LITTLE SINS
******
Quote:
”Jadi, bagaimana? Hari libur itu menyenangkan? Kebahagiaan apa saja yang terjalin di antara kalian? Coba ceritakan sedikit kepada sahabat mu yang mengenaskan ini. Hehehe.”
“Ahh... itu, ya? Anu, julian... itu benar – benar...”
“Ya? Benar – benar apa?”
“Itu... aku... bolehkan aku...”
“Hmm? Boleh apa, Nayla?”
“biarkan aku menangis sejenak, Julian. Sebentar saja... tolong...”
Nayla menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lamat – lamat, suara isakan mulai terdengar. Napasnya tersengal, bahu nya terguncang. Isakan itu, sesak napas itu, aku membiarkan Nayla bereaksi atas pertanyaan jebakan ku barusan. Dengan wajah datar, aku membiarkan Nayla menangis. Aku mengerti arti air mata itu, Nayla. Tapi aku ingin mendengar pengakuan itu terucap dari bibir mu sendiri.
Dalam derai hujan di pelataran jalan, mobil ku terjebak di antara tumpukan kendaraan lain yang melambatkan kecepatannya. Di depan sana, sebuah pohon besar tergeletak tak berdaya merintangi jalanan. Aku mendesah. Menghabiskan waktu menanti pohon besar itu selesai di evakuasi, tentu cukup menyita waktu. Aku menepuk lembut bahu Nayla, menyadarkan dirinya dari larutan kesedihan.
Aku meminta Nayla untuk menghubungi suaminya. Nayla membuka ponsel, dan mulai berbicara pada seorang lelaki di seberang sana. Nayla berkata bahwa ia akan terlambat pulang, terjebak di tengah kemacetan karena pohon yang tumbang menghalangi Jalan. Dia tak menyebut nama ku sama sekali disitu. Nayla berbicara dengan suara yang lembut dan menenangkan. Ah, Nayla. Kamu benar – benar membuatku tergila – gila.
Selesai berbicara pada suami nya melalui telepon, Nayla memasukkan ponsel ke dalam tas jinjing bawaannya sambil menatap mata ku. Aku masih memasang wajah datar, dengan tatapan mata yang teduh. Aku menatap balik wajah Nayla. Kelopak matanya memerah dengan sisa – sisa air mata yang belum terhapus. Nayla mulai berbicara.
Quote:
“Kamu tahu arti tangisan ku barusan, Julian? Kamu mengerti?”
Aku menggeleng. Tanpa kata, tanpa suara. Membiarkan Nayla menelanjangi diri ku dengan tatapan matanya. Gali saja sesuka hati mu, Nayla. Gali aku. Kamu takkan mendapatkan apapun selain wajah datar dan tatapan mata yang teduh dari ku.
Quote:
“Aku menangisi hidup ku, Julian. Aku menangisi diriku sendiri. Dan juga, aku menangisi kamu. Selain itu, aku juga menangisi Rio, suamiku.”
“.....................”
“berbulan – bulan lama nya, aku menangkap suatu perasaan yang besemburat dari diri mu, Julian. Meskipun samar, aku bisa menangkap tanda bahwa kamu mencintai ku. Aku tahu itu. Ku pikir, aku salah persepsi. Sebab, kamu selalu saja memasang wajah datar itu. Dan, kamu tak jua mengucapkan apa yang kamu simpan dalam – dalam.
Aku... ku pikir, aku salah menilai mu. Tapi cara mu memperlakukan ku, berbeda dengan cara mu memperlakukan orang lain di tempat kerja kita. Kenapa? Aku menanti mu mengucap kata – kata itu, Julian. Aku menantinya begitu lama.
Begitu lama hingga akhirnya ada takdir lain yang tak pernah ku kehendaki. Orang tua ku meminta untuk menuruti kemauannya. Mereka menjodohkan ku dengan orang yang tak pernah ku sayangi sebelumnya. Jangankan sayang, aku pun tidak pernah mengenalnya sebelum itu.
Sebagai seorang anak, aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak pernah mengecewakan orang tua ku. Aku bisa mengerti, perjodohan ini demi kebaikan ku sendiri. Aku bisa mengerti. Tapi, aku tak pernah menginginkan hal itu, Julian! Sebab jauh di dalam hati, aku ingin kamu! Aku ingin kamu yang duduk di hadapan kedua orang tua ku, membicarakan tanggal pernikahan aku dan kamu.
Tapi, hal itu kembali ku renungkan. Lebih baik aku bersikap skeptis. Tak mungkin orang setinggi diri mu menyukai ku, Julian. Aku hanya seorang pekerja dengan tingkat yang rendah, dan aku juga terlalu lusuh jika disandingkan dengan mu. Banyak wanita – wanita lain yang lebih pantas untuk itu, Julian. Aku sadar diri.
Aku menerima pinangan Rio, dan berharap itu yang terbaik untuk ku. Meski aku belum pernah mengenalnya, aku yakin, dia cukup baik untuk ku. Kami menikah, dan memulai hidup bersama. Dan nyata nya, Rio memperlakukan ku dengan baik. Aku mulai menumbuhkan kuncup – kuncup cinta yang baru. Aku mulai menaruh hati padanya, dan aku mulai membuang hati ku pada mu.
Hingga kemudian, kamu mengirimkan pesan singkat itu, Julian. Dan, apakah kamu tahu? Bahwa yang pertama kali membaca pesan itu bukanlah aku, melainkan Rio! Kamu menjadi bencana ketika itu, Julian. Kamu bencana!
Sudah jelas, kan? Sudah pasti, Rio terbakar emosi melihat itu. Rio marah pada ku, dan juga pada mu. Dalam kobaran amarah, Rio meninggalkan ku sendirian di rumah. Dia pergi entah kemana. Aku belum sempat berkata – kata dan Rio sudah menjauh. Aku kecewa pada mu, Julian. Sungguh kecewa. Kamu datang ketika semuanya sudah terlambat.
Kemudian, Rio pulang ke rumah. Tentu saja aku senang. Aku berusaha menjelaskan semua padanya dengan cara yang baik. Hingga akhirnya, Rio memaklumi kamu, dan melupakan kejadian itu. Itu sebabnya dia masih mengijinkan aku untuk tetap bekerja satu atap dengan mu, Julian. Rio memberikan kebebasan pada ku meski aku harus bertemu lagi dengan mu.”
“Maaf, Nayla. Aku benar – benar memohon maaf. Saat itu, aku tak tahu apa yang sudah ku lakukan padamu. Aku menyesal, Nayla. Biarkan aku berbicara pada Rio untuk menjelaskan semuanya. Jika Rio masih tinggi hati dan menghajar tubuh ku, aku rela. Sebab, aku sudah mengganggu hubungan antara kalian berdua.”
“Ya, Julian. Awalnya ku pikir memang harus seperti itu. Tapi, apakah kamu tahu? Ceritanya belum selesai sampai disitu. Belum lama ini, hubungan antara aku dan Rio kembali merenggang. Senin pagi, aku menemukan sesuatu tergeletak di depan pintu rumah kami. Sebuah kotak kecil berisi foto – foto mesra antara Rio dengan seorang wanita cantik.
Wanita itu bernama Rinjani. Dia adalah salah satu bawahan Rio di tempat kerja nya. Sama seperti aku dan kamu, Julian. Hanya saja berbeda kisah. Rio dan Rinjani menjalin hubungan. Bahkan hingga saat Rio menikahi ku, mereka masih berhubungan. Meski aku baru menyayanginya beberapa hari, aku tetap merasakan sakit.
Aku berusaha menutupinya dan bersikap seolah tak pernah terjadi apa – apa. Aku menghapus air mata di depan Rio dan tersenyum di hadapannya. Meski kami kembali akur, tapi aku tak pernah bisa melupakan kejadian itu. Aku yakin, Rio pasti akan tetap menikam ku dari belakang dengan kemesraannya pada wanita lain.”
Nayla menghentikan ceritanya. Sebab, lalu lintas kembali normal. Pohon besar yang terkapar di tengah jalan sudah berhasil di singkirkan. Kendaraan kembali melanjutkan perjalanannya. Mobil ku mulai meluncur menelusupi jalan yang meremang di kegelapan. Dalam perjalanan itu, Nayla kembali berceloteh.
Quote:
“Apakah kamu masih menginginkan ku, Julian?”
“Eh? Apa maksud perkataan mu itu, Nayla?”
“Aku bertanya, apakah kamu masih mencintaiku hingga saat ini?”
“Tentu saja, Nayla. Memangnya kenapa?”
“Sudahlah. Tolong berhenti di hotel terdekat. Lakukan saja permintaan ku, jangan banyak bertanya, Julian. Suasana hati ku sedang tidak bagus.”
Aku membelalakkan mata. Menunjukkan ekspresi wajah terkejut walaupun sesungguhnya aku ingin tertawa histeris. Aku mengerti maksud mu, Nayla. Aku sangat mengerti!
Aku menepikan mobil di suatu jalan, kemudian memasuki lantai basement suatu hotel kelas empat yang ku dapatkan. Nayla melangkah keluar mobil dan menuju meja resepsionis. Aku mengikutinya dari belakang. Salah satu pekerja hotel meminta kami untuk mengikutinya. Orang itu menggiring aku dan Nayla ke salah satu kamar di koridor lantai lima.
Setelah membuka pintu kamar dan menyerahkan kunci ke telapak tangan Nayla, pekerja hotel itu meninggalkan kami berdua di tengah koridor gelap. Nayla meraih lengan ku dan menarik ku masuk ke dalam kamar, kemudian menutup dan mengunci pintunya. Di dalam kamar, dua insan beradu cinta, meramu dosa. Sebentuk kutukan yang suatu saat nanti akan membawa petaka bagi keduanya.
Di luar sana, hujan usai berhenti. Namun dinginnya malam berkabut tak mampu meredakan suasana panas di dalam kamar hotel itu. Titik uap yang mengembun di kaca jendela kamar tak sanggup membuat beku sepasang tubuh yang berkeringat telanjang. Dalam pancaran temaram lampu, sebentuk bayangan liar tergambar jelas di tembok kamar. Melukiskan kegiatan dua manusia yang tengah mempertemukan cinta.
*****
Quote:
”Turunkan aku disini, Julian.”
“Apakah ini sudah dekat dengan rumah mu?”
“Tidak, tempat tinggal ku masih beberapa blok lagi. Biarkan aku sedikit berjalan kaki, untuk memberi kesan pada suami ku jika aku memang benar – benar terjebak badai malam ini. Selain itu, aku tidak ingin Rio tahu jika kamu yang mengantarkan ku pulang. Terima kasih untuk malam ini, Julian. Terima kasih juga untuk tumpangannya. Selamat malam, sampai ketemu besok. Hati – hati dalam perjalanan pulang.”
Aku menepikan mobil ku ke sisi jalan. Nayla mengecup bibir ku, kemudian keluar dari mobil. Menginggalkan ku yang masih terkesiap pada perubahan sikapnya malam ini. Ah, tidak. Pada perubahan sikapnya selama ini, lebih tepatnya. Aku memutar mobilku ke arah lain. Mencari jalan pulang sambil tersenyum penuh kemenangan. Nayla, akhirnya aku mulai bisa menggenggam hatimu!
*****