“Ay, Kenapa kamu ada disini?”
“Emang aku ada disini.”
“Hayu main Fe…”
“Tapi, bukanya kamu sudah ……. ?”
“Hayu main Felisha, mumpung aku disini.”

Gue cuman bisa menatap dia yang sedang berjalan-jalan sambil menari-nari mengajak gue untuk mengikutinya. Percaya gak percaya, timbul perasaan senang dicampur ngeri ketika melihatnya, aneh rasanya. Di satu sisi gue senang karena gue bisa melihatnya. Tapi, di sisi lain gue takut karena dia yang gue lihat itu adalah sahabat gue yang sudah lama meninggal.

***

Gue terbangun tiba-tiba pada tengah malam. Untuk kesekian kalinya gue bermimpi tentang Ayushita, sahabat gue yang sudah meninggal. Gue beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi, gue mencuci muka untuk segera menyadarkan gue dari lamunan mimpi tersebut. Bermimpi tentang dia terasa nyata bagi gue. Entah dia memang sengaja mengunjungi gue di alam mimpi atau memang rasa kangen gue terhadap dia yang begitu dalam sehingga kebawa ke alam mimpi.

Satu mimpi yang gak akan pernah gue lupakan tentang dia adalah ketika pas pertama kali meninggal, dia datang datang ke kamar gue, kemudian dia tersenyum ke gue.

“Terima kasih ya Felisha.”

Belum sempat gue membalas ucapanya, gue malah terbangun, yang dilanjutkan dengan gue yang menangis sejadi-jadinya.

***

Kenangan tentang dirinya selalu tersimpan di hidup gue. Setiap hari gue selalu memikirkannya. Dia punya tempat tersendiri di kehidupan gue. Dia orang yang berhaga buat gue. Dia yang selalu mengerti gue. Dialah satu-satunya, tak ada yang dapat menggantikan tempatnya di hidup gue, dia adalah sahabat terbaik gue.

Sejak pertama kali berkenalan di sekolah dasar, dialah yang selalu bersama gue. Kemanapun kita selalu bersama di sekolah, dia yang menemani gue, dia yang selalu setia mendengar ocehan dan keluhan gue, dia memang yang terbaik.

Masih ingat ketika kita masih anak-anak nekad pergi berdua tanpa pengawasan orang tua hanya sekedar untuk melihat sebuah konser musik. Masih ingat juga ketika dia yang selalu menunggui gue di tempat les gue hanya sekedar untuk menunggu gue buat main bersamanya. Masih ingat juga ketika dia begitu gampangnya menyatakan “rindu” ke gue ketika gue sedang pergi lama ke luar kota. Masih ingat juga ketika dia terakhir kali menginap di rumah gue. Dia begitu antusias dan senangnya ketika menceritakan seseorang yang disukai dia, dia juga nekad dengan menyatakan rasa sukanya kepada orang yang disukainya. Masih ingat dia juga begitu mengidolakan Ariel “Peterpan”, hahaha.

Kita berdua selalu berpendapat, gue dan dia adalah yang terhebat. Dia bergitu berbakat dan pandai dengan musik. Beranjak remaja dia sudah punya band sendiri, dia yang paling muda tapi dia yang menonjol. Gue selalu membanggakan dia dan mensupport dia. Ketika dia main di kafe atau sekedar ikutan parade band, gue selalu datang untuk melihatnya. Sampai sekarang juga gue masih menyimpan 2 lagu ragu rekaman
band dia yang sangat begitu terinfluence oleh The Cardigans ataupun Frente.

“Fix You – Coldplay” “Scientist – Coldplay”
“Don’t Look Back in Anger – Oasis”
“Smell Like Teen Spirit – Nirvana”
“Creep – Radiohead”
“The Drugs Don’t Work – The Verve”

Bahkan sampai Sepultura dia mengenalkan lagu era 90an dan 2000an ke gue. Memang untuk ukuran gadis remaja lagu seperti itu kurang lazim di dengar, tapi itulah istimewanya dia, dia yang terlahir di keluarga pecinta musik, bahkan lagu-lagu seperti tadi gue rasa dikenalkan oleh kakaknya yang laki-lakinya dan lalu ditularkan ke gue.

Gue selalu suka cara berbicara dia yang blak-blakan dan cuek. Dia juga seorang yang tanpa pamrih mau berteman dengan gue. Dialah satu-satunya orang yang menganggap gue sebagai sahabat terbaiknya, begitupun sebaliknya. Dia memang sahabat sejati.

“Mah.. aku mau main ke rumah Felisha ya.. kasian di rumahya gak ada siapa-siapa”
“Mah.. Felisha itu teman baik aku, aku akan selalu ada buat dia, nemenin dia.”
Cerita ibunya ketika pas gue masih SMA berkunjung ke rumahnya.

***

Sudah tujuh tahun berlalu, memang waktu cepat berlalu. Tak terasa ya, tapi sekali lagi tak ada yang pernah menggantikan dirinya. Terakhir bertemu dengan keluarganya tiga tahun yang lalu pada saat pernikahan kakaknya, dan sejak itu gue belum pernah bertemu dengan mereka lagi.

***

Sebenarnya setiap lebaran gue jarang mau bepergian, mudik ke rumah nenek pun hanya beberapa kali pas lebaran. Ibu juga setuju dia gak mau repot mudik untuk macet-macetan, soalnya ibu itu anti macet. Lagian memang sekarang kebanyakan saudara dekat berada di Bandung, ya paling silaturahim di sekitar Bandung saja. Tapi, khusus tahun ini gue dipaksa untuk ikut silaturahmi baik ke keluarga ibu ataupun keluarga Burhan yang ada di Bandung.

“Bu, nanti sore aku mau pergi, gak usah lama-lama ya!” Kata gue ke ibu di sela-sela ngobrol dengan keluarga yang lainya.
Gue udah berniat lebaran kali ini gue ingin menyempatkan waktu untuk bertemu dengan keluarganya Ayu. Sudah lama sekali gue tidak berkunjung ke rumahnya. Gue kangen karena bagaimanapun juga dia tidak pernah gue lupakan.

Di jam tangan gue sudah menunjukan pukul 3, tapi mereka bercengrakama tidak ada habisnya. Gue pun berdiri dan tanpa permisi langsung berjalan menuju pintu keluar.

“Kak mau kemana?” Tanya si panda yang segera menyusul gue.
“Ada urusan, kamu nanti pulang sama ibu dan ayahmu saja ya.” Jawab gue.

Gue bawa mobil sendiri menuju ke rumah Ayu.

***

Tahun lalu, gue sendirian berziarah ke makam Ayu. Selain berdoa dan memandangi batu nisannya, gue selalu berucap dan membayangkan dalam hati bagaimana jika Ayu masih ada. Apakah hidup gue seperti sekarang ? Ataukah kegilaaan apa yang akan kita lakukan jika Ayu masih hidup disini? Gue hanya bisa membayangkannya saja tanpa menjadikanya sebuah realita, karena dirinya memang sudah tiada.

***

Gue sampai di depan rumah Ayu. Awalnya gue ragu dan takut salah alamat karena yang gue lihat rumahnya nampak jauh berbeda dibanding terakhir kali gue datang. Untuk memastikan gue nanya ke tetangganya yang kebetulan sedang berada di luar.

“Pak, punteun. Ini teh rumahnya Bu Tita ?”
“Iya bener teh.”
“Oh, makasih pak.”

Gue pun langsung berjalan menuju pintu depan rumahnya. Gue mengetuk pintu. 1.2.3… “Assalamualaikum”

Gue mengetuk pintu lagi.

“Walaikumsalam.” Terdengar suara dari dalam.

Tak lama setelah itu, pintu pun terbuka. Yang gue lihat kali pertama kali adalah seorang anak laki-laki yang tingginya sepantaran Ani.

“Yudi?” Tanya gue kepadanya.

Yudi adalah adik Ayu.

Dia keliatan bingung dan seperti sedang berpikir siapa cewek didepannya ini.

“Kak Felisha…?” Katanya.
“Iya…” Senyum gue. Syukurlah dia masih mengenali gue.
“Kak masuk.. masuk. dulu.”

Gue pun masuk ke dalam rumahnya, mencoba mengenali setiap sudut ruangan rumahnya yang sekarang agak berbeda.

“Mah…. Ada kak Felisha..” Teriak Yudi kepada ibunya dan kemudian pergi meninggalkan gue mencari ibunya itu. Gue pun duduk di kursi ruang tamu rumahnya dan memandang foto-foto keluarga mereka yang terpampang.

“Mamahnya lagi solat dulu kak.” Kata Yudi menghampiri gue lagi, sambil membawakan segelas air putih.
“oh iya, gpp.”
“Gimana kabarnya Yud.?” Tanya gue kepada dia.
“Baik kak. Kakak sendiri ?”
“Kabar baik juga..”
“Kamu sekarang kelas berapa Yud?”
“Baru masuk kuliah kak…”

Seriously, Yudi yang gue kenal dulu itu mengenakan seragam merah putih sekarang sudah mau kuliah, yang benar saja! Gue jadi berasa tua mendengarnya.

“Oalah, udah gede ya sekarang hehe. Kuliah dimana?” Tanya gue.

Sambil menunggu ibu Tita yang sedang solat, Yudi menceritakan kalau dia sampai saat ini belum mendapatkan tempat kuliah. Dia curhat ke gue, kalau dia gagal dalam SNMPTN, SBMPTN, dan sempat ikut SIMAK UI juga. Yah, padahal tau gitu mah kenapa dia gak berguru ke gue aja atau ke Ani. Hmmphh..

Gue pun hanya bisa menyemangati dia supaya tidak down, gue bilang juga kuliah di swasta juga tidak masalah, banyak kok temen-temen gue yang kuliah di swasta juga di Bandung orangnya pada pinter-pinter dan kreatif. Gue juga bilang kalau masih keukeuh pengen di PTN, nunggu satu tahun tidak masalah toh tidak ada kata namanya telat untuk pendidikan mah.

“Nenk Felisha…. ?” Suara ibu-ibu memotong pembicaraan gue dan Yudi. Astaga itu ibu Tita, ibunya Ayu, gue pun langsung beranjak berdiri menghampiri dia lalu salim dan memeluknya.

“Wa… Tita.” Gue memanggilnya Uwa Tita. Kita saling berpelukan dengan erat, sampai-sampai dada gue pun terasa sesak karena saking eratnya wa Tita memeluk gue.

“Ini the kamu…? Kok jadi makin cantiks ih udah gede mah..” Dia melepaskan pelukan, lalu mencubit-cubit pipi gue dengan kedua tangannya.

“Gemasss ih uwa liat kamu ini…” Katanya sumringah.

Saking senangnya melihat wa Tita, gue tidak merasakan cubitan itu sebagai rasa sakit, melainkan rasa haru. Setelah itu, dalam dekapannya, akhirnya emosi yang selama ini gue pendam mulai keluar. Air mata gue keluar dan mengalir membasahi wajah gue.

“Wa…..Tita…”
“Maafin Felisha… ya Wa…” Kata gue tersedu-sedu.
“Maafin uwa juga ya sayang.” Kata dia yang terus mengelus-ngelus rambut gue dengan lembutnya. Gue lihat juga mata wa Tita berkaca-kaca.

Bagaimanapun gue gak bisa menahan rasa ini, gue sangat sedih karena membayangkan perasaan wa Tita ini yang melihat diri gue sudah beranjak tumbuh dewasa ini pasti mengingatkan anaknya yang sudah lama meninggal. Dia pasti bakal membayangkan jika Ayu masih hidup sampai sekarang, seperti apa rupa dia sekarang.

Setelah menumpahkan emosi dan sedikit agak tenang. Gue pun duduk kembali begitu juga wa Tita. Mungkin bagi Yudi pemandangan tadi agak ganjil baginya, tapi bodo amatlah, gue gak kepikiran kesana.

“Wa, wa Beni kemana?” Tanya gue menanyakan ayah Ayu.
“Dia lagi pergi keluar, sebentar lagi juga pulang.”
“Oh.. A Randy dimana sekarang?” Tanya gue menayakan kakak Ayu.
“Dia sama istrinya di Karawang. Tadi katanya lagi di jalan mau pulang ke sini.”
“Oh…”

Wa Tita terus saja mewawancari gue, dia nanya gue sekarang kuliah dimana, nanya kabar ibu, nanya tentang Stella juga. Dia juga nanya gue kapan nikah (astaga pertanyaan ini gak bisa gue jawab), hahaha. Wa Tita juga menceritakan kondisi keluarganya sekarang, dia juga bercerita tentang anaknya si bungsu Yudi yang lagi galau kuliah, dia juga menceritakan kegiatannya sekarang. Gue menyimak dengan seksama dan senang sekali, gue juga bercerita tentang keadaan gue sekarang, gue bercerita juga kalau ibu gue sudah menikah lagi, gue juga bercerita kalau gue dan Stella satu kampus bahkan satu kosan dan pernah satu kamar juga bareng dia. Ah, pokoknya banyak cerita deh.

“Assalamualaikum.” Terdengar suara bapak-bapak masuk ke dalam. Bisa ditebak pasti itu suara ayahnya Ayu. Dia pun langsung melihat ke arah kita semua, tapi tatapannya tertuju pada gue, mungkin dia bertanya-tanya siapakah tamunya ini?”

“Bapak, tebak itu siapa?” Kata Wa Tita
“Bentar.. siapa?”
“Ih Bapak masa poho, itu nenk Felisha, temen masa kecilnya Ayu.”
“Felisha?”
“Siapa itu?” Ujarnya santai.
…..
Krik..krik..krik..
…..
Mendadak hening.

“Hahahaha. Becanda-becanda. Astaga, beneran ieu teh nenk Felisha? Aduh udah gede sekarang mah ya.” Kata Ayah Ayu lalu menghampiri gue, gue pun langsung salaman dengan ayahnya Ayu.

Jadinya sore itu pun kami berempat ngobrol sampai magrib. Tapi obrolan yang kami bicarakan sama sekali tidak membicarakan Ayu. Aneh ya, mungkin kami berempat menjaga perasaan masing-masing. Padahal sebenarnya gue datang itu benar-benar pengen nostalgian di rumah ini.

“Felisha, titip salam ya dari kami buat Stella.” Kata ayah Ayu.

Sebenarnya gue ragu buat nyampain salam dari keluarga Ayu buat Stella, entah kenapa gue gak enak aja sama Stella nantinya kalau gue
bilang gue habis dari rumah Ayu. Gue sekali lagi ingin menjaga perasaan masing-masing.

“Mah… sms dari si AA, katanya bentar lagi sampai.” Kata Yudi ke wa Tita
“Oh ya.. si A Randy lagi di jalan pulang, kita belum ke makam.”
“Oh jadi belum ke makam ya?”
“Iya besok, soalnya nunggu A Randy.”
“Oh, kalau gitu wa Aku ikut. Besok kasih tau aku ya.” Kata gue yang lalu memberika no. Hp gue ke Wa Tita. Akhirnya setelah cukup lama, obrolan pun menyinggung ke arah sana, ke arah yang gue pengenin.

“Wa.. Tati, boleh gak Felisha ke kamar Ayu?” Pinta gue
“Ya boleh atuh sayang, sini.”

Wa Tita beranjak dari kursi lalu menuntun gue ke kamar Ayu. Gue pun mengikutinya dari belakang. Wa Tita membukan pintu kamarnya lalu menyalakan lampu, gue pun masuk ke dalam kamarnya setelah sekian tahun lamanya.

“Beginilah nenk, gak ada yang berubah.”

BENAR-BENAR GAK ADA YANG BERUBAH !!! Semuanya masih seperti dulu. Letak kasurnya, spreinya, posisi meja belajarnya, gitar milik Ayu yang digantung. Di lemarinya juga masih banyak coretan. Salah satunya ada coretan gue, coretan-coretan nama-nama band dan penyai-penyanyi yang menurut gue dan ayu keren dan semua itu masih sama percis seperti 7 tahun yang lalu. Gue pun melihat di dekat meja ada beberapa foto, dan itu semua ada foto gue, foto gue bareng Ayu pas di photo box. Foto keluarganya, foto dirinya sendiri yang manis, bahkan ada foto bertiga Ayu bareng gue dan Stella. Entah gue harusnya menyebut apalagi rasa yang gue alami. Di kamar ini gue sempat menghabiskan masa kecil, di kamar ini gue dan Ayu sering nyanyi-nyanyi bersama, di kamar ini juga sering jadi arena bermain dan belajar kami, dan di kamar ini juga menjadi saksi dimana gue dan Ayu pernah mengikrarkan impian kita masing-masing.

“Uwa tetap menjaga dan merawat ruangan ini agar selalu seperti dulu.” Kata Wa Tita.

Gue pun terharu dan menangis lagi.

***

Magrib, gue langsung pulang karena terus di sms dan di telepon ibu. Hp gue dari tadi memang sengaja gue silent biar gak ada yang menganggu gue. Mungkin nanti pas di rumah gue bakal kena omel karena sengaja kabur dari silaturahmi yang lain. Tapi, tak apalah.

***

“Habis darimana kamu? Maen kabur aja. Pergi kok gak bilang-bilang” Tanya ibu agak kesal kepada gue yang baru saja datang.
“Dari rumah Ayu.”
“Oh…” Ucap ibu menurunkan nada bicaranya.
“Masih aja ya kamu ingat dia. Yasudah cepat mandi dan makan.”
Gue pun langsung mengambil piring buat makan. Di meja makan ada Ani yang sedang makan juga.
“Ayu tuh siapa kak?” Tanya Ani ke gue. Rupanya Ani mendengar obrolan gue dengan ibu. Dan selama ini gue baru sadar ternyata Ani itu tidak tahu tentang siapa Ayu, padahal Ayu adalah orang yang berpengaruh di kehidupan gue.
“Lo tau berlian gak?”
“Taulah.”
“Dia itu berlian gue.”
“Kok berlian namanya Ayu, kayak nama orang aja ckckckkc.” Cibir dia.
Memang ya anak ini polosnaya masih di pelihara dan asal tau aja makin dewasa makin nyebelin.
“Heh dodol! Bukan begitu.” Gue melempar kerupuk yang tadinya gue pegang ke arah Ani.
“Ayu itu adalah sebuah kisah klasik.” Gue pun menghentikan makan gue dan langsung pergi ke kamar gue.

***