- Beranda
- Stories from the Heart
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
...
TS
reloaded0101
CEREBRO : KUMPULAN CERITA CINTA PAKAI OTAK
Judul thread ini ane ganti, sekarang tidak semua cerpennya mengisahkan cinta. Tetapi temanya lebih umum, ada detektif,sci-fi,horor,thriller,drama dan lain-lain yang tidak selalu melibatkan percintaan antar karakternya.
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
INDEX BARU:
CERITA 2020
AZAB ILMU PELET
MUDIK 2020
Terima kasih untuk Agan Gauq yang sudah membuatkan index cerita ini.
Index by Gauq:
INDEX
INDEX lanjutan
Cerita baru 2019:
KISAH-KISAH MANTAN DETEKTIF CILIK di postingan terakhir halaman terakhir
Spoiler for :
Quote:
INDEX
RUMAH SERIBU JENDELA DI POST INI
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
SETIA
DEAD OR ALIVE
MAKAN TUH CINTA
KALAU JODOH TAK LARI KEMANA
OUTLIER
MAKAN BATU
TA'ARUF
INDEX PART 3
INDEX PART 4-new
Langsung saja cerpen pertama
Apa yang akan kau lakukan ketika dia yang kaucinta meminta syarat berupa rumah dengan 1000 jendela sebelum menerima cintamu?
Spoiler for :
RUMAH SERIBU JENDELA
Leo merogoh saku belakang celana hitam barunya. Sebuah sisir kecil diambilnya dari kantong itu. Sambil melihat spion, ia merapikan kembali rambut yang sempat dipermainkan angin selama dalam perjalanan, maklum saja kaca pintu depan mobilnya rusak dan hanya bisa ditutup setengahnya saja. Setelah dirasa sudah rapi, Leo dan rambutnya keluar dari roda empatnya kemudian berjalan dengan jantung berdegup kencang menuju rumah nomor 2011 dan menekan belnya. Sang pembantu rumah keluar dan menyapanya
“Oh Mas Leo ”
“Riska-nyaada Bi?”
“Oh ada, sebentar saya panggilkan.”
Beberapa menit kemudian seorang wanita muda cantik berusia 20 tahunan awal keluar, mendapati Leo yang sedang menghirup teh celup panas buatan Bibi.
“Mau pergi ke pestanya siapa? Perasaan teman kita nggak ada yang ulang tahun atau nikah hari ini.”
Tanya Riska.
“Memang tidak ada.”
“Kalau nggak ke kondangan, mengapa pakai baju serapi ini? Sok formal banget. ”
“ Harus formal, kan mau melamar.”
“Ngelamar kerja?”
Leo menggeleng. Jantungnya berdegup makin kencang.
“Bukan.”
“Lalu melamar apa?”
“Kamu.”
Kata Leo sambil bersimpuh dan mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin emas dengan sebuah berlian berukuran mini di tengahnya. Sementara itu Riska mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku? kita kan nggak pernah pacaran?”
“Tetapi kita sudah saling mengenal belasan tahun Ris. Aku tahu apa yang kamu suka, aku tahu apa yang kamu tidak suka, aku tahu bagaimana kamu selalu menghentakkan kaki kirimu ke tanah ketika mendengar kabar gembira,
aku tahu bagaimana kau selalu mencengkeram erat kertas tisu di tanganmu waktu kau sedang gugup, dan aku tahu aku mencintaimu. ”
“Tapi kamu kan nggak tahu apakah aku juga cinta kamu?
“Karena aku tidak tahu, bagaimana kalau kamu beritahukan padaku sekarang.”
“Mmm, gimana ya? Untuk urusan cinta, apalagi orientasinya nikah. Tentu aku maunya sama pria yang sungguh-sungguh.”
“Cintaku kepadamu sungguhan Ris, bukan bohongan atau tren musiman.”
“Sejak kapan lidah punya tulang?”
“Kau tidak percaya pada kata-kataku?”
“Aku butuh bukti Yo, bukan janji.”
“Baik, bukti seperti apa yang kauminta Ris?”
“Tidak ada yang mustahil untuk orang yang sungguh-sungguh. Demi cinta Shah Jehan mampu menciptakan Taj Mahal untuk istrinya.”
“Lalu apa yang kau inginkan agar mau menjadi istriku Ris?”
“Buatkan aku rumah dengan 1000 jendela.”
“Baik”
“Jika kau mampu menyelesaikannya dalam waktu 24 jam aku akan menerimamu tetapi jika tidak ya kita temenan saja ya Yo.”
“Buat rumah 1000 jendela dalam waktu 24 jam. Sudah itu saja?”
“Memangnya kamu bisa?”
“Akan kucoba semampuku.”
“Baik aku tunggu hasilnya besok. Good luck.”
Leo pun pergi dari halaman rumah itu dan menuju mobilnya sambil mengambil nafas panjang. Ia memacu kendaraannya dan pergi ke beberapa toko kelontong dan toko bangunan. Banyak hal yang dibelinya. Setelah selesai berbelanja, benda-benda itu dibungkus dalam beberapa kantong kresek dan kardus yang dijejalkan ke bagasi mobil.
Pulang ke rumah Ia langsung menuju ke halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong yang hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
Leo mengambil nafas panjang lalu menghelanya dan mulai bekerja. Ia menurunkan semua barang yang ia beli. Tak lama kemudian suara gaduh dari palu bertemu paku terdengar berulang-ulang hingga malam tiba.
Malam harinya halilintar menyambar, disusul hujan yang turun sederas-derasnya. Air membanjiri halaman belakang yang masih tetap kosong dan hanya dihuni oleh rimbun ilalang dan satu dua pohon nangka.
“Ris bisa mampir kerumah sekarang? ada sesuatu yang mau kuperlihatkan padamu.”
Kata Leo keesokan harinya lewat ponsel yang dijawab dengan gugup oleh Riska.
“I...iya.”
Dalam hati gadis itu berpikir, bagaimana ini? Apa Leo bisa menyelesaikan permintaan yang mustahil itu? Memang sih dia itu baik, cerdas dan tidak sombong tapi Riska tidak mencintainya. Ia memberikan syarat itu dengan tujuan agar Leo gagal dan mereka berdua bisa kembali happily everafter...meskipun hanya di friend zone saja.
Riska sampai di depan rumah Leo dan heran mendapati mobil ayahnya terparkir di halaman. Ketika masuk ke dalam ia mendapati ayahnya sednag bercakap-cakap di beranda bersama Leo.
“Kok Papi bisa ada di sini?”
“Aneh kamu ini Ris, Masak Papi nggak boleh sowan ke rumah calon suamimu?”
“Calon suami? Calon suami apa?”
“Kan kamu sendiri yang mengajukan syarat, kalau Nak Leo bisa membuat rumah yang memiliki 1000 jendela dalam waktu 24 jam, kau akan menikahinya?”
“Memangnya bisa?”
“Nak Leo tunjukkan!”
Leo masuk ke dalam dan mengambil sebuah benda yang ditutup taplak meja.
“Apaan nih?”
Tanya Riska dengan tanda tanya menggantung di atas kepalanya.
“Yang kau minta.”
Kata Leo sambil membuka taplak meja itu dan memperlihatkan sebuah rumah berukuran sedikit lebih besar dari telapak tangan yang terbuat dari ribuan tusuk gigi.
“Papi sudah hitung sendiri jendelanya ada 1000 pas.”
“Tapi ini kan kecil sekali.”
“Di syaratmu tidak disebutkan ukurannya harus besar.”
“Tapi ini...definisi rumah kan tempat tinggal, siapa yang bisa tinggal di rumah sekecil ini. Paling-paling juga semut.”
“Di syarat yang kamu ajukan tidak ada keterangan kalau harus rumah manusia. Rumah semut kan juga termasuk dalam kategori rumah.”
Riska serasa disambar geledek. Ia menyesal mengapa tidak jelas dan detail ketika meminta syarat itu kemarin.
“Papi say something dong, belain Riska?”
“Menurut Papi rumah buatan Nak leo ini sudah memenuhi syarat.”
“Jadi Papi setuju punya menantu seperti dia ini?”
“Tentu saja setuju, kalian sudah kenal dari kecil, Papi juga kenal Nak Leo dari kecil. dia juga cerdas dan pernah magang di kantor kita jadi tahu kultur organisasi kita kayak gimana. Nanti kan bisa bantuin kamu waktu gantiin Papi megang perusahaan.”
“Tidaaaaak!!!!”
Riska pun pingsan karena shock. Otak kanannya seolah mengejek, melakukan bullying bawah sadar terhadapnya sambil terus-menerus berkata.
“Makanya Ris, kalau minta sesuatu itu yang jelas.”
end
Diubah oleh reloaded0101 15-05-2020 14:17
indrag057 dan 37 lainnya memberi reputasi
34
190.6K
Kutip
1.1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
reloaded0101
#819
CLIFFHANGER
Spoiler for :
Malam di suatu senin pada tahun 1988 itu semakin larut. Mendung menutupi cahaya bintang-bintang, menelan satu-satunya rembulan yang mengelilingi bumi.Angin dan kabut bertiup dingin menusuk tulang. Orang-orang berselimut di kamar, mencari kehangatan di dalam rumah dan membuang jauh-jauh keinginan untuk keluar malam. Tak terkecuali Ani (20) yang memilih untuk mengenakan sweater rajutannya sendiri dan minum kopi di meja belajarnya sambil membaca buku.
Tiba-tiba ‘KROSAK’
Pintu luar kamarnya dilempar sesuatu oleh seseorang. Buru-buru Ani bangkit dari kursi dan membukanya. Dari balkon lantai dua, ia melihat seorang pemuda sedang berdiri di semak-semak sambil menengadah memandang penuh harap ke arahnya.
“Romi (24)!” Teriak Ani yang lalu cepat-cepat menutup mulutnya sambil menengok kanan-kiri, berharap ayahnya tidak mendengar.
“Oh...Ani, sudah satu minggu kita tidak bertemu. Sudah satu minggu pula aku merindukanmu.”
“Sama... Romi, aku juga kangen.”
“Tunggulah di sana Ani, aku akan naik ke balkon. Ada sesuatu yang hendak kuberikan padamu.”
Romi memanjat naik dengan mudah lalu memberikan kaset berisi lagu-lagu yang ia ciptakan khusus untuk Ani-nya. Setelah itu ia turun dan merekapun berpisah tanpa mengetahui sepasang telinga mendengarkan pertemuan itu.
Keesokan harinya Ani terkejut ketika mendapati ayahnya (59) duduk di ruang tamu sambil menatap sinis ke arahnya. Pria setengah baya itu hanya diam membisu. Ia sedang marah.
“Ayah sudah tahu kalau semalam Romi mampir ke sini?”
“Berapa kali kubilang, jangan dekati dia lagi.”
“Kenapa ayah?”
“Karena aku tidak setuju. Titik.”
Ia berdiri lalu menyeret Ani menuju ke kamar lalu menguncinya dari luar.
“Tidak ayah, tidaaak!” Teriak Ani seperti adegan film Indonesia tahun 80-an.
Malamnya Romi melempar kerikil ke pintu balkon kamar Ani. Ani berusaha membukanya tapi tidak bisa. Romi yang penasaran akhirnya memanjat naik dan mendapati pintu itu tak hanya dikunci, tapi juga dirantai dan digembok.
“Tunggulah Ani, aku akan cari tukang kunci.”
Romi memanggil tukang kunci, yang datang lalu memeriksa gembok dari kejauhan dan tak lama kemudian melemparkan setumpuk kunci ke atas. Dengan mudah Romi membuka seluruh kunci.
“Ani.”
“Romi, syukurlah kita bisa bertemu lagi malam ini.”
“Bagaimana lagu-laguku yang kuberikan kemarin?”
“Bagus-bagus Romi, saking bagusnya sampai-sampai tadi siang kukirimkan ke perusahaan rekamannya Om Tjokro.”
“Lalu tanggapan produser itu bagaimana Ani?”
“Lagumu ditolak mentah-mentah Romi. Mungkin karena Om Tjokro tidak enak kalau harus berseberangan pendapat dengan ayah. Kau tahu sendiri kan ayahku tidak menyukaimu? ”
“Aku paham Ani.”
Keesokan harinya ayah Ani mencak-mencak, ia mendapati gembok dan rantainya dapat dengan mudah dibuka oleh Romi dengan bantuan tukang kunci. Tapi ia tidak menyerah. Sebagai pengusaha sukses tentu saja Ayahnya Ani ini tetap optimis dan dengan penuh kreativitas ia menciptakan solusi terhadap masalah ini. Jangan harap malam ini Romi bisa memanjat ke balkon anaknya.
KROSAK
Kerikil kembali dilemparkan, Ani membuka pintu.
“Aneh mengapa tidak digembok seperti kemarin?”
“Tunggulah di situ Ani, aku akan memanjat ke atas.”
Romi berpegangan pada daun pintu dan jendela di lantai satu lalu berusaha naik ke atas. Tetapi tiba-tiba tubuhnya merosot ke bawah. Ia mengulanginya lagi, dan lagi tapi hasilnya tetap sama.
“Romi!”
“Terlalu licin Ani, aku tidak bisa naik ke atas.”
“Berusahalah terus Romi,” kata Ani memberikan semangat dari balkon.
“Tetap semangat ya Nak Romi, jangan lupa senyum ke kamera.”
“Ayah?”
Kata ayah Ani yang tiba-tiba saja muncul di atas balkon sambil memotret Romi yang susah payah berusaha memanjat dinding yang licin penuh minyak dan lemak. Persis acara panjat pinang agustusan.
“Terima kasih dukungannya Pak Sam.” Kata Romi agak kesal sambil melihat ke atas.
“Sama-sama Nak Romi.”
Malam itu Romi gagal memanjat tembok. Ia pulang dengan tangan hampa
“Pakai tali saja diikat ke jangkar atau panah lalu tembakkan menembus tembok atas.”
“Pakai cakar seperti ninja.”
“Cuci pakai spon dan sabun anti noda yang bisa menghilangkan lemak dan minyak.”
“Cari yang lain saja, di Indonesia cewek kayak Ani jumlahnya jutaan.”
“Main Romeo and Juliet nih ye, pakai backstreet-backstreetan di balkon segala. Hahaha”
Demikian komentar teman-temannya. Ternyata benar, menertawakan cinta adalah hal yang mudah bagi mereka yang tidak merasakannya.
Romi kembali ke rumah Pak Sam. Ia membawa panah dan tali tetapi kini tembok itu sudah ditutup oleh lembaran besi raksasa dan jeruji balkon dihilangkan sehingga tak mungkin untuk ujung panah atau jangkar menembusnya.
“Silahkan dipanjat Nak Romi.”
Kata ayah Ani yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya.
“Oh tentu Pak Sam, kan saya juga sudah siapkan magnet.”
Magnet yang terpasang di tangan membuat Romi dengan mudah memanjat sampai ke atas. Sesampainya di atas ia menyapa ayah Ani sambil berkata.
“Terima kasih Pak Sam, malam ini sudah membantu mempermudah saya manjat sampai ke atas.”
“Terlalu. Begini saja, minggu depan coba panjat ke balkon kamar anakku sekali lagi. Kalau bisa, hari itu juga kau akan kunikahkan dengan Ani.”
“Balkon yang ini?”
“Tentu saja bukan. Ani akan aku ungsikan ke vila keluarga di lereng gunung, kalau kau bisa memanjatnya aku angkat lima jempol buat kau Romi.”
Romi yang kegirangan langsung pulang dan menghubungi tukang kunci sahabatnya.
“Vila landak ya? Dulu kakek buyutku yang buat kuncinya. Dulu canggih tapi sekarang sudah ketinggalan jaman. Tapi bukan itu yang aku khawatirkan.”
“Lalu apa?”
“Seratus lima puluh tahun lalu ada segerombolan perampok hendak menjarah harta keluarga pejabat dari batavia yang sedang menginap di situ.”
“Lalu bagaimana?”
“Mereka gagal.”
“Ada yang mati?”
“Ada, dua puluh orang.”
“Yang hidup?”
“Tidak ada.”
“Mengapa bisa mati?”
“Selain kunci yang canggih pada jamannya, vila setengah kastil itu punya mekanisme mekanik yang hebat. Dinding-dindingnya bisa mengeluarkan duri-duri baja seperti landak. Ribuan duri ini keluar dari dinding dengan tiba-tiba dan langsung menewaskan siapapun yang memanjatnya.”
“Cuma itu?”
“Kau lihat air terjun di belakang vila?” Kata tukang kunci sambil menunjukkan selembar foto.
“Ya.”
“Air itu digunakan sebagai pemutar turbin untuk membangkitkan tenaga listrik. Dengan kabel tembaga listrik dialirkan ke duri-duri baja dan akan menyetrum siapa saja yang berhasil selamat dari luka tusuk. Tak hanya itu sesuai tradisi, villa itu harus dijaga oleh regu pengaman profesional dengan keahlian pertarungan jarak dekat yang sangat hebat..”
“Lalu bagaimana cara terbaik untuk memanjatnya?”
“Soal itu aku juga tidak tahu.”
Romi termenung, ia memikirkan cara terbaik untuk memanjat vila landak. Tetapi dipikir sampai seperti apapun hasil akhirnya selalu sama, adalah lebih baik untuk tidak memanjatnya. Tapi bagaimana dengan Ani? Tidak, ia tidak boleh mundur. Ia berpikir lagi, siapa tahu ada sesuatu yang terlewatkan. Ia pandangi foto kastil, air terjun dan lereng gunung. Semuanya tetap sama, jalan buntu.
“Aduh...”
Tiba-tiba sesuatu hinggap di rambut Romi yang sedikit kribo.
“Maaf Kak.”
Kata adiknya yang bergegas naik ke atas.
Romi mengambil benda yang terperangkap dalam rambut kribonya itu dan mengembalikan ke adiknya.
“Kalau main hati-hati ya.”
“Iya Kak.”
Tiba-tiba Romi tersentak. Adiknya dan mainannya memberikan solusi yang tak disangka-sangka. Jawabannya justru ada di luar vila itu sendiri, dan benar kalau memang tidak bisa dipanjat buat apa harus dipanjat.
“Kemana itu pujaan hati yang kau gembar-gemborkan.”
“Ani tidak tahu ayah.”
“Apa dia tidak datang?”
“Yang Ani tahu Romi tak pernah ingkar janji.”
“Kita tunggu tiga puluh menit, kalau tidak datang juga berarti kau harus tinggalkan dia untuk selamanya.”
Matahari bergerak semakin tinggi. Ani menanti dengan waswas sementara seulas senyum tersungging di bibir ayahnya.
“Kurang satu menit.”
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Udara dari lereng gunung itu masuk ke balkon. Tetapi tak hanya udara yang masuk tetapi juga
“Itu benda apa?”
“Ternyata....anak itu cerdik juga.”
Ketika pesawat-pesawatan dari kertas hinggap ke rambutnya dan melihat lokasi sekitar kastil yang bergunung-gunung, Romi mendapat ide untuk menggunakan paralayang. Ia mendaki ke lereng yang tinggi lalu dengan bantuan angin meluncur di udara menuju balkon. Pada waktu yang tepat Romi melepaskan paralayangnya dan melompat masuk ke kamar. Menabrak ayah Ani yang berdiri terpaku.
“Awas Pak Sam.”
“Ayah!”
Ayah Ani terguling membentur dinding sebelum jatuh ke lantai.
“Pak Sam, Pak Sam.”
“Ayah.”
Pak Sam, ayah Ani satu-satunya tak sadarkan diri. Bagian belakang kepalanya berdarah dan beberapa menit kemudian dalam perjalanan ke rumah sakit, ia menghembuskan nafas terakhirnya.
“Ani...”
Ani terdiam,bagaimana mungkin ia menjalin cinta dengan pria yang menyebabkan ayahnya terbunuh, tetapi di sisi lain untuk membenci Romi pun hatinya tak sanggup. Segala ingatan tentang Romi membuatnya terluka. Sejak saat itu ia tidak pernah bertemu maupun berbicara lagi dengan Romi,
Dua puluh delapan tahun kemudian musik mengalun dari sound system. Petugas katering mempersiapkan menu dan menghias kursi. Ini adalah hari pernikahan Tommy dan Riana. Ani yang sedang dirias bersama putrinya, Riana dipanggil oleh seseorang.
“Bu Ani ada yang nyariin.”
Ani keluar lalu berhenti ketika matanya menatap sesosok laki-laki yang sedang menyetem piano di samping pelaminan. Ia adalah ayah Tommy. Seorang penyanyi senior sekaligus pengusaha yang terkenal di Indonesia dan sekitarnya.
“Kupikir kau tak datang.”
“Maaf Ani,Pesawatku delay. Ada badai di laut china selatan.”
Tiba-tiba ‘KROSAK’
Pintu luar kamarnya dilempar sesuatu oleh seseorang. Buru-buru Ani bangkit dari kursi dan membukanya. Dari balkon lantai dua, ia melihat seorang pemuda sedang berdiri di semak-semak sambil menengadah memandang penuh harap ke arahnya.
“Romi (24)!” Teriak Ani yang lalu cepat-cepat menutup mulutnya sambil menengok kanan-kiri, berharap ayahnya tidak mendengar.
“Oh...Ani, sudah satu minggu kita tidak bertemu. Sudah satu minggu pula aku merindukanmu.”
“Sama... Romi, aku juga kangen.”
“Tunggulah di sana Ani, aku akan naik ke balkon. Ada sesuatu yang hendak kuberikan padamu.”
Romi memanjat naik dengan mudah lalu memberikan kaset berisi lagu-lagu yang ia ciptakan khusus untuk Ani-nya. Setelah itu ia turun dan merekapun berpisah tanpa mengetahui sepasang telinga mendengarkan pertemuan itu.
Keesokan harinya Ani terkejut ketika mendapati ayahnya (59) duduk di ruang tamu sambil menatap sinis ke arahnya. Pria setengah baya itu hanya diam membisu. Ia sedang marah.
“Ayah sudah tahu kalau semalam Romi mampir ke sini?”
“Berapa kali kubilang, jangan dekati dia lagi.”
“Kenapa ayah?”
“Karena aku tidak setuju. Titik.”
Ia berdiri lalu menyeret Ani menuju ke kamar lalu menguncinya dari luar.
“Tidak ayah, tidaaak!” Teriak Ani seperti adegan film Indonesia tahun 80-an.
Malamnya Romi melempar kerikil ke pintu balkon kamar Ani. Ani berusaha membukanya tapi tidak bisa. Romi yang penasaran akhirnya memanjat naik dan mendapati pintu itu tak hanya dikunci, tapi juga dirantai dan digembok.
“Tunggulah Ani, aku akan cari tukang kunci.”
Romi memanggil tukang kunci, yang datang lalu memeriksa gembok dari kejauhan dan tak lama kemudian melemparkan setumpuk kunci ke atas. Dengan mudah Romi membuka seluruh kunci.
“Ani.”
“Romi, syukurlah kita bisa bertemu lagi malam ini.”
“Bagaimana lagu-laguku yang kuberikan kemarin?”
“Bagus-bagus Romi, saking bagusnya sampai-sampai tadi siang kukirimkan ke perusahaan rekamannya Om Tjokro.”
“Lalu tanggapan produser itu bagaimana Ani?”
“Lagumu ditolak mentah-mentah Romi. Mungkin karena Om Tjokro tidak enak kalau harus berseberangan pendapat dengan ayah. Kau tahu sendiri kan ayahku tidak menyukaimu? ”
“Aku paham Ani.”
Keesokan harinya ayah Ani mencak-mencak, ia mendapati gembok dan rantainya dapat dengan mudah dibuka oleh Romi dengan bantuan tukang kunci. Tapi ia tidak menyerah. Sebagai pengusaha sukses tentu saja Ayahnya Ani ini tetap optimis dan dengan penuh kreativitas ia menciptakan solusi terhadap masalah ini. Jangan harap malam ini Romi bisa memanjat ke balkon anaknya.
KROSAK
Kerikil kembali dilemparkan, Ani membuka pintu.
“Aneh mengapa tidak digembok seperti kemarin?”
“Tunggulah di situ Ani, aku akan memanjat ke atas.”
Romi berpegangan pada daun pintu dan jendela di lantai satu lalu berusaha naik ke atas. Tetapi tiba-tiba tubuhnya merosot ke bawah. Ia mengulanginya lagi, dan lagi tapi hasilnya tetap sama.
“Romi!”
“Terlalu licin Ani, aku tidak bisa naik ke atas.”
“Berusahalah terus Romi,” kata Ani memberikan semangat dari balkon.
“Tetap semangat ya Nak Romi, jangan lupa senyum ke kamera.”
“Ayah?”
Kata ayah Ani yang tiba-tiba saja muncul di atas balkon sambil memotret Romi yang susah payah berusaha memanjat dinding yang licin penuh minyak dan lemak. Persis acara panjat pinang agustusan.
“Terima kasih dukungannya Pak Sam.” Kata Romi agak kesal sambil melihat ke atas.
“Sama-sama Nak Romi.”
Malam itu Romi gagal memanjat tembok. Ia pulang dengan tangan hampa
“Pakai tali saja diikat ke jangkar atau panah lalu tembakkan menembus tembok atas.”
“Pakai cakar seperti ninja.”
“Cuci pakai spon dan sabun anti noda yang bisa menghilangkan lemak dan minyak.”
“Cari yang lain saja, di Indonesia cewek kayak Ani jumlahnya jutaan.”
“Main Romeo and Juliet nih ye, pakai backstreet-backstreetan di balkon segala. Hahaha”
Demikian komentar teman-temannya. Ternyata benar, menertawakan cinta adalah hal yang mudah bagi mereka yang tidak merasakannya.
Romi kembali ke rumah Pak Sam. Ia membawa panah dan tali tetapi kini tembok itu sudah ditutup oleh lembaran besi raksasa dan jeruji balkon dihilangkan sehingga tak mungkin untuk ujung panah atau jangkar menembusnya.
“Silahkan dipanjat Nak Romi.”
Kata ayah Ani yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya.
“Oh tentu Pak Sam, kan saya juga sudah siapkan magnet.”
Magnet yang terpasang di tangan membuat Romi dengan mudah memanjat sampai ke atas. Sesampainya di atas ia menyapa ayah Ani sambil berkata.
“Terima kasih Pak Sam, malam ini sudah membantu mempermudah saya manjat sampai ke atas.”
“Terlalu. Begini saja, minggu depan coba panjat ke balkon kamar anakku sekali lagi. Kalau bisa, hari itu juga kau akan kunikahkan dengan Ani.”
“Balkon yang ini?”
“Tentu saja bukan. Ani akan aku ungsikan ke vila keluarga di lereng gunung, kalau kau bisa memanjatnya aku angkat lima jempol buat kau Romi.”
Romi yang kegirangan langsung pulang dan menghubungi tukang kunci sahabatnya.
“Vila landak ya? Dulu kakek buyutku yang buat kuncinya. Dulu canggih tapi sekarang sudah ketinggalan jaman. Tapi bukan itu yang aku khawatirkan.”
“Lalu apa?”
“Seratus lima puluh tahun lalu ada segerombolan perampok hendak menjarah harta keluarga pejabat dari batavia yang sedang menginap di situ.”
“Lalu bagaimana?”
“Mereka gagal.”
“Ada yang mati?”
“Ada, dua puluh orang.”
“Yang hidup?”
“Tidak ada.”
“Mengapa bisa mati?”
“Selain kunci yang canggih pada jamannya, vila setengah kastil itu punya mekanisme mekanik yang hebat. Dinding-dindingnya bisa mengeluarkan duri-duri baja seperti landak. Ribuan duri ini keluar dari dinding dengan tiba-tiba dan langsung menewaskan siapapun yang memanjatnya.”
“Cuma itu?”
“Kau lihat air terjun di belakang vila?” Kata tukang kunci sambil menunjukkan selembar foto.
“Ya.”
“Air itu digunakan sebagai pemutar turbin untuk membangkitkan tenaga listrik. Dengan kabel tembaga listrik dialirkan ke duri-duri baja dan akan menyetrum siapa saja yang berhasil selamat dari luka tusuk. Tak hanya itu sesuai tradisi, villa itu harus dijaga oleh regu pengaman profesional dengan keahlian pertarungan jarak dekat yang sangat hebat..”
“Lalu bagaimana cara terbaik untuk memanjatnya?”
“Soal itu aku juga tidak tahu.”
Romi termenung, ia memikirkan cara terbaik untuk memanjat vila landak. Tetapi dipikir sampai seperti apapun hasil akhirnya selalu sama, adalah lebih baik untuk tidak memanjatnya. Tapi bagaimana dengan Ani? Tidak, ia tidak boleh mundur. Ia berpikir lagi, siapa tahu ada sesuatu yang terlewatkan. Ia pandangi foto kastil, air terjun dan lereng gunung. Semuanya tetap sama, jalan buntu.
“Aduh...”
Tiba-tiba sesuatu hinggap di rambut Romi yang sedikit kribo.
“Maaf Kak.”
Kata adiknya yang bergegas naik ke atas.
Romi mengambil benda yang terperangkap dalam rambut kribonya itu dan mengembalikan ke adiknya.
“Kalau main hati-hati ya.”
“Iya Kak.”
Tiba-tiba Romi tersentak. Adiknya dan mainannya memberikan solusi yang tak disangka-sangka. Jawabannya justru ada di luar vila itu sendiri, dan benar kalau memang tidak bisa dipanjat buat apa harus dipanjat.
“Kemana itu pujaan hati yang kau gembar-gemborkan.”
“Ani tidak tahu ayah.”
“Apa dia tidak datang?”
“Yang Ani tahu Romi tak pernah ingkar janji.”
“Kita tunggu tiga puluh menit, kalau tidak datang juga berarti kau harus tinggalkan dia untuk selamanya.”
Matahari bergerak semakin tinggi. Ani menanti dengan waswas sementara seulas senyum tersungging di bibir ayahnya.
“Kurang satu menit.”
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Udara dari lereng gunung itu masuk ke balkon. Tetapi tak hanya udara yang masuk tetapi juga
“Itu benda apa?”
“Ternyata....anak itu cerdik juga.”
Ketika pesawat-pesawatan dari kertas hinggap ke rambutnya dan melihat lokasi sekitar kastil yang bergunung-gunung, Romi mendapat ide untuk menggunakan paralayang. Ia mendaki ke lereng yang tinggi lalu dengan bantuan angin meluncur di udara menuju balkon. Pada waktu yang tepat Romi melepaskan paralayangnya dan melompat masuk ke kamar. Menabrak ayah Ani yang berdiri terpaku.
“Awas Pak Sam.”
“Ayah!”
Ayah Ani terguling membentur dinding sebelum jatuh ke lantai.
“Pak Sam, Pak Sam.”
“Ayah.”
Pak Sam, ayah Ani satu-satunya tak sadarkan diri. Bagian belakang kepalanya berdarah dan beberapa menit kemudian dalam perjalanan ke rumah sakit, ia menghembuskan nafas terakhirnya.
“Ani...”
Ani terdiam,bagaimana mungkin ia menjalin cinta dengan pria yang menyebabkan ayahnya terbunuh, tetapi di sisi lain untuk membenci Romi pun hatinya tak sanggup. Segala ingatan tentang Romi membuatnya terluka. Sejak saat itu ia tidak pernah bertemu maupun berbicara lagi dengan Romi,
Dua puluh delapan tahun kemudian musik mengalun dari sound system. Petugas katering mempersiapkan menu dan menghias kursi. Ini adalah hari pernikahan Tommy dan Riana. Ani yang sedang dirias bersama putrinya, Riana dipanggil oleh seseorang.
“Bu Ani ada yang nyariin.”
Ani keluar lalu berhenti ketika matanya menatap sesosok laki-laki yang sedang menyetem piano di samping pelaminan. Ia adalah ayah Tommy. Seorang penyanyi senior sekaligus pengusaha yang terkenal di Indonesia dan sekitarnya.
“Kupikir kau tak datang.”
“Maaf Ani,Pesawatku delay. Ada badai di laut china selatan.”
THE END
sorry lama, lagi sibuk bikin cerita panjang fantasy detektif
0
Kutip
Balas