Fanya mengangguk. Arini menarik tangan gue lalu menuntun ke kamar. Lalu, setelah menaruh obat di pinggir kasur, Fanya keluar sambil menutup pintu. Arini pun berjongkok di hadapan gue dan mulai mengoleskan obat.


Gue meringis perih saat obat itu mulai bereaksi. Tapi Arini terus saja mengobati bagian – bagian lainnya yang terluka. Gue menatap wajahnya. Kelopak bawah matanya itu tampak memerah. Lalu, satu titik air mata menetes dari sudutnya.







Arini terdiam. Tangisannya makin deras. Gue mengerti tangisannya itu. Perlahan, tangan gue mengusap permukaan rambut Arini. Membelainya sambil menghibur.







Arini terdiam. Sesungukkan berusaha sekuat tenaga menghentikan tangis. Gue menunggu jawaban dari Arini.







Arini hanya menunduk sambil terus terisak mendengarkan penjelasan gue. Jemarinya bergetar. Gue tau, hatinya sakit. Tapi ini satu – satunya jalan supaya semuanya selesai. Gue pun melanjutkan penjelasan gue tadi.







Arini mengangkat wajahnya. Matanya yang sendu dipenuhi genangan embun, hidungnya yang sesungukkan menghirup udara. Dia menggeleng.







Arini memeluk perut gue. Tangisnya pecah. Gue masih membelai puncak kepalanya dengan lembut.







Arini mengangguk mengerti. Kemudian dia mengangkat wajahnya , memaksakan sebuah senyuman terukir disana. Kemudian dia berkata.







Gue mengangguk. Arini melepaskan pelukannya. Gue bangun dan mengambil bantal, lalu mulai melangkah keluar kamar menuju ruang tamu.







Arini menggeleng. Mengulurkan tangannya. Kemudian berkata.







Gue menatapnya sejenak. Seraut wajah remaja yang kecantikannya terhapus oleh emosi. Gue menyambut uluran tangannya. Arini berbaring di kasur kamar gue, dan gue pun berbaring di sebelahnya. Kemudian, dia mengalungkan lengannya di perut gue dan menyandarkan kepalanya di bahu gue.







Isakkannya berhenti, matanya terpenjam. Kemudian, gue yang memang udah kelelahan ini pun mulai terlelap dalam pelukan seorang wanita yang istimewa.