Quote:
Lidya. Si Gadis Penyendiri.
Itulah nama yang ane cari selama ini. Itulah nama yang menghantui relung-relung pikiran ane dalam tiga tahun terakhir. Dan di saat nama itu keluar dari mulut empunya pemilik nama dan dibawa angin masuk ke dalam dinding telinga ane, ane merasakan nama itu bergema.
Lidya. Si Gadis Penyendiri.
Apakah sebegitu pentingnya nama itu buat ane? Apakah sebegitu pentingnya pertemuan yang terjadi antara ane dengan dia? Akal sehat ane dari awal udah bilang kalau semua obsesi ini bodoh. Konyol. Gak penting. Tapi di sisi lain, perasaan ane berjalan berlawanan arah dengan akal sehat. Keduanya saling tarik menarik, berusaha mengambil alih kendali. Dan akhirnya, seperti yang agan-agan semua tahu, perasaan anelah yang memenanginya. Dan untuk itu, ada hal-hal yang akhirnya ane korbankan. Termasuk Ana...wanita baik yang ane tinggalin gitu aja demi sebuah pencarian jawaban atas obsesi ini.
Lidya. Si Gadis Penyendiri.
Dan itulah jawabannya atas obsesi panjang ini. Tapi, apakah itu berarti semuanya sudah selesai? Apakah nama itu adalah akhir dari segala pencarian dan kebodohan ini? Apakah setelah ini, ane akan hidup tanpa pertanyaan-pertanyaan yang selama ini nyantol di kepala?
Seharusnya memang begitu. Seharusnya emang setelah itu, ane pulang dan melanjutkan hidup seperti sebelum ane ketemu sama Lidya untuk pertama kalinya, tiga tahun lalu. Ane bisa fokus ngurus wisuda, nyiapin diri terjun ke dunia jobseeker, memperbaiki apa-apa yang udah ane tabrak sejak ane mutusin ngehabisin waktu untuk obsesi ini, dan yang paling penting ngembaliin hidup ane yang bisa dibilang udah enggak normal gara-gara ini semua.
Toh, kenyataan yang terpampang dihadapan ane ternyata enggak sesuai dengan apa yang ane bayangin selama ini. Bahkan daftar imajinasi ane tentang Si Gadis Penyendiri (yang udah ane ceritain di Bagian 16) tampaknya harus ane revisi total. Atau mungkin malah harus ane hapus dan buang ke tempat sampah.
Karena, setelah pertemuan di gazebo kantin itu, dia bukanlah sosok sepenyendiri yang ane bayangin. Dia enggak se-spesial yang ane kira. Dia, kini, hanyalah sesosok remaja wanita biasa yang gemar nongkrong bersama temen-temennya yang super hectic itu, doyan selfie dan memiliki ketergantungan yang tinggi dengan smartphone-nya. Enggak ada yang beda dibandingkan gadis-gadis sebayanya yang lain di luar sana.
Apakah tiga tahun telah mengubahnya? Membuat dia mampu mengalahkan kesepian yang dulu pernah ane liat terpancar dari kedua matanya? Apakah dia telah mampu mengalahkan kepiluan, entah apa itu, yang dulu pernah begitu lekat di dalam dirinya? Atau apakah ane yang sebenernya sok tahu?
Ane memang seharusnya berhenti untuk terus bertanya-tanya. Toh, ane udah dapet apa yang ane cari selama ini. Sebuah nama. Dan nama itu adalah Lidya. Itu sudah cukup, dan waktunya melupakan semuanya. Seharusnya...
Karena nyatanya, setelah pertemuan itu, ane merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang terasa salah dan enggak bener, walaupun ane gak tahu itu apa. Tapi yang jelas, perasaan ane kembali memberontak. Memaksa ane mencari tahu apa yang salah. Apa yang tidak genap. Lagipula, pertemuan selayang pandang tidak memberi ane jawaban yang penuh dan lengkap.
Quote:
Sekitar seminggu sejak pertemuan di Gazebo itu, ane berusaha keras untuk lepas dari Lidya. Ane enggak kepo ke Arda, ane enggak berusaha stalking nyari akun media sosialnya, ane bilang ke diri ane sendiri bahwa ini semua sudah selesai. Berhasilkah? Sama sekali enggak.
Rasanya ane pengen balik lagi ke kampusnya Arda. Tapi enggak tahu kesana mau ngapain. Mau langsung ketemuan sama Lidya juga enggak mungkin, keliatan bego itu mah. Kemaren-kemaren, ane udah cukup mempermalukan diri sendiri. Dan ane enggak ada niat buat lebih mempermalukan diri sendiri lagi.
Sampai tiba-tiba, ane dapet Whatsapp dari sederet nomor yang enggak kedaftar di kontak ane. Ane terus mikir ini nomor siapa. Dan sebelum ane selesai ngetik buat nanya dia siapa, chat berikutnya masuk dan langsung nyadarin ane siapa pemilik nomor itu;
"Gimana Si Gadis Aneh dari Kudus yang kamu cari-cari itu? Udah ketemuan? Hahahaha!!"
Ini Timi!! Ane seketika ngerasain bahagia campur girang pas tahu Timi nge-Whatsapp ane di saat yang tepat seperti ini. Kurang kebetulan apa coba?? Sejak selesai magang di Kudus itu, ane ama Timi nyaris enggak pernah kontak-kontakan. SMS ane kemarin soal ane udah nemuin Si Gadis Penyendiri itupun enggak dibales ama dia. Dan di saat ane galau kayak gini, Timi dateng dengan segala kegembiraan yang dia bawa. Good friend bener deh si Timi ini.
Di Whatsapp itu pula, ane langsung nyemburin segala kegalauan dan cerita tentang pertemuan di Gazebo, Lidya, dan ekspektasi ane yang meleset jauh tentang dia.
"Kayaknya kamu pernah cerita soal matanya yang sendu itu, bro?" Chat Timi nyoba nanyain ke ane.
"Itupun udah ilang Tim. Bener-bener gak bersisa. Kau tahu model cabe-cabean mahasiswi semester awal? Ya kayak gitulah. Kecewa sih iya. Puas juga iya. Tapi rasanya kok ada yang kurang ya, Tim. Rasanya ada yang salah sama dia. Tapi aku enggak tahu itu apa. Mau balik lagi kesana, buat nyari tahu, tapi enggak tahu gimana caranya." Bales ane panjang lebar.
"Hmm...apa belum cukup kamu tahu namanya aja? Kalau menurutku sih mending kamu berhenti deh, bro. Banyak hal lain yang mesti kamu urus. Real life kamu, wisuda kamu."
Ane dibikin diem sama Timi. Enggak tahu mau bales apaan, ane udah kehabisan kata-kata. Apa mungkin emang seharusnya begitu? Ah, entahlah! Ane buru-buru ngalihin topik pembicaraan. Ane tanya sekarang Timi sibuk apaan, masih di rumah atau udah merantau ke kota antah berantah. Dan suasana langsung kembali cair. Ane ketawa-ketawa sendiri sambil baca chat dari Timi. Seru banget obrolan kita, sampai-sampai sebuah permintaan pertemanan BBM yang masuk ke henpon ane, enggak ane peduliin.
Dan di akhir chattingan kita, Timi sempet ngasih pesen ke ane.
"Apa yang sudah cukup itu memang sudah cukup, Lembah. Jangan nyari lebih jauh lagi, jangan mengorek-orek apa yang enggak perlu. Ntar ujung-ujungnya malah makan ati, hlo!" Ane tersenyum kecut. Ane iyain nasehat Timi, walau hati ane berkata lain. Tapi yaudahlah. Ane kan juga belum ngambil keputusan apa-apa.
Selesai chattingan, ane baru sadar kalo ada undangan BBM yang tadi masuk ke henpon ane. Ane cek, dan di daftar undangan BBM itu, ada sebuah nama tertera di baris paling atas. Sebuah nama yang bikin ane shock setengah mati!
Lidya Putri Santosa.