- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#1465
PART 63
“Kenapa sih cowok selalu kayak gini? Waktu ada maunya aja sok-sokan ngertiin sepenuh hati, giliran udah kesampaian dengerin aja enggak mau!”
“He? Sok-sokan ngertiin? Enggak mau dengerin?” Gue mencoba menjelaskan keadaan, “Tunggu, kok jadi gue? Kan lo yang ngegantungin gue Yu.”
“Kamu tuh ngomongin apa sih?!” Masayu berjalan meninggalkan gue, “Bete lama-lama!”
“Lhoh, Yu….”
Kok jadi gini?! Kenapa dia yang marah? Aturan juga gue yang marah. Hampir dua minggu dia gantungin gue dan waktu gue minta jawaban dia malah marah kayak gini. Cowok yang enggak bisa memahami apa cewek yang enggak mau dipahami? bodo ah!
“Kak Ayu hamil?”
“Ha?” gue menengok ke belakang.
Inah menatap gue dengan muka shock, “Seriusan Kak Ayu hamil?!”
“Hamil? Masayu hamil?!”
Gue tarik nafas dalam-dalam, gue tahan lima detik lalu gue hembuskan perlahan. Gue mencoba memahami percakapan dan kondisi yang terjadi barusan.
“Kakak tega banget sama kak Ayu! Sejak kapan kakak jadi PK gini?! Mut laporin ke Mama!”
“Heh, lo dengerin gue dulu.” Gue tarik kuping Inah, “Masayu tuh enggak hamil, lo dengernya setengah doang.”
“Kak Ayu enggak hamil?” Inah kelihatan berpikir serius, “Kakak mandul?”
“Ha? Ma … mandul, mandul dari mana coba?!”
Arrgh! Ini pasti efek dari adek gue kebanyakan nonton sinetron. Kurang ajar kalian para pembuat cerita sinetron tentang mandul!
Gue tarik tangan Inah ke arah sofa di lantai dua, “Lo duduk, gue cerita.”
Setelah menjelaskan sebegitu detil ke Inah, akhirnya dia paham. Baru gue selesai menjelaskan ke Inah, tiba-tiba mas Roni dan mbak Irma mendatangi gue dengan wajah murka.
“Kae nangis mbok kapake?” tanya mas Roni.
Mbak Irma melempar wedgesnya ke arah gue, “Kenapa Masayu nangis? Jawab!”
Kenapa Masayu nangis? Kenapa? Ya mana gue tahu! Sebelum dia meninggalkan gue dia sempat bilang kalo dia bete, kenapa sekarang dia malah nangis?
Dengan kampretnya Inah menjawab, “Tadi kak Dawi sama kak Ayu ngomongin hamil gitu, terus kayaknya kak Ayu kesel sama jawaban kakak.”
Mbak Irma mengambil wedgesnya lagi, “Kamu hamilin dia Wi?! Eh, dasar ini anak!”
Gue beranjak dari sofa mencoba menjelaskan, “Enggak mbak! Dia enggak hamil!”
Mas Roni mencoba menangkap gue, untungnya gue bisa melarikan diri. Gue berlari menuruni tangga dan keluar dari villa. Sewaktu gue tengok kebelakang, mas Roni mengejar gue dengan tatapan pembunuh. Gue berlari ke arah jalan aspal sekuat yang gue bisa, kalo gue ketangkep mas Roni bisa-bisa gue dihajar habis-habisan.
“Mas, dengerin aku dulu!” teriak gue sambil terus berlari.
Mas Roni membalas dengan teriakan juga, “Makanya sini berhenti dulu Wi!”
“Enggak! Mas aja yang berhenti!”
Ditengah pelarian kita melewati sebuah warung kopi, dan di warung kopi itu ada Pepy.
“Kenapa Wi? Kok kejar-kejaran?” seru Pepy.
“Dia hamilin Masayu!” teriak mas Roni?”
“Ini salah paham!” Nafas gue mulai habis, “Ini semua salah paham!”
Ketika gue tengok ke belakang, muka gue mendadak pucat. Enggak cuma dikejar mas Roni, ternyata Pepy dan beberapa orang yang tadi sempat gue lihat di warung kopi ikut mengejar gue.
“Tangkap dia! Jangan kasih lolos!”
“Kejar!”
“Cabutin bulu pantatnya!”
Gue udah kehabisan akal, bener-bener kehabisa akal. Gara-gara salah paham gue sampe diuber orang sekampung. Kalo sampe gue ketangkep bisa-bisa bendera kuning nancep di depan kosan. Demi menyelamatkan diri, gue berlari memasuki hutan. Setahu gue maling yang lagi dikejar masa kebanyakan lolos ketika memasuki hutan, jadi gue berasumsi kalo gue lari ke hutan gue bakalan lolos.
Sewaktu gue tengok lagi ke belakang, ternyata asumsi gue salah. Orang-orang dari warung kopi tadi memang sudah merelakan kelolosan gue, tapi mas Roni sama Pepy enggak. Kecepatan kaki gue melambat, gue nyerah. Kalo gue terusin lari juga percuma, enggak ada ceritanya bisa kabur dari polisi sama anak parkour.
“Sekarang kamu ngomong jujur sama kita!” bentak mas Roni.
“Kenapa sih cowok selalu kayak gini? Waktu ada maunya aja sok-sokan ngertiin sepenuh hati, giliran udah kesampaian dengerin aja enggak mau!”
“He? Sok-sokan ngertiin? Enggak mau dengerin?” Gue mencoba menjelaskan keadaan, “Tunggu, kok jadi gue? Kan lo yang ngegantungin gue Yu.”
“Kamu tuh ngomongin apa sih?!” Masayu berjalan meninggalkan gue, “Bete lama-lama!”
“Lhoh, Yu….”
Kok jadi gini?! Kenapa dia yang marah? Aturan juga gue yang marah. Hampir dua minggu dia gantungin gue dan waktu gue minta jawaban dia malah marah kayak gini. Cowok yang enggak bisa memahami apa cewek yang enggak mau dipahami? bodo ah!
“Kak Ayu hamil?”
“Ha?” gue menengok ke belakang.
Inah menatap gue dengan muka shock, “Seriusan Kak Ayu hamil?!”
“Hamil? Masayu hamil?!”
Gue tarik nafas dalam-dalam, gue tahan lima detik lalu gue hembuskan perlahan. Gue mencoba memahami percakapan dan kondisi yang terjadi barusan.
“Kakak tega banget sama kak Ayu! Sejak kapan kakak jadi PK gini?! Mut laporin ke Mama!”
“Heh, lo dengerin gue dulu.” Gue tarik kuping Inah, “Masayu tuh enggak hamil, lo dengernya setengah doang.”
“Kak Ayu enggak hamil?” Inah kelihatan berpikir serius, “Kakak mandul?”
“Ha? Ma … mandul, mandul dari mana coba?!”
Arrgh! Ini pasti efek dari adek gue kebanyakan nonton sinetron. Kurang ajar kalian para pembuat cerita sinetron tentang mandul!
Gue tarik tangan Inah ke arah sofa di lantai dua, “Lo duduk, gue cerita.”
Setelah menjelaskan sebegitu detil ke Inah, akhirnya dia paham. Baru gue selesai menjelaskan ke Inah, tiba-tiba mas Roni dan mbak Irma mendatangi gue dengan wajah murka.
“Kae nangis mbok kapake?” tanya mas Roni.
Mbak Irma melempar wedgesnya ke arah gue, “Kenapa Masayu nangis? Jawab!”
Kenapa Masayu nangis? Kenapa? Ya mana gue tahu! Sebelum dia meninggalkan gue dia sempat bilang kalo dia bete, kenapa sekarang dia malah nangis?
Dengan kampretnya Inah menjawab, “Tadi kak Dawi sama kak Ayu ngomongin hamil gitu, terus kayaknya kak Ayu kesel sama jawaban kakak.”
Mbak Irma mengambil wedgesnya lagi, “Kamu hamilin dia Wi?! Eh, dasar ini anak!”
Gue beranjak dari sofa mencoba menjelaskan, “Enggak mbak! Dia enggak hamil!”
Mas Roni mencoba menangkap gue, untungnya gue bisa melarikan diri. Gue berlari menuruni tangga dan keluar dari villa. Sewaktu gue tengok kebelakang, mas Roni mengejar gue dengan tatapan pembunuh. Gue berlari ke arah jalan aspal sekuat yang gue bisa, kalo gue ketangkep mas Roni bisa-bisa gue dihajar habis-habisan.
“Mas, dengerin aku dulu!” teriak gue sambil terus berlari.
Mas Roni membalas dengan teriakan juga, “Makanya sini berhenti dulu Wi!”
“Enggak! Mas aja yang berhenti!”
Ditengah pelarian kita melewati sebuah warung kopi, dan di warung kopi itu ada Pepy.
“Kenapa Wi? Kok kejar-kejaran?” seru Pepy.
“Dia hamilin Masayu!” teriak mas Roni?”
“Ini salah paham!” Nafas gue mulai habis, “Ini semua salah paham!”
Ketika gue tengok ke belakang, muka gue mendadak pucat. Enggak cuma dikejar mas Roni, ternyata Pepy dan beberapa orang yang tadi sempat gue lihat di warung kopi ikut mengejar gue.
“Tangkap dia! Jangan kasih lolos!”
“Kejar!”
“Cabutin bulu pantatnya!”
Gue udah kehabisan akal, bener-bener kehabisa akal. Gara-gara salah paham gue sampe diuber orang sekampung. Kalo sampe gue ketangkep bisa-bisa bendera kuning nancep di depan kosan. Demi menyelamatkan diri, gue berlari memasuki hutan. Setahu gue maling yang lagi dikejar masa kebanyakan lolos ketika memasuki hutan, jadi gue berasumsi kalo gue lari ke hutan gue bakalan lolos.
Sewaktu gue tengok lagi ke belakang, ternyata asumsi gue salah. Orang-orang dari warung kopi tadi memang sudah merelakan kelolosan gue, tapi mas Roni sama Pepy enggak. Kecepatan kaki gue melambat, gue nyerah. Kalo gue terusin lari juga percuma, enggak ada ceritanya bisa kabur dari polisi sama anak parkour.
“Sekarang kamu ngomong jujur sama kita!” bentak mas Roni.
Diubah oleh dasadharma10 14-04-2016 14:16
JabLai cOY memberi reputasi
1


