- Beranda
- Stories from the Heart
Catatan Atas Awan
...
TS
kentonganbebek
Catatan Atas Awan
Quote:
Quote:
Copyright Disclaimer
Cerita ini diambil dari platform menulis kemudian.com milik akun kaiyangsa.
Ane, kentonganbebek, hanya mengupload ulangdan melakukan penyempurnaan saja dengan mengedit beberapa bagian agar lebih rapi tanpa mengubah cerita yang ada.
(di sumber asli belum dikasih spasi antar paragraf, banyak typo, dan dialognya masih nyampur, jadi agak puyeng juga bacanya)
All credit to kaiyangsa.
Selamat datang di trit ane gan. Ijin share cerita ya.
Cerita ini diangkat dari kisah nyata pendakian Gunung Slamet tahun 2001. Bagi yang belum pernah denger, ane sarankan tunggu sampai selesai baca ceritanya dulu baru nanti browsing2. Bagi yang sudah pernah dengar ceritanya, ya silakan melihat peristiwa tersebut dari sudut pandang si penulis.
Quote:
Spoiler for prolog:
Catatan dari atas awan
sekedar pengingat untuk sahabat
Diamlah hatiku…
Karena langit kini tak mendengar
Karena rahasia malam dan misteri alam sedang terjadi
Diamlah hatiku…
Karena siapa yang menanti pagi dengan kesabaran
Dia akan menemukan pagi dengan kekuatan
Diamlah hatiku dan dengarkan aku bicara !
Sesuatu sedang terjadi padanya
Bagian dari hidupku sedang tak menentu
Berjuang dalam gelap dan dingnnya rimba
Ketakutannya, getarannya terasa oleh kulit dan nadiku
Kekuatan mentalnya terasa dalam hatiku
Diamlah hatiku…
Aku pun gelisah dan terasa dungu
Hanya sanggup berdiri di sini
Tanpa bisa meraih tangannya untuk membawanya kembali
Kumohon, diamlah hatiku…
Hentikan sejenak kegelisahanmu
Biar kukirim untaian doa untuk sahabatku.
Quote:
Diubah oleh kentonganbebek 17-07-2016 06:19
anasabila memberi reputasi
3
26.4K
Kutip
49
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.6KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kentonganbebek
#10
Part 4
Quote:
“Vi, kita jalan lebih cepat, aku khawatir dengan mereka…” tiba tiba Yayak melangkahkan kakinya lebih lebar. Dia terlihat lincah menapaki bebatuan, tidak ada satupun yang runtuh karena pijakannya. Batunya yang benar-benar kokoh atau kelihaian dia mencari pijakan? Entahlah. Langkah kami merapat pada Iin. Kulit putihnya memerah terbakar matahari dan bibirnya bergetar oleh dingin.
“Kalian susul Azis dan Baried, aku akan mengikuti kalian,” kata Iin terbata. Aku menatap ke atas gunung, Azis dan Baried semakin jauh dari kami.
“Zis, Ried… berhenti!!” teriakku. Kugunakan juga peluitku untuk menghentikan langkah mereka. Sia – sia.Terpaksa kami harus mempercepat langkah.
“Aku kejar mereka, aku khawatir—mereka belum tahu jalan dan medan di puncak,” kata Yayak.
Aku dan Iin menggangguk. Yayak bergegas menyusul Azis dan Baried. Perasaan khawatir dan kecepatan Yayak berjalan membuat beberapa batu yang dipijaknya runtuh, beberapa kali dia terpeleset. Yayak masih terus berjalan. “Hoi, berhenti!!” teriaknya keras.
Azis dan Baried yang hanya berjarak 15 meter dari Yayak. Azis sudah tidak lagi menggunakan sandal gunungnya. Dia nekat membiarkan kakinya menapaki bebatuan tanpa alas. Sandal gunung kebanggaannya diikat di samping carier, dengan satu sisi yang telah putus pengaitnya. Mereka bertiga kemudian berhenti menunggu aku dan Iin yang berjalan amat pelan. Semakin ke atas udara semakin dingin, oksigen semakin menipis dan perbekalan yang seolah tidak pernah berkurang beratnya bersandar di punggung kami.
Menghela napas sebentar. Tim Kaliwadas II sudah terhalang oleh batuan dan kabut yang mulai beranjak naik menyelimuti badan gunung.
“Yak, kabut lagi,” kataku pelan.
Yayak mengangguk, mengiyakan. Kami sudah berada jauh diatas badan gunung, puncak tidak jauh lagi. Kami akan lanjutkan perjalanan sebelum kabut semakin tebal. Sambil istirahat dan berlindung dari panas matahari di balik batu yang agak besar, Azis memperbaiki sandalnya dengan tali frusik. Dia tidak boleh berjalan tanpa alas kaki. Batu dan pasir yang tajam akan sangat mudah melukai kulit kakinya. Kami tidak ingin itu terjadi.
“Kamu tuh bener – bener gila. Bisa – bisanya naik gunung tanpa alas kaki. Pelajaran buat kita semua. Merepotkan!” Iin bergumam. Kami tahu kalimat itu ditujukan untuk Azis meskipun Iin tidak secara langsung menyebutkan nama.
Azis tidak menanggapi, dia sudah benar-benar merasakan payahnya naik gunung dengan sandal. Walaupun namanya sandal gunung, itukan cuma di iklan televisi. Dengan medan berbatu, berpasir dan lereng yang curam konyol namanya jika tidak membekali diri dengan perlengkapan standar pendakian. Azis kembali memakai sandal gunungnya. Agar tidak lepas dan lebih nyaman dia menggunakan kaos kaki agak tebal.
Perjalanan dilanjutkan. Kali ini aku di depan, diikuti Iin, Baried, Azis dan paling belakang Yayak. Bibir kawah Gunung Slamet sudah terlihat meskipun untuk sampai disana masih butuh perjuangan dan tenaga ekstra. Lereng semakin curam, tidak terlalu banyak batu untuk pijakan, hanya permukaan berpasir, dan kami harus berjalan menyamping agar tidak terpeleset. Seringkali untuk menjaga keseimbangan kami harus berjalan membungkuk.
Langkahku terhenti, mendadak dadaku terasa amat panas. Kuambil air minum di daypack, seteguk yang menyegarkan.
“Kenapa, Vi?” tanya Iin.
Aku menggeleng, memberi isyarat baik-baik saja. Sengaja aku tak ingin terlalu banyak bicara, tahu kondisiku mulai menurun. Di detik itu, ketika kaki terasa berat untuk melangkah, beban carier rasa-rasanya ingin kutinggalkan, dan tubuhku ingin sejenak direbahkan, sayup-sayup kudengar suara adzan. Kabut tersingkap perlahan, aku lihat langit begitu cerah, biru tanpa awan dan suara adzan terdengar makin jelas.
“Kita berhenti dulu sebentar. Dengerin adzan dulu,” kataku menghentikan langkah Baried, Azis dan Yayak. Keempat sahabatku berhenti, diam, dahi mereka berkerut, pandangan mereka jauh ke bawah gunung.
“Mana kedengeran suara adzan di puncak gunung kaya gini, Vi,” Baried memecah keheningan. Seketika dia melangkah diikuti Azis dan Iin.
“Iya, aku denger suara adzan, kamu juga denger kan, Yak?” kataku meyakinkan mereka.
Heran, Yayak tidak menjawab sepatah katapun. Dia mendekat ke tempat aku berdiri. Aku masih mendengar suara itu, sangat jelas. “Ayo, sebentar lagi sampai di bibir kawah” ajak Yayak.
Aku tidak mengerti mengapa tidak seorang pun yang mendengar suara adzan duhur itu. Diselimuti rasa penasaran aku melangkah mengikuti jejak yang ditinggalkan Yayak. Aku memaksa mendahuluinya saat langkahnya terhenti untuk menungguku.
“Aduh!” terdengar Baried berteriak. Sesuatu terjadi padanya.
“Kenapa?” tanyaku khawatir.
“Gak papa, mataku kemasukan pasir,” Baried menjelaskan sambil mengucek matanya. Azis mencoba membantu dengan meniup mata Baried. Sekali dua kali hingga berkali kali tidak berhasil. “Udah, gak papa, dah agak mendingan…” kata Baried. Meskipun bilang sudah agak mendingan, tapi matanya masih merah dan dia masih terus mengedip-ngedip cepat.
Debu yang menggangu mata Baried sepertinya bukan debu biasa. Karena konsentrasi tertuju pada mata Baried, kami tidak menyadari kabut datang dengan sangat cepat. Kabut yang bergerak tertiup angin sangat jelas. Angin kencang bergemuruh menyergap.
“Cepat berlindung di batu itu,” Yayak berteriak sambil menunjuk ke sebuah batu besar 20 meter di atas posisi kami. Azis dan Iin berjalan menunduk menahan keseimbangan. Angin bisa menerbangkan kami setiap saat.
“Cepat!” teriakku.
Angin berhembus semakin kuat. Awan bergerak cepat bersimpangan arah. Badai! Azis dan Iin masih terus berusaha merapat di batu besar yang ditunjuk Yayak. Batu itu cukup besar dan aman untuk berlindung kami berlima. Aku, Baried dan Yayak masih berlindung di batu yang tidak terlalu besar sambil terus memperhatikan langkah Iin dan Azis dengan cemas. Kami akan bergerak menyusul mereka setelah mereka mencapai tempat yang aman.
Aku melihat Azis mulai kelelahan, berkali-kali dia terpeleset hingga satu sisi sandalnya terlepas dan jatuh ke dasar cerukan yang tidak terlalu dalam. Dengan beban carier yang semakin berat tertiup angin, Iin harus menuntun langkah Azis. Tangan Azis menggenggam tangan Iin dengan kuat. Ketakutan mulai membayang di wajah Indo-Arabnya. Melihat keadaan ini kami segera menyusul. Yayak mengambil langkah di depan untuk membuka jalan. Dia berjalan menyilang ke kanan dan membuat jejak menyerupai anak tangga dengan sepatunya.
“Ikuti jejak!” katanya keras.
Aku dan Iin mengikuti Yayak sementara Baried membantu Azis di belakang. Kaki Azis terluka. Setibanya di batu besar, aku dan Iin memeriksa luka di kaki Azis. Kami tahu balutan yang kami berikan hanya akan bertahan sebentar, tapi hanya itu yang bisa kami lakukan.
“Biar, tar dibungkus pakai plastik aja deh...” kata Azis menyadari sebelah sandalnya hilang.
Kami saling pandang mendengar perkataan Azis. “Sandal aja lepas, gimana plastik, hancur kali…” Baried menimpali.
“Sepatu kamu bisa dikeluarin nggak, Ried?” tanyaku.
Baried dengan tegas menggeleng. “Aku taroh di paling bawah, harus bongkar carier dulu!”
“Puncak masih jauh, Yak?” aku memastikan. “Kita tetep harus bergerak kan? Kita ga mungkin selamanya diam di sini.”
“Pasti, 10 meter di depan kita sampai bibir kawah, kita ambil jalan ke kanan sampai di Tugu Surono. Disana lebih luas dan landai,” Yayak memberikan arahan.
Semoga angin ini cepat mereda, harapku dalam hati. Kami masih diam menunggu badai melemah. Kami tahu kami sudah terjebak, tapi kami akan berusaha untuk lepas dari jebakan angin dan kabut gunung ini. Kami tidak tahu apa jadinya kalau batu ini tidak ada.
Menjelang pukul setengah satu siang angin melemah dan kami memutuskan untuk segera menjangkau Tugu Surono. Tidak seperti yang kami bayangkan, 10 meter terasa sangat jauh— medan berpasir dan lereng yang sangat curam, ditambah kelelahan dan kedinginan. Sepuluh meter harus dilalui dengan perjuangan, napas mulai tersengal akibat kadar oksigen yang menipis.
Kali ini Iin di depan, dibelakangnya ada aku, Baried, Azis dan Yayak. Kami tiba di bibir kawah yang terselimuti kabut. Kalau saja hari cerah, kami bisa menikmati keindahan dan luasnya kawah Gunung Slamet. Kami melanjutkan langkah ke kanan menuju Tugu Surono. Meskipun jalan yang kami lalui cukup landai tapi kami tidak bisa berjalan dengan tegak. Selayaknya angin di puncak gunung, angin masih berhembus cukup kencang.
“Allohu Akbar!” teriak azis begitu kami sampai di Tugu Surono, puncak tertinggi Gunung Slamet.
Kami berkumpul, merebahkan diri sesaat, bersandar di Tugu Surono yang tidak terlalu tinggi. Mengabadikan yang sudah diperjuangkan, Azis mengeluarkan kamera poketnya. Dan beberapa gambar menjadi saksi pendakian kami di Gunung Slamet.
0
Kutip
Balas