- Beranda
- Stories from the Heart
...
TS
jumpingworm





6th Story 



Spoiler for "The Menu":




5th Story : Wrap Your Heart




Spoiler for "The Menu":




4th Story : Irreplaceable 




Spoiler for The Menu:
Diubah oleh jumpingworm 16-07-2017 00:41
samsung66 dan anasabila memberi reputasi
2
102.6K
1.3K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
jumpingworm
#1324
13. Tempus
Kupandangi kedua ujung sepatuku yang berwarna hitam.
Tidak begitu terlihat bersih, tapi aku sangat menyukai sepatu ini karena terasa nyaman.
Ac bertiup sejuk dari atas jendela ruang kantor ini.
Aku sedang menunggu untuk bertemu Arzel di kantornya, tentu saja mengenai penandatanganan serah terima unit.
Setelah hari ini, urusan pengiriman mobil semua akan kuserahkan kepada bagian shipment.
Itu artinya, hari ini adalah kali terakhir aku akan menemui dia.
"Sori lama." Arzel masuk ke dalam bersama dengan seorang asistennya.
Aku hanya bangkit berdiri dan mengangguk sebagai tanda tata krama.
Setelah menyerahkan berkas dan menandatangani setiap lembar yang diwajibkan, aku merapikan kertas-kertas tanpa sepatah katapun.
"Urusannya udah selesai,...kalo begitu saya permisi dulu pak." aku bangkit untuk pamit.
Arzel hanya mengangguk, kemudian kami bertiga keluar ruangan di saat bersamaan dan masuk ke dalam lift.
Selama menuruni 19 lantai di dalam lift, suasana hening bagai kuburan.
Tidak ada suara sekecil apapun hingga mungkin jarum jatuh pun bisa terdengar di lift ini.
"Pak, saya permisi turun di sini." asisten Arzel pamit turun di lantai 5.
"Besok pagi saya tunggu laporan bulan lalu yang sudah kamu rangkum ya." Arzel berpesan sebelum pintu lift menutup.
Suasana makin canggung lagi ketika hanya tinggal kami berdua di dalam.
Tiba di parkiran mobil di lantai basement, kami hanya berjalan menuju mobil masing-masing dalam diam.
"Arzel..." tiba-tiba aku memanggil Arzel.
Seolah refleks, mungkin karena tersekap oleh kecanggungan sedari tadi, aku hanya bisa melambaikan tangan sambil tersenyum kepadanya.
"Kenapa?" Arzel ikutan bingung sama sepertiku sekarang.
"Eh...nggak apa. Cuma mau bilang ati-ati jalan baliknya."
Arzel hanya mengangguk dan tersenyum dari sudut bibirnya.
"Karen? Mau makan bareng?"
Aku melongo, tidak percaya Arzel mengeluarkan ajakan itu.
Tidak pikir panjang, aku langsung meng-iya kan ajakannya.
Yah, mungkin hitung-hitung ini jadi kali terakhirnya kami menghabiskan waktu cukup lama bersama.
Akhirnya kami janjian bertemu di Plaza Senayan, karena sama-sama membawa mobil masing-masing.
Aku duduk di Bakerzin yang berada di lantai 2, dan masih menunggu Arzel untuk datang.
Jika dipikir-pikir, rasanya seperti kencan berdua setelah sekian lama.
Mungkin tidak ada salahnya bernostalgia dalam hati kecilku sendiri.
Tidak berapa lama kemudian, Arzel muncul dan duduk di hadapanku.
Dia meletakkan tasnya di bangku samping, kemudian menggulung lengan kemejanya.
Sesaat kemudian waitress datang dan meminta pesanan kami.
"Saya,...pesen sausage bratwurst and potato." aku menjawab. "Minumannya, ice tea aja."
"Menu favorit di sini yang ekstra pedes apa ya?" Arzel bertanya seraya membalik-balik menu di hadapannya.
"Arzel...maag kamu suka kumat kan, kalo makan pedes?" aku langsung menasehati.
Arzel hanya terdiam kemudian mengangguk-angguk.
Akhirnya dia memesan pasta dan teh hangat untuk makan siangnya.
Kami berdua larut memainkan smartphone di tangan kami.
Entah apa yang Arzel lakukan, tapi aku? Hanya membuka instagram dan men-scroll random.
"Tau dari mana gue punya penyakit maag?"
Aku sempat tidak fokus, hanya melongo memandangi Arzel.
"Gue tanya, elo tau dari mana gue sakit maag?" Arzel memperjelas pertanyaannya.
Aku memutar bola mata.
Oh iya ya, harusnya kan' aku TIDAK tahu.
"Sejak SMA kan elo emang bawaan maag?" aku mengarang jawaban.
"Ehmm...gue nggak pernah cerita ke elo kayaknya? Karena waktu itu belom akut kayak gini." Arzel memandang curiga.
Tuh kan! Intuisi Arzel terlalu tajam untuk seorang kaum laki-laki yang biasanya terkenal tidak sensitif.
Atau aku yang terlalu tumpul dan sering kelepasan membedakan sosok yang ada di hadapanku?
"Ah, tapi orang jaman sekarang...8 dari 10 orang pasti punya penyakit maag kok. Gaya makan dan bahan baku jaman sekarang yang bikin..." akhirnya aku menjawab asal.
Arzel tidak puas dengan jawabanku, terlihat dari matanya.
Tapi sepertinya tidak ada gunanya melanjutkan argumen ini dan meminta penjelasanku, hingga akhirnya dia hanya kembali mematut handphonenya.
"Setelah ini, kita nggak bakal ketemu lagi ya..." gantian aku yang bergumam.
"Kenapa?"
Aku juga ragu bagaimana menjelaskan kepada Arzel.
"Yah,...karena urusan gue di bagian dealing sama elo udah selesai. Selanjutnya, yang bakal handle elo adalah bagian shipping dan tinggal repeat order ke perusahaan."
Arzel hanya meng-oo kan dan mengangguk-angguk.
Sepertinya tidak ada tanggapan berarti darinya.
Tapi lebih baik seperti ini.
Rasanya lebih mudah berpisah dengan Arzel kalau dia terus-terusan cuek seperti ini.
Kami melanjutkan makan tanpa mengobrol banyak.
Aku sendiri menikmati dentingan sendok garpu kami dalam diam.
Momen seperti ini yang ingin aku kenang dari kami.
Menghabiskan makan berdua untuk terakhir kali.
Jika nanti sudah kembali bertukar dimensi, setidaknya aku tidak akan meninggal dengan rasa penasaran.
Seusai makan, kami menuju parkiran di basement dan berpisah jalan seperti tadi.
Aku melambaikan tangan dengan senyum, dan Arzel juga membalas senyum walau dengan canggung.
Kami berpisah jalan, dan kali ini aku yakin untuk selama-lamanya.
Aku hanya bisa menangis dalam diam ketika sudah masuk ke dalam mobil.
Selamat tinggal, Arzel.
Tidak begitu terlihat bersih, tapi aku sangat menyukai sepatu ini karena terasa nyaman.
Ac bertiup sejuk dari atas jendela ruang kantor ini.
Aku sedang menunggu untuk bertemu Arzel di kantornya, tentu saja mengenai penandatanganan serah terima unit.
Setelah hari ini, urusan pengiriman mobil semua akan kuserahkan kepada bagian shipment.
Itu artinya, hari ini adalah kali terakhir aku akan menemui dia.
"Sori lama." Arzel masuk ke dalam bersama dengan seorang asistennya.
Aku hanya bangkit berdiri dan mengangguk sebagai tanda tata krama.
Setelah menyerahkan berkas dan menandatangani setiap lembar yang diwajibkan, aku merapikan kertas-kertas tanpa sepatah katapun.
"Urusannya udah selesai,...kalo begitu saya permisi dulu pak." aku bangkit untuk pamit.
Arzel hanya mengangguk, kemudian kami bertiga keluar ruangan di saat bersamaan dan masuk ke dalam lift.
Selama menuruni 19 lantai di dalam lift, suasana hening bagai kuburan.
Tidak ada suara sekecil apapun hingga mungkin jarum jatuh pun bisa terdengar di lift ini.
"Pak, saya permisi turun di sini." asisten Arzel pamit turun di lantai 5.
"Besok pagi saya tunggu laporan bulan lalu yang sudah kamu rangkum ya." Arzel berpesan sebelum pintu lift menutup.
Suasana makin canggung lagi ketika hanya tinggal kami berdua di dalam.
Tiba di parkiran mobil di lantai basement, kami hanya berjalan menuju mobil masing-masing dalam diam.
"Arzel..." tiba-tiba aku memanggil Arzel.
Seolah refleks, mungkin karena tersekap oleh kecanggungan sedari tadi, aku hanya bisa melambaikan tangan sambil tersenyum kepadanya.
"Kenapa?" Arzel ikutan bingung sama sepertiku sekarang.
"Eh...nggak apa. Cuma mau bilang ati-ati jalan baliknya."
Arzel hanya mengangguk dan tersenyum dari sudut bibirnya.
"Karen? Mau makan bareng?"
Aku melongo, tidak percaya Arzel mengeluarkan ajakan itu.
Tidak pikir panjang, aku langsung meng-iya kan ajakannya.
Yah, mungkin hitung-hitung ini jadi kali terakhirnya kami menghabiskan waktu cukup lama bersama.
Akhirnya kami janjian bertemu di Plaza Senayan, karena sama-sama membawa mobil masing-masing.
Aku duduk di Bakerzin yang berada di lantai 2, dan masih menunggu Arzel untuk datang.
Jika dipikir-pikir, rasanya seperti kencan berdua setelah sekian lama.
Mungkin tidak ada salahnya bernostalgia dalam hati kecilku sendiri.
Tidak berapa lama kemudian, Arzel muncul dan duduk di hadapanku.
Dia meletakkan tasnya di bangku samping, kemudian menggulung lengan kemejanya.
Sesaat kemudian waitress datang dan meminta pesanan kami.
"Saya,...pesen sausage bratwurst and potato." aku menjawab. "Minumannya, ice tea aja."
"Menu favorit di sini yang ekstra pedes apa ya?" Arzel bertanya seraya membalik-balik menu di hadapannya.
"Arzel...maag kamu suka kumat kan, kalo makan pedes?" aku langsung menasehati.
Arzel hanya terdiam kemudian mengangguk-angguk.
Akhirnya dia memesan pasta dan teh hangat untuk makan siangnya.
Kami berdua larut memainkan smartphone di tangan kami.
Entah apa yang Arzel lakukan, tapi aku? Hanya membuka instagram dan men-scroll random.
"Tau dari mana gue punya penyakit maag?"
Aku sempat tidak fokus, hanya melongo memandangi Arzel.
"Gue tanya, elo tau dari mana gue sakit maag?" Arzel memperjelas pertanyaannya.
Aku memutar bola mata.
Oh iya ya, harusnya kan' aku TIDAK tahu.
"Sejak SMA kan elo emang bawaan maag?" aku mengarang jawaban.
"Ehmm...gue nggak pernah cerita ke elo kayaknya? Karena waktu itu belom akut kayak gini." Arzel memandang curiga.
Tuh kan! Intuisi Arzel terlalu tajam untuk seorang kaum laki-laki yang biasanya terkenal tidak sensitif.
Atau aku yang terlalu tumpul dan sering kelepasan membedakan sosok yang ada di hadapanku?
"Ah, tapi orang jaman sekarang...8 dari 10 orang pasti punya penyakit maag kok. Gaya makan dan bahan baku jaman sekarang yang bikin..." akhirnya aku menjawab asal.
Arzel tidak puas dengan jawabanku, terlihat dari matanya.
Tapi sepertinya tidak ada gunanya melanjutkan argumen ini dan meminta penjelasanku, hingga akhirnya dia hanya kembali mematut handphonenya.
"Setelah ini, kita nggak bakal ketemu lagi ya..." gantian aku yang bergumam.
"Kenapa?"
Aku juga ragu bagaimana menjelaskan kepada Arzel.
"Yah,...karena urusan gue di bagian dealing sama elo udah selesai. Selanjutnya, yang bakal handle elo adalah bagian shipping dan tinggal repeat order ke perusahaan."
Arzel hanya meng-oo kan dan mengangguk-angguk.
Sepertinya tidak ada tanggapan berarti darinya.
Tapi lebih baik seperti ini.
Rasanya lebih mudah berpisah dengan Arzel kalau dia terus-terusan cuek seperti ini.
Kami melanjutkan makan tanpa mengobrol banyak.
Aku sendiri menikmati dentingan sendok garpu kami dalam diam.
Momen seperti ini yang ingin aku kenang dari kami.
Menghabiskan makan berdua untuk terakhir kali.
Jika nanti sudah kembali bertukar dimensi, setidaknya aku tidak akan meninggal dengan rasa penasaran.
Seusai makan, kami menuju parkiran di basement dan berpisah jalan seperti tadi.
Aku melambaikan tangan dengan senyum, dan Arzel juga membalas senyum walau dengan canggung.
Kami berpisah jalan, dan kali ini aku yakin untuk selama-lamanya.
Aku hanya bisa menangis dalam diam ketika sudah masuk ke dalam mobil.
Selamat tinggal, Arzel.
0