- Beranda
- Stories from the Heart
Kisah Tak Sempurna
...
TS
aldiansyahdzs
Kisah Tak Sempurna
Quote:

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarrakatuh.
Selamat pagi warga Kaskus di Seluruh Muka Bumi.
Terimakasih kepada Agan / Aganwati yang sudah mampir di Thread ini. Terimakasih pula untuk sesepuh dan moderator SFTH. Thread ini adalah thread pertama kali saya main kaskus . Saya berharap Thread pertama kali saya di Kaskus bisa membuat Agan / Aganwati terhibur dengan coretan sederhana saya ini.
Thread ini bercerita tentang kisah putih abu - abu seorang laki laki yang saya beri nama Erlangga. Dari pada penasaran, lebih baik langsung baca aja gan! Selamat galau eh selamat membacaaa.
NB; Kritik dan Saran sangat saya butuhkan agar saya dapat menulis lebih baik lagi.
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Keep in touch with me.
twitter: aldiansyahdzs
instagram : aldisabihat
twitter: aldiansyahdzs
instagram : aldisabihat
Diubah oleh aldiansyahdzs 17-06-2019 18:30
JabLai cOY dan 31 lainnya memberi reputasi
32
132.2K
879
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
aldiansyahdzs
#590
Hallo Kang – Part 1
1 minggu pekan ospek mahasiswa baru telah aku lewati. Aku adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi kelas B. Disini aku mengenal banyak teman baru. Mulai dari sabang sampai merauke, namun mayoritas di kelasku dihuni oleh orang Bandung dan Jakarta.
“Gue ga pernah tau kenapa gue masuk Ilmu Komunikasi.” Ujar Bram, ia adalah mahasiswa asal Jakarta setiap ia mengucapkan kata terkadang ada rasa betawinya. “Lah sudahlah tak usah kau sesalkan. Aku senang bisa masuk disini kuliah bareng kau kau semua.” Nah ini yang paling bisa membuat tertawa seisi kelas, Martin adalah anak asli dari Medan. Mereka adalah 2 dari puluhan teman sekelasku. Aku sendiri kini menjadi pengikut berbeda jauh saat aku SMK. Aku sengaja menghilangkan sifat ke-frontman-an milikku.
“Jadi emang cita – cita kamu masuk Ilmu Komunikasi?” Tanya Khanza. “Iya za kenapa?” Balasku. “Oh sama berarti, gue dari dulu emang pengen masuk Ilmu Komunikasi.” Ujarnya. Selebihnya Khanza lebih sering bercerita jika ia seorang kutu buku. Mau novel ataupun buku pelajaran ia lahap. Setiap bulannya pasti saja ia berburu buku. “Koleksi buku gue di Jakarta udah ada ampir 500 buku gue rutin beli buku dari sejak SMP kelas 1.” Ujarnya dengan sangat bersemangat bercerita. “Coba ceritain tentang kamu?” Ah inilah pertanyaan yang paling aku benci. “Ga ada yang harus diceritain hidup Angga biasa – biasa aja.” Ujarku sekenannya. “but I’m see you lie.” Tau dari mana aku tidak mau menceritakan diriku? “Kenali aja diriku sendiri.”Ujarku. “Seperti yang gue terka, lu emang males nyeritain diri lu sendiri.” Balasnya.
Langit memang satu namun awannya yang berbeda. Kita tak tau jika cuaca yang terjadi di kota kita apakah sama dengan kota lain? Kapas – kapas putih sore ini berubah menjadi warna jingga. Aku, Khanza, Bram, Eldivia, dan Martin mungkin bisa disebut kuncen taman. Setiap setelah ashar kami sering nongkrong ditempat ini. Mengobrol dari satu bahasan ke bahasan yang lain. Eldivia selalu bilang jika Arsenal di musim ini akan juara namun Martin tetap kukuh jika Chelsea yang akan juara.
“Parkir bus aja terus strateginya.” Ujar Eldivia. “Ah macam mana pula Arsenal main indah main indah juara kagak.” Martin menyela. “Seengganya Arsenal bisa ngasih suguhan pemainan cantik.” Eldivia membalas. “Setidaknya pula Chelsea bisa ngasih juara buat fansnya.” Dan skakmat, a conversation was closed.
Hubungan komunikasi antara aku dan Dean kini sedikit terganggu. Dean terlalu banyak tugas. Aku memakluminya jika hampir seharian ia tidak mengabari. Kadang juga ia satu hari tidak mengabari. Antara rindu dan khawatir bercampur didalam perasaanku.
“Angga, cewe lu udah ngabarin lu belum?” Khanza menyodorkan bungkus gorengan kepadaku. “Belum za.” Ujarku. “Lu engga mau gorengankah?” Untuk kedua kalinya Khanza menawari, aku hanya menggelengkan kepala. “Gue beliin susu full cream mau?” Tanyanya. “Gausah za ngerepotin.” Senada dengan tersebut ia langsung berteriak “Martin titip susu full cream.” Dari kejauhan Martin memberi kode iya. “Betewe lu gimana sama cewe lu?” Mengapa tidak ada pembahasan yang lain selain membahas Dean? “Not bad not good.” Ujarku malas. “Manasih cewe lu sini minta nomernya gue ” Secepat flash Khanza mengambil smartphone dari genggamanku ia langsung menelpon Dean. “Hah ini siapa? Kok cowo suaranya?” Buru – buru aku mengambil alih pembicaraan tersebut. “Ini siapa?” Tanyaku. “Lah mas siapa?” Logat Jogjanya kental. “Mas si…tut tut tut.”
Khanza dan aku saling memandang. Kami keheranan. Mengapa yang mengangkat telpon tersebut bukan Dean? Dan saat aku tanya siapa orang tersebut ia menutup panggilannya. Sebuah teka – teki baru datang dan kasus ini harus segera selesai.
Setelah telpon tersebut Dean semakin susah dihubungi. Aku semakin khawatir. Tugas yang harusnya aku kerjakan malah terbengkalai karena aku tidak fokus untuk mengerjakannya. Aku sudah kirimi pesan beberapa kali namun ya tak ada balasan sama sekali.
Berjam – jam aku menunggu balasan namun hasilnya nihil.
“Kabari aku sesempat kamu,” ku ketuk icon send beberapa detik setelah itu notifikasi terkirim muncul di layar smartphone miliku.
1 minggu pekan ospek mahasiswa baru telah aku lewati. Aku adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi kelas B. Disini aku mengenal banyak teman baru. Mulai dari sabang sampai merauke, namun mayoritas di kelasku dihuni oleh orang Bandung dan Jakarta.
“Gue ga pernah tau kenapa gue masuk Ilmu Komunikasi.” Ujar Bram, ia adalah mahasiswa asal Jakarta setiap ia mengucapkan kata terkadang ada rasa betawinya. “Lah sudahlah tak usah kau sesalkan. Aku senang bisa masuk disini kuliah bareng kau kau semua.” Nah ini yang paling bisa membuat tertawa seisi kelas, Martin adalah anak asli dari Medan. Mereka adalah 2 dari puluhan teman sekelasku. Aku sendiri kini menjadi pengikut berbeda jauh saat aku SMK. Aku sengaja menghilangkan sifat ke-frontman-an milikku.
“Jadi emang cita – cita kamu masuk Ilmu Komunikasi?” Tanya Khanza. “Iya za kenapa?” Balasku. “Oh sama berarti, gue dari dulu emang pengen masuk Ilmu Komunikasi.” Ujarnya. Selebihnya Khanza lebih sering bercerita jika ia seorang kutu buku. Mau novel ataupun buku pelajaran ia lahap. Setiap bulannya pasti saja ia berburu buku. “Koleksi buku gue di Jakarta udah ada ampir 500 buku gue rutin beli buku dari sejak SMP kelas 1.” Ujarnya dengan sangat bersemangat bercerita. “Coba ceritain tentang kamu?” Ah inilah pertanyaan yang paling aku benci. “Ga ada yang harus diceritain hidup Angga biasa – biasa aja.” Ujarku sekenannya. “but I’m see you lie.” Tau dari mana aku tidak mau menceritakan diriku? “Kenali aja diriku sendiri.”Ujarku. “Seperti yang gue terka, lu emang males nyeritain diri lu sendiri.” Balasnya.
***
Langit memang satu namun awannya yang berbeda. Kita tak tau jika cuaca yang terjadi di kota kita apakah sama dengan kota lain? Kapas – kapas putih sore ini berubah menjadi warna jingga. Aku, Khanza, Bram, Eldivia, dan Martin mungkin bisa disebut kuncen taman. Setiap setelah ashar kami sering nongkrong ditempat ini. Mengobrol dari satu bahasan ke bahasan yang lain. Eldivia selalu bilang jika Arsenal di musim ini akan juara namun Martin tetap kukuh jika Chelsea yang akan juara.
“Parkir bus aja terus strateginya.” Ujar Eldivia. “Ah macam mana pula Arsenal main indah main indah juara kagak.” Martin menyela. “Seengganya Arsenal bisa ngasih suguhan pemainan cantik.” Eldivia membalas. “Setidaknya pula Chelsea bisa ngasih juara buat fansnya.” Dan skakmat, a conversation was closed.
Hubungan komunikasi antara aku dan Dean kini sedikit terganggu. Dean terlalu banyak tugas. Aku memakluminya jika hampir seharian ia tidak mengabari. Kadang juga ia satu hari tidak mengabari. Antara rindu dan khawatir bercampur didalam perasaanku.
“Angga, cewe lu udah ngabarin lu belum?” Khanza menyodorkan bungkus gorengan kepadaku. “Belum za.” Ujarku. “Lu engga mau gorengankah?” Untuk kedua kalinya Khanza menawari, aku hanya menggelengkan kepala. “Gue beliin susu full cream mau?” Tanyanya. “Gausah za ngerepotin.” Senada dengan tersebut ia langsung berteriak “Martin titip susu full cream.” Dari kejauhan Martin memberi kode iya. “Betewe lu gimana sama cewe lu?” Mengapa tidak ada pembahasan yang lain selain membahas Dean? “Not bad not good.” Ujarku malas. “Manasih cewe lu sini minta nomernya gue ” Secepat flash Khanza mengambil smartphone dari genggamanku ia langsung menelpon Dean. “Hah ini siapa? Kok cowo suaranya?” Buru – buru aku mengambil alih pembicaraan tersebut. “Ini siapa?” Tanyaku. “Lah mas siapa?” Logat Jogjanya kental. “Mas si…tut tut tut.”
Khanza dan aku saling memandang. Kami keheranan. Mengapa yang mengangkat telpon tersebut bukan Dean? Dan saat aku tanya siapa orang tersebut ia menutup panggilannya. Sebuah teka – teki baru datang dan kasus ini harus segera selesai.
***
Setelah telpon tersebut Dean semakin susah dihubungi. Aku semakin khawatir. Tugas yang harusnya aku kerjakan malah terbengkalai karena aku tidak fokus untuk mengerjakannya. Aku sudah kirimi pesan beberapa kali namun ya tak ada balasan sama sekali.
Berjam – jam aku menunggu balasan namun hasilnya nihil.
“Kabari aku sesempat kamu,” ku ketuk icon send beberapa detik setelah itu notifikasi terkirim muncul di layar smartphone miliku.
Diubah oleh aldiansyahdzs 24-05-2016 08:40
junti27 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup