Bagian 28
***
Quote:
“DHIIIK.... DHIKAAA !!! TUNGGU DHIK...” Teriak Chaca sambil berlari mengejarku.
Kemudian aku pun menghentikan langkahku untuk berlari, dan tepat di atas jembatan sebuah irigasi aku berhenti, sambil menghela nafas yang panjang dan tersenggal-senggal karna berlari tadi. Aku pun mulai mengatur nafas, namun air mataku masih terus mengalir dan membasahi wajah. Aku memang masih tak terima dengan apa yang ku alami tadi. Dan sebuah raut wajah kesedihan terus terpancar dari wajahku.
Quote:
“AAARRRGGGHHHH !!!!” Teriakku.
“Hiks... hiks” Suara tangisku pun kembali keluar. Dan secara perlahan Chaca pun berjalan mendekatiku. Ia pun mencoba untuk menghiburku.
“Sudah Dhik... Sabar ! Gue bisa ngerti apa yang elo rasakan... Tapi, elo gak boleh kayak gitu. Walau bagaimana pun, Dia tetap Bokap elo...” Ucap Chaca mencoba menghibur sambil mengelus pelan pundakku.
“Emangnya Elu tau apa tentang perasaan gue ? Elu tau apa ? HAH !?” Kataku dengan nada penuh emosi dan menepis tangan Chaca saat ia mengelus pelan pundakku.
“Tapi dengan bersikap begini, elo gak akan pernah bisa menyelesaikannya... Terkadang setiap orang punya alasan tersendiri... Kenapa ia bisa ngelakuin itu semua ! Dan harusnya elo bisa memberikan kesempatan itu pada bokap elo... Jadi elo tau apa alasan beliau bisa tega ninggalin elo dan Nyokap lo, Dhik...” Kata Chaca yang kini ia juga terbawa suasana.
Quote:
“Aaaah... Persetan dengannya ! Dia tau apa emangnya ? Dulu dia pergi seenaknya, dan kini ? Dia datang dengan seenaknya juga... Tau kah ia ? Di saat dulu harusnya gue membutuhkannya, yaitu saat dimana waktu gue butuh figur seorang ayah di sisi gue, ia malah gak ada ! Saat itu juga waktu gue masih kecil, dimana anak yang lain senang main dengan di temani bokap mereka di taman, bokap gue malah gak ada... Dan di saat gue di jahili oleh anak-anak yang lebih tua dari gue, gue harus ngadu pada siapa ? Bokap ? Cih.. Bokap aja gue gak ada... Dan juga di saat gue sakit... Gue perlu juga seorang bokap di samping gue, agar gue ngerasa terjaga. Tapi, ia malah gak ada... Gue di tinggal pergi olehnya, gue di buang... dan kini ? Dia kembali di saat dia sedang sakit... dan membutuhkan gue !!! Terus dia kemana saat gue butuh dia ? Dimanaaa ? Jawab gue Cha...” Kataku dengan penuh emosi sambil mengeluarkan semua uneg-uneg perasaan yang aku pendam sendiri selama ini.
“Maka dari itu... Cobalah elo minta alasannya ! Tanyakan ke beliau... Dan elo jangan menghakimi beliau dengan sikap begini, Dhik.” Jawab Chaca.
“Ah... Masa bodoh dengan alasannya ! Gue yakin kalau ia paling-palimg minta di kasihani karna ia bentar lagi kan mati... cih !!!” Kataku dengan nada sinis dan sadis.
Quote:
“Plaak...!!!” Sebuah tamparan mendarat telak kembali ke wajahnyaku.
“Gue gak nyangka ternyata elo orangnya gitu Dhik...!!! Elo itu “PENGECUT”... Dan gue sudah salah menilai selama ini tentang elo !!! Gue kecewa berat sama elo... Gue nyesal sudah datang ke sini dan lagi gue nyesal karna sudah kenal dengan orang pengecut kayak elo...” Ucap Chaca dengan rasa penuh kecewa atas perkataan dan sikap dariku tadi.
“Terserah elu mau nilai gue gimana... Gue juga gak pernah nyuruh elu buat datang kesini ! Dan yang pasti, apa yang elu katakan ! Gue bukanlah seorang pengecut seperti yang elu bilang.” Kataku pada Chaca dengan ketus.
“Sikap elo itulah yang buat elo jadi seorang perngecut !!!” Kata Chaca lagi mulai ikut terbawa emosi.
Quote:
“Aaaah... Terserah elo !!! Mending elo pergi dari sini deh...” Ucapku mulai kasar pada Chaca.
“Oke... Gue akan pergi dari sini ! Dan asal tau aja ya... Gue sebenarnya kasian dengan elo... Gue tau ! Sebenarnya dari lubuk hati elo yang paling dalam, elo sebenarnya pasti bahagia karna akhirnya elo bisa bertemu lagi dengan bokap lo... Dan elo harus ingat Dhik ! Gak ada satu orang tua pun di dunia ini yang sebenarnya tega untuk bersikap seperti itu pada anaknya sendiri... kalau pun mereka seperti itu ! Pasti mereka punya alasan tersendiri... Dan juga sebelum elo terlambat ! lebih baik elo minta maaf padanya... karna kalau elo sudah terlambat ! Elo akan menyesal... Gue jamin itu, Dhik !!!” Kata Chaca tegas padaku.
Kemudian setelah perdebatan itu tadi, Chaca pun beranjak pergi meninggalkanku sendiri. sambil menatap ke arahku lagi, Ia berharap semoga pikiran dan hatiku terbuka lebar setelah mendengar apa yang ia katakan tadi untuk memaafkan bokapku.