- Beranda
- Stories from the Heart
Sembunyi Sembunyi Sayang
...
TS
chocolavacake
Sembunyi Sembunyi Sayang
“
No one can separate us
No one
- TSH -
No one can separate us
No one
- TSH -
Spoiler for Index:
Prolog
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Gelembung 1: Ficus benjamina
Gelembung 2: Postulat Einstein
Gelembung 3: Hujan di Bulan Juni
Gelembung 4: Pesan Pertama
Gelembung 5: Jangan Kecewakan Hati yang Sedang Berlindung Kepadamu
Gelembung 6: Dipisah Jarak
Gelembung 7: Tuan Putri
Gelembung 8: Liontin
Gelembung 9: Ini Punyaku
Gelembung 10: Kecupan Kedua
Gelembung-11: Lik Tik
Gelembung 12: Begundal
Gelembung 13: Cemburu
Gelembung 14: Pengakuan
Gelembung 15: Rika dan Mutmainah
Gelembung 16: Janji
Gelembung 17: Alun-alun
Gelembung 18: Ultimatum Nafla
Gelembung 19: Gulana
Gelembung 20: Ihsan
Gelembung 21: Surat Merah Muda
Gelembung 22: Getir Kekalahan
Gelembung 23: Teman SD
Gelembung 24: Radisty Ayu Anindya
Gelembung 25: Gerimis
Gelembung 26: Erupsi
Gelembung 27: Selamat Ulang Tahun
Gelembung 28: Rencana
Spoiler for Prolog:
Apa sihyang terlintas di pikiran kalian ketika mendengar kota 'Jember'?
Anang Hermansyah? Dewi Persik? Opick? Atau Tembakau? Benar, mereka berasal dari Jember dan deretan nama itu sudah jadi langganan saat aku mencoba memperkenalkan diri dengan menyisipkan kota asalku.
Kalau kalian punya waktu, datanglah kemari. Bagiku dan mungkin bagi siapapun yang lahir di tanah ini, Jember adalah sebuah mahakarya. Kalau Bandung diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, maka menurutku Jember diciptakan ketika Tuhan sedang berbahagia. Lihat saja, kabupaten ini memiliki wilayah dari pegunungan hingga lautan. Di daerah utara sana, membentang gagah Pegunungan Hyang dengan Gunung Argopuro sebagai atapnya. Di bagian timur, berjajar rangkaian Pegunungan Ijen yang selalu mewarnai keindahan matahari terbit di waktu fajar. Sedangkan di wilayah selatan terhampar Samudra Hindia yang katanya menjadi teritorial Ratu Pantai Selatan. Tak hanya itu, mungkin karena benar saat itu Tuhan sedang berbahagia, wilayah kami dikaruniai tanah yang subur. Padi, jagung, tembakau, kopi, kakao, serta beragam jenis tanaman dapat tumbuh di sini. Sungai Bedadung yang mengalir dari Pegunungan Hyang di bagian Tengah, Sungai Mayang yang bersumber dari Pegunungan Raung di bagian timur, dan Sungai Bondoyudo yang bersumber dari Pegunungan Semeru di bagian barat, bahu membahu membantu kami mengairi irigasi para petani. Banyak hal yang harus kalian ketahui tentang tempat kelahiranku ini, nanti akan aku ceritakan.
Tapi, selain besarnya kekayaan alam yang dianugrahkan Yang Maha Agung, ada satu hal yang membuatku selalu rindu untuk pulang.
Kenangan.
Benar, sehebat dan seagung apapun seseorang pasti memiliki kenangan, yang akan selalu tersimpan di otaknya, mambantu dalam bertahan, atau bahkan sebagai motivator untuk berjuang. Masa laluku, yang selanjutnya tertata rapi dalam gelembung-gelembung kenangan, membekas indah pada dinding-dinding putih sebuah sekolah.
Mungkin kalian sudah berulang kali membaca novel, cerpen, atau menonton film, sinetron, FTV, dengan latar belakang SMA. Akupun tidak membantah, karena seperti orang-orang bilang, SMA merupakan masa yang paling indah. Betapa tidak, topik tak terhingga selalu dapat dibahas dan menjadi gelak tawa saat reuni berlangsung. Tawa, tangis, canda, lara, cinta, setiap dari kalian pasti mengalaminya. Begitu juga aku.
Ada berjuta kisah berlatar SMA yang jauh lebih baik dan tersaji dengan apik di luar sana. Tapi ini kisahku, aku hanya ingin bercerita, berbagi gelembung kenangan yang selalu aku tutup rapat sebelumnya.
Spoiler for Gelembung 1: Ficus benjamina:
Yang aku ingat, hari itu bukanlah hari terbaikku. Karena sejak awal, aku bingung harus bagaimana.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah. Bukan dalam artian masuk kelas lalu belajar tentunya. Hari ini dan tiga hari setelahnya, aku dan teman-teman se angkatanku akan menjalani kegiatan tidak terlalu penting bin membosankan nomor satu, bernama Masa Orientasi Sekolah, atau yang sering kalian sebut dengan akronim ospek. Tidak terlalu penting karena mungkin hanya 25% dari kegiatan yang diselenggarakan memberi output yang langsung dirasakan oleh siswa baru. Membosankan karena hampir semua sekolah dan hampir setiap kepanitiaan mengemasnya dengan seragam. Ada sih beberapa sekolah yang melakukan kegiatan tersebut dengan kegiatan yang bermanfaat, tapi tidak banyak.
Tidak salah bila banyak yang mengatakan bahwa ospek merupakan ajang balas dendam dari pengalaman kakak kelas pada saat mereka melaksanakan ospek. Nyatanya, tidak sedikit kasus siswa atau mahasiswa baru yang mengalami cedera bahkan meninggal saat melaksanakan kegiatan tersebut. Belum lagi kasus-kasus yang tidak mendapat sorotan media. Who knows?
Jarak rumahku ke sekolah tidak terlalu jauh. Sekali naik angkot, kira-kira 20 menit. Mengenakan baju putih lengan panjang, celana bahan warna hitam, dan sepatu hitam polos, aku berangkat menuju sekolah tanpa ditemani satu temanpun. Miris bukan? Sebenarnya ada satu orang teman SD ku yang tinggal di dekat rumah dan masuk ke sekolah itu juga, namun latar belakang SMP merubah derajat kita.
Aku satu-satunya siswa dari SMP ku yang masuk ke sekolah ini. Dari sebelas orang yang mendaftar, sepuluh orang tereliminasi. Dan akhirnya, di sinilah aku berada. Terdiam sendiri di tengah hiruk pikuk siswa yang bercengkrama, tertawa, dan bergembira satu dengan lainnya.
Tiba-tiba, terdengar suara bel panjang. Para siswa baru berhamburan menuju lapangan basket setelah beberapa kakak kelas (panitia) berteriak untuk berbaris di lapangan. Kami berbaris, tidak butuh waktu lama untuk menyusun barisan. Selanjutnya, dilaksanakanlah apel pembukaan.
Aku lupa, ternyata hari itu adalah hari Pra-MOS, yang artinya hari itu belum seperti ospek yang biasanya, istilah kerennya Warming Up. Tidak ada yang menarik di hari itu. Sebelum dhuhur, kami diperbolehkan pulang, tidak lupa dengan bermacam-macam penugasan yang harus dibawa keesokan hari tentunya.
Hari itu aku mendapatkan beberapa teman baru, aku lupa siapa saja mereka. Hanya satu orang yang aku ingat, namanya Ilham.
***
Di bangku sekolah dasar, aku tergolong siswa yang pandai. Terserah kalian menganggap aku sombong atau bangga, bagiku memang tidak jelas batas antara keduanya. Sering aku didaftarkan mengikuti lomba cerdas cermat atau olimpiade tingkat kecamatan dan kabupaten. Beberapa kali aku pulang membawa piala, meskipun tidak pernah menorehkan juara satu. Aku sering curiga karena di setiap lomba pemenangnya selalu dari sekolah kota.
Waktu itu kami sedang intensif belajar menghadapi UN. Jadi hanya mata pelajaran UN saja yang diajarkan. Di tengah pelajaran, seseorang mengetuk pintu kelas, Bu Iriantini, kepala sekolah. Lalu beliau meminta ijin untuk memanggil aku dan seorang temanku ke ruang kepala sekolah.
"Ada lomba, Olimpiade MIPA tingkat karesidenan. Kalau kalian ibu daftarkan, mau?"
Aku menghela nafas, lomba lomba lomba. Kami saling beradu pandang.
"Ibu yakin kalian bisa. Hitung-hitung lomba terakhir sebelum kalian lulus. Ini lomba dari universitas, jurinya pasti netral dan soalnya pasti aman, Ji."
Ah, tahu saja Ibu apa yang ada di pikiranku.
"Yasudah, kalian boleh kembali ke kelas. Nanti ibu kabari lagi teknis lombanya bagaimana."
Kami pun kembali ke kelas. Seperti kerbau yang dicongkel hidungnya, tanpa ada pembelaan dan kata-kata, kami secara sepihak terpaksa menerima apa yang sudah direncanakan kepada kami. Hari-hari selanjutnya aku dan temanku, Yoga, harus menambah jam belajar di sekolah, karena sore harinya kami mendapat tambahan les untuk menghadapi olimpiade terkhir kami.
***
Apa faedahnya menggunakan besek (wadah tape yang terbuat dari bambu) dikepala? Apa gunanya menggunakan tali rafia sebagai pengganti ikat pinggang? Apa manfaatnya menggunakan kaos kaki berbeda warna serta tali sepatu yang berbeda warna pula? Melatih mental? Yaelah, bro,kita disini MAU menuntut ilmu, bukan mau berperang.
Aku sempat kesal melihat daftar penugasan yang diberikan kakak-kakak panitia terhormat itu. Belum lagi mereka menyajikan dengan teka teki. Contohnya manusia salju, parabola terbalik, atau buku terang. Dan yang paling aku tidak habis pikir, kami disuruh membuat kalung berliontin bawang putih. Hello, emang kita mau ngusir drakula?
***
Namanya Yoga. Lelaki bulan Januari ini kami kenal sebagai pelukis ulung. Tulisan tangannya bagus, jauh diatas rata-rata tulisan tangan kami siswa lelaki di usia itu. Sampai kami lulus SD, belum ada yang menyaingi keluwesan tangannya dalam menggores pensil atau kuas. Dari tahun ke tahun, Yoga tidak pernah lupa meninggalkan catatan sejarah dengan memajang hasil karyanya di dinding kelas. Entah kenapa ketika lulus kuliah, pria berkulit putih dengan rambut kriting ini memutuskan untuk masuk SMK, jurusan otomotif pula yang diambilnya. Aku tidak sempat bertanya karena kami berbeda sekolah saat SMP. Tapi di sini kalian jangan terlalu memikirkan Yoga. Dia hanya pemain figuran yang hanya muncul saat kami mengikuti Olimpiade MIPA.
Jam di tanganku menunjukkan pukul sebelas kurang lima menit. Ada waktu sekitar 20 menit lagi untuk menunggu pengumuman siapa saja yang lolos tahap dua kualifikasi. Aku, Yoga, dan dua guru pendampingku duduk menunggu di sebuah ruangan mirip aula. Aku mulai bosan, riuh rendah suara peserta lain tak mau kalah dengan suara deras hujan. Ah, Januari tak pernah ingkar, aku percaya hujan yang dibawanya berasal dari percik sungai di surga firdaus, nyaman dan menentramkan.
Aku keluar aula. Tak jauh berbeda dengan kondisi di dalam, di luar siswa dan guru-guru berbicara sedikit agak lantang, tak mau kalah dengan nyanyian hujan. Untungnya kampus ini memiliki koridor-koridor yang menghubungkan antar gedung, sehingga mobilitas civitasnya tak terganggu hal-hal seperti hujan ini. Aku kagum dengan tata kelolanya. Bersih dan rindang. Sejauh mata memandang, warna hijau dari dedaunan mendominasi. Aku berjalan menyusuri koridor. Sesekali mengintip ruang kuliah melalui jendela. Aneh rasanya, berbeda dengan kelas kami yang memiliki meja dan kursi, di sini setiap orang memiliki kursi sendiri-sendiri, di setiap kursi terdapat papan penopang sebagai tempat untuk menulis. Keren sekali.
Ketika akan kembali menuju aula, pandanganku tertahan pada sebuah pohon Ficus benjamina yang ditanam di antara taman-taman dekat ruang kuliah. Aku tidak peduli dengan ratusan akar gantung yang bergelayut diterpa angin atau akarnya yang menjalar tak tahu arah, mataku melekat pada sesosok perempuan di bawahnya. Perempuan, perempuan asli, asal kalian tahu kesadaranku masih mampu membedakan mana perempuan asli mana perempuan jadi-jadian.
Aku kenal seragam yang ia kenakan. Sekilas memang aneh mengapa seorang perempuan duduk di bawah pohon beringin asyik membaca sebuah buku, di tengah hujan pula. Orang-orang di sekitar kelihatannya tidak terlalu peduli apa yang ia lakukan. Tapi aku melihat berbeda. Di usiaku yang saat itu baru 13 tahun, aku hanya penasaran apa yang dia lakukan. Cantik, putih kulitnya, wajahnya tak acuh melihat sekitar kakinya basah akibat percikan air hujan. Sesekali rambut panjang bergelombangnya diaturnya agar tak menutup telinga.
Lalu sedetik kemudian, panorama pohon yang dicap angker oleh masyarakat awam itu mendadak bercahaya. Otot pipi di sekitar mulutku bergerak tanpa komando, aku tersenyum. Betapa tidak, di sana, delapan meter dari tempat aku berdiri, perempuan itu seketika tersenyum di tengah ia membaca. Aih, apa pula itu sepasang lesung pipi muncul tiba-tiba.
Manisnya.
***
Karena semalam aku tidur agak larut dari biasanya, hari ini aku datang hampir telat. Menyiapkan segala penugasan bukan hal yang mudah. Ayah ibuku sedang di rumah saudara rewang pernikahan sepupuku. Rumah Ilham jauh, buang waktu juga bila aku harus kesana. Akhirnya aku persiapkan sendiri semuanya.
Meskipun hari pertama, sejak langkah kami masuk gerbang sekolah sudah disuguhkan dengan teriakan dan tatapan tajam senior. Sebenarnya aku tidak terlalu terpengaruh karena aku sudah hafal jalan ceritanya. Namun daripada aku dianggap berbuat onar, aku terima saja apa yang mereka lakukan.
Hari itu kami full di luar. Setelah apel pagi, kami diajak berkeliling mengenal berbagai ruangan yang ada di sana. Satu setengah jam kami berdiri dan berjalan sambil mencatat apa saja yang kami temukan.
Agak bingung sebenarnya ketika kegiatan selanjutnya dimulai. Kami dibagi menjadi beberapa regu lalu disuruh berlari kembali menuju lapangan. Aku dan Ilham ada di regu yang sama. Lalu datanglah dua senior yang mengambil alih barisan. Ya, di tengah sinar matahari yang mulai terik, kami dikomando untuk berlatih baris-berbaris.
Sayang, hari itu bukan hari baikku. Awalnya aku biasa saja dan mengikuti setiap komando yang diberikan. Tapi setelah 15 menit, aku merasa ada yang aneh. Berkali-kali aku menelan ludah. Sinar matahari berasa sangat tajam menusuk kulit. Keringat dingin tiba-tiba keluar tanpa diduga.
“Ji, kenapa?”
Aku menggelengkan kepala menjawab bisikan Ilham. Baru ingat ternyata sejak kemarin sore aku belum makan sesuap nasi.
Sial. Sakit kepala menggerogoti kesadaranku. Seketika rasa sakit dari lambung tak mau kalah menyiksa. Aku mencoba bertahan, berharap kegiatan konyol ini segera berakhir. Tapi apa daya, pandanganku tiba-tiba diambil alih oleh sebuah cahaya hitam, semakin lama semakin menutup kelopak mataku. Bruk! Aku terjatuh. Di tengah gelap aku sempat mendengar suara Ilham memanggil namaku. Aku pingsan.
Ketika tersadar, aku sedang berbaring di UKS sekolah. Menyadari aku sudah siuman, petugas UKS menghampiriku.
“Belum makan ya, Mas?”
Aku nyengir, malu sendiri pingsan hanya gara – gara belum mengisi perut. Lalu mbak-mbak petugas UKS tadi memeriksa tekanan darahku.
“Normal kok,” katanya sambil melepas tensimeter dari lenganku.
“Mau makan apa? Bubur mau? Yaudah saya beli dulu di kantin,” seketika mbak-mbak UKS pergi tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya.
Hhhhh...
Aku mencoba untuk duduk meski pusing masih terasa. Ah, harusnya aku tidak lupa sarapan tadi. Ibu sih, pake acara rewang segala. Jadi ngerepotin banyak orang kan.
Ngomong-ngomong soal pingsan, aku penasaran apa hanya aku yang ada di ruangan ini. Dua tempat tidur di sebrang tempatku tidak ada siapa-siapa. Cuma seorang perempuan yang rupanya belum siuman terbaring di samping tempat tidurku. Kasihan, mungkin dia belum makan juga sepertiku.
Ruangan UKS ini tidak terlalu besar. Hanya dapat menampung empat tempat tidur. Ruangan mbak-mbak tadi dipisah dengan menggunakan sekat. Bersih. Dan layaknya ruang medis, baunya sangat khas.
Ketika mengamati ruangan ini, kepalaku sekejap seperti terkena setrum. Aku teringat sesuatu.
Perempuan, perempuan di sampingku ini, aku tidak asing dengan wajahnya. Tapi siapa. Aku mencoba mengingat-ingat siapa dia. Dahi ku kernyitkan, mata ku pejamkan, ayolah, ingat!
Kembali aku amati wajahnya. Putih. Samar-samar aku mulai mengingat. Rambut panjang bergelombang. Sepintas muncul ingatan seseorang mengatur rambut di sela telinganya. Bibir itu.
Ya!
Ficus benjamina. Lesung pipi.
Benar!
Itu pasti dia.
Gelembung 2: Postulat Einstein
Diubah oleh chocolavacake 21-11-2020 13:55
anasabila memberi reputasi
1
35.5K
Kutip
295
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.5KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chocolavacake
#169
Spoiler for Gelembung 16: Janji:
“Masih bertahan?”
Segaris senyum di hadapanku memaksaku segera mengakhiri lamunanku. Aku mengangguk lesu sambil lekat menatap matanya yang bersinar kecoklatan.
“Mau sampai kapan? Ini sudah tahun keempat. Kamu tidak harus bertahan di jurang sesempit ini.”
Aku tatap awan hitam nan kelabu di atas sana. Kela, tak berwarna dan terasa dingin. Bintangpun seakan menghilang dari langit. Meninggalkanku yang kembali terusak dalam keremangan malam. Bayangan wajahnya masih tersirat jelas dalam kenangan masa laluku.
“Kamu kenapa?” tanyanya. Aku menggeleng dan masih berusaha menghilangkan jejak tangisku. Perlahan ia mengangkat daguku agar menatap wajahku. Matanya seakan memaksaku untuk mengatakan segalanya. Lalu dalam satu sentakan, ia memelukk erat, dan menyembunyikan tangisku di dadanya.
“Aku kangen dia. Maafkan aku,” ucapku setengah terisak.
Ia kembali mengangkat wajahku dan menatapku lekat. Sejenak kemudian aku merasakan sentuhan bibirnya di keningku. Kecupan itu memang berbeda dan tak akan pernah sama. Namun aku cukup merasakan sebuah kehangatan dan kedamaian.
***
Sesuai janjinya, Naya datang menjemputku di depan perpustakaan daerah. Ia tampak berbeda sebab busana yang ia kenakan tak lagi didominasi warna merah muda atau warna cerah lainnya. Untuk pertama kalinya aku melihatnya mengenakan pakaian serba hitam.
“Tumben item-item?”
“Hehe, sekali-sekali boleh lah,” katanya sambil tertawa.
Tanpa diminta, aku segera mengambil alih motor Naya, melaju meninggalkan tempat pertemuan tadi tanpa tahu tujuan kami ke mana.
“Kamu udah makan, Ji?”
“Hmm kamu kok tiap kita keluar nanyanya makan mulu sih, berasa aku ga punya uang buat makan.” Naya tertawa mendengar jawabanku.
“Aku seriusan nih.”
“Iya aku tau, tapi ya tetep aja,” Naya kembali tertawa. Sore itu kembali merekah, senyum dan canda Naya mewarnainya.
“Sebenernya aku udah lama pingin ajak kamu ke sana.”
Aku masih bingung, tak mengerti maksud perkataan Naya. Di perjalanan aku hanya mengangguk-angguk pelan, tak mengerti pada pembicaraannya yang ngalor ngidul.
“Jadi kita mau kemana?”
“Nanti kamu juga tahu, Ji.”
Jawaban itu sama sekali tak membuatku puas. Kami melewati padang ilalang dan hamparan rumput yang menghijau. Sejauh mata memandang hanya terlihat tanah yang cukup gersang, untungnya sore itu taak begitu panas. Tak sampai lima belas menit kami sampai di depan sebuah gapura dengan papan besar melintang di atasnya yang bertuliskan ‘Tempat Pemakaman Umum’. Baru tahu aku ada pemakaman di sekitar sini.
Kawasan pemakaman ini sepertinya selalu terawat rapi, suasana kelam yang biasanya identik dengan pemakaman tak terlihat di sini. Naya membuka bagasi di dalam jok motornya. Aku melihatnya mengeluarkan sebotol air mawar dan seikat bunga Lily.
Naya menggandeng tanganku, sedangkan satu tangannya membawa seikat bunga. Aku mengedarkan pandangan ke segala sisi, menelusuri huruf-huruf yang tercetak pada batu nisan yang kami lewati.
Tak lama berselang, nama itu berhasil aku temukan. Terukir rapi di atas betu nisan berbentuk persegi panjang dari tempat kami berdiri. Dengan perlahan Naya membimbingku mendekati batu nisan itu. Ketika sampai di sana, aku melepas genggamannya, membiarkan Naya berjalan sendiri.
“Assalamualaikum, Uti,” aku sedikit terkejut mendengar salam yang diucapkan Naya dengan tiba-tiba. Heran lebih tepatnya. Keceriaan tergambar jelas di wajahnya, seperti sedang menumpahkan kerinduan pada Uti kesayangannya.
“Nih, Aya bawain bunga lili kesayangan Uti,” katanya sambil meletakkan bunga lili di dekat batu nisan.
“Oiya, kenalin Uti, ini Aji.”
“Assalamualaikum, Uti,” aku tersenyum lalu mengambil posisi berjongkok di sebelah Naya.
“Uti ini Aji yang waktu itu Aya ceritain, yang pas Uti mampir di mimpi Aya. Hehe. Ganteng ga Uti?” Naya bercakap-cakap dengan batu nisan yang ia sentuh dengan tangan kanannya.
Pemandangan didepanku membuatku tertegun. Ini adalah kali pertama aku melihat Naya seperti ini. Kepergian eyang putri seperti benar-benar membuat Naya merasa kehilangan. Jelas sekali Naya sangat dekat dengannya. Sejak memperkenalkanku tadi, ia tak berhenti bercerita segala hal yang ia alami beberapa waktu belakangan. Perlu beberapa waktu sampai akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan percakapan kerinduannya.
“Nay,” kataku seraya memegang pundak Naya, “Ini,” aku menyerahkan air mawar padanya.
Naya tersenyum, kedua matanya sedikit berkaca-kaca. Air mawar di tangannya perlahan ia siramkan. Perasaan kehilangan itu masih tersisa di sudut bola matanya.
Sejenak keheningan menyelimuti kami. Hanya suara desir angin yang menyapu dedaunan kamboja yang kami dengar. Naya menengadahkan kedua tangannya, memanjatkan doa. Kemudian aku memejamkan mata, merapal doa untuk eyang putri Naya. Sesekali terdengar helaan napas disertai isakan dari wanita disampingku.
“Ji,” panggilnya smemecah keheningan, “tau nggak yang paling berarti dari tulisan ini?” ia menunjuk selang tahun yang terukir di atas batu nisan.
Aku menggelengkan kepala, tak mengerti apa yang berarti dari tulisan 1939-2007.
“Yang paling berarti dari tulisan itu cuma garis di antara kedua tahun itu Ji. Di situ tertulis perjalanan hidup Uti.”
Kedua mata naya masih menatap tullisan itu, lalu ia miringkan sedikit kepalanya, seperti mencari sesuatu yang tertinggal di sana.
“Aku bersyukur bisa terukir di dalam garis itu. Aku bangga bisa lahir dari garis keturunan Uti. Uti orangnya baik banget Ji. Semua saudaraku, orang-orang yang kenal Uti juga sayang banget sama Uti. Apalagi Yangkung.”
Naya menghela napas sejenak, tangannya meraih setangkai bunga lili di hadapannya.
“Uti suka bunga lili. Katanya lili itu perlambang kesucian dan kesederhanaan Ji. Uti juga bilang kalo bunga lili melambangkan kenangan. Soalnya setiap Uti megang bunga ini, kenangan Uti tentang Yangkung selalu muncul katanya.”
“Dari kecil aku udah deket sama Uti. Setiap ada apa-apa aku pasti cerita ke Uti. Masih nggak percaya aja kalo sekarang Uti udah pergi.
Nggak sempet ngenalin kamu.”
“Hei, sekarang kan udah kamu kenalin Nay.” Aku tersenyum sedikit menghibur Naya.
Sebuah senyuman kembali mengembang di wajah Naya, “hehe bener juga kamu.”
Lalu Naya kembali mengabaikanku, berbicara pada batu nisan solah-olah Uti ada di hadapannya. Aku tak banyak bicara, membiarkan Naya menghabiskan sore ini untuk melepas rindu.
“Kamu sayang aku kan Ji?” tanya Naya tiba-tiba mengejutkanku.
“I.. iya Nay, kenapa emang?”
“Enggak, Uti nanya barusan,” katanya sambil tersenyum.
Begitulah, untuk beberapa saat aku mematung sambil mendengarkan cerita Naya. Sesekali aku tersenyum, karena namaku beberapa kali disebutnya.
“Kalo nanti aku yang pergi duluan nyusul Uti, kamu nggak akan ninggalin aku kan Ji?” tanya Naya kembali membuatku terkejut.
“Kamu ngomong apa sih Nay,” aku berusaha tak menghiraukan pertanyaannya.
“Aku serius!” katanya sedikit membentak. Aku merasa ia sedang menatapku dengan kedua matanya yang kosong di sebelah sana. Lagi-lagi aku mencoba untuk tenang dan mengabaikan perkataan Naya yang jelas aku tahu ke mana arahnya.
“Kalo nanti aku pergi duluan, kamu jangan pernah nangis ya Ji. Jangan pernah sekalipun nunjukin kalo kamu sedih. Aku tau kamu kuat..”
“Nay..”
“Aku tau kamu tegar Ji. Janji ya jangan sedih?”
“Apa-apaan sih Nay? Kamu nggak akan pergi dan nggak akan kemana-mana!” ucapku tegas.
“Nggak ada yang tau kan kapan kita pergi?”
“Emang! Tapi bukan berarti kamu yang pergi duluan kan? Bisa aja aku dulu.”
“Nggak mungkin, tau dari mana kamu?”
“Emang kamu sendiri tau dari mana kalo kamu yang bakal pergi duluan? Nggak usah mendahului kuasa Tuhan deh,” kataku dengan nada sedikit kesal.
“Jodoh, mati, rejeki, itu udah diatur sama Yang Kuasa. Kita nggak pernah tau siapa jodoh kita, kita nggak akan tau kapan atau gimana kita mati kelak, kita juga nggak dikasih tau rejeki kita akan datang dari mana.”
Sedetik kemudian Naya menangis. Ia kembali menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku tak tahu harus bagaimana, karena sejujurnya, aku benci air mata. Aku benci mengapa air mata harus keluar dan menetes dari perempuan seperti Naya.
“Aku takut Ji,” ucapnya terbata-bata di antara isak tangisnya.
“Nggak usah takut, aku nggak akan kemana-mana kok,” kataku mencoba menenangkan.
“Bukan itu..”
Kembali Naya membekapku dalam sebuah tanda tanya besar. Entah aku harus berbuat apa lagi. Aku bingung. Benar-benar bingung. Isak tangismu tak kunjung mereda. Sedangkan aku terjebak dalam ucapanmu barusan.
“Nayaa..” kucoba mengangkat kepalanya dan menatapnya lekat, “mau kamu atau aku yang duluan pergi, aku bakal tetep sayang sama kamu. Entah kamu yang di sini nanti ketemu penggantiku, atau kamu yang di sana ditakdirin berjodoh sama orang lain, aku nggak peduli. Aku tetep sayang sama kamu.”
Detik demi detik berlalu, Naya tak juga beranjak. Tidak lama setelah itu tangisannya mereda. Aku menghapus bekas air matanya dengan jari-jari tanganku.
“Apapun yang terjadi nanti, aku tetep punya kamu Nay. Baik di sini, maupun di akhirat nanti.”
Sejenak aku melihat Naya mulai bangun dari kebekuannya. Lalu ia mulai bangkit dari pelukanku dan duduk sambil mengusap air mata dari kedua pipinya. Diraihnya satu tanganku untuk ia genggam.
“Janji?” tanyanya sambil mengangkat kelingking di hadapanku.
“Janji!” segera kukaitkan jari kelingkingku pada milik Naya.
Kami berdua tersenyum, namun senyuman Naya jelas lebih mempesona, seakan dirinya sangat berbahagia telah menemukan jalan hidupnya yang baru, sembari mengikat janji di hadapan Uti kesayangannya.
“Tuh Uti, denger sendiri kan janji Aji? Kalo nanti dia bohong, dijewer ya kupingnya,” ucap Naya setengah manja.
Naya masih menggenggam tanganku, kemudian bibir mungilnya kembali tak berhenti bercerita panjang lebar pada Uti kesayangannya.
Aku terdiam, sejenak kutarik napas perlahan, mengingat-ingat apa saja yang sudah aku ucapkan untuk menenangkan Naya. Tiba-tiba rasa takut menyelimuti hati ini. Beberapa kali tanganku menyapu wajah, menghapus butiran yang memaksa keluar, meniadakan rasa sesak yang menghimpit jiwa. Hatiku bergumam,
Ah, ini kali pertama aku membuat janji
yang tak pernah kumengerti bagaimana cara menepatinya.
Gelembung 17: Alun-alun
Segaris senyum di hadapanku memaksaku segera mengakhiri lamunanku. Aku mengangguk lesu sambil lekat menatap matanya yang bersinar kecoklatan.
“Mau sampai kapan? Ini sudah tahun keempat. Kamu tidak harus bertahan di jurang sesempit ini.”
Aku tatap awan hitam nan kelabu di atas sana. Kela, tak berwarna dan terasa dingin. Bintangpun seakan menghilang dari langit. Meninggalkanku yang kembali terusak dalam keremangan malam. Bayangan wajahnya masih tersirat jelas dalam kenangan masa laluku.
“Kamu kenapa?” tanyanya. Aku menggeleng dan masih berusaha menghilangkan jejak tangisku. Perlahan ia mengangkat daguku agar menatap wajahku. Matanya seakan memaksaku untuk mengatakan segalanya. Lalu dalam satu sentakan, ia memelukk erat, dan menyembunyikan tangisku di dadanya.
“Aku kangen dia. Maafkan aku,” ucapku setengah terisak.
Ia kembali mengangkat wajahku dan menatapku lekat. Sejenak kemudian aku merasakan sentuhan bibirnya di keningku. Kecupan itu memang berbeda dan tak akan pernah sama. Namun aku cukup merasakan sebuah kehangatan dan kedamaian.
***
Sesuai janjinya, Naya datang menjemputku di depan perpustakaan daerah. Ia tampak berbeda sebab busana yang ia kenakan tak lagi didominasi warna merah muda atau warna cerah lainnya. Untuk pertama kalinya aku melihatnya mengenakan pakaian serba hitam.
“Tumben item-item?”
“Hehe, sekali-sekali boleh lah,” katanya sambil tertawa.
Tanpa diminta, aku segera mengambil alih motor Naya, melaju meninggalkan tempat pertemuan tadi tanpa tahu tujuan kami ke mana.
“Kamu udah makan, Ji?”
“Hmm kamu kok tiap kita keluar nanyanya makan mulu sih, berasa aku ga punya uang buat makan.” Naya tertawa mendengar jawabanku.
“Aku seriusan nih.”
“Iya aku tau, tapi ya tetep aja,” Naya kembali tertawa. Sore itu kembali merekah, senyum dan canda Naya mewarnainya.
“Sebenernya aku udah lama pingin ajak kamu ke sana.”
Aku masih bingung, tak mengerti maksud perkataan Naya. Di perjalanan aku hanya mengangguk-angguk pelan, tak mengerti pada pembicaraannya yang ngalor ngidul.
“Jadi kita mau kemana?”
“Nanti kamu juga tahu, Ji.”
Jawaban itu sama sekali tak membuatku puas. Kami melewati padang ilalang dan hamparan rumput yang menghijau. Sejauh mata memandang hanya terlihat tanah yang cukup gersang, untungnya sore itu taak begitu panas. Tak sampai lima belas menit kami sampai di depan sebuah gapura dengan papan besar melintang di atasnya yang bertuliskan ‘Tempat Pemakaman Umum’. Baru tahu aku ada pemakaman di sekitar sini.
Kawasan pemakaman ini sepertinya selalu terawat rapi, suasana kelam yang biasanya identik dengan pemakaman tak terlihat di sini. Naya membuka bagasi di dalam jok motornya. Aku melihatnya mengeluarkan sebotol air mawar dan seikat bunga Lily.
Naya menggandeng tanganku, sedangkan satu tangannya membawa seikat bunga. Aku mengedarkan pandangan ke segala sisi, menelusuri huruf-huruf yang tercetak pada batu nisan yang kami lewati.
Tak lama berselang, nama itu berhasil aku temukan. Terukir rapi di atas betu nisan berbentuk persegi panjang dari tempat kami berdiri. Dengan perlahan Naya membimbingku mendekati batu nisan itu. Ketika sampai di sana, aku melepas genggamannya, membiarkan Naya berjalan sendiri.
“Assalamualaikum, Uti,” aku sedikit terkejut mendengar salam yang diucapkan Naya dengan tiba-tiba. Heran lebih tepatnya. Keceriaan tergambar jelas di wajahnya, seperti sedang menumpahkan kerinduan pada Uti kesayangannya.
“Nih, Aya bawain bunga lili kesayangan Uti,” katanya sambil meletakkan bunga lili di dekat batu nisan.
“Oiya, kenalin Uti, ini Aji.”
“Assalamualaikum, Uti,” aku tersenyum lalu mengambil posisi berjongkok di sebelah Naya.
“Uti ini Aji yang waktu itu Aya ceritain, yang pas Uti mampir di mimpi Aya. Hehe. Ganteng ga Uti?” Naya bercakap-cakap dengan batu nisan yang ia sentuh dengan tangan kanannya.
Pemandangan didepanku membuatku tertegun. Ini adalah kali pertama aku melihat Naya seperti ini. Kepergian eyang putri seperti benar-benar membuat Naya merasa kehilangan. Jelas sekali Naya sangat dekat dengannya. Sejak memperkenalkanku tadi, ia tak berhenti bercerita segala hal yang ia alami beberapa waktu belakangan. Perlu beberapa waktu sampai akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan percakapan kerinduannya.
“Nay,” kataku seraya memegang pundak Naya, “Ini,” aku menyerahkan air mawar padanya.
Naya tersenyum, kedua matanya sedikit berkaca-kaca. Air mawar di tangannya perlahan ia siramkan. Perasaan kehilangan itu masih tersisa di sudut bola matanya.
Sejenak keheningan menyelimuti kami. Hanya suara desir angin yang menyapu dedaunan kamboja yang kami dengar. Naya menengadahkan kedua tangannya, memanjatkan doa. Kemudian aku memejamkan mata, merapal doa untuk eyang putri Naya. Sesekali terdengar helaan napas disertai isakan dari wanita disampingku.
“Ji,” panggilnya smemecah keheningan, “tau nggak yang paling berarti dari tulisan ini?” ia menunjuk selang tahun yang terukir di atas batu nisan.
Aku menggelengkan kepala, tak mengerti apa yang berarti dari tulisan 1939-2007.
“Yang paling berarti dari tulisan itu cuma garis di antara kedua tahun itu Ji. Di situ tertulis perjalanan hidup Uti.”
Kedua mata naya masih menatap tullisan itu, lalu ia miringkan sedikit kepalanya, seperti mencari sesuatu yang tertinggal di sana.
“Aku bersyukur bisa terukir di dalam garis itu. Aku bangga bisa lahir dari garis keturunan Uti. Uti orangnya baik banget Ji. Semua saudaraku, orang-orang yang kenal Uti juga sayang banget sama Uti. Apalagi Yangkung.”
Naya menghela napas sejenak, tangannya meraih setangkai bunga lili di hadapannya.
“Uti suka bunga lili. Katanya lili itu perlambang kesucian dan kesederhanaan Ji. Uti juga bilang kalo bunga lili melambangkan kenangan. Soalnya setiap Uti megang bunga ini, kenangan Uti tentang Yangkung selalu muncul katanya.”
“Dari kecil aku udah deket sama Uti. Setiap ada apa-apa aku pasti cerita ke Uti. Masih nggak percaya aja kalo sekarang Uti udah pergi.
Nggak sempet ngenalin kamu.”
“Hei, sekarang kan udah kamu kenalin Nay.” Aku tersenyum sedikit menghibur Naya.
Sebuah senyuman kembali mengembang di wajah Naya, “hehe bener juga kamu.”
Lalu Naya kembali mengabaikanku, berbicara pada batu nisan solah-olah Uti ada di hadapannya. Aku tak banyak bicara, membiarkan Naya menghabiskan sore ini untuk melepas rindu.
“Kamu sayang aku kan Ji?” tanya Naya tiba-tiba mengejutkanku.
“I.. iya Nay, kenapa emang?”
“Enggak, Uti nanya barusan,” katanya sambil tersenyum.
Begitulah, untuk beberapa saat aku mematung sambil mendengarkan cerita Naya. Sesekali aku tersenyum, karena namaku beberapa kali disebutnya.
“Kalo nanti aku yang pergi duluan nyusul Uti, kamu nggak akan ninggalin aku kan Ji?” tanya Naya kembali membuatku terkejut.
“Kamu ngomong apa sih Nay,” aku berusaha tak menghiraukan pertanyaannya.
“Aku serius!” katanya sedikit membentak. Aku merasa ia sedang menatapku dengan kedua matanya yang kosong di sebelah sana. Lagi-lagi aku mencoba untuk tenang dan mengabaikan perkataan Naya yang jelas aku tahu ke mana arahnya.
“Kalo nanti aku pergi duluan, kamu jangan pernah nangis ya Ji. Jangan pernah sekalipun nunjukin kalo kamu sedih. Aku tau kamu kuat..”
“Nay..”
“Aku tau kamu tegar Ji. Janji ya jangan sedih?”
“Apa-apaan sih Nay? Kamu nggak akan pergi dan nggak akan kemana-mana!” ucapku tegas.
“Nggak ada yang tau kan kapan kita pergi?”
“Emang! Tapi bukan berarti kamu yang pergi duluan kan? Bisa aja aku dulu.”
“Nggak mungkin, tau dari mana kamu?”
“Emang kamu sendiri tau dari mana kalo kamu yang bakal pergi duluan? Nggak usah mendahului kuasa Tuhan deh,” kataku dengan nada sedikit kesal.
“Jodoh, mati, rejeki, itu udah diatur sama Yang Kuasa. Kita nggak pernah tau siapa jodoh kita, kita nggak akan tau kapan atau gimana kita mati kelak, kita juga nggak dikasih tau rejeki kita akan datang dari mana.”
Sedetik kemudian Naya menangis. Ia kembali menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku tak tahu harus bagaimana, karena sejujurnya, aku benci air mata. Aku benci mengapa air mata harus keluar dan menetes dari perempuan seperti Naya.
“Aku takut Ji,” ucapnya terbata-bata di antara isak tangisnya.
“Nggak usah takut, aku nggak akan kemana-mana kok,” kataku mencoba menenangkan.
“Bukan itu..”
Kembali Naya membekapku dalam sebuah tanda tanya besar. Entah aku harus berbuat apa lagi. Aku bingung. Benar-benar bingung. Isak tangismu tak kunjung mereda. Sedangkan aku terjebak dalam ucapanmu barusan.
“Nayaa..” kucoba mengangkat kepalanya dan menatapnya lekat, “mau kamu atau aku yang duluan pergi, aku bakal tetep sayang sama kamu. Entah kamu yang di sini nanti ketemu penggantiku, atau kamu yang di sana ditakdirin berjodoh sama orang lain, aku nggak peduli. Aku tetep sayang sama kamu.”
Detik demi detik berlalu, Naya tak juga beranjak. Tidak lama setelah itu tangisannya mereda. Aku menghapus bekas air matanya dengan jari-jari tanganku.
“Apapun yang terjadi nanti, aku tetep punya kamu Nay. Baik di sini, maupun di akhirat nanti.”
Sejenak aku melihat Naya mulai bangun dari kebekuannya. Lalu ia mulai bangkit dari pelukanku dan duduk sambil mengusap air mata dari kedua pipinya. Diraihnya satu tanganku untuk ia genggam.
“Janji?” tanyanya sambil mengangkat kelingking di hadapanku.
“Janji!” segera kukaitkan jari kelingkingku pada milik Naya.
Kami berdua tersenyum, namun senyuman Naya jelas lebih mempesona, seakan dirinya sangat berbahagia telah menemukan jalan hidupnya yang baru, sembari mengikat janji di hadapan Uti kesayangannya.
“Tuh Uti, denger sendiri kan janji Aji? Kalo nanti dia bohong, dijewer ya kupingnya,” ucap Naya setengah manja.
Naya masih menggenggam tanganku, kemudian bibir mungilnya kembali tak berhenti bercerita panjang lebar pada Uti kesayangannya.
Aku terdiam, sejenak kutarik napas perlahan, mengingat-ingat apa saja yang sudah aku ucapkan untuk menenangkan Naya. Tiba-tiba rasa takut menyelimuti hati ini. Beberapa kali tanganku menyapu wajah, menghapus butiran yang memaksa keluar, meniadakan rasa sesak yang menghimpit jiwa. Hatiku bergumam,
Ah, ini kali pertama aku membuat janji
yang tak pernah kumengerti bagaimana cara menepatinya.
Gelembung 17: Alun-alun
Diubah oleh chocolavacake 01-08-2016 03:41
0
Kutip
Balas