- Beranda
- Stories from the Heart
Catatan Atas Awan
...
TS
kentonganbebek
Catatan Atas Awan
Quote:
Quote:
Copyright Disclaimer
Cerita ini diambil dari platform menulis kemudian.com milik akun kaiyangsa.
Ane, kentonganbebek, hanya mengupload ulangdan melakukan penyempurnaan saja dengan mengedit beberapa bagian agar lebih rapi tanpa mengubah cerita yang ada.
(di sumber asli belum dikasih spasi antar paragraf, banyak typo, dan dialognya masih nyampur, jadi agak puyeng juga bacanya)
All credit to kaiyangsa.
Selamat datang di trit ane gan. Ijin share cerita ya.
Cerita ini diangkat dari kisah nyata pendakian Gunung Slamet tahun 2001. Bagi yang belum pernah denger, ane sarankan tunggu sampai selesai baca ceritanya dulu baru nanti browsing2. Bagi yang sudah pernah dengar ceritanya, ya silakan melihat peristiwa tersebut dari sudut pandang si penulis.
Quote:
Spoiler for prolog:
Catatan dari atas awan
sekedar pengingat untuk sahabat
Diamlah hatiku…
Karena langit kini tak mendengar
Karena rahasia malam dan misteri alam sedang terjadi
Diamlah hatiku…
Karena siapa yang menanti pagi dengan kesabaran
Dia akan menemukan pagi dengan kekuatan
Diamlah hatiku dan dengarkan aku bicara !
Sesuatu sedang terjadi padanya
Bagian dari hidupku sedang tak menentu
Berjuang dalam gelap dan dingnnya rimba
Ketakutannya, getarannya terasa oleh kulit dan nadiku
Kekuatan mentalnya terasa dalam hatiku
Diamlah hatiku…
Aku pun gelisah dan terasa dungu
Hanya sanggup berdiri di sini
Tanpa bisa meraih tangannya untuk membawanya kembali
Kumohon, diamlah hatiku…
Hentikan sejenak kegelisahanmu
Biar kukirim untaian doa untuk sahabatku.
Quote:
Diubah oleh kentonganbebek 17-07-2016 06:19
anasabila memberi reputasi
3
26.4K
Kutip
49
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.6KAnggota
Tampilkan semua post
TS
kentonganbebek
#2
Part 1
Quote:
Sesakit apapun yang kau rasakan saat ini, itulah kenyataan hidup bagimu, dan catatlah itu dalam catatan sejarahmu, agar kelak kau bisa katakan... aku pernah… dan aku belajar daripadanya.
Quote:
Februari 2001
“Enggak! Perjalanan ini hanya akan kita lakukan saat cuaca baik. Aku nggak mau pertaruhkan nyawaku untuk ikut perjalanan ini!” Teriakan itu muncul dari balik jendela kamar Noel.
“Kalau menunggu cuaca baik itu artinya melewati batas waktu yang sudah diberikan. Semua harus kita selesaikan bulan ini juga, Noel….”
“Lagi pula kalau menunggu cuaca baik, kita juga gak tau pasti kapan…Toh kita melakukan perjalanan ini tidak sendirian kan, kita tetep akan ada pendampingan dari senior. Ga bakal kenapa-napa deh…”
Perdebatan malam itu tidak menemukan kesepakatan yang menyenangkan, Noel terpaksa mengundurkan diri dari Tim, dan itu menyisakan keganjilan diantara teman-teman yang terlibat dalam perjalanan kali ini.
Ini bukan pertama kalinya aku melakukan pendakian. Hanya saja pendakian kali ini bukan pendakian seperti sebelumnya. Ada tugas yang harus aku dan teman-teman kerjakan sebagai syarat untuk bergabung dan diterima di komunitas pencinta alam di salah satu universitas negeri terkemuka di Jogja. Pendakian ini disebut Wajib Gunung.
Awalnya lokasi yang dipilih adalah gunung Merapi, tetapi mengingat kondisi Gunung Merapi yang “AWAS” maka pendakian dialihkan ke Gunung Slamet. Bukan tanpa pertimbangan, Gunung Slamet dipandang mempunyai karakteristik yang tidak terlalu jauh berbeda dengan Gunung Merapi. Selain sama-sama masih aktif, jenis batuan relatif sama yaitu batuan andesit, dilihat dari batas vegetasi (plawangan) hingga ke puncak merupakan batuan lepas, berpasir dan merupakan lereng yang cukup terjal. Dan yang pasti keduanya masih di pulau Jawa. Ya, lokasi yang diambil memang tidak terlalu jauh karena pendakian ini pendakian dalam rangka pendidikan lanjut setelah pendidikan dasar kepencintaalaman.
Perjalanan ini akan diikuti beberapa orang yang terbagi dalam 4 kelompok. Dua tim akan memulai pendakian dengan mengambil entry point di jalur pendakian Baturaden dan dua lainnya mengambil entry point di jalur pendakian Kaliwadas. Masing-masing tim didampingi oleh dua orang senior. Untuk menghindari penumpukan jumlah pendaki, maka setiap tim berangkat dari Jogja selang satu hari dari tim yang lain.
Seperti kesepakatan terakhir, Noel memutuskan untuk mundur dari tim. Tersisalah 4 orang, aku, Iin, Baried, dan Azis. Rupanya yang memutuskan untuk tidak bergabung tidak hanya Noel, seorang pendamping yang sudah ditentukan oleh pengurus mendadak mengundurkan diri karena alasan kuliah. Ya apa boleh buat, perjalanan ini tetap harus berjalan, ada atau tidak adanya mereka. Toh dengan pengalaman dan pengetahuan Yayak cukup meyakinkan kami untuk tidak mundur atau ragu. Apalagi, kami bukan tim yang pertama akan melewati jalur pendakian Baturaden. Sehari sebelumnya, tim Baruraden I yang didampingi oleh Wiwid dan Ndaru sudah melakukan pendakian. Jadi, kami tinggal mengikuti jejak mereka saja untuk tiba di puncak Gunung Slamet.
***
Setelah subuh kami meninggalkan Jogja menuju Purwokerto. Semua bertemu di Terminal Umbulharjo di halte jurusan Jogja – Purwokerto. Sengaja memilih berangkat dengan bus karena lebih cepat dan dipastikan dapat tempat duduk. Kami tidak mau bertaruh dengan naik kereta akan mendapat kenyamanan yang sama dengan bus. Carier yang kami bawa juga akan lebih aman dan yang pasti kami tidak harus setiap detik mengawasi, karena semua masuk di bagasi. Perjalanan akan kami tempuh kurang lebih 4 jam. Waktu yang lebih dari cukup untuk tidur lagi membayar begadang semalaman menyiapkan perlengkapan.
Bus melaju kearah barat, meninggalkan kota Jogja yang masih lengang. Setelah kondektur meminta ongkos, selesailah tugas kami. Tanpa ngobrol lama, mata yang masih menyisakan kantuk kembali merapat, dengan kepala bersandar nyaman di sandaran kursi.
Tim Baturaden II (Nevi, Iin, Azis, Baried, Yayak)
Tidak terlalu sulit untuk menemukan entry point pendakian. Cukup sebutkan “Mau ke Slamet” sopir angkot akan mengantar hingga jalan setapak di pertengahan hutan. Ya jalur Baturaden memang cukup ramai karena Baturaden merupakan objek wisata cukup terkenal di Purwokerto. Di dalam hutan ada jalan aspal meski tidak seberapa lebar, dan itu sangat memudahkan awal perjalanan kami.
Matahari bersinar cukup hangat. Sengaja kami memulai perjalanan pagi-pagi agar bisa mencapai target lokasi dan tidak terlalu ngoyo. Kami harus mengondisikan diri dengan beban carier yang cukup berat dan penurunan kadar oksigen di setiap ketinggian yang kami capai. Semakin tinggi lokasi yang kami lalui, semakin tipis oksigen yang tersedia. Beberapa kali kami harus berhenti untuk mengatur pernapasan.
“Tunggu…pelan-pelan aja..,” teriak Azis di satu jam perjalanan masuk hutan Baturaden.
Yayak yang berjalan paling belakang sebagai sweeper hanya tersenyum setiap kali Azis merebahkan tubuhnya bersandar di akar pohon yang tumbuh di permukaan. Hutan yang lebat, pohon-pohon menjulang dengan batang yang besar, akar muncul di permukaan tanah. Sejak isi carier kami bertambah dengan 5 liter air, perjalanan memang menjadi bertambah berat. Dan itu sangat dirasakan oleh Azis.
“Istirahat aja dulu, jangan mengeluh…” kataku. Aku teringat pesan Pak Dusun tempat kami singgah kemarin malam;
“Kalau ndaki gunung, jangan mengeluh, nanti capek beneran. Trus jangan buang air sembarangan, minta ijin dulu. Ya percaya atau tidak, hutan Gunung Slamet ini masih wingit – sering terjadi hal hal aneh” begitu katanya memberi pesan.
“Gunung Slamet masih aktif kan ya, Pak? Pernah meletus kaya Gunung Merapi apa tidak?” tanya Azis ingin tahu.
“Iya memang masih aktif, tapi tidak seaktif Gunung Merapi. Lagipula lubang kawahnya luas jadi kalaupun meletus tidak terlalu berbahaya…”
“Kalau mau meletus tanda tandanya seperti apa, Pak?” kali ini aku ikut nimbrung, ingin tahu juga.
“Biasanya di sini kalau ada bencana, tandanya ada suara gemuruh dari atas gunung…” jawab Pak Heri, sambil memandang jauh ke arah gunung.
Pak Heri tidak menjelaskan lebih jauh gemuruh seperti apa yang dimaksud. Kami pun tidak bertanya lebih banyak karena Bu Heri datang membawakan mendoan khas Purwokerto. Seketika hangatnya mendoan, sambal kecap dan segelas teh manis lebih menarik perhatian kami.
Jejak-jejak kaki kecil kami semakin jauh meninggalkan perkampungan di sekitar Baturaden. Gemericik air sesekali terdengar di sepanjang jalur yang kami lewati. Hutan tropis yang megah. Pohon-pohon berbatang raksasa begitu mudah kami temui, kicau burung riang menemani selama perjalanan. Tidak hanya itu, makhluk kecil penghuni hutan Slamet kadang membuat kami ketakutan; Lintah.
Entah berapa puluh atau bahkan ratusan lintah yang sudah kami temui. Mereka kadang terlalu lincah hingga celana panjang saja masih bisa dia lewati. Apa boleh buat, dengan terpaksa kami menjadi donor darah untuk makhluk-makhluk berbadan empuk itu. Beberapa kali kami harus berhenti untuk melepas gigitan mereka di kaki. Pada awal pertama digigit, Azis mencabut paksa lintah yang menggendut kekenyangan menghisap darahnya. Akibatnya, gigitan itu melukai kakinya. Untungnya tidak seberapa parah, hanya luka kecil, dia masih bisa terus berjalan.
Dari puncak punggungan sesekali kami melepaskan pandang jauh ke bawah. Langit biru tanpa awan. Matahari cukup terik, tapi itu tidak terasakan panasnya. Kanopi pepohonan di sepanjang perjalanan memayungi langkah kami. Cuaca hari ini memberi semangat lebih. Yah, hujan badai sepertinya akan jauh dari pendakian kali ini. Meskipun bulan Februari masih masuk bulan musim penghujan, tapi lihat saja sinar matahari dan biru langit yang seolah jadi sumber penerang paling sempurna untuk menikmati indahnya lembah dan kaki gunung. Dari ketinggian, kepulan asap terbang semakin tinggi dari perkampungan di bawah. Garis putih seolah menyatukan langit dan bumi.
“Lihat, itu pantai!” teriak Baried begitu bersemangat menunjuk jauh kearah selatan. Iya di ujung selatan pulau jawa memang pantai, tapi kalau pantai itu terlihat dari puncak punggungan ini aku juga tidak yakin.
“Masa sih?” tanya Iin setengah protes. Azis juga tak mau ketinggalan. Dia mengeluarkan kamera poket manualnya, mengambil angle yang dirasa bagus, dan kami mengabadikan momen itu, sambil istirahat siang menikmati keagungan Tuhan melalui semua yang Dia ciptakan. Kadang manusia lupa, betapa sesungguhnya mereka adalah makhluk-makhluk kecil dengan ego yang sangat besar. Ego itu yang tanpa disadari mampu menghancurkan segalanya.
“Ok, kita lanjutkan perjalanan… jangan keasyikan di sini…” suara Yayak membuyarkan kekaguman kami. Carier seberat 20kg kami sandang lagi, hampir menutup separuh tubuh. Sebelum meneruskan langkah, kami memberi tanda di peta jalur yang sudah kami lewati. Beberapa menit kami juga berusaha memperkirakan jarak yang harus ditempuh hingga tiba di Pos II.
“Kita buka camp jangan di Pos II ya,” kataku setengah berbisik pada Yayak.
“Tergantung kondisi tim,cuaca dan waktu.”
Jawaban Yayak membuatku berpikir ulang. Cuaca bagus, angin tak terlalu kencang, kontur di peta juga tak begitu terjal, batihku meyakinkan diri sendiri kalau Pos II akan terlewati.
“Ok, kita berangkat!” kataku memberi komando.
Perjalanan menuju Pos II mulai menanjak, sekali ada jalan datar, bonus untuk jalan lebih cepat. Sepanjang jalur pendakian Baturaden memang tidak terlalu jelas pos yang dimaksud. Setiap pendaki punya nama dan pos sendiri, suka-suka mereka membuat shelter. Tapi yang santer terdengar adalah bahwa di Pos II sering terjadi hal-hal aneh. Seperti yang dikatakan Pak Kadus Heri, hutan Gunung Slamet masih wingit. Ada cerita juga kalau di Pos II dulu pernah ada yang meninggal. Ampun deh… ya jujur, biar aku didaulat jadi koordinator tim, tetep keder juga dengan yang begituan. Sumpah… makanya aku ga mau ngecamp di Pos II. Aku sendiri juga ga tau Pos II disebelah mana… sebenarnya dibohongi letak Pos II juga aku gak tahu.
Diubah oleh kentonganbebek 05-07-2016 10:13
0
Kutip
Balas