- Beranda
- Stories from the Heart
Sembunyi Sembunyi Sayang
...
TS
chocolavacake
Sembunyi Sembunyi Sayang
“
No one can separate us
No one
- TSH -
No one can separate us
No one
- TSH -
Spoiler for Index:
Prolog
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Spoiler for Prolog:
Apa sihyang terlintas di pikiran kalian ketika mendengar kota 'Jember'?
Anang Hermansyah? Dewi Persik? Opick? Atau Tembakau? Benar, mereka berasal dari Jember dan deretan nama itu sudah jadi langganan saat aku mencoba memperkenalkan diri dengan menyisipkan kota asalku.
Kalau kalian punya waktu, datanglah kemari. Bagiku dan mungkin bagi siapapun yang lahir di tanah ini, Jember adalah sebuah mahakarya. Kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, maka menurutku Jember diciptakan ketika Tuhan sedang berbahagia. Lihat saja, kabupaten ini memiliki wilayah dari pegunungan hingga lautan. Di daerah utara sana, membentang gagah Pegunungan Hyang dengan Gunung Argopuro sebagai atapnya. Di bagian timur, berjajar rangkaian Pegunungan Ijen yang selalu mewarnai keindahan matahari terbit di waktu fajar. Sedangkan di wilayah selatan terhampar Samudra Hindia yang katanya menjadi teritorial Ratu Pantai Selatan. Tak hanya itu, mungkin karena benar saat itu Tuhan sedang berbahagia, wilayah kami dikaruniai tanah yang subur. Padi, jagung, tembakau, kopi, kakao, serta beragam jenis tanaman dapat tumbuh di sini. Sungai Bedadung yang mengalir dari Pegunungan Hyang di bagian Tengah, Sungai Mayang yang bersumber dari Pegunungan Raung di bagian timur, dan Sungai Bondoyudo yang bersumber dari Pegunungan Semeru di bagian barat, bahu membahu membantu kami mengairi irigasi para petani. Banyak hal yang harus kalian ketahui tentang tempat kelahiranku ini, nanti akan aku ceritakan.
Tapi, selain besarnya kekayaan alam yang dianugrahkan Yang Maha Agung, ada satu hal yang membuatku selalu rindu untuk pulang.
Kenangan.
Benar, sehebat dan seagung apapun seseorang pasti memiliki kenangan, yang akan selalu tersimpan di otaknya, mambantu dalam bertahan, atau bahkan sebagai motivator untuk berjuang. Masa laluku, yang selanjutnya tertata rapi dalam gelembung-gelembung kenangan, membekas indah pada dinding-dinding putih sebuah sekolah.
Mungkin kalian sudah berulang kali membaca novel, cerpen, atau menonton film, sinetron, FTV, dengan latar belakang SMA. Akupun tidak membantah, karena seperti orang-orang bilang, SMA merupakan masa yang paling indah. Betapa tidak, topik tak terhingga selalu dapat dibahas dan menjadi gelak tawa saat reuni berlangsung. Tawa, tangis, canda, lara, cinta, setiap dari kalian pasti mengalaminya. Begitu juga aku.
Ada berjuta kisah berlatar SMA yang jauh lebih baik dan tersaji dengan apik di luar sana. Tapi ini kisahku, aku hanya ingin bercerita, berbagi gelembung kenangan yang selalu aku tutup rapat sebelumnya.
Spoiler for Gelembung 1: Ficus benjamina:
Yang aku ingat, hari itu bukanlah hari terbaikku. Karena sejak awal, aku bingung harus bagaimana.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Diubah oleh chocolavacake 21-11-2020 13:55
anasabila memberi reputasi
1
35.5K
Kutip
295
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.7KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chocolavacake
#180
Spoiler for Gelembung 18: Ultimatum Nafla:
“Naya gimana, Fla?” tanyaku sesaat setelah tiba di rumah sakit.
“Dia udah sadar tadi. Tapi kata dokter biar dia istirahat dulu,” jawab Nafla pelan. Ia tak lagi menangis, namun kedua matanya tak dapat menyembunyikan derasnya air mata yang keluar sejak tadi.
“Kamu di sini kan, Ji? Aku mau pulang bentar, mau ngabarin mama. Hapeku mati soalnya,” lanjutnya.
“Iya, Fla. Pulang dulu aja nggak papa.”
“Yaudah yuk, aku anterin,” sela Rama tiba-tiba.
“Makasih ya, Ji. Kalo ada apa-apa kabarin aku,” ucap Nafla mengakhiri pembicaraan kami. Lalu ia pergi meninggalkanku bersama Rama.
Sejenak aku bersandar di dinding tepat di depan pintu tempat Naya di rawat. Aku masih tak percaya apa yang aku alami hari ini. Beberapa waktu lalu aku masih duduk berdua dengannya, bercerita dan tertawa. Bila ini mimpi buruk, aku ingin segera bangun dan kembali ke hidupku semula.
Aku membuka pintu perlahan, lalu segera menutupnya ketika tubuhku sudah berada di sana. Aku berjalan mendekati ranjang yang ditiduri Naya, ia masih pulas dalam istirahatnya, namun napasnya terkesan sesak. Aku masih memerhatikan wajahnya yang terlihat manis saat tidur. Wajah itu begitu lugu, membuat aku yang melihatnya ingin langsung memeluknya, tapi aku tak berani dan masih menahan diri. Selimut yang terjatuh ke lantai langsung saja kupungut dan kuletakkan di atas tubuhnya. Ia mendengus pelan, napasnya sangat hangat, pipinya memerah. Tanpa pikir panjang, telapak tanganku menyentuh keningnya.
“Aji..” ucap Naya samar saat perlahan membuka matanya.
“Iyaa, kamu ngerasa apa Nay? Sakit? Biar aku panggilin dokter ya,” kataku lembut sambil mengusap kepalanya.
Dengan tenaga yang ia punya, Naya menggelengkan kepala tanda ia tidak memerlukan dokter.
“Aku nggak papa kok, kamu jangan sedih begitu mukanya..”
“Iya aku percaya, tapi aku panggilin dokter ya, biar kamu cepet sembuh.”
Naya kembali menggelengkan kepalanya, “aku sudah punya dokter sendiri, Ji,” ucapnya pelan.
“Yaudah kalo begitu sini biar aku telfon, hp kamu mana?” tanyaku sambil mencari handphone Naya berada.
Sekilas aku melihat Naya tersenyum, lalu tiba-tiba sebuah telapak tangan mendarat di dadaku,
“Ini dokternya.”
Hhh. Aku menghela napas lalu tersenyum memandangnya. Sekali lagi, ia melambungkan perasaanku meski kondisinya sedang tak sehat.
“Nafla ke mana?”
“Pulang dulu mau ngabarin mamanya, ntar dia kesini lagi,” jawabku.
Ku dekatkan kursi agar berada paling dekat dengan tempat Naya berbaring. Tak lama, Naya kembali menggenggam tanganku.
“Mukanya jangan ditekuk lagi ya, aku nggak kenapa-kenapa kok,” kembali Naya menghiburku. Harusnya aku yang menghiburnya, namun sepertinya ia membaca raut wajahku sejak membuka mata tadi.
“Kalo nggak kenapa-kenapa, terus apa kamu di sini?”
Tiba-tiba keheningan menyergap aku dan Naya. Tak sepatah kata pun ia ucapkan. Aku sadar pertanyaanku barusan memukulnya telak. Kami terdiam cukup lama sebelum akhirnya seorang perawat masuk ke ruangan kami sambil membawa makanan untuk Naya.
“Udah bangun ya? Saya panggilin dokter dulu ya,”
“Emm, mbak, ini boleh dimakan sekarang?”
“Boleh kok boleh,” jawab perawat itu sambil tersenyum lalu pergi meninggalkan kami.
“Yes, akhirnya giliran aku yang nyuapin kamu Nay, hehehe”
“Emoh ah, emoh makan.”
“Lah kenapa? Kamu dari pagi belum makan yang berat-berat kan?”
“Udaaah koook, tadi aku maem lupis begitu.”
“Itu kan njajan Nay.”
“Samaaa..” ucapnya manja.
“Wes ah, mau maem nggak ini? Kalo nggak aku pulang nih.”
“Emooh, masa kamu tega ninggalin aku sendirian.”
“Yaudah maem sini aku suapin.”
Bibir Naya kontan cemberut lucu. Mata bulatnya melirik kesal padaku. Namun ia tak lagi mengoceh, suap demi suap dengan telaten aku lakukan, sesekali diiringi gelak tawanya karena candaanku.
“Makasih ya Ji,” Naya mengusap punggung tanganku. Siang ini mungkin aku adalah manusia paling bahagia di muka bumi, ucapan terima kasih dari Naya membuatku seperti melayang, mengingat pagi ini ia membuatku sangat gelisah.
Lalu tiba-tiba suara ponsel berdering membuyarkan keheningan kami, ponsel Naya.
“Halo..” ucapku saat menjawab panggilan di handphone Naya. Ini dari Nafla.
Beberapa detik berselang, tak terdengar suara Nafla. Hanya riuh rendah kendaraan.
“Fla?” tanyaku kemudian.
Masih tak bergeming. Naya menatapku, mengisyaratkan sebuah pertanyaan tentang apa yang kami bicarakan. Aku hanya mengangkat bahu.
“Ji, aku di parkiran depan. Aku tunggu di sini, sekarang!” tiba-tiba Nafla berbicara dengan cepat namun cukup jelas untuk ku dengar.
“Parkiran? Em, ngapain? Ini Naya nggak ada yang nemenin, mending kamu kesi..”
“Ji!” Nafla memotong ucapanku, “se ka rang!”
Seketika panggilan Nafla terputus. Diputus lebih tepatnya. Aku dan Naya saling pandang, serta bingung satu sama lain. Ia bingung apa yang baru saja dikatakan Naya, sedangkan aku bingung harus berkata apa. Segalanya terjadi begitu saja. Yang aku tahu, Nafla tidak memintaku untuk menemuinya di luar, ia memerintahku.
“Emm, aku keluar bentar ya, nggak papa kan aku tinggal bentar?”
“Mau ke mana? Ini saja aku belum abis maemnya,” kata Naya setengah menggerutu.
“Bentar tok, nggak sampe lima menit, janji!”
“Ngapain sih? Nafla suruh ke sini aja”
“Emm anu, dia cuma mampir, mau nganterin sesuatu katanya. Iya, gitu.”
“Emooh, kamu di sini aja pokoknya,” satu lenganku dibekapnya erat.
“Bentar tok Nay, abis itu aku langsung balik ke sini kok, janji!”
Naya menghela napas, kedua tangannya tak lagi membekap tanganku erat, “Lima menit ya, awas kalo telat,” ucapnya sedikit kesal.
“Okee, aku tinggal bentar ya,” kataku lalu mengecup keningnya.
Naya masih terlihat cemberut, namun urat di pipinya menunjukkan ia sedikit tersenyum setelah kecupanku mendarat di keningnya.
“59, 58, 57, 56..” Naya tiba-tiba mengitung mundur. Aku segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Di perjalanan ke luar, aku berpapasan dengan tiga orang yang sedang terburu-buru berjalan ke arah tempatku berasal. Satu dari tiga orang itu adalah seorang wanita, kutaksir sekitar 40 tahun usianya. Dua orang lain, pria, sepertinya sebaya denganku. Meski hanya sekelebat, terlihat jelas sebuah mimik wajah khawatir tersirat di wajah mereka. Tapi tunggu, salah satu lelaki itu, yang sedang berjalan mengiringi seorang wanita di tengahnya, aku mengenalnya. Bahkan ia sempat tersenyum saat melihatku tadi. Ya, dia lelaki yang sempat menjadi belatung beberapa waktu lalu.
Bagas.
“Kenapa nggak masuk saja sih? Naya sendirian di dalem ga ada yang nemenin,” ucapku sesaat setelah menghampiri Nafla.
Lagi-lagi, seperti yang ia lakukan di telepon tadi, Nafla tak bergeming. Terpaku menatapku di atas motornya.
“Haloo Nafla.. Naya didalem nggak ada yang nemenin, mau nyampe kapan kita di sini?” aku mulai kesal dengannya, terlebih aku tak lagi tahu ini sudah menit ke berapa.
“Ayo pulang Ji!” ucap Nafla tiba-tiba mengagetkanku.
“Pulang? Jadi kamu nyuruh aku ke sini buat ngajakin pulang?” tanyaku setengah emosi.
Nafla kembali tak bergeming, kini kedua matanya semakin tajam menatapku. Aku tak peduli, kubalikkan badan untuk beranjak pergi, sudah lebih lima menit aku meninggalkan Naya.
“Naya sudah ada yang nemenin Ji.”
Aku menghentikan langkah mendengar kalimat yang dikatakan Nafla.
“Siapa? Aku di sini, kamu di sini. Satu-satunya orang yang kenal Naya ada di...” ucapanku seketika terhenti, teringat seseorang yang sempat aku lihat saat di perjalanan kemari. Nafla masih menatapku tajam, ia sadar aku mulai mengerti ucapannya tadi.
“Iku aku!” ujarnya lalu pergi menuju ke dalam rumah sakit. Tanpa dikomando aku jelas mengikuti langkahnya, menuju ruangan Naya. Aku tak terlalu mengenal Nafla, jadi aku tak tahu persis tingkah lakunya sehari-hari. Setahuku, dari cerita-cerita Naya, Nafla tak pernah semisterius ini.
“Tunggu,” Nafla menahan lenganku agar berhenti berjalan saat kami hampir tiba di pintu kamar Naya.
Kami berdiri di luar ruangan tempat Naya dirawat. Dari jendela yang terhalangi kaca, aku melihat Naya tak lagi sendiri. Tiga orang yang berpapasan denganku tadi telah berada di sana. Kini aku benar-benar memahami maksud ucapan Nafla di luar tadi.
“Itu Ibu Naya,” Nafla mulai menjelaskan ketidaktahuanku tentang orang-orang di dalam sana. Aku sejenak memperhatikan ibu Naya, mirip. Alis, hidung, pipi, dagu, semua itu menitis dari ibunya.
“Oke, aku masuk saja, sekalian kenalan sama ibunya Naya”
“Jangan!” tiba-tiba Nafla melarangku. Aku menatapnya, seolah bertanya mengapa aku tak diperbolehkan masuk ke dalam, bertemu dan berkenalan dengan Ibu Naya.
“Cowok itu, yang lagi nyuapin Naya,” ia memberi jeda pada ucapannya, membuatku melihat seorang pria yang tak aku kenal sedang menyuapi makanan yang tak kuselesaikan tadi.
Satu tetes air mata mencoba mengalir, dadaku terasa sesak, ulu hatiku linu, tenggorokan ini seperti dicekik. Lalu Nafla menuntaskan kalimatnya yang semakin menambah perih.
“Dia satu-satunya cowok, yang ibu Naya tahu, lagi deket sama putri kesayangannya.”
Gelembung 19: Gulana
“Dia udah sadar tadi. Tapi kata dokter biar dia istirahat dulu,” jawab Nafla pelan. Ia tak lagi menangis, namun kedua matanya tak dapat menyembunyikan derasnya air mata yang keluar sejak tadi.
“Kamu di sini kan, Ji? Aku mau pulang bentar, mau ngabarin mama. Hapeku mati soalnya,” lanjutnya.
“Iya, Fla. Pulang dulu aja nggak papa.”
“Yaudah yuk, aku anterin,” sela Rama tiba-tiba.
“Makasih ya, Ji. Kalo ada apa-apa kabarin aku,” ucap Nafla mengakhiri pembicaraan kami. Lalu ia pergi meninggalkanku bersama Rama.
Sejenak aku bersandar di dinding tepat di depan pintu tempat Naya di rawat. Aku masih tak percaya apa yang aku alami hari ini. Beberapa waktu lalu aku masih duduk berdua dengannya, bercerita dan tertawa. Bila ini mimpi buruk, aku ingin segera bangun dan kembali ke hidupku semula.
Aku membuka pintu perlahan, lalu segera menutupnya ketika tubuhku sudah berada di sana. Aku berjalan mendekati ranjang yang ditiduri Naya, ia masih pulas dalam istirahatnya, namun napasnya terkesan sesak. Aku masih memerhatikan wajahnya yang terlihat manis saat tidur. Wajah itu begitu lugu, membuat aku yang melihatnya ingin langsung memeluknya, tapi aku tak berani dan masih menahan diri. Selimut yang terjatuh ke lantai langsung saja kupungut dan kuletakkan di atas tubuhnya. Ia mendengus pelan, napasnya sangat hangat, pipinya memerah. Tanpa pikir panjang, telapak tanganku menyentuh keningnya.
“Aji..” ucap Naya samar saat perlahan membuka matanya.
“Iyaa, kamu ngerasa apa Nay? Sakit? Biar aku panggilin dokter ya,” kataku lembut sambil mengusap kepalanya.
Dengan tenaga yang ia punya, Naya menggelengkan kepala tanda ia tidak memerlukan dokter.
“Aku nggak papa kok, kamu jangan sedih begitu mukanya..”
“Iya aku percaya, tapi aku panggilin dokter ya, biar kamu cepet sembuh.”
Naya kembali menggelengkan kepalanya, “aku sudah punya dokter sendiri, Ji,” ucapnya pelan.
“Yaudah kalo begitu sini biar aku telfon, hp kamu mana?” tanyaku sambil mencari handphone Naya berada.
Sekilas aku melihat Naya tersenyum, lalu tiba-tiba sebuah telapak tangan mendarat di dadaku,
“Ini dokternya.”
Hhh. Aku menghela napas lalu tersenyum memandangnya. Sekali lagi, ia melambungkan perasaanku meski kondisinya sedang tak sehat.
“Nafla ke mana?”
“Pulang dulu mau ngabarin mamanya, ntar dia kesini lagi,” jawabku.
Ku dekatkan kursi agar berada paling dekat dengan tempat Naya berbaring. Tak lama, Naya kembali menggenggam tanganku.
“Mukanya jangan ditekuk lagi ya, aku nggak kenapa-kenapa kok,” kembali Naya menghiburku. Harusnya aku yang menghiburnya, namun sepertinya ia membaca raut wajahku sejak membuka mata tadi.
“Kalo nggak kenapa-kenapa, terus apa kamu di sini?”
Tiba-tiba keheningan menyergap aku dan Naya. Tak sepatah kata pun ia ucapkan. Aku sadar pertanyaanku barusan memukulnya telak. Kami terdiam cukup lama sebelum akhirnya seorang perawat masuk ke ruangan kami sambil membawa makanan untuk Naya.
“Udah bangun ya? Saya panggilin dokter dulu ya,”
“Emm, mbak, ini boleh dimakan sekarang?”
“Boleh kok boleh,” jawab perawat itu sambil tersenyum lalu pergi meninggalkan kami.
“Yes, akhirnya giliran aku yang nyuapin kamu Nay, hehehe”
“Emoh ah, emoh makan.”
“Lah kenapa? Kamu dari pagi belum makan yang berat-berat kan?”
“Udaaah koook, tadi aku maem lupis begitu.”
“Itu kan njajan Nay.”
“Samaaa..” ucapnya manja.
“Wes ah, mau maem nggak ini? Kalo nggak aku pulang nih.”
“Emooh, masa kamu tega ninggalin aku sendirian.”
“Yaudah maem sini aku suapin.”
Bibir Naya kontan cemberut lucu. Mata bulatnya melirik kesal padaku. Namun ia tak lagi mengoceh, suap demi suap dengan telaten aku lakukan, sesekali diiringi gelak tawanya karena candaanku.
“Makasih ya Ji,” Naya mengusap punggung tanganku. Siang ini mungkin aku adalah manusia paling bahagia di muka bumi, ucapan terima kasih dari Naya membuatku seperti melayang, mengingat pagi ini ia membuatku sangat gelisah.
Lalu tiba-tiba suara ponsel berdering membuyarkan keheningan kami, ponsel Naya.
“Halo..” ucapku saat menjawab panggilan di handphone Naya. Ini dari Nafla.
Beberapa detik berselang, tak terdengar suara Nafla. Hanya riuh rendah kendaraan.
“Fla?” tanyaku kemudian.
Masih tak bergeming. Naya menatapku, mengisyaratkan sebuah pertanyaan tentang apa yang kami bicarakan. Aku hanya mengangkat bahu.
“Ji, aku di parkiran depan. Aku tunggu di sini, sekarang!” tiba-tiba Nafla berbicara dengan cepat namun cukup jelas untuk ku dengar.
“Parkiran? Em, ngapain? Ini Naya nggak ada yang nemenin, mending kamu kesi..”
“Ji!” Nafla memotong ucapanku, “se ka rang!”
Seketika panggilan Nafla terputus. Diputus lebih tepatnya. Aku dan Naya saling pandang, serta bingung satu sama lain. Ia bingung apa yang baru saja dikatakan Naya, sedangkan aku bingung harus berkata apa. Segalanya terjadi begitu saja. Yang aku tahu, Nafla tidak memintaku untuk menemuinya di luar, ia memerintahku.
“Emm, aku keluar bentar ya, nggak papa kan aku tinggal bentar?”
“Mau ke mana? Ini saja aku belum abis maemnya,” kata Naya setengah menggerutu.
“Bentar tok, nggak sampe lima menit, janji!”
“Ngapain sih? Nafla suruh ke sini aja”
“Emm anu, dia cuma mampir, mau nganterin sesuatu katanya. Iya, gitu.”
“Emooh, kamu di sini aja pokoknya,” satu lenganku dibekapnya erat.
“Bentar tok Nay, abis itu aku langsung balik ke sini kok, janji!”
Naya menghela napas, kedua tangannya tak lagi membekap tanganku erat, “Lima menit ya, awas kalo telat,” ucapnya sedikit kesal.
“Okee, aku tinggal bentar ya,” kataku lalu mengecup keningnya.
Naya masih terlihat cemberut, namun urat di pipinya menunjukkan ia sedikit tersenyum setelah kecupanku mendarat di keningnya.
“59, 58, 57, 56..” Naya tiba-tiba mengitung mundur. Aku segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Di perjalanan ke luar, aku berpapasan dengan tiga orang yang sedang terburu-buru berjalan ke arah tempatku berasal. Satu dari tiga orang itu adalah seorang wanita, kutaksir sekitar 40 tahun usianya. Dua orang lain, pria, sepertinya sebaya denganku. Meski hanya sekelebat, terlihat jelas sebuah mimik wajah khawatir tersirat di wajah mereka. Tapi tunggu, salah satu lelaki itu, yang sedang berjalan mengiringi seorang wanita di tengahnya, aku mengenalnya. Bahkan ia sempat tersenyum saat melihatku tadi. Ya, dia lelaki yang sempat menjadi belatung beberapa waktu lalu.
Bagas.
“Kenapa nggak masuk saja sih? Naya sendirian di dalem ga ada yang nemenin,” ucapku sesaat setelah menghampiri Nafla.
Lagi-lagi, seperti yang ia lakukan di telepon tadi, Nafla tak bergeming. Terpaku menatapku di atas motornya.
“Haloo Nafla.. Naya didalem nggak ada yang nemenin, mau nyampe kapan kita di sini?” aku mulai kesal dengannya, terlebih aku tak lagi tahu ini sudah menit ke berapa.
“Ayo pulang Ji!” ucap Nafla tiba-tiba mengagetkanku.
“Pulang? Jadi kamu nyuruh aku ke sini buat ngajakin pulang?” tanyaku setengah emosi.
Nafla kembali tak bergeming, kini kedua matanya semakin tajam menatapku. Aku tak peduli, kubalikkan badan untuk beranjak pergi, sudah lebih lima menit aku meninggalkan Naya.
“Naya sudah ada yang nemenin Ji.”
Aku menghentikan langkah mendengar kalimat yang dikatakan Nafla.
“Siapa? Aku di sini, kamu di sini. Satu-satunya orang yang kenal Naya ada di...” ucapanku seketika terhenti, teringat seseorang yang sempat aku lihat saat di perjalanan kemari. Nafla masih menatapku tajam, ia sadar aku mulai mengerti ucapannya tadi.
“Iku aku!” ujarnya lalu pergi menuju ke dalam rumah sakit. Tanpa dikomando aku jelas mengikuti langkahnya, menuju ruangan Naya. Aku tak terlalu mengenal Nafla, jadi aku tak tahu persis tingkah lakunya sehari-hari. Setahuku, dari cerita-cerita Naya, Nafla tak pernah semisterius ini.
“Tunggu,” Nafla menahan lenganku agar berhenti berjalan saat kami hampir tiba di pintu kamar Naya.
Kami berdiri di luar ruangan tempat Naya dirawat. Dari jendela yang terhalangi kaca, aku melihat Naya tak lagi sendiri. Tiga orang yang berpapasan denganku tadi telah berada di sana. Kini aku benar-benar memahami maksud ucapan Nafla di luar tadi.
“Itu Ibu Naya,” Nafla mulai menjelaskan ketidaktahuanku tentang orang-orang di dalam sana. Aku sejenak memperhatikan ibu Naya, mirip. Alis, hidung, pipi, dagu, semua itu menitis dari ibunya.
“Oke, aku masuk saja, sekalian kenalan sama ibunya Naya”
“Jangan!” tiba-tiba Nafla melarangku. Aku menatapnya, seolah bertanya mengapa aku tak diperbolehkan masuk ke dalam, bertemu dan berkenalan dengan Ibu Naya.
“Cowok itu, yang lagi nyuapin Naya,” ia memberi jeda pada ucapannya, membuatku melihat seorang pria yang tak aku kenal sedang menyuapi makanan yang tak kuselesaikan tadi.
Satu tetes air mata mencoba mengalir, dadaku terasa sesak, ulu hatiku linu, tenggorokan ini seperti dicekik. Lalu Nafla menuntaskan kalimatnya yang semakin menambah perih.
“Dia satu-satunya cowok, yang ibu Naya tahu, lagi deket sama putri kesayangannya.”
Gelembung 19: Gulana
Diubah oleh chocolavacake 01-08-2016 03:45
0
Kutip
Balas