ia mengumpulkan semua zakat dan mengirimnya kepada Khalid yang sedang dalam perjalanan menuju Butah ketika utusannya bertemu dengan Khalid. Khalid mengambil zakat tersebut, tetapi tidak menganggapnya sebagai bentuk tobat dan penyesalan yang cukup karena pengiriman zakat adalah memang sebuah kewajiban.
Khalid bertanya kepada utusan Malik, “Apa yang membuat kalian bersekutu dengan Sajah?” Utusan-utusan itu menjawab, “Tidak lebih dari keinginan untuk membalas dendam kepada suku-suku musuh.”[2]
Khalid tidak bertanya lebih jauh, tetapi ia tetap dalam kecurigaan. Bisa jadi, ini adalah trik untuk membuatnya lengah dan untuk memancingnya pada sergapan tiba-tiba. Sejak ia disergap di Hunayn, Khalid tidak pernah mengendurkan kewaspadaannya. Ia terus maju dengan standar militer bersiap menghadapi perlawanan musuh bersenjata.
Khalid tiba di Butah yang tidak memiliki pertahanan maupun prajurit. Tidak ada pasukan yang hendak mereka perangi. Ia menaklukkan Butah dan mengirim sejumlah detasemen kavaleri untuk menyisir ke wilayah sekitar untuk mencari klan-klan murtad dari Bani Tamim. Kepada setiap komandan detasemen ini, ia mengulangi instruksi Khalifah: ketika bertemu suatu klan, mereka akan memanggil dengan adzan; jika klan itu memenuhi panggilan adzan, klan itu akan dibiarkan; jika tidak, klan itu akan diserang.
Pada keesokan jarinya, satu detasemen yang dikomando oleh Dhirar bin Al-Azwar menemukan rumah Malik bin Nuwayrah. Dhirar menangkap Malik dan Layla, beserta sejumlah orang dari Bani Yarbu’. Detasemen-detasemen lain tidak menemui masalah karena semua klan menyerah tanpa perlawanan.
Malik dan Layla dibawa menghadap Khalid. Malik dihadapkan dalam pengadilan sebagai pemimpin pemberontak dan pemimpin murtad atas perbuatan kriminalnya melawan Negara dan Islam. Penampilannya terlihat menantang, sesuai dengan kondisinya sebagai bangsawan sukunya. Ia menghadapi pengadilannya dengan martabat seorang bangsawan. Ia tidak bisa merendahkan dirinya di hadapan siapa pun.
Khalid mulai berbicara. Ia menyampaikan perbuatan-perbuatan kriminal yang telah Malik lakukan dan kerusakan apa saja yang telah ia sebabkan kepada Islam. Kemudian Khalid mengajukan beberapa pertanyaan. Dalam jawabannya, Malik memanggil nabi yang mulia sebagai “pemimpinmu”. Khalid murka dengan perilaku terdakwa yang angkuh dan tidak menunjukkan rasa penyesalan. Khalid berkata, “Tidakkah engkau menganggap dirinya sebagai pemimpinmu?”[3]
Khalid merasa yakin bahwa Malik telah bersalah, tidak bertobat, dan tetap dalam kekafiran. Ia memberikan perintah eksekusi mati. Dhirar membawa Malik pergi dan melakukan sendiri eksekusi mati tersebut. Demikianlah akhir hayat Malik bin Nuwayrah.
Layla pun menjadi janda muda, tetapi tidak dalam waktu lama. Malam itu juga, Khalid menikahinya! Belum sempat ia berduka atas meninggalnya suaminya ketika ia menjadi pengantin kembali, kali ini dengan Pedang Allah!
Ketika Khalid mengumumkan keinginannya untuk menikahi Layla, sejumlah Muslim tidak bisa menganggap enteng permasalahan ini. Beberapa orang di antara mereka bahkan mengira bahwa Malik telah masuk Islam kembali dan Khalid memerintahkan hukuman mati dengan tujuan agar dapat menikahi Layla. Salah seorang yang terpandang dari golongan Sahabat (nabi-pent), yaitu Abu Qatadah, memprotes langsung kepada Khalid, tetapi Khalid menjawabnya dengan argumen yang cukup kuat. Merasa diabaikan dan marah atas apa yang ia anggap sebagai tindakan sewenang-wenang dari Khalid, Abu Qatadah memacu kudanya secepat mungkin menuju Madinah pada keesokan harinya. Sesampainya di ibukota, ia langsung menemui Abu Bakr dan mengabarkan bahwa Malik bin Nuwayrah adalah seorang Muslim dan Khalid telah membunuhnya agar dapat menikahi Layla yang cantik. Abu Qatadah juga adalah orang yang sama yang dahulu memberi laporan dan pengaduan kepada nabi bahwa Khalid telah dengan kejam membunuh Bani Jadzimah meskipun mereka menyerah, sesaat setelah Penaklukan Makkah. Celaannya kepada Khalid bukan hal yang baru.
Catatan Kaki Halaman 2
[1] Ath-Thabari: Vol. 2, hlm. 501-502.
[2] Ibid.
[4] Ibid: Vol.2, hlm. 504.
____________________________________________________________________________
(Halaman 3)
Namun Abu Bakr tampak tidak senang melihat Abu Qatadah yang meninggalkan posnya tanpa persetujuan panglimanya. “Kembalilah ke posmu!” perintah Khalifah dan Abu Qatadah pun kembali ke Butah.[1]
Tetapi sebelum Abu Qatadah pergi, informasi darinya telah tersebar di Madinah. ‘Umar yang mendengar kabar ini dengan segera menemui Abu Bakr. ‘Umar berkata kepada Khalifah, “Engkau telah menunjuk seorang panglima yang membunuh Muslim dan membakar orang hidup-hidup.”[2] Abu Bakr tidak terkesan. Ia mengetahui dengan pasti bahwa Malik tidak mengirimkan kewajiban zakat dari klannya ketika mendengar berita wafatnya nabi, begitu juga dengan informasi bahwa ia bersekutu dengan Sajah. Tidak diragukan lagi bahwa Malik telah murtad. Tentang hukuman bakar hidup-hidup, Khalifah sendiri yang memerintahkan bahwa orang-orang murtad yang membakar Muslim harus dihukum dengan cara yang sama.[3] Khalid tidak melakukan hukum bakar secara serampangan.
‘Umar melanjutkan, “Ada kedzhaliman pada pedang Khalid. Ia harus dibawa pulang dalam keadaan dibelenggu. Pecat orang ini!”
Abu Bakr paham bahwa ada sedikit rivalitas antara kedua laki-laki besar ini. Ia menjawab dengan tegas, “Wahai ‘Umar, jaga lidahmu dari mencela Khalid. Saya tidak akan menyarungkan kembali pedang yang telah Allah hunuskan terhadap para kafir.” Saat itu, Khalid sudah secara umum dipanggil sebagai Pedang Allah.
‘Umar bersikeras, “Tetapi musuh Allah ini telah membunuh seorang Muslim dan mengambil istrinya!”[4] Abu Bakr akhirnya mengikuti kemauan ‘Umar. Ia memanggil Khalid.
Saat itu, Khalid telah mengetahui bahwa penentangan terhadap perbuatannya ini telah tersebar. Ia pasrah dan hal ini terlihat dari kata-katanya, “Ketika Allah menetapkan sesuatu, pastilah itu akan terjadi.”[5] Bagaimanapun juga, sebuah kritik kecil tidak membuat Khalid khawatir. Kemudian, datanglah panggilan Khalifah kepadanya untuk pulang ke Madinah. Khalid mengira bahwa panggilan ini terkait tuduhan kepada dirinya dan ia pun mulai merasa khawatir.
Setibanya ia di Madinah, Khalid langung berjalan menuju masjid. Di masa tersebut, masjid bukan hanya sebagai tempat beribadah. Masjid juga adalah ruang rapat, tempat pertemuan, sekolah, tempat beristirahat, dan pusat kegiatan pemerintahan. Khalid memakai sorban yang berhiaskan anak panah. Penampilan ini membuatnya terlihat agak mewah, berbeda dengan kebanyakan Muslim yang memilih untuk lebih sederhana dalam berpakaian dan menghindari segala bentuk yang menunjukkan kesombongan.
‘Umar berada di masjid dan melihat Khalid. Dengan wajah memerah marah, ia berjalan ke arah Khalid, mematahkan hiasan anak panah di sorbannya. ‘Umar membentaknya, “Engkau telah membunuh seorang Muslim dan mengambil istrinya. Engkau seharusnya dirajam.”[6] Khalid paham bahwa ‘Umar memiliki pengaruh besar dalam kebijakan Abu Bakr. Khawatir bahwa Khalifah memiliki pendapat yang sama, ia pergi dan tidak meladeni ‘Umar.
Ia kemudian menemui Abu Bakr yang langsung meminta penjelasan darinya. Khalid menyampaikan keseluruhan laporannya. Setelah menimbang dan menilai kondisinya, Khalifah memutuskan bahwa Khalid tidak bersalah. Namun, ia menegur keras jenderalnya karena menikahi Layla. Dan karena masih ada kemungkinan kesalahan dari sisi Khalid, Abu Bakr tetap memerintahkan pembayaran uang diyat kepada ahli waris Malik.
Catatan Kaki Halaman 3
[1] Ath-Thabari: Vol.2, hlm. 501-502.
[2] Baladzuri: hlm. 107.
[3] Ath-Thabari: Vol.2, hlm. 482.
[4] Ibid: Vol.2, hlm. 503-504; Baladzuri: hlm. 107.
[5] Ath-Thabari: Vol.2, hlm. 502.
[6] Ath-Thabari: Vol.2, hlm. 504.
____________________________________________________________________________
(Halaman 4)
Khalid keluar dari rumah Khalifah. Langkahnya ringan dan lepas dari beban pikiran, ia berjalan menuju masjid di mana ‘Umar duduk bercengkerama dengan sejumlah sahabatnya. Kali ini, Khalid memiliki pijakan lebih kuat dan merasa bisa menjawab dalam argumen. Ia memanggil ‘Umar, “Kemarilah, wahai Kidal!”[1] ‘Umar segera paham bahwa Khalifah telah membebaskan Khalid dari tuduhan. Ia berdiri dan tanpa berkata-kata, langsung pulang ke rumahnya.
Permasalahan Malik dan Layla ini telah menjadi bahan perselisihan dalam sejarah Muslim. Beberapa dari mereka mengutip sumber seperti Abu Qatadah yang mengatakan bahwa keluarga Malik telah mengumandangkan adzan dan bahwa Malik telah kembali masuk Islam sebelum ia ditahan. Pendapat lainnya menyatakan bahwa Khalid tidak pernah memerintahkan hukuman mati pada Malik, tetapi karena cuaca saat itu dingin dan Khalid mengatakan kepada prajuritnya, “Hangatkanlah tawananmu,” perintah ini dimaknai berbeda oleh Dhirar yang mengira bahwa dalam beberapa dialek Arab, “menghangatkan” memiliki makna konotasi “membunuh”.
Versi-versi ini, dari berbagai kemungkinan yang ada, tidaklah benar. Kedua pendapat ini telah ditawarkan oleh dua pihak: pihak pertama yang ingin menjelaskan penentangan ‘Umar kepada Khalid dan pihak kedua yang ingin membersihkan nama Khalid dari tuduhan kemungkinan bersalah dalam membunuh seorang Muslim.
Tidak ada keraguan dalam hal kemurtadan dan pemberontakan Malik bin Nuwayrah, penolakannya membayar zakat, persekutuannya dengan Sajah, dan partisipasi prajurit pengikutnya dalam aksi militer Sajah. Semua sejarawan tanpa kecuali melaporkan kejadian ini. Tidak ada keraguan juga dalam pikiran penulis bahwa Khalid memerintahkan hukuman mati kepada Malik dan ia melakukannya dengan niat jujur dan murni karena keterlibatan Malik dalam kemurtadan dan pemberontakan. Tetapi kecurigaan terus tersembunyi dalam benak sejumlah orang Arab, salah satunya ‘Umar, bahwa putusan hukuman tersebut dipengaruhi keinginan pribadi. ‘Umar juga semakin diyakinkan dengan pendapat ini oleh saudara laki-laki Malik yang datang mengunjunginya dan mengabarkan kepadanya bahwa Malik adalah seorang yang sangat baik dan betapa tragisnya ia jatuh menjadi korban hawa nafsu Khalid!
Intinya, Malik dihukum mati dan Layla yang cantik, bermata dan berkaki indah, menjadi istri Khalid bin Al-Walid. Suatu hari, ia akan membayar mahal untuk kebahagiaannya ini!
Catatan Kaki Halaman 4
[1] Ath-Thabari: Vol.2, hlm. 504.
--Akhir dari Bab 15--
0