Kaskus

Story

dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Yaudah, gue mati aja

Cover By: kakeksegalatahu


Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.





Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue



emoticon-Bettyemoticon-Betty emoticon-Betty



----------




SECOND STORY VOTE:
A. #teambefore
B. #teamafter
C. #teamfuture

PREDIKSI KASKUSER = EMIL



----------



PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.



----------


Spoiler for QandA:


WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+



NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY


Spoiler for Ilustrasi:


Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.


Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
JabLai cOYAvatar border
mazyudyudAvatar border
xue.shanAvatar border
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#1369
PART 60

Mobil yang dipake akhirnya adalah mobil koh Wahyu, karena ada satu penumpang yang enggak terdaftar tiba-tiba ikut. Di bagian tengah ada empat cewek rempong, Inah, Emil, mbak Irma dan Masayu. Di kursi sopir ada mas Roni, dan disebelahnya adalah penumpang yang enggak terdaftar, Pepy. Gimana ceritanya dia bisa ikut? Mas Roni kekurangan personil buat menjaga empat cewek, jadi dia menawarkan kursi navigator pada Pepy sewaktu mengantar gue pulang.

Dimana gue? Di bagian belakang mobil. Knalpot? Bukan, gue enggak sehina itu. Gue duduk di seat belakang bersama barang-barang persediaan buat di villa nanti. Yah, setidaknya gue enggak duduk sendirian, masih ada barang-barang yang setia menemani.

Gue dan Masayu masih belum mengobrol sejak kita ketemu di kosan. Gue enggak tahu apa penyebabnya, padahal gue sempat menyapa dan mencoba mengajaknya mengobrol tapi dia hanya membalas yang menurut gue sekenanya aja. Apa iya dia semarah itu sama gue gara-gara gue menyatakan perasaan gue? Entahlah, perasaan cewek siapa yang tahu.

Perjalanan menuju villa mbak Irma di kaliurang enggak terlalu berkesan. Iyalah, gimana mau berkesan, orang gue aja ditaruh dibelakang, dicuekin sama barang-barang, sementara mereka berenam seru banget. Bahkan sewaktu berhenti buat drive-thru di salah satu restoran fast food, gue hampir enggak dibeliin apa-apa. Kampret emang, enggak lagi-lagi gue nembak cewek kalo akhirnya dicuekin kaya gini, mending nunggu ditembak aja udah. Masalah gentle atau enggak, bodo amat, emansipasi wanita, cowok juga boleh nungguin ditembak. Kalo semisal sampe akhir enggak ada yang nembak gue? Ah, gue belum mikir sampe kesitu.

Sesampainnya di villa kita langsung masuk menata barang-barang. Kata mbak Irma kemarin malem tukang bersih-bersih baru selesai bersih-bersih jadi kinclongnya ini villa kerasa banget. Mungkin kalo di nilai dari keseluruhan villa dari luar sampe daleman sekitar delapan koma. Yang jadi nilai plus, villa ini punya gazebo di bagian depan yang menurut gue enggak kalah keren dari arsitektur villanya.

Enggak perlu dijelaskan, gue dan yang lain juga tahu kalo setiap sudut kota Jogja punya sisi misteri tersendiri, begitu juga villa mbak Irma ini.

“Nah, lo jangan macem-macem ya disini, perasaan gue enggak enak,” bisik gue.
Inah menaikkan sebelah alisnya, “Pusssssyyyy….”
“Lo kalo kakak lagi ngomong didengerin. Pokoknya jangan buang pembalut sembarang—”
“WORTH IT!!”
“Soalnya kalo difilm buang pemba—”
“WORTH IT!!”
“Apa sih?! Worth it- worth it mulu!” ucap gue kesal.
Mbak Irma nyengir ke arah gue, “Enggak nyesel tabunganku habis buat beli villa, worth it banget!”
“Bodo!” Gue meninggalkan yang lain dan mulai membawa barang-barang ke dalam villa.

Mulut gue asem banget daritadi senyum pura-pura paham diajakin mas Roni sama Pepy bahas bola. Gila aja, mereka bahas klub bola yang namanya aja gue belum pernah denger. Udah gitu mereka bahasnya tentang pemain yang udah jadi legenda, mana gue tau. Gue diajakin Pepy main Pro Evolution Soccer liga Inggris aja masih sering salah pasang pemain, apalagi bahas klub bola yang mungkin asalnya dari Eskimo.

“Mas, pinjem kunci mobil dong,” ucap gue.
Mas Roni menatap gue tajam, “Mau kemana?”
“Cari rokok.”
Pepy memutar badan gue, “Emang masih ada duit?”

Kampret, gue lupa duit gue udah abis buat bayar parfum yang dipecahin Grace.

Mas Roni melemparkan kunci mobil, “Ambil aja di mobil, kayaknya tadi aku liat ada rokoknya Wahyu di board.”

Tanpa basa-basi gue langsung menjauhi mereka berdua. Bola? Apa sih bagusnya bola?! Mas Roni sama Pepy kayaknya fanatic banget sama Manchester, sampe-sampe mereka hafal nama pemain yang udah pensiun juga. Kalo gue mah tetep Liverpool, kecap bango, jerseynya keren, ada John Terry juga.

Gue salah? Biarin. Gue males buat hafalin nama-nama pemainnya. Sebenernya guee bukannya males buat ngehafal nama-nama mereka, mungkin lebih tepatnya gue trauma. Pernah sewaktu gue mau beli jersey bola buat futsal di kampus, gue nanya mas Roni, “Mas, warna jersey Manchester itu apa? Pemainnya yang keren itu siapa? Strikernya siapa?”

Mas Roni jawab, “Manchester tuh warna merah, Chicarito tuh striker keren, iya kayaknya striker posisinya.”

Karena gue ragu dengan jawaban mas Roni, gue nanya sama koh Wahyu dengan pertanyaan yang sama.

Dan koh Wahyu jawab, “Warna biru Wi, Strikernya Dzeko, keren banget permainannya.”

Gue bertanya pada dua orang yang menurut gue paham bola, dan hasilnya beda. Jelas itu sempat membuat gue bingung dengan hasil observasi gue, tapi akhirnya gue tetap berangkat beli jersey dengan informasi yang minim.

“Bang, beli jersey dong, Manchester warna merah. Yang namanya Dzeko ada?” tanya gue.
“Wah, enggak ada tuh bang,” jawab penjualnya.
“Oh, kalo Manchester warna biru pemainnya Chicarito ada?”
Penjual itu menggeleng, “Kalo enggak ngerti bola jangan beli, cupu!”

Sesampainya di kosan gue curhat sama koh Wahyu dan setelah dia menjelaskan ke gue, dia bego-begoin gue.

Gue keluar villa, gue buka kunci mobil, dan gue masuk ke dalam mobil. Akhirnya gue bisa santai sebentar setelah diperintahkan buat beres-beres secara paksa. Rokok, iya rokok, gue segera mencari keberadaan rokok yang disebutkan mas Roni. Hasilnya nihil, gue enggak menemukan sebatang pun.

Mas Roni sempat bilang sama gue kalo rokok itu di bagian board, mungkinyang dia makud kotak bagian depan dashboard. Gue segera mengulurkan tangan gue dari kursi sopir ke depan kursi navigator. Gue raba-raba, ada sebuah bentuk persegi, tapi yang ini padan dan lumayan berat. Sewaktu gue ambil, pistol.

Pistol asli?! Gila! Kenapa ada pistol disini?! Wah, ini sih cari gara-gara, menyimpan pistol sembarangan kayak gini, udah pasti bakalan ketahuan sama yang lain kalo di sini. Atau mas Roni sengaja menyimpan di boks depan mobil biar yang lain enggak curiga dan mengira pistol mainan? Gue enggak tahu, gue harus jauh-jauh dari pistol ini. Apapun maksud mas Roni bawa pistol ini, gue harus pura-pura enggak tahu kalo dia bawa pistol. Seperti kata koh Wahyu, lebih baik gue enggak macem-macem sama latar belakang mas Roni.

Belum jadi memasukkan pistol ke boks asalnya, pistol itu bergetar. Bukan, lebih tepatnya tangan gue yang bergetar. Tubuh gue kaku, keringat mulai menetes dari jidat gue. Sepasang mata menatap gue tajam. Mas Roni mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah gue. Dia mulai berjalan cepat ke arah gue. Kampret! Gue bakal mati, gue bakal mati!
JabLai cOY
JabLai cOY memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.