Quote:
Ane termenung. Diam bertopangkan sepasang kaki yang rasanya kaku terpaku di atas tanah yang ane injak. Dari jarak ane, terlihat dengan cukup jelas sosok yang selama bertahun-tahun ane cari, ane obsesikan, ane pertanya-tanyakan, bahkan ane imajinasikan, berada di sebelah sana. Tak lebih dari 30 meter di depan ane. Bersendau gurau, tertawa-tawa bersama kawan-kawannya.
Perasaan ane campur aduk. Saking campur aduknya, ane bahkan udah gak bisa ngenalin lagi apa yang sebenernya ane rasakan. Yang ane tahu, dan mungkin adalah satu-satunya hal yang terlintas di akal sehat ane saat itu; dia kini telah menjadi begitu amat berbeda. Bahkan ane mikir, andai ane ketemu dia di jalan tanpa sengaja mungkin ane enggak akan ngenalin dia lagi.
Rambutnya yang dulu dipotong pendek semi-semi harajuku style, kini telah memanjang hingga punggung. Enggak ada lagi sapu tangan yang melingkar di lehernya. Enggak ada lagi kebiasaan mengusap keringat di dahi dengan lengan kanan. Enggak ada lagi kesendirian. Enggak ada lagi kesepian. Dan; enggak ada lagi sepasang mata sepi nan sendu yang dulu pernah ane tatap dan lalu menjadi hantu di pikiran ane di tahun-tahun selanjutnya.
Ane masih termenung. Ane masih terpaku. Lalu pertanyaan itu muncul. Sebuah pertanyaan yang lain; apakah ini buruk bagi ane? Apakah ini mengecewakan? Atau malah sebaliknya? Kini dia -yang selama tiga tahun menjadi obsesi dan menghantui ane, bahkan banyak yang sudah ane korbankan dan relakan untuk nyari dia- udah ada di hadapan ane. Beberapa langkah di depan ane.
Tapi dia kini begitu berbeda. Tiga tahun berlalu dan dia yang dulu ane kenal sebagai Si Gadis Penyendiri ini, sudah begitu banyak berubah. Apakah ane harus menelan kekecewaan, karena ternyata kini semuanya udah gak seperti apa yang ane pikirin selama ini? Atau apakah ane yang mestinya malah harus bahagia, melihat dia yang dulu begitu sendu dan begitu sepi, kini telah tertawa dan tampak bahagia?
Ane lalu sadar; dia punya kehidupannya sendiri. Kehidupan yang enggak ane tahu. Tiga tahun itu enggak sebentar, banyak hal dan peristiwa terjadi. Dan lagipula, apalah ane ini yang merasa pantas buat kecewa. Ane bukan siapa-siapanya dia, kenal juga enggak. Tahu namanya juga enggak. Ane cuman pernah ketemu dia, itupun terbatas jarak, itupun tanpa ada satu patah katapun keluar. Ane cuma pernah mengenal wajahnya, dan wajah itu lalu nyantol di kepala ane dan enggak pernah mau pergi. Enggak pernah mau terlupakan.
Ane enggak pantes untuk merasa kecewa. Sama sekali enggak pantes.
Dan di sini...ane masih termenung. Ane masih terpaku. Menatap Si Gadis Penyendiri itu, dengan tatapan yang ane gak tau apa artinya. Lalu sekoyong-koyong, sebuah kejadian...kejadian yang dulu pernah terjadi...kembali ane alami.
Di tengah gerombolan teman-temannya yang masih saja tertawa-tawa, ane lihat dia tetiba menghentikan tawanya, lalu kepalanya menoleh perlahan ke suatu arah. Ke suatu titik. Dan ane-lah orang yang ada di arah itu...di titik itu. Tak bisa dihindari, mata kita -untuk pertama kalinya sejak tiga tahun lalu- kembali saling beradu.
De javu itu terasa begitu kental. Terlalu kental malahan. Sensasi aneh yang membuat detak jantung semakin kencang langsung menerpa diri ane. Suasana di Kudus tiga tahun lalu, kembali saat itu. Lalu lalang orang-orang, suara berisik Timi, Risma, Galih dan Septa yang ngatur anak-anak SMA kembali hadir. Bau daun-daun dari pohon-pohon langka itu kembali mengisi dinding indera penciuman. Semuanya berputar balik, dan ane tak berdaya diseret kembali ke sana.
Tapi mata itu...sepasang mata yang kini menatap ane...tak lagi sendu. Sepasang mata itu kini penuh warna-warna. Warna-warna cerah yang enggak ane temuin tiga tahun lalu. Mata itu kini lebih segar, lebih benderang, lebih bahagia.
"Bro!" Suara dan goncangan di lengan ane membuyarkan semuanya dalam satu detik saja. Ternyata itu Arda, yang tanpa ane sadari udah berdiri dekat di samping ane. Entah sejak kapan. Ane langsung sigap. Berusaha kembali sok cool, walaupun ane tahu itu udah terlalu telat. Yakin, pasti si Arda udah sempet liat ane yang tadi bengong kayak orang bego.
"Sori ya dari tadi kau ku kacangin." Bisiknya yang ane bales pagi anggukan kepala tanpa suara. Tapi ternyata dia belum selesai bicara. "Kesana yuk! Bentar ajaaa! Susan maksa aku buat kenalan sama temen-temennya."
Quote:
Ane menapaki langkah-langkah yang membawa ane semakin dekat ke gazebo kantin itu. Tempat di mana Si Gadis Penyendiri itu berada. Kita bertiga, Susan paling depan agak jauh, sedangkan Arda tepat di depan ane. Rasa panik nyerang ane kala itu. Rasa panik yang sedemikian besar.
Ane gak tahu kenapa ane berubah menjadi sepengecut itu. Tiga tahun ane ngotot buat nyari dia, dan saat dia udah ada di depan mata, mental ane malah menciut. Mungkin karena momen itu adalah momen yang sedemikian penting dalam hidup ane. Ane bakal berdiri di depannya. Ane bakal ngejabat tangannya. Ane bakal denger suaranya untuk pertama kalinya. Dan yang jelas; ane akan tahu siapa sebenarnya namanya.
Apakah ini saat yang tepat? Apakah ini tidak terlalu cepat? Apakah ane udah siap? Argghhh!!! Ane maki-maki diri ane sendiri di dalam hati. Pertanyaan bodoh macam apa lagi itu? Tentu saja ini saat yang tepat! Jangan bodoh! Jangan bodoh! Ayo terus jalan! Terus dekatkan diri kepada dia!
Batin ane perang sendiri. Dan rasa resah itu makin kuat setiap kali ane melangkahkan kaki. Tapi ane juga enggak mungki buat berenti dan balik kanan terus lari masuk ke mobil. Itu konyol! Ane terus kuatin diri sendiri. Ane terus yakinin batin ane sendiri.
Lalu akhirnya, berdirilah ane di depan gazebo itu. Ane amatin, hanya ada satu kursi kosong tersisa. Dan itu pasti kursi punya Susan. Artinya, ane sama Arda enggak akan stay lama-lama di sini. Ane enggak tahu lagi apakah itu bagus atau enggak buat ane. Ane lost waktu itu.
Ane bahkan enggak berani natap dia. Sama sekali enggak berani. Sebenernya, ane pengen banget menatap dia dalam jarak sedekat ini, sangat dekat. Tapi nyali ane enggak cukup besar. Seandainyapun ane nekat, ane bakal milih lari dan kabur dari situ. Ane milih lari ke jalan raya, brentiin bus dan balik ke kost.
Tapi keadaan berkata lain. Arda dengan brengseknya berlagak sok asik waktu Susan ngenalin dia ke temen-temennya, termasuk Si Gadis Penyendiri. Enggak tahu, tapi ane belum pernah semuak itu sama Arda. Dan yang aneh lagi, walaupun ane enggak natap Si Gadis Penyendiri, ane ngerasa kalo suara dia enggak ada. Tawa dia enggak ada. Rasanya dia diem aja.
Ane yang terus dilanda rasa penasaran campur rasa panik campur rasa pengecut, nekad buat nyari tahu. Perlahan-lahan ane toleh dikit Si Gadis Penyendiri yang duduk tepat di belakang ane. Dan benar saja...ternyata dia lagi sibuk nunduk mainin HP. Dari sudut mata, gak begitu jelas dia lagi ngapain. Maen game-kah? BBM-an kah? Nyetel alarm-kah?
Nanggung! batin ane. Langsung ane geser dikit badan biar lebih jelas dia lagi ngapain. Tapi belum juga ane tahu, sebuah suara -yang bahkan sampai saat ini ane masih inget intonasi, volume dan nadanya- yang nyebut nama ane. Suara itu datang dari arah belakang. Suara milik Susan.
"Nah, kenalin temen saya yang itu mas Lembah!"
Ane kayak disambar geledek dengernya. Ane enggak tahu mau ngapain, dan dengan bodohnya -karena kaget, bingung dan panik- adalah noleh ke arah Si Gadis Penyendiri itu buat ngeliat reaksinya. Bodoh!! Bodoh!! Bodoh!! Lebih bodoh lagi; dia juga dongakin kepalanya dari layar HP, ke arah Susan beberapa detik, lalu ke arah ANE!!!!
Kita bertatapan mata. Untuk ketiga kalinya sepanjang umur. Tapi ini dekat...sangat dekat...belum pernah sedekat ini. Ane bener-bener lost, kali ini totally lost. Dan entah darimana datangnya nyali itu, ane acungin tangan sambil senyum simpul. Ane udah enggak peduli walaupun dia bakal nemuin raut muka panik di wajah ane dan ane bakal dia ketawain gegara itu.
Dan dia balik senyum ke ane, gan. Sebuah senyum lebar, yang enggak pernah sekalipun ane bayangin bakal terukir dari bibirnya. Bibir yang dulu ane kenal begitu kering, dan selalu menampilkan kepedihan dan kesepian di setiap sudutnya. Tapi hari itu...saat itu, senyum merekah penuh kehangatan itu hadir di hadapan ane. Tepat di hadapan ane. Dan tangan kanannya terangkat. Dia balas uluran jabat tangan ane.
Lalu kulit kita saling bersentuhan. Untuk pertama kalinya kulit kita saling bersentuhan.
"Halo, Lembah..." Ane ngenalin diri. Dan di momen itu, ane kembali bertanya-tanya kepada diri ane sendiri, untuk kesekian kalinya. Apakah dia masih inget ane? Apakah dia inget wajah ane? Tapi sebelum ane bertanya lebih jauh, sebuah suara hangat keluar dari mulutnya, menguap di udara dan masuk membentur dinding telinga ane. Suaranya...suara Si Gadis Penyendiri itu...
"Halo juga, aku Lidya. LID YA ya mas nyebutnya...bukan LI DIA." Dan Si Gadis Penyendiri tertawa, diikuti tawa-tawa lain dari temen-temennya.
Dia lalu melepas uluran tangannya.Ternyata, dia enggak inget ane...
Gak terasa thread What's Left In Kudus?ini udah sampai bagian yang ke-20. Terimakasih sekali lagi buat agan-agan reader yang udah bersedia ninggal komentar di sini, dan yang udah nge-rate thread ini.
Sekadar informasi, thread ini udah memasuki bagian-bagian akhir. Mungkin tinggal tersisa sekitar lima bagian yang akan di-update. Yang jelas, walopun (seperti yang udah agan baca di akhir bagian 20 ini) Si Gadis Penyendiri udah nyebutin namanya, tapi ane tekankan satu hal bahwa...
INI SEMUA BELUM SELESAI
Masih akan ada konflik-konflik yang terjadi, dan yang pasti akan lebih menarik, yang akan berujung pada ending yang (semoga aja) klimaks. Jadi, silakan dinikmati hingga cerita ane ini sampai pada bagian terakhirnya.