Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bhineka00001Avatar border
TS
bhineka00001
Persekongkolan Kotor BPK dan DPR untuk jegal Ahok


JAKARTA, DPR sebagai salah satu musuh politik Ahok sengaja mempertanyakan hal yang tak masuk akal: kenapa antara BPK dengan KPK punya keputusan yang berbeda? Kenapa BPK bilang ada unsur merugikan negara (korupsi), tetapi KPK bilang sebaliknya.

Konyolnya, DPR cenderung lebih percaya BPK yang terdiri dari orang-orang parpol itu, ketimbang KPK yang sampai detik ini merupakan lembaga yang paling dipercaya rakyat. Padahal BPK bukan lembaga penegak hukum kasus korupsi, sebaliknya KPK-lah lembaga penegak hukum itu, yang secara eksklusif diberikan Undang-Undang untuk melakukan pemeriksaan, penyelidikan, dan penyidikan kasus-kasus korupsi.

DPR tiba-tiba menganggap BPK seperti dewa, yang terdiri dari orang-orang berintegritas tinggi, selalu bekerja profesional, jujur dan bersih, padahal sudah sejak lama menjadi pergunjingan dan seolah-olah menjadi rahasia umum bahwa di daerah-daerah, atau di lembaga-lembaga negara tertentu yang akan diaudit BPK, kepala daerahnya, atau kepala lembaganya harus menyediakan angpau khusus untuk oknum-oknum BPK itu, jika ingin hasil auditnya dinyatakan bersih alias Wajar Tanpa Pengecualiaan (WTP).

Pergunjingan seperti itu bukan tanpa dasar, kita lihat saja bagaimana awal mula dari meledaknya kasus pembelian lahan Sumber Waras itu. Bahwa ternyata dilatarbelakangi oleh kepentingan pribadi dari Ketua BPK Perwakilan DKI Jakarta Efdinal, yang diduga telah memaksa Pemprov DKI Jakarta untuk membeli lahan miliknya, dengan ancaman jika permintaannya itu tak dipenuhi, maka pihaknya akan menjadikan pembelian lahan Sumber Waras itu sebagai suatu kasus hukum (korupsi) yang akan dipublikasikan, dan dilaporkan ke KPK.

Karena Pemprov DKI Jakarta (Ahok) merasa tak ada yang salah dalam transaksi jual-beli lahan Sumber Waras itu, mereka menolak permintaan Efdinal tersebut. Maka, Efdinal dengan memanfaatkan kewenangannya sebagai Kepala BPK DKI Jakarta itu pun mengumumkan temuan mereka tentang adanya kerugian negara di dalam transaksi pembelian lahan tersebut, dan melaporkannya ke KPK.

Efdinal sendiri kemudian dilaporkan Ahok dan ICW ke Majelis Kehormatan BPK dengan tudingan telah menyalahgunakan wewenangnya. Pada Februari 2016 BPK mencopot Efdinal dari jabatannya itu. Meskipun BPK tak mengakuinya, tak bisa dipungkiri lagi bahwa pencopotan tersebut ada kaitannya dengan laporan Ahok dan ICW tersebut.

Demikianlah kasus itu tersebut bergulir semakin panas di KPK, melibatkan BPK Pusat, selama hampir satu tahun, sampai akhirnya, pada 14 dan 15 Juni 2016, KPK mengumumkan kesimpulan hasil penyelidikan mereka bahwa KPK tidak menemukan adanya unsur korupsi di dalam kasus tersebut.

Sesungguhnya KPK merasa penasaran juga, kenapa sampai BPK bisa menyimpulkan telah terjadi kerugian negara di dalam transaksi pembelian lahan Sumber waras itu, maka itu mereka pun telah mengajak BPK untuk melakukan rapat bersama dengan agenda membicarakan temuan BPK tersebut. Namun apapun hasil pembicaran tersebut tidak akan mengubah keputusan KPK.

Hanya menunggu waktunya saja, KPK akan mengumumkan keputusan final mereka, bahwa KPK berketetapan menghentikan penyelidikan kasus tersebut, tidak akan dilanjutkan ke tingkat penyidikan.

Fakta lain yang semakin meragukan integritaskan auditor dan pimpinan BPK adalah begitu banyaknya predikat WTP yang diberikan BPK kepada sejumlah kepala daerah dan lembaga negara, tetapi faktanya kepala-kepala daerah dan pimpinan lembaga-lembaga negara itu malah dipenjarakan KPK karena terlibat korupsi.

Sebaliknya, Provinsi DKI Jakarta yang begitu transparan anggarannya dan sangat giat melakukan pembersihan koruptor dari pemerintahannya, malah menjadi langganan Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK.

Berikut ini adalah rentetatan faktanya:

Provinsi Banten, pada 2013 mendapat opini WTP dari BPK. Tetapi, gubernurnya Ratu Atut malah dipenjarakan KPK karena terlibat kasus korupsi prasarana dan sarana kesehatan di tahun anggaran 2011-2013.

Provinsi Sumatera Utara meraih predikat WTP dari BPK untuk pertama kalinya di bawah kepimpinan Gubernur Gatot Pujo Nugroho, pada 2014, namun untuk pertama kali pula di bawah kepimpinan Gatot ada gubernur Sumatera Utara (yang bukan lain Gatot sendiri) dan istrinya yang dipenjarakan KPK karena kasus suap.

Provinsi Riau adalah salah satu provinsi yang memperoleh predikat WTP dari BPK selama 4 tahun berturut-turut, sejak 2012. Tetapi, di tangan KPK malah menjadi pelanggan predikat kepala daerah koruptor, tiga gubernurnya berturut-turut: Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun dipenjarakan KPK karena terbukti korupsi.

Kota Palembang 5 kali mendapat WTP dari BPK, kenyatannya walikotanya, Romi Herton dan istrinya ditangkap KPK karena menyuap Ketua MK Akil Muchtar terkait pengurusan sengketa Pilkada kota Palembang di MK. Romi mendapat ganjaran 6 tahun penjara, istrinya 4 tahun penjara.

Kota Bangkalan, di Madura menjadi salah satu kabupaten yang juga menjadi pelanggan WTP dari BPK, sudah 3 kali predikat WTP didapat dari BPK. Faktanya, Fuad Amin, mantan Bupati Bangkalan (2003-2012) pun terjerat kasus korupsi dan pencucian uang, sudah dipenjarakan KPK.

Pemerintah Kota Tegal pada tahun 2012 mendapat ganjaran opini WTP dari BPK karena laporan keuangannya dinilai memuaskan. Namun, Walikotanya saat itu, Ikmal Jaya dipenjarakan KPK, karena terbukti korupsi dalam tukar guling tanah aset pemerintah dengan milik swasta.

Pada 2011, Kementerian Agama mendapatkan opini WTP dari BPK. Menteri Agama saat itu, Suryadharma Ali menerima langsung sertifikat WTP dari Ketua BPK saat itu, Hadi Poernomo.

Namun, kemudian KPK berhasil membuktikan bahwa selama menjadi Menteri Agama, Suryadharm Ali telah melakukan korupsi pengelolaan dana haji, dan korupsi penggunaan Dana Operasional Menteri (DOM). Surya divonis 6 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.

Tahun 2010, di bawah kepimpinan Andi Mallarangeng, Kementerian Pemuda dan Olah Raga memperoleh opini WTP dari BPK atas lapor keuangannya.

Namun, tak lama berselang, justru Andi Mallarangeng tersandung kasus di KPK. Andi dijadikan tersangka kasus korupsi proyek Hambalang. Ia kemudian divonis 5 tahun penjara oleh hakim Tipikor Jakarta. Bahkan, beberapa pejabat Kemenpora saat itu juga ikut terseret dalam kasus ini.

Laporan keuangan Kementerian ESDM tahun 2013 mendapatkan opini WTP dari BPK. Saat itu, Kementerian ESDM dipimpin oleh Jero Wacik.

Namun, tak lama berselang, tepatnya pada tahun 2014 KPK mengumumkan Jero Wacik menjadi tersangka kasus korupsi di lingkungan Kementerian ESDM. Tak hanya Jero, Sekjen ESDM saat itu, Waryono Karno juga ditetapkan jadi tersangka oleh KPK. Jero divonis 4 tahun penjara.

Kunker Fiktif DPR

Predikat WTP dari BPK juga menjadi langganan DPR, namun pada pertengahan Mei 2016 lalu, beredar luas kabar bahwa ada laporan hasil audit BPK tentang adanya temuan banyak anggota DPR yang melakukan kunjungan kerja (kunker) fiktif sehingga berpotensi kerugian negara hampir Rp 1 triliun (Rp. 945.465.000.000).

Kali ini sumber informasinya bukan dari BPK langsung, tetapi justru dari Sekretaris Jenderal DPR. Sekjen DPR menerima laporan temuan BPK tersebut, lalu meneruskan ke 10 fraksi yang ada di DPR. Lalu, Wakil Ketua Fraksi PDI-P di DPR Hendrawan Supratikno mempublikasikannya ke media.

Tidak ada bantahan dari DPR, sebaliknya justru beberapa anggota DPR, termasuk Hendrawan membuat pernyataan yang secara tak langsung mengakui memang ada banyak kunker fiktif di DPR. Kunker tidak pernah dilakukan, atau hanya diwakilkan kepada staf tenaga ahlinya, lalu dilaporkan seolah-olah ada kunker tersebut. Indikasi kuat kunker tersebut antara lain banyak anggota DPR yang membuat laporan kunker yang tidak meyakinkan (redaksi laporannya editan dari laporan-laporan kunker sebelumnya), dan menggunakan foto-foto yang sama dari laporan kunker-kunker sebelumnya, sebagai bukti mereka telah melakukan kunker tersebut.

Ketika diminta konfirmasinya, pada Mei 2016 Ketua BPK Harry Azhar Azis tidak membantah, atau membenarkan. Namun, pada 2 Juni 2016, saat menyampaikan penjelasannya di DPR, Harry membantah adanya laporan BPK tentang temuan dugaan kunker fiktif tersebut, kata dia, yang dimaksud BPK itu bukan kunker fiktif, tetapi hanya masalah administrasi pelaporan yang harus dibenahi. Laporan kepada Sekjen DPR itu pun, kata dia, masih merupakan proses pemeriksaan yang belum seharusnya diketahui media.

Saya curiga, jangan-jangan laporan BPK yang masuk ke Sekjen DPR itu sesungguhnya semacam suatu ancaman terselubung agar DPR jangan macam-macam dengan BPK, dan agar DPR membekingi BPK untuk berhadapan dengan KPK dan Pemprov DKI Jakarta (Ahok) terkait perbedaan kesimpulan KPK dengan BPK terhadap hasil audit transaksi pembelian lahan Sumber Waras.

Mungkin, seharusnya laporan itu tidak dipublikasikan, karena hanya dipakai untuk menggertak DPR. Di luar dugaan anggota DPR dari Fraksi PDIP Hendrawan Supraktino itu malah memberitahukan kepada media.

BPK Beberapa Kali Digugat

Meskipun secara formal, hasil audit BPK tidak bisa digugat, tetapi faktanya BPK beberapa kali digugat oleh pihak-pihak yang berkeberatan dengan hasil audit mereka. Hal ini mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di belakang audit BPK tersebut. Bahwa integritas BPK itu meragukan. Bahkan timbul kecurigaan oknum-oknum tertentu di BPK justru memanfaat dan berlindung di balik “imunitas” tersebut untuk bebas melakukan audit sesuai kepentingannya atau kepentingan pihak lain.

Di bawah ini adalah info grafis peristiwa-peristiwa terjadinya gugatan terhadap hasil audit BPK (sumber Harian Kompas):



Ketua BPK dan Panama Papers

Selain fakta-fakta tersebut di atas, ada juga hal lain yang sangat serius yang membuat kita semakin meragukan kredibilitas dan interigitas BPK, yaitu terkuaknya fakta bahwa nama Ketua BPK Harry Azhar Aziz ternyata ada di Panama Papers dengan perusahaan cangkangnya (shell corporation) “Sheng Yue International Limited” di salah satu negara suaka pajak.

Meskipun perusahaan cangkang tidak selalu identik dengan usaha-usaha ilegal, tetapi lebih umum diketahui bahwa perusahaan cangkang itu biasanya sengaja didirikan sebagai penampungan dana dalam jumlah besar yang sumbernya tak jelas, dan untuk menghindari pembayaran pajak di negara pemilik perusahaannya.

Harry telah menyangkal tujuan dia mendirikan perusahaan cangkangnya untuk kegiatan-kegiatan penampungan dana tak jelas dan penghindaraan pajak, tetapi penjelasan dan argumen-argumennya itu justru semakin menimbulkan curiga, karena banyaknya kejanggalan-kejangalan di dalamnya. Misalnya, dia mengakui perusahaan itu didirikan setelah anaknya menikah pada 2014. Padahal perusahaan itu didirikan pada 2010.

Sampai saat ini PPATK masih melakukan penyelidikan terhadap data-data yang ada di Panama Papers itu.

Selain fakta-fakta tersebut di atas, juga terkuak fakta bahwa selama ini ternyata para pejabat tinggi BPK, termasuk Ketua BPK Harry Azhar Aziz belum melaporkan harta kekayaannya sebagai pejabat negara (LHKPN) kepada KPK. Publik tidak tahu seberapa besar sebenarnya kekayaan mereka dan sumbernya.

Bagaimana bisa dijamin kredibilitasnya kalau sang auditor keuangan sendiri tidak jelas keuangan pribadinya sendiri?

Jadi, bagaimana bisa kita diyakinkan bahwa BPK adalah salah satu lembaga negara yang patut mendapat kepercayaan besar rakyat. [ARN]

Sumber


Wajar Tanpa Pengecualian ? Bisa Asal Bayar.

Habis gini Panasbung Terguncang Part 2 karena Kebusukan BPK dibongkar KPK

Diubah oleh bhineka00001 20-06-2016 00:08
0
5.8K
41
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.3KThread41.1KAnggota
Tampilkan semua post
kopitalkAvatar border
kopitalk
#16
hari ini pimpinan kpk bertemu pimpinan bpk.. sikasikasikasik... emoticon-Ultah
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.