- Beranda
- Stories from the Heart
Anugerah Dijodohkan
...
TS
Veritonix
Anugerah Dijodohkan
Quote:
Quote:
Summary
Quote:
Ini adalah sebuah cerita tentang kisah cinta yang dimulai oleh ikatan perjodohan. Ini bukan kisah Siti Nurbaya yang harus menderita karena perjodohan orang tuanya. Ini adalah kisah seorang gadis berusia 19 tahun yang bernama Arina Eka Putri, yang diperintah ayahnya untuk menikahi pria sukses berusia 34 tahun. Meskipun awalnya Arin tidak merasa yakin ia akan bahagia dengan ikatan perjodohan ini. Lama-lama ia mulai menikmati hari-harinya sebagai istri Raden Fakhri G, suaminya.
Sejak awal Rin memang tercipta untuk lelaki itu
Sejak awal Rin memang tercipta untuk lelaki itu
Judul: Anugerah Dijodohkan
Status: Berjalan
Tipe: Cerita Fiksi
Quote:
Diubah oleh Veritonix 22-04-2016 09:34
anasabila memberi reputasi
1
2.8K
Kutip
15
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Veritonix
#3
Quote:
Bagian I.II:You're Now My Fiance
Quote:
Bulan setia menggantung diatas langit malam ditemani taburan bintang dengan kemilau cahayanya yang memukau. Sepanjang perjalanan menuju tempat yang sudah dijanjikan untuk melakukan pertemuan, tidak ada objek menarik untuk dipandang selain hamparan langit luas. Padatnya lalu lintas hanya membuat kepalaku terasa pening. Beberapa kali aku mendesah malas sambil mengamati langit malam diluarsana.
Papa dan Mama sama-sama menolak membuat topik pembicaraan sehat denganku. Mereka sibuk berbicara satu sama lain tanpa mempedulikanku. Tampaknya mereka menghindari perdebatan ronde kedua tercipta diantara kami bertiga. Aku pun memilih diam seribu bahasa.
Dari pantulan kaca film mobil. Tampaklah siluet bayangan diriku sendiri yang terbalut dress spadek merah. Cantik dan mempesona. Kesan itulah yang terlintas dibenak jika kalian melihat wujudku. Ya, semua mama persiapkan agar lelaki itu langsung terpikat dengan kecantikanku. Aku tak menyangka Mama bahkan berbuat sejauh itu.
Menghalukan mobil kearah restoran mewah dan berbintang seantaro Kota Bandung. Papa segera memarkirkan mobilnya disalah satu sudut parking area tak jauh dari pintu masuk resto. Desiran angin malam menyambutku setibanya kakiku menginjak aspal area parkir. Entah mengapa hatiku mendadak diliputi perasaan gugup.
Bagaimana jika ia juga tidak menyukaiku? Bagaimana jika ia juga membenci perjodohan ini? Bagaimana jika pada akhirnya kami sama-sama dipaksa bersatu suka atau tidak suka?
"Ayo, Rin. Kita sudah terlambat." Teguran Mama membuyarkan lamunanku. Aku yang tersadar segera menata kembali helai-helai rambutku yang sesaat lalu diterpa angin dan menyusul langkah Papa dan Mamaku. Kami berangsur memasuki bangunan modern bernuansa klasik di dalamnya. Lampu kristal khas kerajaan eropa bergantungan indah di langit-langit ruangan utama. Kebanyakan furnitur di restoran ini terbalut kain beige pastoral berwarna krem. Sejauh mata memandang disugguhi pemandangan sarat akan kastil gaya abad pertengahan. Kemudian seorang waitress datang menyambut kami.
"Selamat datang, apa ada yang bisa saya bantu tuan?"
"Tolong meja untuk keluarga Hermawan." Papa menyahut. Matanya beredar mencari tamunya malam ini. Sang pelayan lekas melihat data nama-nama dalam daftar buku tamunya. Matanya baru berhenti ketika sederet kata yang tertera disana menampilkan nama keluarga Hermawan.
"Ah tamu anda sudah menunggu di meja yang anda pesan, Tuan Hermawan. Mari ikut saya. Saya akan membimbing anda menuju meja yang anda pesan." Sang waitress meletakkan satu telapak tangannya didepan dada. Sebuah perilaku sopan yang umum dilakukan para pelayan kepada para pengunjung.
Papa mengangguk isyarat menyetujui. Sementara jantungku semakin berdebar tak karuan. Jadi dia sudah lebih dulu sampai disini? Padahal ini masih lewat sedikit dari waktu yang telah dijanjikan. Membuatku berasumsi kedisplinan keluarga calon suamiku sungguh terjaga.
Waktu seakan bergerak lambat. Rasa gugupku semakin tak terelakkan lagi. Aku terus menundukkan kepala sepanjang kakiku melangkah. Untungnya restoran ini begitu luas sehingga aku dapat menghirup udara sebanyak-banyaknya 'tuk mencari ketenangan yang berterbangan diudara. Perasaanku tidak tenang. Aku ingin semua ini segera berakhir.
"Hendrik! Maaf karena telah membuatmu menunggu." Sapaan Papa menandakan kita telah sampai di meja yang dimaksud. Sungguh seketika itu kepalaku terasa berat untuk sekedar mengangkat arah pandangku. Tubuhku terkujur kaku. Perasaan gugupku telah sampai di puncaknya.
"Ah tidak juga. Kami baru saja tiba disini, Hermawan." Sanggah Hendrik ramah. Dari ekor mata kulihat Hendrik beserta anggota keluarganya berdiri menyambut kedatangan keluargaku. Memberi kami salam penghormatan.
"Selamat malam, Paman Hermawan. Terima kasih karena sudah mengundang kami ke tempat seperti ini." Suara bariton itu. Tidak salah lagi dia lah yang diusung Papa sebagai kandidat calon suamiku satu-satunya. Aku berusaha meliriknya dengan segenap keberanian. Tertangkaplah sosok pria jangkung berbadan tegap dengan rambut hitam jabrik disisir ke belakang. Aku terpana melihat sosoknya. Pria itu begitu menawan.
"Tidak perlu seformal itu, Fachri. Kita disini untuk membahas perkimpoianmu dengan putriku ini. Acara ini milik kita bersama. Benar begitu kan Rin?" Papa meminta pendapatku dan mendesakku tersadar dari lamunanku. Aku yang terkesiap mendengar ucapan Papa lalu memberi respon gagap.
"I-Iya, senang bertemu dengan anda." Kataku sembari membungkuk. Uh, Arina Eka Putri lihatlah betapa kikuknya dirimu sekarang. Hanya karena paras pria itu menawan lantas kau bertingkah bodoh seperti ini? Bukannya aku adalah orang yang paling keras menentang perjodohan ini? Kenapa komitmenku menolak perjodohan ini dengan mudah luntur begitu saja hanya dengan melihat wajah tampan Fachri? Kenapa aku tidak bisa bersikap dingin padanya sekarang?
"Ini.." Tiba-tiba sebuah tangan kekar terulur kearahku. Aku mengikuti asal muasal tangan tersebut terulur. Jantungku bertalu-talu. Pria yang akrab disebut Fachri itu nyatanya sudah berada disampingku. Aku hanya melenggong melihatnya mengulurkan tangan. Tidak mengerti maksudnya.
"Arina Eka Putri. Mari kita berjabat tangan sebagai awal mula perkenalan kita."
"O-Oh iya, baiklah." Aku menyambut uluran tangannya. Entah hanya perasaanku atau apa. Dari sentuhan tangannya, mengalirkan sebuah aliran listrik penuh kehangatan ke sekujur tubuhku. Aku terkesima.
"Fachri Gunawan."
"Arina Eka Putri." Aku mematung dari tempatku. Tidak tahu harus berbuat apalagi. Pikiranku buyar. Hal itu kututup dengan ukiran senyum manis di mulutku. Sampai akhirnya Papa kembali menyahut mengakhiri suasana canggung itu,
"Baiklah. Karena mereka berdua sekarang sudah saling kenal. Ayo kita duduk."
Selanjutnya Papa dan pria paruh baya bernama Hendrik itu berdiskusi soal bisnis mereka. Dari obrolan mereka aku sedikit mengerti, pernikahan ini bertujuan membangun kerjasama bisnis dengan ikatan keluarga. Keluarga Gunawan yang beranggotakan Hendrik, Lisa, Fachri, dan Alysa telah menantikan kerjasama semacam ini. Ia mengandalkan putra sulungnya, Fachri untuk memikatku.
Jauh di relung hatiku aku sedih menerima kenyataan pernikahanku tidak berdasarkan cinta atau suka sama suka. Melainkan hanya persoalan bisnis semata. Mau menolakpun tak bisa. Ancaman Papa sungguh membungkam segala bentuk protesku. Aku hanya dapat mengurung rasa kesalku atas ketidakberdayaanku menolak perjodohan ini dalam hati.
Beberapa kilas pandangku menatap Fachri yang duduk tepat disebelahku. Melempar senyum sesekali padanya dan mengamati raut wajah pria itu. Pria itu begitu tenang dan berkharisma. Ia benar-benar berusaha membuat figurnya tetap terjaga. Apa bisa pria sesempurna dia mencintai diriku yang urakan dan tak mau diatur? Hidupku sepertinya memang diambang kehancuran. Tidak akan dicintai suamiku sendiri.
"Alysa ingin mengenal, Kak Rin." Sebuah tangan mungil menarik-narik ujung dressku dari samping. Aku menoleh kearahnya. Sosok gadis kecil berambut perak dengan mata yang lebar dan menggemaskan menatapku polos. Aku tak bisa menahan senyum darinya. Langsung saja tanganku terulur menggendong si mungil ini keatas pangkuan.
"Siapa namamu adik kecil?" Tanyaku lembut.
"Alysa. Alysa ingin mengenal Kak Rin." Pintanya sekali lagi mengulang perkataannya. Aku tertawa mendengarnya. Tanganku beralih mencubit pipi buntal sang gadis. Tak kuasa menahan rasa gemasku.
"Hmm, Kak Rin itu orangnya suka sekali sama anak secantik, Alysa." Ungkapku jujur. Sedari dulu, aku menyukai anak kecil seumuran Alysa. Mungkin dengan hadirnya Alysa disini, rasa jenuh dan bosanku mendengar diskusi ala orang tua diantara Papa dan orang bernama Hendrik itu bisa sedikit terobati.
"Benar kah Kak Rin menyukai Alysa? Alysa senang!" Alysa menepuk-nepukan tangannya gembira. Aku yang tak mampu lagi membendung rasa gemasku kedua kalinya memeluk erat si gadis. Membiarkan gadis itu menggeliat dalam dekapanku.
"Itu benar, Alysa. Ngomong-ngomong kenapa kau ini cantik sekali sih? Kak Rin jadi ingin mengadopsimu. Bagaimana jika Alysa tinggal bersama Kak Rin saja? Kak Rin sendirian di rumah. Sepi rasanya berada di rumah sendirian." Untuk yang satu itu, aku benar-benar tidak ingat aku sedang berada dimana. Tak ayal. Tante Lisa, terkikik geli mendengar jawabanku itu. Aku yang mendengarnya sontak tersadar bahwa aku menjadi satu-satunya pusat perhatian orang disekelilingku.
Tante Lisa menyikut rusuk putranya yang sedari tadi terdiam, "kau mendengarnya kan, Fachri? Istrimu sudah tidak sabar memiliki anak darimu. Ia ingin ditemani seorang anak kecil di rumahnya. Jangan membuat Mama menunggu terlalu lama ya!" Titah Tante Lisa genit.
Wajahku merah padam mendengar godaannya. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Malu dengan perkataanku sendiri. Samar-samar sebelum menunduk aku juga melihat rona merah di kedua pipi Fachri meskipun ia tak merespon perkataan ibunya.
"Gimana? Sudah senang dengan keluarga calon suamimu sekarang? Fachri itu berasal dari keluarga yang baik-baik. Kau tidak perlu khawatir lagi, Arinku sayang." Mama berbisik. Aku hanya berdehem ringan menghindari serangan bertubi-tubi dari Mama dan Tante Lisa.
Untungnya sajian makanan datang melerai permasalahan itu. Belasan menu makanan mulai memadati seisi meja. Aku nyaris tidak bernafas menahan malu akibat ulah perkataanku sendiri. Sekarang aku bisa menghembuskan napas lega. Sebab orang-orang disekelilingku mulai mengalihkan atensinya.
Perhitunganku ternyata meleset. Selepas kepergian Alysa dari pangkuanku. Dentingan gelas yang diketuk Papa mencuri perhatian orang-orang disekelilingku. Termasuk juga orang yang tidak berada satu meja denganku. Mereka semua menengok kearah Papa. Baru kusadari ternyata pengunjung di restoran ini bukan sembarang orang. Mereka semua adalah rekan dan mitra bisnis Papa. Aku membeliakan mata terkejut dengan hadirnya teman-temanku di tempat ini. Aku merasakan satu firasat yang tidak mengenakkan.
"Perhatian-perhatian. Sebelum kita memakan hidangan yang telah disajikan. Kita akan melaksanakan prosesi pertunangan putra putri kami tercinta. Harap pengunjung dapat bersikap lebih tenang saat prosesi berlangsung." Lututku seketika lemas mendengar Papa berbicara. Kenapa semua serba mendadak seperti ini? Aku belum mempersiapkan mentalku untuk hal semacam itu.
Oh, matilah aku.
Seharusnya aku paham tujuan papa berkeras hati membawaku kemari. Toh pernikahan akan dilaksanakan minggu depan. Tidak ada waktu lagi melaksanakan pertunangan selain detik ini juga.
"Fachri." Hendrik memberi isyarat. Fachri langsung menanggapinya dengan satu anggukan mantap seolah mengerti maksud perkataan Ayahnya.
Gemetar perasaan gugup melanda hati dan seluruh anggota tubuhku. Terlebih saat Fachri beranjak dari tempatnya. Mendekatiku yang kemudian berlutut menekukan satu kakinya menyentuh ubin lantai marmer. Aku meyakini jantungku hendak melompat keluar detik itu. Fachri merogoh sesuatu dari saku celana kainnya.
"Rin." Ia memanggil namaku. Memintaku untuk menatapnya langsung. Astaga bagaimana bisa Fachri memasang ekspresi setenang dan setegas itu dengan posisinya itu. Apa dia tidak merasa tegang ataupun gelisah sama sekali? Aku benar-benar takjub. Pria ini benar-benar memiliki kharisma.
"Aku ingin memberimu ini sebagai tanda bahwa mulai sekarang dan seterusnya kau adalah milikku seorang. Dengan ikatan pertunangan ini. Kita akan melanjutkan hubungan kita ke tahap yang lebih serius." Ia mengambil jeda tarikan napas.
"Arina Eka Putri, will you marry me?" Binar kesungguhan terpancar dari manik mata Fachri. Aku tidak habis akal. Apa Fachri pernah memendam rasa padaku sehingga ia benar-benar menghayati acara prosesi pertunangan ini?
Tapi tidak ada waktu untuk berpikir. Aku harus segera memberi jawaban. Mengingat situasi yang melibatkanku, aku tidak yakin diberi opsi untuk menolak ajuan lamaran Fachri. Aku pun masih punya muka di khalayak banyak orang begini.
Tidak ada pilihan selain..
"Yes i do."
Papa dan Mama sama-sama menolak membuat topik pembicaraan sehat denganku. Mereka sibuk berbicara satu sama lain tanpa mempedulikanku. Tampaknya mereka menghindari perdebatan ronde kedua tercipta diantara kami bertiga. Aku pun memilih diam seribu bahasa.
Dari pantulan kaca film mobil. Tampaklah siluet bayangan diriku sendiri yang terbalut dress spadek merah. Cantik dan mempesona. Kesan itulah yang terlintas dibenak jika kalian melihat wujudku. Ya, semua mama persiapkan agar lelaki itu langsung terpikat dengan kecantikanku. Aku tak menyangka Mama bahkan berbuat sejauh itu.
Menghalukan mobil kearah restoran mewah dan berbintang seantaro Kota Bandung. Papa segera memarkirkan mobilnya disalah satu sudut parking area tak jauh dari pintu masuk resto. Desiran angin malam menyambutku setibanya kakiku menginjak aspal area parkir. Entah mengapa hatiku mendadak diliputi perasaan gugup.
Bagaimana jika ia juga tidak menyukaiku? Bagaimana jika ia juga membenci perjodohan ini? Bagaimana jika pada akhirnya kami sama-sama dipaksa bersatu suka atau tidak suka?
"Ayo, Rin. Kita sudah terlambat." Teguran Mama membuyarkan lamunanku. Aku yang tersadar segera menata kembali helai-helai rambutku yang sesaat lalu diterpa angin dan menyusul langkah Papa dan Mamaku. Kami berangsur memasuki bangunan modern bernuansa klasik di dalamnya. Lampu kristal khas kerajaan eropa bergantungan indah di langit-langit ruangan utama. Kebanyakan furnitur di restoran ini terbalut kain beige pastoral berwarna krem. Sejauh mata memandang disugguhi pemandangan sarat akan kastil gaya abad pertengahan. Kemudian seorang waitress datang menyambut kami.
"Selamat datang, apa ada yang bisa saya bantu tuan?"
"Tolong meja untuk keluarga Hermawan." Papa menyahut. Matanya beredar mencari tamunya malam ini. Sang pelayan lekas melihat data nama-nama dalam daftar buku tamunya. Matanya baru berhenti ketika sederet kata yang tertera disana menampilkan nama keluarga Hermawan.
"Ah tamu anda sudah menunggu di meja yang anda pesan, Tuan Hermawan. Mari ikut saya. Saya akan membimbing anda menuju meja yang anda pesan." Sang waitress meletakkan satu telapak tangannya didepan dada. Sebuah perilaku sopan yang umum dilakukan para pelayan kepada para pengunjung.
Papa mengangguk isyarat menyetujui. Sementara jantungku semakin berdebar tak karuan. Jadi dia sudah lebih dulu sampai disini? Padahal ini masih lewat sedikit dari waktu yang telah dijanjikan. Membuatku berasumsi kedisplinan keluarga calon suamiku sungguh terjaga.
Waktu seakan bergerak lambat. Rasa gugupku semakin tak terelakkan lagi. Aku terus menundukkan kepala sepanjang kakiku melangkah. Untungnya restoran ini begitu luas sehingga aku dapat menghirup udara sebanyak-banyaknya 'tuk mencari ketenangan yang berterbangan diudara. Perasaanku tidak tenang. Aku ingin semua ini segera berakhir.
"Hendrik! Maaf karena telah membuatmu menunggu." Sapaan Papa menandakan kita telah sampai di meja yang dimaksud. Sungguh seketika itu kepalaku terasa berat untuk sekedar mengangkat arah pandangku. Tubuhku terkujur kaku. Perasaan gugupku telah sampai di puncaknya.
"Ah tidak juga. Kami baru saja tiba disini, Hermawan." Sanggah Hendrik ramah. Dari ekor mata kulihat Hendrik beserta anggota keluarganya berdiri menyambut kedatangan keluargaku. Memberi kami salam penghormatan.
"Selamat malam, Paman Hermawan. Terima kasih karena sudah mengundang kami ke tempat seperti ini." Suara bariton itu. Tidak salah lagi dia lah yang diusung Papa sebagai kandidat calon suamiku satu-satunya. Aku berusaha meliriknya dengan segenap keberanian. Tertangkaplah sosok pria jangkung berbadan tegap dengan rambut hitam jabrik disisir ke belakang. Aku terpana melihat sosoknya. Pria itu begitu menawan.
"Tidak perlu seformal itu, Fachri. Kita disini untuk membahas perkimpoianmu dengan putriku ini. Acara ini milik kita bersama. Benar begitu kan Rin?" Papa meminta pendapatku dan mendesakku tersadar dari lamunanku. Aku yang terkesiap mendengar ucapan Papa lalu memberi respon gagap.
"I-Iya, senang bertemu dengan anda." Kataku sembari membungkuk. Uh, Arina Eka Putri lihatlah betapa kikuknya dirimu sekarang. Hanya karena paras pria itu menawan lantas kau bertingkah bodoh seperti ini? Bukannya aku adalah orang yang paling keras menentang perjodohan ini? Kenapa komitmenku menolak perjodohan ini dengan mudah luntur begitu saja hanya dengan melihat wajah tampan Fachri? Kenapa aku tidak bisa bersikap dingin padanya sekarang?
"Ini.." Tiba-tiba sebuah tangan kekar terulur kearahku. Aku mengikuti asal muasal tangan tersebut terulur. Jantungku bertalu-talu. Pria yang akrab disebut Fachri itu nyatanya sudah berada disampingku. Aku hanya melenggong melihatnya mengulurkan tangan. Tidak mengerti maksudnya.
"Arina Eka Putri. Mari kita berjabat tangan sebagai awal mula perkenalan kita."
"O-Oh iya, baiklah." Aku menyambut uluran tangannya. Entah hanya perasaanku atau apa. Dari sentuhan tangannya, mengalirkan sebuah aliran listrik penuh kehangatan ke sekujur tubuhku. Aku terkesima.
"Fachri Gunawan."
"Arina Eka Putri." Aku mematung dari tempatku. Tidak tahu harus berbuat apalagi. Pikiranku buyar. Hal itu kututup dengan ukiran senyum manis di mulutku. Sampai akhirnya Papa kembali menyahut mengakhiri suasana canggung itu,
"Baiklah. Karena mereka berdua sekarang sudah saling kenal. Ayo kita duduk."
Selanjutnya Papa dan pria paruh baya bernama Hendrik itu berdiskusi soal bisnis mereka. Dari obrolan mereka aku sedikit mengerti, pernikahan ini bertujuan membangun kerjasama bisnis dengan ikatan keluarga. Keluarga Gunawan yang beranggotakan Hendrik, Lisa, Fachri, dan Alysa telah menantikan kerjasama semacam ini. Ia mengandalkan putra sulungnya, Fachri untuk memikatku.
Jauh di relung hatiku aku sedih menerima kenyataan pernikahanku tidak berdasarkan cinta atau suka sama suka. Melainkan hanya persoalan bisnis semata. Mau menolakpun tak bisa. Ancaman Papa sungguh membungkam segala bentuk protesku. Aku hanya dapat mengurung rasa kesalku atas ketidakberdayaanku menolak perjodohan ini dalam hati.
Beberapa kilas pandangku menatap Fachri yang duduk tepat disebelahku. Melempar senyum sesekali padanya dan mengamati raut wajah pria itu. Pria itu begitu tenang dan berkharisma. Ia benar-benar berusaha membuat figurnya tetap terjaga. Apa bisa pria sesempurna dia mencintai diriku yang urakan dan tak mau diatur? Hidupku sepertinya memang diambang kehancuran. Tidak akan dicintai suamiku sendiri.
"Alysa ingin mengenal, Kak Rin." Sebuah tangan mungil menarik-narik ujung dressku dari samping. Aku menoleh kearahnya. Sosok gadis kecil berambut perak dengan mata yang lebar dan menggemaskan menatapku polos. Aku tak bisa menahan senyum darinya. Langsung saja tanganku terulur menggendong si mungil ini keatas pangkuan.
"Siapa namamu adik kecil?" Tanyaku lembut.
"Alysa. Alysa ingin mengenal Kak Rin." Pintanya sekali lagi mengulang perkataannya. Aku tertawa mendengarnya. Tanganku beralih mencubit pipi buntal sang gadis. Tak kuasa menahan rasa gemasku.
"Hmm, Kak Rin itu orangnya suka sekali sama anak secantik, Alysa." Ungkapku jujur. Sedari dulu, aku menyukai anak kecil seumuran Alysa. Mungkin dengan hadirnya Alysa disini, rasa jenuh dan bosanku mendengar diskusi ala orang tua diantara Papa dan orang bernama Hendrik itu bisa sedikit terobati.
"Benar kah Kak Rin menyukai Alysa? Alysa senang!" Alysa menepuk-nepukan tangannya gembira. Aku yang tak mampu lagi membendung rasa gemasku kedua kalinya memeluk erat si gadis. Membiarkan gadis itu menggeliat dalam dekapanku.
"Itu benar, Alysa. Ngomong-ngomong kenapa kau ini cantik sekali sih? Kak Rin jadi ingin mengadopsimu. Bagaimana jika Alysa tinggal bersama Kak Rin saja? Kak Rin sendirian di rumah. Sepi rasanya berada di rumah sendirian." Untuk yang satu itu, aku benar-benar tidak ingat aku sedang berada dimana. Tak ayal. Tante Lisa, terkikik geli mendengar jawabanku itu. Aku yang mendengarnya sontak tersadar bahwa aku menjadi satu-satunya pusat perhatian orang disekelilingku.
Tante Lisa menyikut rusuk putranya yang sedari tadi terdiam, "kau mendengarnya kan, Fachri? Istrimu sudah tidak sabar memiliki anak darimu. Ia ingin ditemani seorang anak kecil di rumahnya. Jangan membuat Mama menunggu terlalu lama ya!" Titah Tante Lisa genit.
Wajahku merah padam mendengar godaannya. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Malu dengan perkataanku sendiri. Samar-samar sebelum menunduk aku juga melihat rona merah di kedua pipi Fachri meskipun ia tak merespon perkataan ibunya.
"Gimana? Sudah senang dengan keluarga calon suamimu sekarang? Fachri itu berasal dari keluarga yang baik-baik. Kau tidak perlu khawatir lagi, Arinku sayang." Mama berbisik. Aku hanya berdehem ringan menghindari serangan bertubi-tubi dari Mama dan Tante Lisa.
Untungnya sajian makanan datang melerai permasalahan itu. Belasan menu makanan mulai memadati seisi meja. Aku nyaris tidak bernafas menahan malu akibat ulah perkataanku sendiri. Sekarang aku bisa menghembuskan napas lega. Sebab orang-orang disekelilingku mulai mengalihkan atensinya.
Perhitunganku ternyata meleset. Selepas kepergian Alysa dari pangkuanku. Dentingan gelas yang diketuk Papa mencuri perhatian orang-orang disekelilingku. Termasuk juga orang yang tidak berada satu meja denganku. Mereka semua menengok kearah Papa. Baru kusadari ternyata pengunjung di restoran ini bukan sembarang orang. Mereka semua adalah rekan dan mitra bisnis Papa. Aku membeliakan mata terkejut dengan hadirnya teman-temanku di tempat ini. Aku merasakan satu firasat yang tidak mengenakkan.
"Perhatian-perhatian. Sebelum kita memakan hidangan yang telah disajikan. Kita akan melaksanakan prosesi pertunangan putra putri kami tercinta. Harap pengunjung dapat bersikap lebih tenang saat prosesi berlangsung." Lututku seketika lemas mendengar Papa berbicara. Kenapa semua serba mendadak seperti ini? Aku belum mempersiapkan mentalku untuk hal semacam itu.
Oh, matilah aku.
Seharusnya aku paham tujuan papa berkeras hati membawaku kemari. Toh pernikahan akan dilaksanakan minggu depan. Tidak ada waktu lagi melaksanakan pertunangan selain detik ini juga.
"Fachri." Hendrik memberi isyarat. Fachri langsung menanggapinya dengan satu anggukan mantap seolah mengerti maksud perkataan Ayahnya.
Gemetar perasaan gugup melanda hati dan seluruh anggota tubuhku. Terlebih saat Fachri beranjak dari tempatnya. Mendekatiku yang kemudian berlutut menekukan satu kakinya menyentuh ubin lantai marmer. Aku meyakini jantungku hendak melompat keluar detik itu. Fachri merogoh sesuatu dari saku celana kainnya.
"Rin." Ia memanggil namaku. Memintaku untuk menatapnya langsung. Astaga bagaimana bisa Fachri memasang ekspresi setenang dan setegas itu dengan posisinya itu. Apa dia tidak merasa tegang ataupun gelisah sama sekali? Aku benar-benar takjub. Pria ini benar-benar memiliki kharisma.
"Aku ingin memberimu ini sebagai tanda bahwa mulai sekarang dan seterusnya kau adalah milikku seorang. Dengan ikatan pertunangan ini. Kita akan melanjutkan hubungan kita ke tahap yang lebih serius." Ia mengambil jeda tarikan napas.
"Arina Eka Putri, will you marry me?" Binar kesungguhan terpancar dari manik mata Fachri. Aku tidak habis akal. Apa Fachri pernah memendam rasa padaku sehingga ia benar-benar menghayati acara prosesi pertunangan ini?
Tapi tidak ada waktu untuk berpikir. Aku harus segera memberi jawaban. Mengingat situasi yang melibatkanku, aku tidak yakin diberi opsi untuk menolak ajuan lamaran Fachri. Aku pun masih punya muka di khalayak banyak orang begini.
Tidak ada pilihan selain..
"Yes i do."
Diubah oleh Veritonix 22-04-2016 10:05
0
Kutip
Balas