- Beranda
- Stories from the Heart
Tak Selamanya [Selingkuh Itu] Indah (True Story)
...
TS
ivory.cahaya
Tak Selamanya [Selingkuh Itu] Indah (True Story)
TAK SELAMANYA [SELINGKUH ITU] INDAH (TRUE STORY)
![Tak Selamanya [Selingkuh Itu] Indah (True Story)](https://dl.kaskus.id/faristama.com/images/novel/tsi.jpg)
Ketika kesetiaan cinta diuji, apakah Aku bisa bertahan atau malah menyerah?
Kalian bisa menghakimiku, mencaci maki, dan meludahiku dengan hinaan kalian, tapi jangan mereka, orang yang terlanjur mencintai. Cinta tidak pernah salah, yang salah adalah orang yang melakukan penyelewengan, apapun, cinta itu tetap suci. Aku memang sampah. Tetapi tidak dengan mereka.
Kata orang, mendua itu indah. Kata orang, mendua itu membuat bahagia. Mungkin bisa iya, mungkin juga tidak, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Ini sebuah kisah tentangku yang terjebak dalam dua hati yang sama-sama mencintai, menyembunyikan segala sesuatunya dari Istriku dan menjalani dua kehidupan.
Aku adalah penghuni baru di SFTH, selama ini hanya jadi Silent Reader, dan kali ini sedang berusaha untuk bercerita tentang kisahku yang agak kelam.
Kisah ini aku modifikasi sedemikian rupa, baik dari nama tempat, nama tokoh, dan tanggal kejadian, tetapi percayalah ini masih terjadi hingga saat ini. Saat aku belum bisa memutuskan langkah apa yang akan diambil, apakah tetap setia atau terus hidup seperti ini.
Beruntung, Cahaya, Istriku tidak tahu menahu tentang akun ini di Kaskus, bahkan ia tidak pernah sekalipun tertarik dengan Kaskus, sementara Ivory, aku yakin suatu saat ia akan menemukan cerita ini, tetapi tidak masalah.
Hati yang sudah mendua ini butuh pencerahan, karena semuanya kini sudah terlewat jauh dari batasan yang kumiliki sendiri.
Quote:
Maaf apabila ada salah kata, penulisan, atau sikap dalam berforum, mohon bimbingan dari teman-teman semua, dan apabila ditemukan gaya bahasa saya mirip dengan salah satu, atau banyak penulis di SFTH, mohon maklum, saya hanya penulis amatiran baru.
Selamat membaca.
Quote:
Polling
0 suara
Siapa yang harus gw (Sani) pilih?
Diubah oleh ivory.cahaya 11-05-2022 06:16
mhdrdho dan 19 lainnya memberi reputasi
20
977.8K
2.8K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
ivory.cahaya
#1139
Aku Menyerah (Kau Harus Bahagia)
AKU MENYERAH (KAU HARUS BAHAGIA)
“Gak cuma sekali ini lakuin ini sama Dean ato Rino, bahkan Dani.”
“Dia pernah maen sama mereka beberapa kali, terus Aya cerita sendiri sama gue.”
“Gue udah tahu Ma,” ujarku pelan, aku berusaha tersenyum saat satu per satu nama-nama itu berhasil menyayat-nyayat dan melukai hatiku lebih dalam, “bahkan gue udah punya bukti kalo Aya lakuin itu sama Dean.”
“Mungkin loe gak mau tahu, tapi gue ada rekaman pas gue ngobrol sama Aya kemaren,” ujar Rahma dengan wajah yang begitu serius.
“Gue turut prihatin San,” ia lalu menepuk pelan pundakku.
“Gue udah nyadar ini salah satu kebodohan gue sejak awal nikah sama Aya.”
“Gak cuma loe yang bilang jangan nikahin dia.”
“Temen gue yang laen juga ngomong begitu.”
Tiba-tiba jemari lembut Ivory memagut tanganku, “jangan jelek-jelekin Aya,” ujarnya pelan, “gimana juga Kakak udah berbagi banyak kebahagiaan sama dia.”
“Vo,” panggilku pelan, wajahnya benar-benar meneduhkan segala bentuk emosi yang sudah bergerumul dengan begitu dahsyat di dadaku.
“Udah ya Kak,” ujarnya lagi.
“Cewek loe sabar bener ya San.”
“Beda sama Aya.”
“Gue rasa, meskipun keliatan kayak bocah SMP, loe bisa bahagia sama dia.”
Deg, jantungku langsung berdetak makin cepat, aku memandang ke arah Ivory, wajahnya begitu merah ketika ia memandangku dengan begitu teduh. Jemari Ivory masih memagut tanganku dengan begitu erat, ia mencoba untuk menenangkanku dengan kehangatan cintanya.
Rahma memandangku, masih ada tatapan sama seperti dahulu, ketika aku masih menjadi kekasihnya dahulu. Ada simpati yang tersirat dari tatapannya yang masih memandangku lekat-lekat. Ia tersenyum simpul, cukup untuk mengartikan bahwa masih ada perasaan di balik dadanya yang masih berdegup saat ini.
Ia menghela napas, dan mengajak kami untuk naik ke dalam mobilnya, sebuah Sedan D-Segment besutan Toyota bermesin dua-koma-empat-liter-empat-silinder-segaris, 2AZ-FE. Aku duduk di kursi penumpang depan, sementara Ivory duduk di belakang.
Saat itu ia memberikanku ponsel lengkap dengan earphones yang sudah terpasang di atas jack 3.5mm yang menjulurkan kabel sepanjang setengah-meter dan berujung kepada speaker-speaker kecil yang kupasang di telinga kanan dan kiriku.
Kumulai rekaman yang telah dibuat oleh Rahma.
“Eh, loe sering maen ke Bandung?” tanya Rahma.
“Baru sekarang sih, terakhir tahun kemaren pas sebelum gue hamil Reva,” ujar Cahaya.
“Masih ada rasa ya loe sama Dean?”
“Kayaknya gue liat loe akrab banget barusan?”
“Yaiyalah,” ujar Cahaya lalu tertawa kecil, “secara loe tahu siapa yang paling gue banggain dari dulu.”
“Ay, apa iya loe gak ada rasa bersalah sama Sani?”
“Sani sekarang udah mapan, udah bisa bahagiain loe lahir batin, masih kurang apaan?” tanya Rahma dengan suara yang jelas.
“Sumpah ya, bukannya gue gak bersyukur punya Laki kayak Sani, tapi buat gue Sani itu terlalu menye jadi cowok.”
“Terlalu mengangungkan cinta yang menurut gue gak jelas gitu lah.”
“Hadeh Ay, kok bisa-bisanya loe bilang suami loe sendiri gak jelas?” tanya Rahma.
“Ya gimana, sebenernya gue lebih puas kalo maen sama Sani.”
“Tapi kadang rasa tanggung dari Dean yang bikin gue penasaran.”
“Lagian juga loe tahu sendiri kalo Dean lebih ganteng dari Sani,” ujar Cahaya.
“Lah, jadi loe sampe hubungan gitu sama Dean?” nada Rahma tampak meninggi saat itu.
“Iya, sering malah,” ujar Cahaya ringan, “lagian gue juga udah bosen sama Sani.”
“Jujur, gue gak ngerti sama jalan pikiran loe.”
“Dean sama Sani jauh Ay.”
“Mana bisa Dean kasih loe gadget mahal kayak yang loe pake sekarang?”
“Bener juga sih Ma,” sahut Cahaya pelan, “tapi kebahagiaan bukan cuma materi kan.”
“Gue gak bisa bahagia sama Sani, makanya gue cari-cari kesenengan di luar.”
“Gue gak bisa hidup cuma satu cinta.”
“Loe aneh Ay,” ujar Rahma ketus, “mendingan Sani buat gue aja dari dulu tahu gini sih.”
“Ambil aja Ma,” ujar Cahaya lalu tertawa kecil, “dia itu udah cinta mati sama gue.”
“Dia udah bertekuk lutut di bawah kaki gue.”
“Asal loe tahu, gue selama ini cuma belagak nurut aja, padahal mah hati gondok kayak apaan tahu kalo ngeliat dia.”
“Eneg sumpah, dia itu enggak banget pokoknya.”
“Mau gue sampe hamil lagi sama Dean, dia pasti akan maafin gue, dan gue yakin itu.”
“Parah loe Ay, asli parah.”
“Gini deh, kalo loe harus milih, Dean apa Sani, loe milihnya siapa?”
“Kalo boleh milih, gue mau ambil semua apa yang gue punya dari Sani, terus gue nikah sama Dean.”
“Wow, serius loe?” tanya Rahma, nadanya tidak percaya.
“Gue serius, gue udah gak ada rasa sama sekali sama Sani.”
“Selama ini gue bertahan ya biar gue dapet fasilitas dari dia.”
“Lagian, Dean juga udah cerai sama mantan bininya.”
Deg, jantungku langsung berdetak sangat cepat, sangat keras, menyesakkan seluruh dadaku, saat itu aku langsung melepaskan earphones yang kugunakan dan meletakannya di center console mobil ini. Entah, mungkin wajahku yang pucat seperti zombie atau entahlah, tetapi saat itu Rahma langsung melambatkan laju kendaraannya dan menepikan Sedan D Segment miliknya.
Air mataku meleleh, mengalir deras dari kedua mataku, isakan tangisku begitu terdengar pilu bahkan untuk diriku sendiri. Lagi, jemari itu memagut mesra tanganku yang kini begitu lemah, rapuh atas segala yang sudah terjadi kepadaku, semuanya terasa begitu palsu selama ini.
Cahaya, wanita yang selalu kujaga kehormatannya, ternyata tidak pernah sedikitpun menjaga itu bahkan untukku. Ia malah dengan ringan mengatakan lebih memilih Dean ketimbang diriku. Apa salahku selama ini kepadamu, Aya? Hatiku terus-menerus berteriak, lara menahan perih yang membuat lubang menganga di hatiku.
Usai sudah ini semua, aku tidak mungkin mempertahankan ini semua, aku tidak mungkin memaksakan untuk melanjutkan ini lagi lebih jauh. Aku sudah tamat bersamanya, entahlah, hanya mungkin takdir Sang Aziz saja yang akan mengubah segala yang sudah disuratkan untukku.
“San,” panggil Rahma pelan, aku menoleh kepadanya seraya tangan-tangan lembut Ivory mendekapku dari belakang, “iya Ma,” sahutku, lirih menahan pedih, “loe mau gimana sekarang?”
“Anterin gue ke tempatnya Dean,” ujarku pasti, seraya memandangnya, “gue mau nyelesaiin ini semua sama dia,” ujarku dan berusaha tersenyum.
“Kakak,” panggil Ivory pelan, “aku enggak mau Kakak gegabah gini.”
“Please, pertimbangin lagi Kak.”
“Udah dek,” ujarku lalu menggenggam jemarinya yang melingkah di leherku, “Kakak janji gak akan buat rusuh, cuma pengen nanya baik-baik aja sama Aya.”
“Iya Kak,” ujar gadis itu pelan, ia lalu mengeratkan dekapan yang terputus oleh jok kulit yang membenamkan tubuhku saat ini.
“Ma, ayo kita jalan ke rumahnya Dean.”
Rahma melajukan kendaraan ini menuju ke kediaman Dean, ada rasa gugup yang langsung melanda hatiku dengan begitu hebat, seolah agar aku tidak melakukan ini. Tetapi ini semua harus segera dicarikan jalan keluar, agar tidak begini seterusnya, aku ingin kejelasan atas ini semua.
*****
Keempat rodanya terhenti di depan sebuah rumah yang berada agak jauh dari jalan raya, ukurannya sekitar enam-puluh-meter-persegi, ada sepeda motor milik Dean terparkir di depannya. Sudah dapat dipastikan bahwa Dean mengajak Cahaya ke sini dengan menggunakan sepeda motor.
Aku memandang ke arah Rahma dan Ivory, keduanya hanya bisa memandangku balik dengan ekspresi yang sangat cemas, entah apa yang mereka takutkan.
Aku adalah orang yang tenang, dan karena terlalu tenang, maka aku selalu dinjak-injak oleh Cahaya, setidaknya itu yang aku tahu.
Degup jantungku terus berdetak sangat kencang dan cepat, tanpa terasa kedua tanganku langsung berkeringat. Lalu, dengan segenap keberanian yang telah kukumpulkan dalam dua menit terakhir, aku membuka pintu kendaraan ini.
Dengan pasti aku melangkahkan kaki ke depan rumah orangtua Dean, dan mengucapkan salam.
Alangkah terkejutnya orang itu saat mengetahui aku yang datang ke rumah orangtuanya, ia adalah Dean. Wajahnya langsung berubah pucat saat melihat aku datang. Tidak lama kemudian, Cahaya pun keluar dari balik tubuh Dean dan memandangku dengan wajah yang juga tidak percaya.
Kebisuan menyelimuti kami, mengunci lisan-lisan pendosa kami dengan kesalahan-kesalahan yang menjanjikan kami menghuni neraka Sang Jabbar.
“Udah gak usah pada bingung gitu,” ujarku ringan di kala mata mereka menatapku dengan emosi yang bercampur aduk.
“Lima tahun kita bina rumah tangga, dan selama lima tahun itu aku selalu ngertiin apa yang kamu mau.”
“Lima tahun aku tahan sakit hati karena aku pengen liat kamu bahagia,” ujarku lagi, kali ini lebih pelan.
“Tapi, apapun yang aku lakuin, gak akan bisa gantiin Dean kan di hati kamu?”
“Emang bener, cinta itu masalah gimana ngebahagiain, bukan dibahagiain.”
“Juga gimana mau dibegoin, bukan mau ngebegoin.”
“Kak, denger penjelasan aku dulu,” hiba Cahaya, wajahnya masih pucat saat melihatku.
“Udah,” ujarku tajam, “kamu udah tahu harusnya apa yang terjadi selama ini.”
“Semuanya aku kerjain buat kamu, siang malem gak tidur cuma buat kamu, sekarang setelah aku penuhin semua janji aku ke kamu, kamu malah begini.”
“Oh aku lupa,” ujarku lagi dan menatap tajam mata wanita itu, “materi bukan penentu kebahagiaan, dan kamu lebih pilih Dean biar kamu bahagia.”
“Gini deh, aku gak mau banyak kata-kata,” ujarku sembari menatap kedua insan yang menatapku dengan wajah yang pucat, “ini kesempatan terakhir kamu buat berubah.”
“Kamu pilih aku ato Dean, aku gak mau ajak kamu pulang, karena aku tahu pasti kamu akan balik lagi.”
“Dan aku akan dibegoin lagi.”
“Satu kesempatan buat pulang, kalo kamu gak pulang berarti kamu udah milih Dean.”
“Biar hati kamu yang milih, sama siapa kamu bahagia.”
Kubalik tubuhku, tanpa mau mendengar hibaan Cahaya yang semakin keras memekikkan telingaku, tetapi aku tidak mengacuhkannya. Kuraih jemari Ivory yang saat itu menyaksikan kami dengan mata yang berkaca-kaca, entahlah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu.
Kulangkahkan kakiku menuju mobil milik Rahma, kuambil sendiri kontak keyless milik kendaraan itu dan mengendarai mobil ini tanpa menoleh ke Cahaya sedikitpun.
Kepalan tangannya sesekali menyentuh kaca mobil saat kujalankan pelan-pelan Sedan D Segment ini menjauhi rumah orangtua Dean yang tampaknya tidak ada di sana saat ini. Masa bodoh dengan apa yang terjadi dengan Cahaya nanti, aku sudah terlanjur kecewa dengan apa yang ia telah perbuat.
Aku sudah berada di jurang terdalam hubunganku dengan Cahaya saat ini.
Quote:
*****
“Ma,” panggilku pelan ke Rahma ketika kendaraan ini terhenti di lampu merah menuju jalan Setiabudi.
“Kenapa San?”
“Loe ada waktu gak siang ini buat gue?”
“Ngapain San?” tanyanya keheranan.
“Gue punya satu permintaan.”
yusufchauza memberi reputasi
1
![Tak Selamanya [Selingkuh Itu] Indah (True Story)](https://s.kaskus.id/images/2016/06/03/8744733_20160603011638.jpg)