LONG WEEKEND – 6 MEI 2016

Ini adalah pertama kalinya aku terbangun dari tidur, selain dengan Cahaya. Ia adalah Ivory, gadis delapan-belas-tahun yang sedang terlelap di sebelahku, polos dan tanpa pembatas di antara kami. Sejenak aku teringat apa yang terjadi semalaman, dan aku masih bersyukur bahwa ia masih menjadi gadis.





Jam 07.00 pagi, Ivory mengajakku untuk sekadar berjalan-jalan, tujuannya adalah Gunung Patuha. Objek wisata yang paling terkenal di sana adalah Kawah Putih, dan pagi ini aku benar-benar dimanjakan oleh kehangatan cinta Ivory yang kurasakan lebih tulus ketimbang Cahaya.



Aku hanya tersenyum simpul mendengar kata-katanya, sungguh rasanya seperti kembali ke masa SMA. Merasakan jatuh cinta yang begitu indah, seolah-olah dunia hanyalah milik kami berdua.

Memang, mencintai wanita itu serasa bisa menggapai Cirrus yang begitu tinggi di sana, melayang terbang melintasi awan, untuk menyentuh dan memanjakan mereka di atas sana. Karena wanita itu begitu tinggi, tetapi mereka begitu tipis dan rapuh, sehingga siapapun yang menyentuh hatinya pasti akan selalu memilikinya.

Dan rupanya, segala pengorbananku selama ini kepada Cahaya tidak pernah berarti. Hatinya hanya untuk laki-laki lain yang menurutnya lebih pantas mendampinginya.

Itulah cinta, ketika rasa keindahan dan juga kenyamanan hati bisa mengalahkan segala lelah dan juga penat. Bahkan segala kesulitan hidup pun bisa hilang atas nama cinta.



Kulajukan kendaraan ini di atas hotmix mulus menuju ke lokasi Kawah Putih. Dan ini adalah kali pertama W212 ini melahap aspal luar kota, di mana aku biasa membawa mobil ini hanya untuk pergi ke Ibukota saja. Cukup nyaman dengan respon mesin yang cukup baik, menyalurkan torsi secara berkesinambungan ke roda belakang.

Aku pun dengan mudah dapat melahap tikungan demi tikungan yang menghadangku tanpa kesulitan sama sekali, bahkan dengan mode Manumatic, aku bisa dengan leluasa memainkan puncak torsi mesin pada 340 Nm. Dan dalam waktu yang cukup singkat, tibalah kami di tempat itu.

Dan seperti dugaanku, di sini ternyata ramai, tidak apa, hitung-hitung liburan pertengahan tahun.



Kami bukanlah pasangan kekasih yang kasmaran, jujur saja aku lebih memilih berjalan di depannya, sementara ia hanya mengikuti kemana langkahku pergi.

Sesekali aku memandang gadis yang selalu tersenyum saat kami beradu pandang, bahkan ia terlihat lebih dewasa ketimbang Cahaya, setidaknya untuk saat ini.



Kami menghabiskan waktu di sini untuk sekadar menikmati keindahan panorama alam buatan Sang Jabbar.

Keindahan ini terasa semakin menggetarkan seluruh hatiku ketika tangan-tangan lembut Ivory mendekap mesra lenganku. Sesekali ia menyandarkan kepalanya di pundakku, seolah aku adalah orang yang paling ia cintai saat ini.

Agak sesak bernapas di pekatnya uap belerang yang mengepul dari kawah yang sudah tidak memiliki aktivitas vulkanik secara signifikan sejak tahun 1600 ini.



Hening, tidak ada suara yang tercipta di antara kami setelah lisan yang terlontar dari bibir Ivory. Aku hanya memandangnya, melihat tiap helai rambutnya tersibak embusan angin, membuatnya tampak begitu cantik di pagi menjelang siang ini.

Ia tersenyum, seakan memojokanku dengan pertanyaan tentang alasan mencintai barusan. Kuhela napas panjang lalu kugenggam kedua pundaknya.



Ia terdiam, hanya memandangku dengan wajah yang sangat merah, ia lalu mengangguk. Berarti benar itu adalah peristiwa yang pernah terjadi setahun yang lalu, saat aku ada panggilan kerja di salah satu perusahaan di Jalan M.H. Thamrin, tetapi kutolak karena Cahaya tidak setuju aku bekerja di sana.

Hanya karena masalah sederhana, di sana ada wanita yang pernah menjadi mantan kekasihku, namanya Sandra.





Itulah cinta, selalu datang tanpa disadari, dan kadang memberikan sebuah makna baru dalam hidup. Semuanya berjalan tanpa adanya rekayasa, dan itulah cinta yang bisa saja membuyarkan segala logika tentang apa-apa yang terjadi.



Malam sudah menunjukkan pukul 10.00, aku dan Ivory hanya duduk bersandar di depan televisi seraya menutupi tubuh kami masing-masing dengan selimut karena dinginnya hawa di sini. Sesekali ia tersenyum dan memandangku, dan semuanya berakhir begitu cepat saat dekapannya mendarat di tubuhku.