- Beranda
- Stories from the Heart
Catatan Atas Awan
...
TS
kentonganbebek
Catatan Atas Awan
Quote:
Quote:
Copyright Disclaimer
Cerita ini diambil dari platform menulis kemudian.com milik akun kaiyangsa.
Ane, kentonganbebek, hanya mengupload ulangdan melakukan penyempurnaan saja dengan mengedit beberapa bagian agar lebih rapi tanpa mengubah cerita yang ada.
(di sumber asli belum dikasih spasi antar paragraf, banyak typo, dan dialognya masih nyampur, jadi agak puyeng juga bacanya)
All credit to kaiyangsa.
Selamat datang di trit ane gan. Ijin share cerita ya.
Cerita ini diangkat dari kisah nyata pendakian Gunung Slamet tahun 2001. Bagi yang belum pernah denger, ane sarankan tunggu sampai selesai baca ceritanya dulu baru nanti browsing2. Bagi yang sudah pernah dengar ceritanya, ya silakan melihat peristiwa tersebut dari sudut pandang si penulis.

Quote:
Spoiler for prolog:
Catatan dari atas awan
sekedar pengingat untuk sahabat
Diamlah hatiku…
Karena langit kini tak mendengar
Karena rahasia malam dan misteri alam sedang terjadi
Diamlah hatiku…
Karena siapa yang menanti pagi dengan kesabaran
Dia akan menemukan pagi dengan kekuatan
Diamlah hatiku dan dengarkan aku bicara !
Sesuatu sedang terjadi padanya
Bagian dari hidupku sedang tak menentu
Berjuang dalam gelap dan dingnnya rimba
Ketakutannya, getarannya terasa oleh kulit dan nadiku
Kekuatan mentalnya terasa dalam hatiku
Diamlah hatiku…
Aku pun gelisah dan terasa dungu
Hanya sanggup berdiri di sini
Tanpa bisa meraih tangannya untuk membawanya kembali
Kumohon, diamlah hatiku…
Hentikan sejenak kegelisahanmu
Biar kukirim untaian doa untuk sahabatku.
Quote:
Diubah oleh kentonganbebek 17-07-2016 13:19
anasabila memberi reputasi
3
26.8K
Kutip
49
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kentonganbebek
#19
Part 8
Quote:
Badai belum mereda. Angin semakin liar mengirimkan hawa dingin ke dalam tenda. Gentur memaksakan diri untuk keluar dan membongkar satu tenda yang masih rapi tersimpan dalam carier. Di tengah hujan pasir dan hantaman badai gunung, Gentur berhasil melapisi tenda dengan tenda yang lebih besar, dia juga berhasil membawa pudding hungkwe yang rencananya akan disantap saat pesta puncak. Suhu dalam tenda sedikit lebih hangat karena angin tidak lagi masuk. Masrukhi juga menunjukkan kondisi yang mulai membaik, dia sudah bisa merespon ucapan teman-temannya meskipun apa yang dikatakan tidak pernah berhubungan dengan apa yang teman-teman bicarakan. Untuk sedikit mengganjal perut, Iis memberanikan diri menyuapi Masrukhi. Dengan kadar lemak, tepung dan gula yang ada pada hungkwe mereka berharap Masrukhi sedikit mendapat tenaga. Meskipun mereka tidak berharap berlebihan itu akan membuatnya pulih dan mampu melanjutkan perjlaanan ini.
Nampaknya setelah makan pudding, Masrukhi teringat rencana pesta puncak yang direncanakan. Dalam keadaan setengah sadar berulang kali Masrukhi meminta Coca-cola. Jelas saja mereka tidak menuruti keinginannya mengingat suhu yang terlalu dingin untuk seorang penderita hypothermia. Bahkan botol Coca-cola itu mereka biarkan utuh dengan segelnya, tidak tersentuh sama sekali.
Lambat laun kesadaran Masrukhi membaik. Kalimat dan ucapannya mulai terarah. Bahkan beberapa kali dia mengucapka kata-kata dalam bahasa Tegal yang terdengar sangat menggelikan di telinga teman-temannya. Usaha dan penantian di puncak Tugu Surono tidak sia-sia. Masrukhi sudah mulai bisa bercanda lagi.
“Sepertinya suhu tubuh Masrukhi mulai pulih. Kita tidak bisa berlama-lama di sini. Kita harus segera tiba di batas vegetasi hari ini juga. Kita akan mendirikan camp disana untuk memulihkan suhu tubuh dan tenaga kita, sebelum turun melalui jalur Bambangan,” usul Dodo yang langsung mendapat persetujuan teman-teman yang lain.
Rasa lelah dan kedinginan menghantui setiap anggota tim. Tapi mereka harus bergerak dan mengemasi barang-barang untuk melanjutkan perjalanan turun ke batas vegetasi. Di luar perkiraan, ketika teman-teman siap melanjutkan perjalanan, rupanya Masrukhi belum mampu mengangkat cariernya sendiri. Gentur mendekat dan membantunya mengangkat carier sementara yang lain sudah berjalan perlahan di depan. Masrukhi mencoba untuk berjalan, tapi kondisi fisiknya belum seratus persen pulih, kakinya belum kuat untuk menopang berat tubuh dan cariernya, jalannya sempoyongan dan terseok seperti orang mabuk.
“Do! Lebih baik kita ngecamp lagi, Do. Supaya dia bisa istirahat. Kalau begini caranya, kita maksain turun, kita bisa bunuh dia, Do!” suara Fauzan memecah kepayahan di antara gemuruh angin.
“Iya, kita akan buka camp lagi,” jawab Dodo tegas.
Iis, Dewi dan Bregas yang sudah berjalan beberapa meter di depan dipanggil kembali. Tenda mereka dirikan di tempat sama. Angin bertiup lebih hebat—bahkan tenda yang mereka dirikan terlipat hingga sudutnya bertemu. Carier mereka masukkan lebih dulu untuk mengganjal kerangka tenda agar tidak patah. Setelah tenda didirikan angin masih saja menghajar tenda mereka, terpaksa mereka harus duduk di atas carier dan menahan goncangan kerangka tenda dengan punggung. Semua terjaga, duduk di sudut tenda sementara Masrukhi berada di tengah di mana posisi dirasa paling hangat dan terlindung.
Waktu terus berputar, tapi hari masih sama. Sepanjang siang mereka berjuang menghadapi badai, terjatuh terseok, dua kali mereka harus mendirikan tenda darurat karena teman mereka terserang hypothermia. Mereka coba untuk bersabar dan terus berdoa sebisa mungkin. Mereka tidak bisa menjalankan sholat dengan selayaknya, karena tidak bisa bergerak lebih leluasa selain meringkuk dan berjongkok untuk menghadap Tuhan. Mereka hanya berharap besok hari dapat melanjutkan perjalanan untuk pulang.
Akhirnya pagi datang . Udara dingin membuat mereka malas untuk segera membongkar tenda. Beberapa saat lamanya pagi mereka lalui dengan bermalas-malasan di dalam tenda sambil mengumpulkan energi yang terkuras seharian kemarin. Satu demi satu perlengkapan mereka benahi dan saat packing pagi itu mereka menyadari beberapa barang yang mereka letakkan di luar tenda hilang. Mungikin diterbangkan oleh angin. Tanpa menghiraukannya, mereka bergegas lanjutkan perjalanan menuju Bambangan.
Untuk pertama kalinya Dodo berjalan paling depan. Kabut masih menyelimuti dan angin masih cukup kencang—meski tidak sekencang kemarin. Satu satunya pedoman yang mereka jadikan penunjuk jalan adalah sampah.
“Kita ikuti sisa-sisa sampah. Biasanya sampah akan banyak berserakan di sepanjang jalur pendakian,” begitu kata Dodo memberi pentunjuk.
Mula-mula jalan yang mereka lalui cukup jelas meski tersamar oleh kabut, hingga suatu ketika mereka harus berjalan naik dan itu membuat mereka ngos-ngosan.
“Lho, Do! Kita kan mau turun, kok malah naik lagi?”
Mendengar pertanyaan itu Dodo menghentikan langkahnya dan kembali turun bergabung dengan teman-teman yang mengikutinya di belakang.
“Tur, dirimu di depan, nyari jalan!” kata Dodo kemudian. Tanpa pertanyaan dan bantahan Gentur berjalan di depan dan mulai membantu Dodo untuk mencari jalan.
Keduanya jalan turun mengikuti sampah yang berserakan hingga pada suatu saat mereka menyadari sampah sudah tidak mereka temui, mereka tidak lagi berjalan mengikuti sampah tapi mereka mencari sampah… dan mereka tidak lagi menemukan petunjuk itu.
“Do… Tur.. berhenti…!” terdengar teriakan dari belakang. Seketika Gentur dan Dodo menghentikan langkah. “Masrukhi sakit!”
“Bawa turun ke sini, di cerukan..!” Dodo menanggapi teriakan itu. Cerukan, iya itu satu-satunya tempat yang dirasa paling terlindung dari hembusan angin yang terlalu kuat.
“Nggak bisa, Mas,” jawab Iis kemudian. Sesaat tidak ada lagi suara.
“Tur dirimu naik, bantu mereka. Aku sudah tidak kuat lagi…” kata Dodo lirih tapi cukup jelas terdengar di telinga Gentur. Ada ragu yang berlayut di mata Gentur dengan apa yang baru saya didengarnya.
‘Aku tidak kuat lagi…’ ulang Gentur dalam hati. Ada rasa yang mengganjal di benak Gentur. Dan itu membuatnya tidak begitu bersemangat untuk naik dan melihat kondisi Masrukhi. Egonya mulai bermain detik itu.
Karena dia senior dan pendamping, pastilah dia kuat, batin Gentur lagi. Tanpa dia tahu, rupanya Dodo terserang kram otot. Dodo menyandarkan tubuhnya di batuan cerukan sementara Gentur menemui teman-temannya untuk memberikan bantuan. Di tengah perjalanan dia bertemu Dewi.
“Wi, kamu temani Dodo. Dia ada di cerukan situ,” kata Gentur memberi petunjuk. Dewi Tidak menjawab apapun selain terus berjalan mengikuti petunjuk Gentur.
Di tempat lain, carier Masrukhi sudah berada di dasar jurang. Fauzan dan Bregas sekuat tenaga menahan tubuh Masrukhi yang hampir terjatuh. Dia mulai mengigau lagi, kata-kata yang dia ucapkan sudah tidak terbaca. Masrukhi terserang hypotermia lagi, dan sekarang lebih parah. Posisi yang nyaris masuk jurang dan keadaan lereng yang curam ditambah kondisi fisik yang telah terkuras membuat usaha membawa Masrukhi ke dalam cerukan sulit dilakukan.
Di antara himpitan batuan Gunung Slamet, tiupan badai dan keinginan untuk menyelamatkan seorang sahabat, terdengar suara rombongan pendaki lain. Hanya suara. Dan dari suara itu menunjukkan rombongan itu tidak terlalu jauh dari posisi mereka.
“Tolong…!” teriak Gentur meminta tolong. Beberapa kali dia berteriak kearah rombongan itu, tapi sepertinya tidak ada seorang pun yang membalas. Tidak kehilangan akal, Gentur meniup peluit sekeras kerasnya. Berharap kali ini isyarat itu terdengar dan pertolongan akan datang.
Tidak sia-sia, samar-samar Gentur mendengar rombongan itu memberi jawaban, tapi sayang tak seorangpun yang mendengar dengan jelas apa jawaban rombongan itu. Untuk memperjelas komunikasi dan meminta bantuan, Dewi berusaha mendekati rombongan itu.
Tidak berapa lama, salah satu anggota rombongan mendatangi mereka di cerukan. Saat itu kondisi fisik dan mental mereka sangat menurun. Kondisi tempat yang miring, sempit dan tidak rata membuat mereka tidak bisa mendirikan tenda untuk menolong Masrukhi. Satu-satunya yang bisa menghangatkan dia hanyalah sleeping bag. Masrukhi berada di pangkuan Dodo dan Iis. Pendaki itu memeriksa kondisi Masrukhi yang mulai mengerang kesakitan. Kemudian pendaki itu meminjamkan jaket merahnya untuk dipakai Masrukhi.
“Jalur pendakian di sebelah mana, Mas?” tanya Gentur pada si pendaki.
“Disebelah kanan, tapi dari sini bisa juga turun, nanti di bawah ketemu,” jawabnya.
“Teman-temanmu bisa dibawa kesini nggak, Mas?” tanya Dodo.
“Teman-teman saya sudah berada di batas vegetasi, Mas. Oiya, carier Mbak Dewi yang mana ya?”
Mereka tidak mengerti maksud jawaban si pendaki. Spontan mereka tunjukkan carier Dewi dan pendaki itu segera menyandangnya di punggung. Dewi akan turun bersama rombongan pendaki itu.
Bayang tubuh Dewi dan sekelompok pendaki tersapu kabut, menghilang di balik bebatuan puncak Gunung Slamet. Seperginya mereka, Gentur, Bregas dan Fauzan masih berusaha menolong Masrukhi. Tetapi belum sempat jaket pinjaman itu melindungi tubuh Masrukhi, tangan Masrukhi bergerak. Seolah ada yang ingin dia gapai. Tidak berlangsung lama, tangan itu perlahan melemas dan tidak bergerak sama sekali. Sekejap sunyi mengercap diantara mereka. Hanya terdengar suara deru angin dan bebatuan yang bertumbukan dengan batuan lain.
1
Kutip
Balas