- Beranda
- Stories from the Heart
Sometimes Love Just Ain't Enough
...
TS
jayanagari
Sometimes Love Just Ain't Enough
Halo, gue kembali lagi di Forum Stories From The Heart di Kaskus ini 
Semoga masih ada yang inget sama gue ya
Kali ini gue kembali lagi dengan sebuah cerita yang bukan gue sendiri yang mengalami, melainkan sahabat gue.
Semoga cerita gue ini bisa berkenan di hati para pembaca sekalian

Semoga masih ada yang inget sama gue ya

Kali ini gue kembali lagi dengan sebuah cerita yang bukan gue sendiri yang mengalami, melainkan sahabat gue.
Semoga cerita gue ini bisa berkenan di hati para pembaca sekalian


*note : cerita ini sudah seizin yang bersangkutan.
Quote:
Quote:
Diubah oleh jayanagari 24-04-2016 00:40
Dhekazama dan 8 lainnya memberi reputasi
9
421.1K
1.5K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•1Anggota
Tampilkan semua post
TS
jayanagari
#1226
PART 47 – Side B
Gue duduk termenung di sebuah kursi rotan yang berbantal, sambil jemari gue gak henti-hentinya mengusap kontur rotan yang menyentuh ujung-ujung syaraf gue. Akhir-akhir ini udah jadi kebiasaan gue, kebiasaan buruk mungkin, berpikir sendiri terlalu lama sampe-sampe gue melupakan hal-hal sekitar. Gue menghela napas, dan mencoba mencerna segala hal yang beberapa waktu lalu gue alami. Bukan masalah gue memang, tapi suara hati gue mengatakan bahwa gue gak boleh diem aja melihat keadaan ini. Entah berapa lama gue termenung, tenggelam dalam pikiran gue, hingga akhirnya sebuah tepukan lembut di pipi menyadarkan gue.
“mas?”
gue sedikit terkejut, dan tersadar kembali. Gue sedang berada di rumah Anin, dan dia berdiri di depan gue, membungkuk sehingga wajahnya persis di hadapan wajah gue. Pandangannya bertanya-tanya.
“eh…iya…” sahut gue gugup.
“kok bengong?” Anin memiringkan kepala, wajahnya tetap berada persis di depan wajah gue.
“eh… enggak kok, gak papa…” gue menggeleng dan membetulkan lagi posisi duduk gue. “maaf ya…”
Anin tersenyum, dan kemudian menarik kursi rotan lain lagi, mendekatkan ke kursi gue. Dia menepuk paha gue pelan, dan mengikatkan rambutnya yang coklat kemerahan itu ke belakang.
“mikir apa sih?” tanyanya lembut.
gue terdiam sejenak.
“soal Dhika…”
“yang barusan itu?”
“iya…”
“emang apa yang jadi pikiran kamu?” dia tersenyum seolah bisa membaca pikiran gue saat itu.
“yaa… entahlah. Aku cuma mikir aja, awalnya bertanya sih, kenapa Dhika bisa stuck sama dua orang yang – satu gak sadar kalo Dhika suka, dan ketika sadarpun dia gak merespon apapun, - dan yang satu lagi bahkan ilang tanpa jejak. Dan itu semua terjadi setelah dia ditinggal Sari.” jawab gue pelan.
gue menarik napas panjang, dan melanjutkan. “barusan aku sampe mikir, apa Dhika gak dibolehin pacaran lagi ya sama Sari…” gue tertawa kecut.
“hus!” sahut Anin.
“ya abisnya gitu amat sih ceritanya dia….”
Anin sekali lagi menepuk paha gue, kali ini agak lebih keras. Dia memandangi gue dengan tegas. Sepertinya dia kali ini serius.
“gak boleh berprasangka buruk ya, apalagi sama yang udah meninggal.” jawabnya sambil tersenyum, tapi senyumnya tegas dan membuat nyali gue ciut seketika.
“iya iya sorry…” ucapan maaf itu terlontar tanpa sadar dari mulut gue, karena gue tau ketika Anin mulai serius, dia bisa jadi orang paling galak yang pernah gue kenal.
Sepertinya Anin sadar bahwa barusan dia membuat gue sedikit takut kepadanya, karena gak berapa lama kemudian dia bertanya lagi dengan lembut.
“tanggapan dari temen-temen kamu tentang Dhika ini gimana?”
“yaa sebagian ada yang cuma prihatin, ada juga yang serius ngasih saran. Sebenernya gak begitu banyak tanggapan sih, soalnya juga cuma beberapa orang aja yang tau persis tentang ini semua.”
“aku punya feeling sih, Sherly bakal kembali lagi…”
gue terduduk tegak.
“oya? kenapa?” tanya gue antusias.
Anin mengangkat bahu, “cuma intuisi, mas. Aku sih mikirnya antara Sherly sama Dhika gak ada masalah apapun, dan pasti hal yang bikin Sherly menjauh itu masalah pribadinya dia sendiri. Dan aku juga yakin sih, Sherly gak akan senekat itu untuk ninggalin semua yang udah dia perjuangin, ya kehidupannya, ya kuliahnya. Kayaknya seberat apapun masalahnya dia, gak worth it kalo dia meninggalkan ini semua.” Anin tertawa kecil, “aku yakin kok Sherly gak sebodoh itu…” jelasnya.
“kalo Fira?”
Kali ini Anin memandangi gue agak lama, dan di wajahnya tampak ekspresi yang membingungkan gue. Dia tersenyum seperti menahan tawa.
“Fira?” tanyanya ulang.
gue mengangguk.
“hmmm… Fira ya…” Anin seperti menunda jawabannya, dan menyilangkan salah satu kakinya diatas kaki yang lain. “buat aku, kalo aku jadi cowok sih, Fira itu salah satu tipe cewek yang, maaf, harus dijauhin.”
“kenapa?” gue penasaran dengan kelanjutan jawabannya itu.
Anin memainkan kuku-kuku di jemarinya, sambil sedikit tersenyum. Sepertinya dia sedang berusaha mencari kata-kata yang pas untuk pertanyaan gue itu, karena gue tau persis Anin adalah tipe orang yang selalu berusaha mengatakan sesuatu dengan santun, meskipun itu hal yang menyakitkan.
“yaa gimana ya… cuma heran aja sih. setumpul-tumpulnya cewek, yang namanya cewek itu pasti lebih peka dari cowok. Dari semua ceritamu itu, aku yakin kok kalo Fira itu sebenernya tau persis. Cuma kali ini dia memilih untuk pura-pura gak tau. Kenapa? Ya barangkali banyak alasannya…. entah dia gak mau kehilangan fans, atau dia gak mau kehilangan keuntungan yang dia dapetin dari Dhika.”
“kenapa Dhika bisa sebuta itu?” tanya gue.
“hmm… ya kita mungkin gak bisa menjudge siapapun disini, termasuk Dhika. karena kalo siapapun ada di posisi Dhika sekarang, mungkin dia juga bakal putus asa dan gak bisa berpikir dengan sehat,” Anin menghela napas panjang, “Dhika cuma butuh ada seseorang yang bisa dia cintai, itu aja kok. Untuk bisa sembuh dari luka karena cinta ya obatnya cuma cinta juga. Sayangnya orang-orang yang dia pilih untuk jadi obatnya justru membuat luka baru.”
Gue terdiam beberapa waktu. Kemudian gue memandangi Anin yang sedang memainkan handphonenya, mengetik chat entah ke siapa.
“terus saran kamu apa dek, tentang semua ini?”
Anin tersenyum, menggigit bibir bawahnya.
“kita semua dikasih otak dan perasaan. Kadang-kadang salah satu saling mengalahkan dan menyalahkan. Cuma kali ini menurutku Dhika lebih baik mikirin perasaannya sendiri dulu. Biar logika yang berbicara sekarang. Kita tau selama ini dia lebih banyak pake perasaannya daripada logika. Sekali-sekali, jadi egois itu perlu. Dia layak untuk dapet yang terbaik di hidupnya. Tinggalin yang udah-udah, melangkah untuk dapetin satu yang baru. Bukannya kalo kita melangkah maju itu selalu ada hal yang kita tinggalin di belakang?” jelasnya.
“iya kamu bener…” sahut gue sambil tersenyum.
“mungkin berat buat Dhika untuk ninggalin ini semua, tapi kebahagiaan yang dia cari itu ada di masa depan, bukan masa lalu. Sekarang semua tergantung dia, tergantung seberapa cepet dia melangkah buat mencapai kebahagiaannya itu.” jelas Anin lagi.
gue mengangkat bahu, “beberapa waktu lalu, semua penyebab kesedihannya sekarang itu ternyata jadi kebahagiaannya loh. Ironis ya.”
Anin tertawa kecil dan melepaskan ikatan rambutnya sehingga rambutnya yang cokelat kemerahan itu tergerai dengan indah di punggung dan bahunya.
“ya sebenernya itu masih jadi kebahagiaannya dia, selama dia bersyukur atas apa yang udah dia alami, selama dia masih bisa ber positive thinking tentang hidupnya. Kalo dia selalu ngeluh dan meratapi nasibnya terus, kapan dia bisa ngambil hikmah dari masa lalunya, ya kan?”
Dan untuk kesekian kalinya semenjak gue mengenal Anin, dia membuat gue gak bisa berkata-kata lagi selain menyetujuinya.
Gue duduk termenung di sebuah kursi rotan yang berbantal, sambil jemari gue gak henti-hentinya mengusap kontur rotan yang menyentuh ujung-ujung syaraf gue. Akhir-akhir ini udah jadi kebiasaan gue, kebiasaan buruk mungkin, berpikir sendiri terlalu lama sampe-sampe gue melupakan hal-hal sekitar. Gue menghela napas, dan mencoba mencerna segala hal yang beberapa waktu lalu gue alami. Bukan masalah gue memang, tapi suara hati gue mengatakan bahwa gue gak boleh diem aja melihat keadaan ini. Entah berapa lama gue termenung, tenggelam dalam pikiran gue, hingga akhirnya sebuah tepukan lembut di pipi menyadarkan gue.
“mas?”
gue sedikit terkejut, dan tersadar kembali. Gue sedang berada di rumah Anin, dan dia berdiri di depan gue, membungkuk sehingga wajahnya persis di hadapan wajah gue. Pandangannya bertanya-tanya.
“eh…iya…” sahut gue gugup.
“kok bengong?” Anin memiringkan kepala, wajahnya tetap berada persis di depan wajah gue.
“eh… enggak kok, gak papa…” gue menggeleng dan membetulkan lagi posisi duduk gue. “maaf ya…”
Anin tersenyum, dan kemudian menarik kursi rotan lain lagi, mendekatkan ke kursi gue. Dia menepuk paha gue pelan, dan mengikatkan rambutnya yang coklat kemerahan itu ke belakang.
“mikir apa sih?” tanyanya lembut.
gue terdiam sejenak.
“soal Dhika…”
“yang barusan itu?”
“iya…”
“emang apa yang jadi pikiran kamu?” dia tersenyum seolah bisa membaca pikiran gue saat itu.
“yaa… entahlah. Aku cuma mikir aja, awalnya bertanya sih, kenapa Dhika bisa stuck sama dua orang yang – satu gak sadar kalo Dhika suka, dan ketika sadarpun dia gak merespon apapun, - dan yang satu lagi bahkan ilang tanpa jejak. Dan itu semua terjadi setelah dia ditinggal Sari.” jawab gue pelan.
gue menarik napas panjang, dan melanjutkan. “barusan aku sampe mikir, apa Dhika gak dibolehin pacaran lagi ya sama Sari…” gue tertawa kecut.
“hus!” sahut Anin.
“ya abisnya gitu amat sih ceritanya dia….”
Anin sekali lagi menepuk paha gue, kali ini agak lebih keras. Dia memandangi gue dengan tegas. Sepertinya dia kali ini serius.
“gak boleh berprasangka buruk ya, apalagi sama yang udah meninggal.” jawabnya sambil tersenyum, tapi senyumnya tegas dan membuat nyali gue ciut seketika.
“iya iya sorry…” ucapan maaf itu terlontar tanpa sadar dari mulut gue, karena gue tau ketika Anin mulai serius, dia bisa jadi orang paling galak yang pernah gue kenal.
Sepertinya Anin sadar bahwa barusan dia membuat gue sedikit takut kepadanya, karena gak berapa lama kemudian dia bertanya lagi dengan lembut.
“tanggapan dari temen-temen kamu tentang Dhika ini gimana?”
“yaa sebagian ada yang cuma prihatin, ada juga yang serius ngasih saran. Sebenernya gak begitu banyak tanggapan sih, soalnya juga cuma beberapa orang aja yang tau persis tentang ini semua.”
“aku punya feeling sih, Sherly bakal kembali lagi…”
gue terduduk tegak.
“oya? kenapa?” tanya gue antusias.
Anin mengangkat bahu, “cuma intuisi, mas. Aku sih mikirnya antara Sherly sama Dhika gak ada masalah apapun, dan pasti hal yang bikin Sherly menjauh itu masalah pribadinya dia sendiri. Dan aku juga yakin sih, Sherly gak akan senekat itu untuk ninggalin semua yang udah dia perjuangin, ya kehidupannya, ya kuliahnya. Kayaknya seberat apapun masalahnya dia, gak worth it kalo dia meninggalkan ini semua.” Anin tertawa kecil, “aku yakin kok Sherly gak sebodoh itu…” jelasnya.
“kalo Fira?”
Kali ini Anin memandangi gue agak lama, dan di wajahnya tampak ekspresi yang membingungkan gue. Dia tersenyum seperti menahan tawa.
“Fira?” tanyanya ulang.
gue mengangguk.
“hmmm… Fira ya…” Anin seperti menunda jawabannya, dan menyilangkan salah satu kakinya diatas kaki yang lain. “buat aku, kalo aku jadi cowok sih, Fira itu salah satu tipe cewek yang, maaf, harus dijauhin.”
“kenapa?” gue penasaran dengan kelanjutan jawabannya itu.
Anin memainkan kuku-kuku di jemarinya, sambil sedikit tersenyum. Sepertinya dia sedang berusaha mencari kata-kata yang pas untuk pertanyaan gue itu, karena gue tau persis Anin adalah tipe orang yang selalu berusaha mengatakan sesuatu dengan santun, meskipun itu hal yang menyakitkan.
“yaa gimana ya… cuma heran aja sih. setumpul-tumpulnya cewek, yang namanya cewek itu pasti lebih peka dari cowok. Dari semua ceritamu itu, aku yakin kok kalo Fira itu sebenernya tau persis. Cuma kali ini dia memilih untuk pura-pura gak tau. Kenapa? Ya barangkali banyak alasannya…. entah dia gak mau kehilangan fans, atau dia gak mau kehilangan keuntungan yang dia dapetin dari Dhika.”
“kenapa Dhika bisa sebuta itu?” tanya gue.
“hmm… ya kita mungkin gak bisa menjudge siapapun disini, termasuk Dhika. karena kalo siapapun ada di posisi Dhika sekarang, mungkin dia juga bakal putus asa dan gak bisa berpikir dengan sehat,” Anin menghela napas panjang, “Dhika cuma butuh ada seseorang yang bisa dia cintai, itu aja kok. Untuk bisa sembuh dari luka karena cinta ya obatnya cuma cinta juga. Sayangnya orang-orang yang dia pilih untuk jadi obatnya justru membuat luka baru.”
Gue terdiam beberapa waktu. Kemudian gue memandangi Anin yang sedang memainkan handphonenya, mengetik chat entah ke siapa.
“terus saran kamu apa dek, tentang semua ini?”
Anin tersenyum, menggigit bibir bawahnya.
“kita semua dikasih otak dan perasaan. Kadang-kadang salah satu saling mengalahkan dan menyalahkan. Cuma kali ini menurutku Dhika lebih baik mikirin perasaannya sendiri dulu. Biar logika yang berbicara sekarang. Kita tau selama ini dia lebih banyak pake perasaannya daripada logika. Sekali-sekali, jadi egois itu perlu. Dia layak untuk dapet yang terbaik di hidupnya. Tinggalin yang udah-udah, melangkah untuk dapetin satu yang baru. Bukannya kalo kita melangkah maju itu selalu ada hal yang kita tinggalin di belakang?” jelasnya.
“iya kamu bener…” sahut gue sambil tersenyum.
“mungkin berat buat Dhika untuk ninggalin ini semua, tapi kebahagiaan yang dia cari itu ada di masa depan, bukan masa lalu. Sekarang semua tergantung dia, tergantung seberapa cepet dia melangkah buat mencapai kebahagiaannya itu.” jelas Anin lagi.
gue mengangkat bahu, “beberapa waktu lalu, semua penyebab kesedihannya sekarang itu ternyata jadi kebahagiaannya loh. Ironis ya.”
Anin tertawa kecil dan melepaskan ikatan rambutnya sehingga rambutnya yang cokelat kemerahan itu tergerai dengan indah di punggung dan bahunya.
“ya sebenernya itu masih jadi kebahagiaannya dia, selama dia bersyukur atas apa yang udah dia alami, selama dia masih bisa ber positive thinking tentang hidupnya. Kalo dia selalu ngeluh dan meratapi nasibnya terus, kapan dia bisa ngambil hikmah dari masa lalunya, ya kan?”
Dan untuk kesekian kalinya semenjak gue mengenal Anin, dia membuat gue gak bisa berkata-kata lagi selain menyetujuinya.
pulaukapok dan 5 lainnya memberi reputasi
6