- Beranda
- Sejarah & Xenology
Sejarah dibalik Kisah Journey to the West
...
TS
beaufighter
Sejarah dibalik Kisah Journey to the West
malam.

Pengantar Thread
alasankenapa thread ini kok gak dimasukkan ke thread Chinesse Myth And Legends sebab yang akan diceritakan di thread ini adalah sejarah sebenarnya dari kisah tentang Perjalanan ke Barat yang sering dikenal dengan kisah biksu Tong serta 3 pengawalnya, Sun Go Kong, Cu Pat Kay dan Wu Jing ( Sun Wukong, Zhu Bajie dan Sha Wujing).
dalam kisah tersebut, dituntun oleh takdir, Sun Go Kong si kera sakti yang lahir dari batu bersama Pat Kai titisan hukuman panglima langit Tian Feng dan Wu Jing yang juga titisan panglima langit yang dihukum bersama mengawal guru mereka biksu Tong ke Barat menghadapi berbagai siluman yang bisa "mendo mendo" menjadi berbagai rupa dan berbagai rintangan lain baik fisik maupun non fisik.
versi kisah Sun Go Kong sendiri pada era modern sudah berkembang sedemikian banyak dari cerita klasik sampai animasi sampai manga (mis: monkey king, dragonball), sehingga cerita asli tentang Sun Go Kong (karangan Wu Cheng en) jadi rada kabur, padahal dibalik kisah tersebut masih ada cerita sejarah yang beneran terjadi yaitu tentang perjalanan biksu Tang Xuanzang selama 18 tahun (sekitar 629-647 M) ke India.
rute yang diambil beliaupun cukup unik, ia memutar dulu ke barat sbelum ke selatan. melewati gurun Takla Makan , Turfan, Karashar, Kucha, Tashkent, dan Samarkand (Afghanistan), mampir ke kerajaan Bactria, menyeberangi pegunungan Hindu Kush ke Kapisha, Gandhara, lalu Kashmir dan darisana beliau memakai jalan air sungai Gangga ke India untuk belajar Budha di Universitas Nalanda.
mudah mudahan thread ini belum repost dan bisa menjadi bacaan yang menghibur, thanks.

Kisah Asli Perjalanan ke Barat/ Journey to the West
PENDAHULUAN
Siapa pun pasti mengenal sosok bhikshu yang dikenal sebagai Tang San Zang (hakka.Tong Sam Cong). Bhikshu dengan nama asli Xuan Zang (Hsuan Tsang) ini terkenal sebagai guru dari siluman kera batu Sun Wu Kong (Sun Go Kong) dalam kisah Perjalanan ke Barat karya Wu Cheng En (di Indonesia telah ditayangkan filmnya dengan judul Kera Sakti).
Namun sesungguhnya kisah asli perjalanan ke India yang dilakukan oleh Xuan Zang untuk mencari kitab suci dalam sejarah lebih dari sekedar khayalan penulis novel.
Xuan Zang benar-benar pernah hidup di Cina dan mengadakan perjalanan ke barat, namun tanpa disertai para muridnya yang merupakan siluman atau titisan dewa, melainkan seorang diri bahkan tanpa seizin kaisar Tang.
Oleh sebab itu, di sini akan dibahas tentang kisah hidup Xuan Zang dan perjalanannya ke India sesuai dengan catatan sejarah beserta sedikit uraian tentang ajaran beliau.
MASA-MASA AWAL
Sekitar tahun 600 M di desa Chen He di Provinsi Henan saat cuaca dingin dan kering, Chen Yi dilahirkan. Tidak ada yang menyangka anak bungsu keluarga Chen tersebut akan tumbuh menjadi seorang cendikiawan dan peziarah Buddhis yang ternama, Xuan Zang.
Keluarga Chen secara turun-temurun menghasilkan pejabat dan sarjana Confusius. Chen Yi juga diharapkan agar dapat mengikuti jejak leluhurnya. Untungnya, ayahnya Chen Hui sangat tertarik dalam ajaran Buddha dan mempelajari kedua ajaran ini di rumah.
Ini banyak mempengaruhi Chen Yi kecil, dan ketika kakak keduanya menjadi bhikshu di vihara Jing Tu, ia juga pergi ke sana untuk mempelajari dan menjalankan ajaran Buddha. Pada tahun yang sama, ketika baru berusia 6 tahun, ia menjadi seorang samanera.
Biasanya, hanya anak kecil yang telah berusia paling kurang 7 tahun yang diizinkan untuk ditahbiskan sebagai samanera. Namun, Chen Yi dapat menyelesaikan ujian yang sulit dengan tepat dan oleh sebabnya ditahbiskan dalam Sangha sebagai pengecualian, dengan memakai nama Buddhis "Xuan Zang".
Ia mempelajari ajaran Theravada dan Mahayana di vihara Jing Tu dan menunjukkan kecenderungan pada ajaran Mahayana. Sejak usia belia, kecerdasan Xuan Zang yang luar biasa terlihat. Hanya dengan mendengar uraian pada suatu sutra satu kali saja dan mempelajarinya sendiri pada waktu lain, ia dapat mengingat keseluruhan sutra tersebut.
Ini luar biasa karena biasanya suatu sutra mengandung jutaan kata. Para bhikshu lainnya memujinya sebagai jenius. Saat ayahnya meninggal pada tahun 611 M, ia dan kakaknya terus mendalami ajaran Buddha di vihara Jing Tu sampai ketidakstabilan politik memaksa mereka untuk mengungsi ke kota Changan (sekarang Xi An).
Setelah itu, ia pergi ke Chengdu di Provinsi Sichuan untuk mendalami lebih lanjut ajaran Buddha yang membuatnya bertambah pengetahuan dan berkembang nama baiknya. Pada usia 20 tahun, Xuan Zang ditahbiskan sebagai bhikshu.
Semakin banyak Xuan Zang belajar semakin ia tidak puas dengan kualitas kitab-kitab Buddhis yang ada. Terdapat banyak terjemahan yang berbeda atas suatu sutra, kebanyakan bertentangan satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan karena penerjemahan kitab Buddhis tersebut kebanyakan dilakukan oleh para bhikshu luar dari India atau negeri lainnya.
Halangan keterbatasan bahasa merintangi terjemahan yang akurat, ditambah lagi masing-masing penerjemah memiliki pengertian yang berbeda atas kitab aslinya, yang cukup sulit dipahami. Perbedaan aliran dalam agama Buddha juga memperumit proses penerjemahan karena pengikut masing-masing pengikut memiliki pandangan yang berbeda atas ajaran Buddha, yang sering diperdebatkan oleh pengikut aliran lain.
Sesungguhnya pada awal abad ke-7 M Cina telah menjadi "medan pertempuran" antara para pengikut aliran Yogacara, yaitu antara ajaran Yogacara berdasarkan karya Asanga dan ajaran yang sama berdasarkan karya Vasubandhu.
Xuan Zang berpikir perdebatan antara keduanya disebabkan oleh tidak tersedianya kitab-kitab penting aliran Yogacara dalam bahasa Cina. Jika Yogacarabhumi-sastra, kitab yang menjelaskan tahapan dalam Yogacara untuk mencapai Pencerahan yang ditulis oleh Asanga tersedia dalam bahasa Cina, ia pikir ini dapat menyelesaikan semua perdebatan ini.
Pada abad ke-6 M bhikshu India bernama Pamartha telah menerjemahkan sebagian isi kitab ini. Namun Xuan Zang bertekad untuk mendapatkan versi lengkap kitab ini langsung dari tanah kelahiran Buddha, India.
Semua ini membawa Xuan Zang pada kesimpulan bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang benar, ia harus pergi ke barat untuk mendapatkan kitab suci asli agama Buddha.
Seakan-akan karma baik Xuan Zang berbuah, seorang murid dari bhikshu kepala Silabhadra yang merupakan pemimpin dan bhikshu tertinggi dari Universitas Nalanda tiba di Changan melalui perjalanan laut.
Ketika sang murid mengetahui bahwa Xuan Zang sedang merencanakan perjalanan ke India, ia mengatakan: "Untuk memahami makna sesungguhnya dari kitab-kitab suci, kamu harus pergi ke Universitas Nalanda dan belajar di bawah bhikshu Silabhadra."
Demikianlah, Xuang Zang menetapkan tujuan perjalanannya ke Universitas Nalanda yang tak lain adalah vihara Halilintar di surga Barat dalam kisah rekaan Perjalanan ke Barat. PERJALANAN KE BARAT (INDIA)

Pada tahun 629 Xuan Zang memulai perjalanan bersejarahnya. Saat itu Kaisar Tang Zhen Guan baru naik tahta 3 tahun. Bangsa Gokturks (Turki Timur) terus-menerus menyerang perbatasan barat Cina, oleh sebab itu pemerintah menutup jalan menuju barat, melarang siapa pun kecuali para pedagang dan orang asing melakukan perjalanan ke arah tersebut.
Pada waktu itu Xuan Zang dan beberapa bhikshu lain dengan tujuan yang sama mengajukan permohonan izin untuk melewati perbatasan (yang disebut "guo shuo" atau paspor) kepada pemerintah, tetapi ditolak.
Para bhikshu lainnya menyerah, namun Xuan Zang memutuskan untuk secara diam-diam keluar dari Changan. Dalam perjalanan ia dihentikan di Liang Zhou karena ia tidak punya paspor. Seorang kepala bhikshu menolongnya meloloskan diri. Ia mengendarai kudanya siang dan malam hingga akhirnya sampai di Gua Zhuo.
Pada saat yang sama titah pemerintah yang memerintahkan penangkapannya juga sampai di sana. Untungnya, para pejabat di sana yang adalah seorang umat Buddha yang taat menunda titah tersebut dan melepaskan Xuan Zang.
Walaupun berhasil lolos dari tangkapan pemerintah, bahaya sebenarnya masih menanti Xuan Zang. Tidak seperti dalam kisah Perjalanan ke Barat di mana bahaya tersebut datang dari para siluman yang hendak membunuh dan memakan dagingnya, bahaya yang dihadapi Xuan Zang lebih "membumi", tetapi tak kalah mematikannya.
Setelah melewati Gansu, Lanzhou, dan Dunhuang di akhir Tembok Besar, ia mengambl jalan ke cabang utara Jalur Sutra melewati Yu Men Guan untuk menuju ke Gurun Gobi, bahaya pertama yang akan ia hadapi.
Gurun Gobi yang luas dan kering dengan suhu yang ekstrem, panas menyengat di siang hari dan dingin membeku di malam hari, merupakan hal yang mematikan bagi penjelajahnya ditambah lagi dengan tipisnya persediaan air, makanan, dan tempat berlindung.
Saat Xuan Zang memacu kudanya ke gurun tersebut , ia melihat tulang belulang manusia, sisa-sisa para penjelajah yang tersesat dan menemui ajalnya di tengah-tengah hamparan pasir tersebut.
Selain bahaya dari kondisi alam, terdapat juga lima menara jaga di Gurun Gobi. Para penjaga menara tersebut diperintahkan untuk memanahi dan membunuh para penjelajah tanpa paspor. Ketika Xuan Zang berusaha menyelinap, ia hampir terbunuh oleh tembakan anak panah.
Dalam upaya menghindari menara jaga tersebut, ia tersesat dan mengembara selama berhari-hari tanpa air dan makanan. Ia hampir tewas ketika tunggangannya, seekor kuda yang sering menjelajahi gurun, menariknya ke sebuah mata air yang dapat menyelamatkan hidupnya.
Tercatat dalam buku biografinya yang ditulis oleh para muridnya, pada malam kelima ketika Xuan Zang terbaring di atas pasir dan tidak dapat bergerak sama sekali, ia bermimpi seorang laki-laki tak dikenal dengan perawakan seperti raksasa mendatanginya dan menyuruhnya untuk bangun dan berjalan.
Setelah Xuan Zang dapat berdiri dengan kedua kakinya dan berkelana tanpa tujuan sampai jarak tertentu, kudanya tiba-tiba meringkik kesenangan dan berlari ke arah tertentu, yang membawanya ke sebuah mata air yang kemudian menyelamatkan hidup Xuan Zang. Tokoh Sha Wu Jing, murid ketiga Xuan Zang dalam kisah Perjalanan ke Barat yang ditulis Wu Cheng En diinspirasi dari mimpi Xuan Zang ini.
Setelah dapat lolos dari maut, Xuan Zang sampai di kota oasis Kumul dan mengikuti lembah Sungai Chu menuju Asia Tengah. Kemudian ia sampai di Turfan yang saat itu dikenal dengan nama Kerajaan Gao Chang.
Raja Turfan adalah seorang umat Buddha yang taat dan bermaksud untuk menjadikan Xuan Zang sebagai bhikshu kepala di negerinya. Gagal menahan Xuan Zang di negerinya, raja Turfan mengirim empat orang samanera dan dua puluh lima orang lainnya untuk melakukan perjalanan bersama Xuan Zang.
Setelah meninggalkan Turfan, Xuan Zang beserta rombongannya menuju Kara-shahr yang kemudian dilanjutkan ke Kucha. Kucha merupakan kota oasis yang terkenal dengan kuda-kudanya yang menakjubkan. Tanahnya subur dan sangat cocok untuk lahan pertanian. Di Kucha terdapat 100 buah vihara dengan lebih dari 5000 bhikshu Sarvastivadin.
Semua vihara tersebut dihiasi dengan patung-patung Buddha yang diparadekan pada hari-hari khusus dalam upacara pengusungan rupang. Raja Kucha menyelenggarakan perayaan lima tahunan yang sebelumnya telah dilakukan sejak zaman Raja Asoka di mana setiap lima tahun sekali pemberian dana besar-besaran dilakukan untuk Sangha.
Di luar pintu gerbang kota Xuan Zang melihat adanya dua buah patung Buddha setinggi 90 kaki dan di depannya dibangun tempat khusus untuk perayaan lima tahunan tersebut. Setelah tinggal di sana selama 2 bulan, ia melanjutkan perjalanan ke Aksu dan melintasi Gunung Ling.
Ketika melewati Gunung Ling yang banyak ditutupi gletser, sepertiga rombongan Xuan Zang tewas. Yang paling beruntung tewas seketika ketika mereka tertimpa bongkahan es yang berasal dari gletser yang pecah ditiup angin.
Yang lainnya tertimbun salju longsor. Beberapa lainnya, saat berjalan di jalan es yang berbahaya, kehilangan pijakan mereka dan terjatuh. Yang lainnya lagi tewas karena membeku. Beberapa jatuh ke dalam retakan gletser.

Namun dengan tekad yang kuat untuk sampai di India, Xuan Zang dapat melanjutkan perjalanannya menuju Pegunungan Tian Shan dan sampai di daerah Kirgistan melalui Celah Bedal.
Ia melewati pantai dari danau Issyk Kul di Kirgistan yang merupakan danau di atas pegunungan dengan ketinggian 5200 kaki dari permukaan laut dan danau terbesar di dunia seluas 6200 km persegi. Lalu melanjutkan perjalanan ke arah barat laut, ia melewati daerah danau Kyrgyz dari Myn-bulak, yang dikenal sebagai "Seribu Mata Air".
Berjalan ke arah barat ia melintasi kota Tartar dari bangsa Tara dan negeri Nujkend di ***al dan tiba di Tashkent di Uzbekistan Timur yang dikuasai oleh bangsa Hun.
Pemberhentian berikutnya adalah Samarkand, sebuah negeri yang berpenduduk padat yang terletak di pertemuan jalur perdagangan kuno Cina dan India. Kota ini merupakan pusat perdagangan di Jalur Sutra di mana para pedagang menukarkan barang dagangan mereka. Menurut Xuan Zang:
"Barang-barang dagang dari berbagai negeri disimpan di sini. Para penduduknya mahir dalam kesenian dan berdagang melebihi penduduk negeri lain. Orang-orang di sini pemberani dan bersemangat tinggi serta dicontoh oleh orang-orang negeri sekitar dalam hal keramah-tamahan dan sopan santunnya."
Dari Samarkand sang peziarah melanjutkan ke Kesh (Karshi) dan berjalan ke selatan memasuki daerah pegunungan. Setelah mendaki jalan yang curam dan terjal, ia sampai di Gerbang Besi, sebuah celah pegunungan yang batas kiri kanannya terdapat dinding tinggi berbatu yang berwarna seperti besi.
Di sini pintu kayu ganda telah dibuat dan banyak lonceng dipasang di sana. Pintu-pintu ini dikuatkan dengan besi dan tahan serangan. Karena perlindungan yang diberikan pada celah tersebut ketika pintu-pintu ini ditutup, celah ini disebut Gerbang Besi.
Kemudian ia sampai di Tukhara, sebuah negeri yang dikuasai bangsa Turki, dan menyeberangi sungai Oxus (Amur Darya) di dekat Termez, ia tiba di Kunduz di Afghanistan. Di sini Xuan Zang bertemu dengan putra tertua dari Khan raja bangsa Turki, kakak ipar dari raja Turfan, di mana Xuan Zang memperoleh surat izin darinya.
Setelah beberapa lama bersinggah, Xuan Zang melanjutkan perjalanan bersama beberapa bhikshu dari Balkh ke kota tersebut yang merupakan bekas ibukota dari kerajaan Bactria, kerajaan Raja Milinda dalam Milinda Panha. Di negeri ini terdapat 1000 vihara dan 3000 orang bhikshu.
Di sini ia mengunjungi Nava Vihara (yang berarti "Vihara Baru", sekarang dikenal sebagai Navbahar) yang terkenal di mana ia mendapatkan kitab Mahavibhasa (penjelasan Abhidharma) dan mempelajari ajaran Theravada di bawah seorang guru bernama Prajnakara.
Setelah memberikan penghormatan pada relik-relik suci di sana, Xuan Zang berangkat dari Balkh melalui jalan yang berbahaya dan sulit menuju pegunungan Hindu Kush dan sampai di Bamiyan.
Di Bamiyan orang-orang meyakini Tri Ratna, tetapi masih memuja ratusan dewa di mana para pedagang memberikan persembahan ketika keberuntungan usahanya memburuk. Di sini terdapat 10 vihara dengan sekitar 1000 bhikshu aliran Lokuttaravadin.
Di sini juga Xuan Zang menyaksikan dua buah patung Buddha raksasa dengan tinggi sekitar 55 dan 35 meter masing-masing, yang diukir di sisi gunung pada abad ke-4 dan ke-5 M. Saat itu Xuan Zang salah mengira patung yang kecil terbuat dari perunggu karena permukaannya yang dilapisi perunggu.
Ia juga melihat sebuah patung Buddha berbaring dan memberikan penghormatan pada beberapa relik gigi Sang Buddha. (Sayangnya kini patung Buddha raksasa peninggalan sejarah tersebut telah dihancurkan pemerintah Taliban pada tahun 2001).
Berjalan ke arah timur, Xuan Zang memasuki celah pegunungan Hindu Kush dan menyeberangi bukit Siah Koh, ia sampai di negeri Kapisa.
Di sini terdapat kurang lebih 100 vihara dengan 6000 bhikshu Mahayana dan sebuah vihara besar dengan 300 bhikshu Theravada. Di sini juga ditemukan 10 kuil dewa dengan sekitar 1000 pertapa Hindu dari berbagai aliran seperti pertapa telanjang (Digambara), pertapa yang menutupi tubuhnya dengan abu (Pasupata), dan pertapa yang memakai manik-manik dari tulang di kepala mereka (Kapaladharina).
Setiap tahun raja akan membuat patung Buddha perak dan memberikan dana kepada orang-orang miskin, papa, dan yang ditinggal sendiri. Setelah menghabiskan musim panas tahun 630 M di Kapisa, Xuan Zang pergi ke Nagarahara (Jalalabad). Di sini ia menemukan banyak vihara tetapi dengan sedikit bhikshu. Stupa-stupa telah rusak dan tinggal reruntuhan.
Ia mengunjungi gua Naga Gopala yang menurut legenda pernah terdapat bayangan Sang Buddha yang ditinggalkan-Nya setelah menaklukkan sang naga. Di vihara yang menyimpan relik tulang kepala, ia menemukan bahwa penjaga di sana adalah para brahmana yang ditunjuk oleh raja dan mereka meminta para peziarah sejumlah uang masuk agar dapat melihat relik tersebut.
Bersambung ..

Pengantar Thread
alasankenapa thread ini kok gak dimasukkan ke thread Chinesse Myth And Legends sebab yang akan diceritakan di thread ini adalah sejarah sebenarnya dari kisah tentang Perjalanan ke Barat yang sering dikenal dengan kisah biksu Tong serta 3 pengawalnya, Sun Go Kong, Cu Pat Kay dan Wu Jing ( Sun Wukong, Zhu Bajie dan Sha Wujing).
dalam kisah tersebut, dituntun oleh takdir, Sun Go Kong si kera sakti yang lahir dari batu bersama Pat Kai titisan hukuman panglima langit Tian Feng dan Wu Jing yang juga titisan panglima langit yang dihukum bersama mengawal guru mereka biksu Tong ke Barat menghadapi berbagai siluman yang bisa "mendo mendo" menjadi berbagai rupa dan berbagai rintangan lain baik fisik maupun non fisik.
versi kisah Sun Go Kong sendiri pada era modern sudah berkembang sedemikian banyak dari cerita klasik sampai animasi sampai manga (mis: monkey king, dragonball), sehingga cerita asli tentang Sun Go Kong (karangan Wu Cheng en) jadi rada kabur, padahal dibalik kisah tersebut masih ada cerita sejarah yang beneran terjadi yaitu tentang perjalanan biksu Tang Xuanzang selama 18 tahun (sekitar 629-647 M) ke India.
rute yang diambil beliaupun cukup unik, ia memutar dulu ke barat sbelum ke selatan. melewati gurun Takla Makan , Turfan, Karashar, Kucha, Tashkent, dan Samarkand (Afghanistan), mampir ke kerajaan Bactria, menyeberangi pegunungan Hindu Kush ke Kapisha, Gandhara, lalu Kashmir dan darisana beliau memakai jalan air sungai Gangga ke India untuk belajar Budha di Universitas Nalanda.
mudah mudahan thread ini belum repost dan bisa menjadi bacaan yang menghibur, thanks.
Quote:
Kisah Asli Perjalanan ke Barat/ Journey to the West
PENDAHULUAN
Siapa pun pasti mengenal sosok bhikshu yang dikenal sebagai Tang San Zang (hakka.Tong Sam Cong). Bhikshu dengan nama asli Xuan Zang (Hsuan Tsang) ini terkenal sebagai guru dari siluman kera batu Sun Wu Kong (Sun Go Kong) dalam kisah Perjalanan ke Barat karya Wu Cheng En (di Indonesia telah ditayangkan filmnya dengan judul Kera Sakti).
Namun sesungguhnya kisah asli perjalanan ke India yang dilakukan oleh Xuan Zang untuk mencari kitab suci dalam sejarah lebih dari sekedar khayalan penulis novel.
Xuan Zang benar-benar pernah hidup di Cina dan mengadakan perjalanan ke barat, namun tanpa disertai para muridnya yang merupakan siluman atau titisan dewa, melainkan seorang diri bahkan tanpa seizin kaisar Tang.
Oleh sebab itu, di sini akan dibahas tentang kisah hidup Xuan Zang dan perjalanannya ke India sesuai dengan catatan sejarah beserta sedikit uraian tentang ajaran beliau.
MASA-MASA AWAL
Sekitar tahun 600 M di desa Chen He di Provinsi Henan saat cuaca dingin dan kering, Chen Yi dilahirkan. Tidak ada yang menyangka anak bungsu keluarga Chen tersebut akan tumbuh menjadi seorang cendikiawan dan peziarah Buddhis yang ternama, Xuan Zang.
Keluarga Chen secara turun-temurun menghasilkan pejabat dan sarjana Confusius. Chen Yi juga diharapkan agar dapat mengikuti jejak leluhurnya. Untungnya, ayahnya Chen Hui sangat tertarik dalam ajaran Buddha dan mempelajari kedua ajaran ini di rumah.
Ini banyak mempengaruhi Chen Yi kecil, dan ketika kakak keduanya menjadi bhikshu di vihara Jing Tu, ia juga pergi ke sana untuk mempelajari dan menjalankan ajaran Buddha. Pada tahun yang sama, ketika baru berusia 6 tahun, ia menjadi seorang samanera.
Biasanya, hanya anak kecil yang telah berusia paling kurang 7 tahun yang diizinkan untuk ditahbiskan sebagai samanera. Namun, Chen Yi dapat menyelesaikan ujian yang sulit dengan tepat dan oleh sebabnya ditahbiskan dalam Sangha sebagai pengecualian, dengan memakai nama Buddhis "Xuan Zang".
Ia mempelajari ajaran Theravada dan Mahayana di vihara Jing Tu dan menunjukkan kecenderungan pada ajaran Mahayana. Sejak usia belia, kecerdasan Xuan Zang yang luar biasa terlihat. Hanya dengan mendengar uraian pada suatu sutra satu kali saja dan mempelajarinya sendiri pada waktu lain, ia dapat mengingat keseluruhan sutra tersebut.
Ini luar biasa karena biasanya suatu sutra mengandung jutaan kata. Para bhikshu lainnya memujinya sebagai jenius. Saat ayahnya meninggal pada tahun 611 M, ia dan kakaknya terus mendalami ajaran Buddha di vihara Jing Tu sampai ketidakstabilan politik memaksa mereka untuk mengungsi ke kota Changan (sekarang Xi An).
Setelah itu, ia pergi ke Chengdu di Provinsi Sichuan untuk mendalami lebih lanjut ajaran Buddha yang membuatnya bertambah pengetahuan dan berkembang nama baiknya. Pada usia 20 tahun, Xuan Zang ditahbiskan sebagai bhikshu.
Semakin banyak Xuan Zang belajar semakin ia tidak puas dengan kualitas kitab-kitab Buddhis yang ada. Terdapat banyak terjemahan yang berbeda atas suatu sutra, kebanyakan bertentangan satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan karena penerjemahan kitab Buddhis tersebut kebanyakan dilakukan oleh para bhikshu luar dari India atau negeri lainnya.
Halangan keterbatasan bahasa merintangi terjemahan yang akurat, ditambah lagi masing-masing penerjemah memiliki pengertian yang berbeda atas kitab aslinya, yang cukup sulit dipahami. Perbedaan aliran dalam agama Buddha juga memperumit proses penerjemahan karena pengikut masing-masing pengikut memiliki pandangan yang berbeda atas ajaran Buddha, yang sering diperdebatkan oleh pengikut aliran lain.
Sesungguhnya pada awal abad ke-7 M Cina telah menjadi "medan pertempuran" antara para pengikut aliran Yogacara, yaitu antara ajaran Yogacara berdasarkan karya Asanga dan ajaran yang sama berdasarkan karya Vasubandhu.
Xuan Zang berpikir perdebatan antara keduanya disebabkan oleh tidak tersedianya kitab-kitab penting aliran Yogacara dalam bahasa Cina. Jika Yogacarabhumi-sastra, kitab yang menjelaskan tahapan dalam Yogacara untuk mencapai Pencerahan yang ditulis oleh Asanga tersedia dalam bahasa Cina, ia pikir ini dapat menyelesaikan semua perdebatan ini.
Pada abad ke-6 M bhikshu India bernama Pamartha telah menerjemahkan sebagian isi kitab ini. Namun Xuan Zang bertekad untuk mendapatkan versi lengkap kitab ini langsung dari tanah kelahiran Buddha, India.
Semua ini membawa Xuan Zang pada kesimpulan bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang benar, ia harus pergi ke barat untuk mendapatkan kitab suci asli agama Buddha.
Seakan-akan karma baik Xuan Zang berbuah, seorang murid dari bhikshu kepala Silabhadra yang merupakan pemimpin dan bhikshu tertinggi dari Universitas Nalanda tiba di Changan melalui perjalanan laut.
Ketika sang murid mengetahui bahwa Xuan Zang sedang merencanakan perjalanan ke India, ia mengatakan: "Untuk memahami makna sesungguhnya dari kitab-kitab suci, kamu harus pergi ke Universitas Nalanda dan belajar di bawah bhikshu Silabhadra."
Demikianlah, Xuang Zang menetapkan tujuan perjalanannya ke Universitas Nalanda yang tak lain adalah vihara Halilintar di surga Barat dalam kisah rekaan Perjalanan ke Barat. PERJALANAN KE BARAT (INDIA)
Pada tahun 629 Xuan Zang memulai perjalanan bersejarahnya. Saat itu Kaisar Tang Zhen Guan baru naik tahta 3 tahun. Bangsa Gokturks (Turki Timur) terus-menerus menyerang perbatasan barat Cina, oleh sebab itu pemerintah menutup jalan menuju barat, melarang siapa pun kecuali para pedagang dan orang asing melakukan perjalanan ke arah tersebut.
Pada waktu itu Xuan Zang dan beberapa bhikshu lain dengan tujuan yang sama mengajukan permohonan izin untuk melewati perbatasan (yang disebut "guo shuo" atau paspor) kepada pemerintah, tetapi ditolak.
Para bhikshu lainnya menyerah, namun Xuan Zang memutuskan untuk secara diam-diam keluar dari Changan. Dalam perjalanan ia dihentikan di Liang Zhou karena ia tidak punya paspor. Seorang kepala bhikshu menolongnya meloloskan diri. Ia mengendarai kudanya siang dan malam hingga akhirnya sampai di Gua Zhuo.
Pada saat yang sama titah pemerintah yang memerintahkan penangkapannya juga sampai di sana. Untungnya, para pejabat di sana yang adalah seorang umat Buddha yang taat menunda titah tersebut dan melepaskan Xuan Zang.
Walaupun berhasil lolos dari tangkapan pemerintah, bahaya sebenarnya masih menanti Xuan Zang. Tidak seperti dalam kisah Perjalanan ke Barat di mana bahaya tersebut datang dari para siluman yang hendak membunuh dan memakan dagingnya, bahaya yang dihadapi Xuan Zang lebih "membumi", tetapi tak kalah mematikannya.
Setelah melewati Gansu, Lanzhou, dan Dunhuang di akhir Tembok Besar, ia mengambl jalan ke cabang utara Jalur Sutra melewati Yu Men Guan untuk menuju ke Gurun Gobi, bahaya pertama yang akan ia hadapi.
Gurun Gobi yang luas dan kering dengan suhu yang ekstrem, panas menyengat di siang hari dan dingin membeku di malam hari, merupakan hal yang mematikan bagi penjelajahnya ditambah lagi dengan tipisnya persediaan air, makanan, dan tempat berlindung.
Saat Xuan Zang memacu kudanya ke gurun tersebut , ia melihat tulang belulang manusia, sisa-sisa para penjelajah yang tersesat dan menemui ajalnya di tengah-tengah hamparan pasir tersebut.
Selain bahaya dari kondisi alam, terdapat juga lima menara jaga di Gurun Gobi. Para penjaga menara tersebut diperintahkan untuk memanahi dan membunuh para penjelajah tanpa paspor. Ketika Xuan Zang berusaha menyelinap, ia hampir terbunuh oleh tembakan anak panah.
Dalam upaya menghindari menara jaga tersebut, ia tersesat dan mengembara selama berhari-hari tanpa air dan makanan. Ia hampir tewas ketika tunggangannya, seekor kuda yang sering menjelajahi gurun, menariknya ke sebuah mata air yang dapat menyelamatkan hidupnya.
Tercatat dalam buku biografinya yang ditulis oleh para muridnya, pada malam kelima ketika Xuan Zang terbaring di atas pasir dan tidak dapat bergerak sama sekali, ia bermimpi seorang laki-laki tak dikenal dengan perawakan seperti raksasa mendatanginya dan menyuruhnya untuk bangun dan berjalan.
Setelah Xuan Zang dapat berdiri dengan kedua kakinya dan berkelana tanpa tujuan sampai jarak tertentu, kudanya tiba-tiba meringkik kesenangan dan berlari ke arah tertentu, yang membawanya ke sebuah mata air yang kemudian menyelamatkan hidup Xuan Zang. Tokoh Sha Wu Jing, murid ketiga Xuan Zang dalam kisah Perjalanan ke Barat yang ditulis Wu Cheng En diinspirasi dari mimpi Xuan Zang ini.
Setelah dapat lolos dari maut, Xuan Zang sampai di kota oasis Kumul dan mengikuti lembah Sungai Chu menuju Asia Tengah. Kemudian ia sampai di Turfan yang saat itu dikenal dengan nama Kerajaan Gao Chang.
Raja Turfan adalah seorang umat Buddha yang taat dan bermaksud untuk menjadikan Xuan Zang sebagai bhikshu kepala di negerinya. Gagal menahan Xuan Zang di negerinya, raja Turfan mengirim empat orang samanera dan dua puluh lima orang lainnya untuk melakukan perjalanan bersama Xuan Zang.
Setelah meninggalkan Turfan, Xuan Zang beserta rombongannya menuju Kara-shahr yang kemudian dilanjutkan ke Kucha. Kucha merupakan kota oasis yang terkenal dengan kuda-kudanya yang menakjubkan. Tanahnya subur dan sangat cocok untuk lahan pertanian. Di Kucha terdapat 100 buah vihara dengan lebih dari 5000 bhikshu Sarvastivadin.
Semua vihara tersebut dihiasi dengan patung-patung Buddha yang diparadekan pada hari-hari khusus dalam upacara pengusungan rupang. Raja Kucha menyelenggarakan perayaan lima tahunan yang sebelumnya telah dilakukan sejak zaman Raja Asoka di mana setiap lima tahun sekali pemberian dana besar-besaran dilakukan untuk Sangha.
Di luar pintu gerbang kota Xuan Zang melihat adanya dua buah patung Buddha setinggi 90 kaki dan di depannya dibangun tempat khusus untuk perayaan lima tahunan tersebut. Setelah tinggal di sana selama 2 bulan, ia melanjutkan perjalanan ke Aksu dan melintasi Gunung Ling.
Ketika melewati Gunung Ling yang banyak ditutupi gletser, sepertiga rombongan Xuan Zang tewas. Yang paling beruntung tewas seketika ketika mereka tertimpa bongkahan es yang berasal dari gletser yang pecah ditiup angin.
Yang lainnya tertimbun salju longsor. Beberapa lainnya, saat berjalan di jalan es yang berbahaya, kehilangan pijakan mereka dan terjatuh. Yang lainnya lagi tewas karena membeku. Beberapa jatuh ke dalam retakan gletser.
Namun dengan tekad yang kuat untuk sampai di India, Xuan Zang dapat melanjutkan perjalanannya menuju Pegunungan Tian Shan dan sampai di daerah Kirgistan melalui Celah Bedal.
Ia melewati pantai dari danau Issyk Kul di Kirgistan yang merupakan danau di atas pegunungan dengan ketinggian 5200 kaki dari permukaan laut dan danau terbesar di dunia seluas 6200 km persegi. Lalu melanjutkan perjalanan ke arah barat laut, ia melewati daerah danau Kyrgyz dari Myn-bulak, yang dikenal sebagai "Seribu Mata Air".
Berjalan ke arah barat ia melintasi kota Tartar dari bangsa Tara dan negeri Nujkend di ***al dan tiba di Tashkent di Uzbekistan Timur yang dikuasai oleh bangsa Hun.
Pemberhentian berikutnya adalah Samarkand, sebuah negeri yang berpenduduk padat yang terletak di pertemuan jalur perdagangan kuno Cina dan India. Kota ini merupakan pusat perdagangan di Jalur Sutra di mana para pedagang menukarkan barang dagangan mereka. Menurut Xuan Zang:
"Barang-barang dagang dari berbagai negeri disimpan di sini. Para penduduknya mahir dalam kesenian dan berdagang melebihi penduduk negeri lain. Orang-orang di sini pemberani dan bersemangat tinggi serta dicontoh oleh orang-orang negeri sekitar dalam hal keramah-tamahan dan sopan santunnya."
Dari Samarkand sang peziarah melanjutkan ke Kesh (Karshi) dan berjalan ke selatan memasuki daerah pegunungan. Setelah mendaki jalan yang curam dan terjal, ia sampai di Gerbang Besi, sebuah celah pegunungan yang batas kiri kanannya terdapat dinding tinggi berbatu yang berwarna seperti besi.
Di sini pintu kayu ganda telah dibuat dan banyak lonceng dipasang di sana. Pintu-pintu ini dikuatkan dengan besi dan tahan serangan. Karena perlindungan yang diberikan pada celah tersebut ketika pintu-pintu ini ditutup, celah ini disebut Gerbang Besi.
Kemudian ia sampai di Tukhara, sebuah negeri yang dikuasai bangsa Turki, dan menyeberangi sungai Oxus (Amur Darya) di dekat Termez, ia tiba di Kunduz di Afghanistan. Di sini Xuan Zang bertemu dengan putra tertua dari Khan raja bangsa Turki, kakak ipar dari raja Turfan, di mana Xuan Zang memperoleh surat izin darinya.
Setelah beberapa lama bersinggah, Xuan Zang melanjutkan perjalanan bersama beberapa bhikshu dari Balkh ke kota tersebut yang merupakan bekas ibukota dari kerajaan Bactria, kerajaan Raja Milinda dalam Milinda Panha. Di negeri ini terdapat 1000 vihara dan 3000 orang bhikshu.
Di sini ia mengunjungi Nava Vihara (yang berarti "Vihara Baru", sekarang dikenal sebagai Navbahar) yang terkenal di mana ia mendapatkan kitab Mahavibhasa (penjelasan Abhidharma) dan mempelajari ajaran Theravada di bawah seorang guru bernama Prajnakara.
Setelah memberikan penghormatan pada relik-relik suci di sana, Xuan Zang berangkat dari Balkh melalui jalan yang berbahaya dan sulit menuju pegunungan Hindu Kush dan sampai di Bamiyan.
Di Bamiyan orang-orang meyakini Tri Ratna, tetapi masih memuja ratusan dewa di mana para pedagang memberikan persembahan ketika keberuntungan usahanya memburuk. Di sini terdapat 10 vihara dengan sekitar 1000 bhikshu aliran Lokuttaravadin.
Di sini juga Xuan Zang menyaksikan dua buah patung Buddha raksasa dengan tinggi sekitar 55 dan 35 meter masing-masing, yang diukir di sisi gunung pada abad ke-4 dan ke-5 M. Saat itu Xuan Zang salah mengira patung yang kecil terbuat dari perunggu karena permukaannya yang dilapisi perunggu.
Ia juga melihat sebuah patung Buddha berbaring dan memberikan penghormatan pada beberapa relik gigi Sang Buddha. (Sayangnya kini patung Buddha raksasa peninggalan sejarah tersebut telah dihancurkan pemerintah Taliban pada tahun 2001).
Berjalan ke arah timur, Xuan Zang memasuki celah pegunungan Hindu Kush dan menyeberangi bukit Siah Koh, ia sampai di negeri Kapisa.
Di sini terdapat kurang lebih 100 vihara dengan 6000 bhikshu Mahayana dan sebuah vihara besar dengan 300 bhikshu Theravada. Di sini juga ditemukan 10 kuil dewa dengan sekitar 1000 pertapa Hindu dari berbagai aliran seperti pertapa telanjang (Digambara), pertapa yang menutupi tubuhnya dengan abu (Pasupata), dan pertapa yang memakai manik-manik dari tulang di kepala mereka (Kapaladharina).
Setiap tahun raja akan membuat patung Buddha perak dan memberikan dana kepada orang-orang miskin, papa, dan yang ditinggal sendiri. Setelah menghabiskan musim panas tahun 630 M di Kapisa, Xuan Zang pergi ke Nagarahara (Jalalabad). Di sini ia menemukan banyak vihara tetapi dengan sedikit bhikshu. Stupa-stupa telah rusak dan tinggal reruntuhan.
Ia mengunjungi gua Naga Gopala yang menurut legenda pernah terdapat bayangan Sang Buddha yang ditinggalkan-Nya setelah menaklukkan sang naga. Di vihara yang menyimpan relik tulang kepala, ia menemukan bahwa penjaga di sana adalah para brahmana yang ditunjuk oleh raja dan mereka meminta para peziarah sejumlah uang masuk agar dapat melihat relik tersebut.
Bersambung ..

0
31K
Kutip
41
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
6.5KThread•11.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beaufighter
#8
Cerita Sun Go Kong/Journey to the West versi Novel
@ all yang mampir, thanks ya.
Quote:
Sun Go Kong dan Perjalanan ke Barat
Dalam buku Journey To The West versi terjemahan bahasa Inggris, dinyatakan bahwa:
"Sun Go Kong amat gagah, senang sekali mengangkat tongkat sakti Ruyi Jingu Bang yang beratnya 13.500 kati (8.100 kg). Sun Go Kong adalah seorang pejuang mahir yang mampu melawan panglima-panglima hebat di kayangan. Dia juga menghafal berbagai mantra untuk menghembuskan angin, membelah air, menyulap lingkaran lindungan dari ancaman setan."
Kelahiran dan kehidupan awal
Sun Wukong lahir di Huāguǒ-shān (Hanzi: 花果山;lit. Gunung Bunga-bunga dan Buah-buahan) dari sebuah batu mitos yang menerima saripati (qi) matahari dan bulan selama ribuan tahun. Ia tinggal bersama kawanan monyet kemudian dihormati setelah menemukan Shuǐlián-dòng (Hanzi: 水帘洞; lit. Gua Tabir Air) di belakang sebuah air terjun raksasa. Monyet-monyet mengangkatnya sebagai raja mereka kemudian Sun Wukong menggelari dirinya sendiri sebagai Měi Hóuwáng (Raja Monyet Gagah). Ia menyadari bahwa dirinya masih akan mengalami kematian meskipun ia berkuasa atas monyet-monyet yang lain, maka Wukong berniat untuk mencapai keabadian. Ia berkelana dengan rakit ke wilayah-wilayah beradab lalu menemui dan menjadi pengikut Bodhi, salah satu guru Buddhisme/Taoisme. Oleh karena itu, Wukong mempelajari seni bertutur-kata dan budi pekerti manusia.
Pada mulanya, Bodhi enggan menerima Wukong sebagai pengikutnya karena Wukong bukanlah manusia. Namun, karena kegigihan dan ketabahan Wukong, Bodhi menjadi tertarik kepada monyet itu dan memberinya nama resmi Sun Wukong ("Sun" menunjukkan asal-usulnya sebagai monyet dan "Wukong" membawa pengertian sadar akan kekosongan).
Tidak lama kemudian, minat dan kecerdasan Wukong menjadikannya salah satu pengikut kesayangan Bodhi. Bodhi membimbing dan melatihnya berbagai ilmu sakti dan Wukong menguasai ilmu perubahan bentuk yang dikenal sebagai "72 perubahan". Ilmu itu membuat yang menguasainya dapat berubah wujud dalam berbagai bentuk yang memungkinkan, termasuk manusia dan barang. Wukong juga belajar perjalanan awan, termasuk teknik Jīndǒuyún (bersalto di atas awan) yang dapat mencapai 108,000 li (54,000 km). Ia juga dapat mengubah setiap bulunya yang berjumlah 84000 menjadi barang dan makhluk, atau mengklonkan dirinya. Wukong menjadi terlalu angkuh karena kemampuannya dan mulai berbicara angkuh dengan murid-muridnya yang lain. Hal itu membuat Bodhi tidak senang kemudian mengusirnya dari kuil. Sebelum mereka berpisah, Bodhi mengarahkan Wukong supaya berjanji tidak akan memberitahu siapapun tentang bagaimana dia mendapatkan ilmu tersebut.
Di Huāguǒ-shān, Wukong memantapkan kedudukannya sebagai salah satu siluman yang paling berkuasa dan berpengaruh di dunia. Untuk mencari senjata yang sesuai, ia menjelajah lautan dan memperoleh tongkat Ruyi Jingu Bang. Tongkat itu dapat berubah ukuran dan menduplikasikan diri, juga bergerak sesuai kehendak hati pemiliknya.
Mulanya tongkat itu digunakan oleh Yu Agung untuk mengukur kedalaman lautan, kemudian menjadi "Tiang yang Menenangkan Lautan" serta harta karun Ao Guang, "Raja Naga Laut Timur". Berat tongkat itu adalah 13,500 kati (8.1 tan). Saat Wukong mendekatinya, tiang itu bersinar, menandakan bahwa ia telah menjumpai pemiliknya yang benar.
Tongkat itu membolehkan Wukong menggunakannya sebagai senjata serta menyimpannya di dalam telinga sebagai jarum jahit. Hal tersebut menyebabkan para makhluk sakti laut ketakutan serta mengakibatkan huru-hara di laut karena tidak benda lain yang mengawal pasang surut lautan. Selain merampas tongkat sakti itu, Wukong juga menewaskan naga-naga empat laut dalam pertempuran dan memaksa mereka memberikannya baju zirah (鎖子黃金甲), topi berbulu Fenghuang (鳳翅紫金冠 Fèngchìzǐjinguān), serta sepatu bot yang membuatnya dapat berjalan di atas awan (藕絲步雲履 Ǒusībùyúnlǚ).
Saat petugas Neraka datang untuk mencabut nyawanya yang sudah habis, ia berubah wujud menjadi makhluk lain sehingga mereka terkecoh. Ia akhirnya turun ke dunia akhirat kemudian menghapuskan namanya bersama-sama nama semua monyet yang dikenalinya dari "Buku Hidup dan Mati". Raja-raja Naga dan Akhirat memutuskan untuk mengadukannya kepada Kaisar Giok di Surga.

Huru-hara di Alam Surga
Kaisar Giok berharap dengan memberikan Wukong jabatan di kalangan dewa akan membuatnya lebih mudah diawasi. Wukong mengira ia akan diangkat sebagai salah satu dewa, tetapi ia hanya dijadikan pengurus kandang kuda surga untuk menjaga kuda. Setelah mengetahui hal itu, ia memberontak dan mengangkat dirinya sebagai "Bikkhu Agung, Berpangkat Setara dengan Surga" dan bersekutu dengan para siluman yang paling berkuasa di dunia. Percobaan awal Surga untuk menguasai Raja Monyet tidak berhasil. Selanjutnya, para dewa terpaksa mengakui gelar Wukong tersebut serta mencoba menawarinya kedudukan sebagai "Pelindung Taman Surga". Saat Wukong mendapati dirinya tidak diundang untuk menghadiri sebuah jamuan kerajaan oleh Xi Wangmu, sementara dewa dan dewi lain dijemput, ia menjadi marah. Setelah mencuri "persik keabadian" Xi Wangmu, pil lanjut usia Lao Tzu, serta minuman anggur Kaisar Giok, Wukong melarikan diri kembali ke kerajaannya untuk menyusun pemberontakan.
Wukong kemudian menewaskan Tentara Surga yang terdiri atas 100,000 pahlawan samawi dan membuktikan dirinya menjadi lawan tanding Er Lang Shen, jenderal Surga yang terunggul. Namun, ia akhirnya berhasil ditangkap atas kuasa Taoisme dan Buddhisme, serta usaha para setengah dewa. Beberapa percobaan hukuman mati untuknya gagal, sehingga Wukong akhirnya dikurung dalam sebuah tungku bagua Lao Tzu untuk disuling menjadi pil obat dengan cara dibakar menggunakan api meditasi yang paling panas. Namun, tungku tersebut meledak setelah 49 hari dan Wukong melompat ke luar, bahkan menjadi lebih kuat daripada yang dahulu. Wukong kemudian berbuat berbagai kejahatan melalui huǒyǎn-jīnjīng (火眼金睛) ("renungan keemasan mata bernyala-nyala"), suatu keadaan dimana mata tahan terhadap asap.
Setelah semua cara gagal dilakukan, Kaisar Giok memohon Buddha yang tinggal di kuilnya di Barat. Buddha bertaruh dengan Wukong bahwa Wukong tidak akan dapat melarikan diri daripada tapak tangannya. Wukong yang dapat menempuh 108,000 li dalam satu kali lompatan, dengan angkuhnya, setuju dengan taruhan tersebut. Ia kemudian melompat bahkan dengan berkali-kali salto dan mendarat pada suatu tempat yang hanya terdapat lima batang tiang. Ia mengira telah mencapai ujung dunia. Sebagai penanda bahwa dirinya telah sampai di tempat itu, ia menulis pada tiang-tiang itu kalimat "Bikkhu Agung yang Sama Kedudukannya dengan Syurga", kemudian mengencinginya. Ia kemudian melompat kembali ke telapak tangan Buddha, dimana ia ditunjukkan bahwa kelima tiang tersebut adalah kelima jari tangan Buddha. Wukong segera berusaha melarikan diri, tetapi Buddha menindihnya dengan telapak tangan yang berubah menjadi gunung. Gunung tersebut disegel dengan mantra Om Mani Padme Hum dalam huruf emas. Wukong terkurung di sana selama lima abad.
Mengikut kepada Xuanzang
Lima abad kemudian, Bodhisatva Guanyin sedang mencari-cari pengikut untuk melindungi Xuanzang, seorang penziarah Dinasti Tang, yang ingin membuat perjalanan ke India untuk memperoleh sutra agama Buddha. Pada saat Wukong terdengar hal itu, dia menawarkan diri untuk ditukar dengan kebebasannya. Guanyin memahami bahwa monyet itu tidak benar-benar berniat untuk mengawal dan oleh karena itu, memberi Xuanzang sebuah cekak rambut (bandana) ajaib, hadiah dari Buddha.
Sekali saja Wukong ditipu untuk memakainya, cekak itu tidak dapat dilepaskan lagi. Dengan mantera khusus, cekak itu dapat diketatkan dan mengakibatkan kesakitan yang tidak tertahankan pada kepala Wukong. Atas keadilan, Guanyin juga memberi Wukong tiga bulu yang istimewa yang boleh digunakan dalam keadaan yang mendesak. Di bawah pengawasan Xuanzang, Wukong diperbolehkan melakukan perjalanan ke Barat.
Pada sepanjang epik Perjalanan ke Barat, Wukong membantu Xuanzang dengan setia dalam perjalanannya ke India. Mereka disertai oleh "Pigsy" (猪八戒 Zhu Bajie) dan "Sandy" (沙悟浄 Sha Wujing) yang menawarkan diri untuk menemani sami itu bagi menebus dosa mereka. Kuda sami sebenarnya ialah putra naga. Keselamatan Xuanzang sentiasa terancam oleh setan-setan serta makhluk-makhluk gaib yang lain yang mempercayai bahwa daging Xuanzang, apabila dimakan, dapat menambah umur.
Wukong sentiasa bertindak sebagai pengawal pribadi Xuanzang dan dikaruniai kuasa Surga untuk memerangi ancaman-ancaman tersebut. Pada akhirnya, kelompok itu menghadapi 81 kesengsaraan sebelum mencapai misi mereka dan kembali ke China. Wukong kemudian dikurniai dengan Kebuddhaan atas dedikasi kesetiaan dan kekuatannya.
artikel pic asli lengkap di https://id.wikipedia.org/wiki/Sun_Go_Kong
0
Kutip
Balas