- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah, gue mati aja
...
TS
dasadharma10
Yaudah, gue mati aja
Cover By: kakeksegalatahu
Thank for your read, and 1000 shares. I hope my writing skill will never fade.
Gue enggak tau tulisan di atas bener apa enggak, yang penting kalian tau maksud gue


----------
----------
PERLU DIKETAHUI INI BUKAN KISAH DESPERATE, JUDULNYA EMANG ADA KATA MATI, TAPI BUKAN BERARTI DI AKHIR CERITA GUE BAKALAN MATI.
----------
Spoiler for QandA:
WARNING! SIDE STORY KHUSUS 17+
NOTE! SIDE STORY HANYA MEMPERJELAS DAN BUKAN BAGIAN DARI MAIN STORY
Spoiler for Ilustrasi:
Cerita gue ini sepenuhnya REAL bagi orang-orang yang mengalaminya. Maka, demi melindungi privasi, gue bakalan pake nama asli orang-orang itu. Nggak, gue bercanda, gue bakal mengganti nama mereka dengan yang lebih bagus. Dengan begitu tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali mata kalian.
Spoiler for INDEX:
Diubah oleh dasadharma10 06-01-2017 18:49
xue.shan dan 10 lainnya memberi reputasi
11
1.1M
3.5K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#1105
PART 56
Kaku, itu yang gue rasakan setelah stun gun Grace mengenai dada gue. Setelah gue roboh baru terlihat beberapa petugas keamanan datang mendekati kami. Bagaimana dengan Grace dan Inah? Mereka masih ribut sendiri, tentunya dengan ditengahi mas Roni.
Petugas keamanan membawa gue menuju pos kesehatan. Gue dirawat disana dengan Mas Roni yang masih mencoba mendamaikan Grace dan Inah. Setelah beberapa menit berisik akhirnya Grace dan Inah berdamai.
Grace menggegam tangan gue, “Dawi, aku minta maaf ya. Aku enggak bermaksud kayak gini.”
“Iya kak gapapa, kak Dawi ngerti kok kalo kakak salah paham,” kata Inah disamping Grace.
Mas Roni duduk disebelah gue, “Paling bentar lagi dia baru bisa jawab.”
Oke, menurut petugas kesehatan karena gue termasuk orang yang memiliki daya tahan diatas rata-rata jadi gue bakalan sembuh dalam waktu tiga puluh menit. Sementara menunggu gue bisa menggerakan tubuh gue, Mas Roni merokok di luar bandara dan Inah malah cerita tentang masa lalu gue ke Grace. Mau gimana lagi, sebenernya gue pengin membungkam mulut Inah, apa daya tubuh gue masih mati rasa.
Grace punya stun gun di tasnya, kenapa baru kali ini gue tahu? Apa selama ini dia selalu bawa benda itu? Gimana kalo sewaktu lagi jalan gue kena stun gun atau yang lebih parah lainnya? Entahlah, gue masih belum bisa berpikir jernih. Satu hal yang gue sadari dan selalu gue waspadai, Grace bukan cewek yang bisa dianggap enteng. Grace sama sekali tidak ragu menggunakan stun gun pada seorang cewek, apalagi pada seorang cowok.
Setelah tubuh gue mulai bisa digerakan, Grace dan Inah memapah gue ke mobil mas Roni. Grace berpamitan karena dia masih harus menunggu saudaranya yang dia tunggu di bandara. Gue yang nyetir? Mana mungkin Inah mau. Dia masih takut nantinya badan gue mati rasa lagi terus mobil masuk jurang.
Mas Roni membawa mobil dengan kecepatan sedang, sebelum pulang ke kos mas Roni mengajak gue dan Inah ke rumah temannya. Di rumah temannya dia sempat menurunkan tas bawaannya. Tas bawaan? Diturunin di rumah temen? Ngapain? Bukannya itu isinya cuma baju? Kenapa diturunin di rumah temen?
“Kok diturunin mas?” tanya gue.
“Mending jangan tanya masalah itu deh Wi, masalah kerjaan gue soalnya.”
“Kerjaan? Bukannya itu cuma baju?” tanya gue lagi.
Mas Roni tidak menjawab pertanyaan gue, dia hanya diam sambil tetap menjalankan mobil menuju kos. Kerjaan dia sebenernya apa? Gue jadi makin penasaran sama mas Roni, bukan karena gue tertarik sama dia tapu karena dia benar-benar mencurigakan. Walau hanya sedikit, gerak-gerik dia kadang mencurigakan. Oke, bukan hanya sedikit, dia sering membuat seisi kos curiga.
Pernah mas Roni menelepon seseorang membicarakan tentang suatu obat yang menurut Emil itu ilegal. Pernah juga mas Roni kedapatan membawa suatu kotak hitam mencurigakan, kata koh Wahyu dari bentuknya itu mirip penyadap, iya penyadap. Dan gue pernah mergokin mas Roni ngobrol sama orang berpakaian serba hitam di depan kos ketika jam dua pagi. Terus kita sekosan berbuat apa? Enggak ada. Kita sepakat buat tutup mulut selama dia enggak membahayakan anggota kos yang lain.
Sesampainya di kos, mas Roni memarkirkan mobil di halaman dan gue mencoba berjalan menuju kursi di teras. Berhasil, gue mulai bisa menggerakkan tubuh gue dengan normal.
“Kak, ini kosan ada Wi-finya enggak sih?” tanya Inah.
“Ada, lo masuk kamar aja, kenceng diatas.” Gue menyalakan rokok, “Paket data lo selama disini dimatiin aja, ada yang gratis.”
“Di password kak.”
“Passwordnya ‘dawiBANGKE’,” gue mecoba menjelaskan. “Bangkenya gede.”
“Ha?”
“Bangkenya gede.”
Iya, gue akuin itu password yang enggak banget dan kampret banget. Password wifi diganti kayak gitu setelah gue kepergok koh Wahyu mindahin kabel internet. Mau gimana lagi, buat download update file dari DOTA gue butuh speed yang gede. Resiko anak kos yang teraniaya pedagang online.
Mas Roni mengambil rokok gue, “Tinggal dua, buat aku semua ya?”
“Ya jangan dong, ambil aja seperlunya.”
Mas Roni ngeloyor masuk ke dalam kos.
“Mas .. Mas!”
“Perlu buat boker Wi, perlu dua.”
Malem minggu bengong di depan kos sendirian, kalo dipikir-pikir gue ngenes juga. Kampret emang mas Roni, malem minggu bisa aja gue pake buat keluar sama Masayu. Kalo semisal dia enggak mau bisa aja gue main sama Pepy atau Bentigo. Harusnya kalo tadi enggak pake kena setrum dulu pasti masih bisa buat keluar nongkrong bentar, sial emang.
Baru sebentar gue meratapi nasib, sebuah mobil berhenti di depan kos. Emil dan seniornya dateng.
Emil langsung duduk disebelah gue, “Huft! Capek banget!”
Seniornya Emil enggak dapet tempat duduk jadi dia tetap berdiri. Gue sadar kalo gue ganggu, sudah seharusnya gue masuk ke dalam kos. Sialnya sewaktu mau beranjak, kaki gue dua-duanya kesemutan.
Kampret! Enggak seharusnya kayak gini! Dasar semut! Kenapa harus menyerang di situasi kayak gini?!
“Mil, mending lo masuk ke dalem aja deh,” saran gue.
Emil kelihatan bingung, “Kenapa?”
“Masnya aja yang masuk, kita diluar aja,” sahut senior Emil.
“Ah, gue lagi pengin ngerokok,” gue beralasan.
Emil membuka tempat rokok gue, “Rokok mu kan udah abis.”
Kampret! Gue lupa kalo rokok gue diambil mas Roni.
“Anu … abis ini gue mau beli dulu ke warung.”
“Kalo gitu titip sekalian ya mas.” Senior Emil menyerahkan uang, “Tolong beliin minuman.”
“Oh, iya.”
Gue masih duduk di kursi teras, dan mereka masih menatap gue. Oke, ini canggung banget. Gue sadar, gue seharusnya udah berangkat ke warung, tapi gue enggak bisa beranjak, kaki gue enggak mendukung.
“Ke … kenapa ngeliatin kayak gitu?” tanya gue.
Kaku, itu yang gue rasakan setelah stun gun Grace mengenai dada gue. Setelah gue roboh baru terlihat beberapa petugas keamanan datang mendekati kami. Bagaimana dengan Grace dan Inah? Mereka masih ribut sendiri, tentunya dengan ditengahi mas Roni.
Petugas keamanan membawa gue menuju pos kesehatan. Gue dirawat disana dengan Mas Roni yang masih mencoba mendamaikan Grace dan Inah. Setelah beberapa menit berisik akhirnya Grace dan Inah berdamai.
Grace menggegam tangan gue, “Dawi, aku minta maaf ya. Aku enggak bermaksud kayak gini.”
“Iya kak gapapa, kak Dawi ngerti kok kalo kakak salah paham,” kata Inah disamping Grace.
Mas Roni duduk disebelah gue, “Paling bentar lagi dia baru bisa jawab.”
Oke, menurut petugas kesehatan karena gue termasuk orang yang memiliki daya tahan diatas rata-rata jadi gue bakalan sembuh dalam waktu tiga puluh menit. Sementara menunggu gue bisa menggerakan tubuh gue, Mas Roni merokok di luar bandara dan Inah malah cerita tentang masa lalu gue ke Grace. Mau gimana lagi, sebenernya gue pengin membungkam mulut Inah, apa daya tubuh gue masih mati rasa.
Grace punya stun gun di tasnya, kenapa baru kali ini gue tahu? Apa selama ini dia selalu bawa benda itu? Gimana kalo sewaktu lagi jalan gue kena stun gun atau yang lebih parah lainnya? Entahlah, gue masih belum bisa berpikir jernih. Satu hal yang gue sadari dan selalu gue waspadai, Grace bukan cewek yang bisa dianggap enteng. Grace sama sekali tidak ragu menggunakan stun gun pada seorang cewek, apalagi pada seorang cowok.
Setelah tubuh gue mulai bisa digerakan, Grace dan Inah memapah gue ke mobil mas Roni. Grace berpamitan karena dia masih harus menunggu saudaranya yang dia tunggu di bandara. Gue yang nyetir? Mana mungkin Inah mau. Dia masih takut nantinya badan gue mati rasa lagi terus mobil masuk jurang.
Mas Roni membawa mobil dengan kecepatan sedang, sebelum pulang ke kos mas Roni mengajak gue dan Inah ke rumah temannya. Di rumah temannya dia sempat menurunkan tas bawaannya. Tas bawaan? Diturunin di rumah temen? Ngapain? Bukannya itu isinya cuma baju? Kenapa diturunin di rumah temen?
“Kok diturunin mas?” tanya gue.
“Mending jangan tanya masalah itu deh Wi, masalah kerjaan gue soalnya.”
“Kerjaan? Bukannya itu cuma baju?” tanya gue lagi.
Mas Roni tidak menjawab pertanyaan gue, dia hanya diam sambil tetap menjalankan mobil menuju kos. Kerjaan dia sebenernya apa? Gue jadi makin penasaran sama mas Roni, bukan karena gue tertarik sama dia tapu karena dia benar-benar mencurigakan. Walau hanya sedikit, gerak-gerik dia kadang mencurigakan. Oke, bukan hanya sedikit, dia sering membuat seisi kos curiga.
Pernah mas Roni menelepon seseorang membicarakan tentang suatu obat yang menurut Emil itu ilegal. Pernah juga mas Roni kedapatan membawa suatu kotak hitam mencurigakan, kata koh Wahyu dari bentuknya itu mirip penyadap, iya penyadap. Dan gue pernah mergokin mas Roni ngobrol sama orang berpakaian serba hitam di depan kos ketika jam dua pagi. Terus kita sekosan berbuat apa? Enggak ada. Kita sepakat buat tutup mulut selama dia enggak membahayakan anggota kos yang lain.
Sesampainya di kos, mas Roni memarkirkan mobil di halaman dan gue mencoba berjalan menuju kursi di teras. Berhasil, gue mulai bisa menggerakkan tubuh gue dengan normal.
“Kak, ini kosan ada Wi-finya enggak sih?” tanya Inah.
“Ada, lo masuk kamar aja, kenceng diatas.” Gue menyalakan rokok, “Paket data lo selama disini dimatiin aja, ada yang gratis.”
“Di password kak.”
“Passwordnya ‘dawiBANGKE’,” gue mecoba menjelaskan. “Bangkenya gede.”
“Ha?”
“Bangkenya gede.”
Iya, gue akuin itu password yang enggak banget dan kampret banget. Password wifi diganti kayak gitu setelah gue kepergok koh Wahyu mindahin kabel internet. Mau gimana lagi, buat download update file dari DOTA gue butuh speed yang gede. Resiko anak kos yang teraniaya pedagang online.
Mas Roni mengambil rokok gue, “Tinggal dua, buat aku semua ya?”
“Ya jangan dong, ambil aja seperlunya.”
Mas Roni ngeloyor masuk ke dalam kos.
“Mas .. Mas!”
“Perlu buat boker Wi, perlu dua.”
Malem minggu bengong di depan kos sendirian, kalo dipikir-pikir gue ngenes juga. Kampret emang mas Roni, malem minggu bisa aja gue pake buat keluar sama Masayu. Kalo semisal dia enggak mau bisa aja gue main sama Pepy atau Bentigo. Harusnya kalo tadi enggak pake kena setrum dulu pasti masih bisa buat keluar nongkrong bentar, sial emang.
Baru sebentar gue meratapi nasib, sebuah mobil berhenti di depan kos. Emil dan seniornya dateng.
Emil langsung duduk disebelah gue, “Huft! Capek banget!”
Seniornya Emil enggak dapet tempat duduk jadi dia tetap berdiri. Gue sadar kalo gue ganggu, sudah seharusnya gue masuk ke dalam kos. Sialnya sewaktu mau beranjak, kaki gue dua-duanya kesemutan.
Kampret! Enggak seharusnya kayak gini! Dasar semut! Kenapa harus menyerang di situasi kayak gini?!
“Mil, mending lo masuk ke dalem aja deh,” saran gue.
Emil kelihatan bingung, “Kenapa?”
“Masnya aja yang masuk, kita diluar aja,” sahut senior Emil.
“Ah, gue lagi pengin ngerokok,” gue beralasan.
Emil membuka tempat rokok gue, “Rokok mu kan udah abis.”
Kampret! Gue lupa kalo rokok gue diambil mas Roni.
“Anu … abis ini gue mau beli dulu ke warung.”
“Kalo gitu titip sekalian ya mas.” Senior Emil menyerahkan uang, “Tolong beliin minuman.”
“Oh, iya.”
Gue masih duduk di kursi teras, dan mereka masih menatap gue. Oke, ini canggung banget. Gue sadar, gue seharusnya udah berangkat ke warung, tapi gue enggak bisa beranjak, kaki gue enggak mendukung.
“Ke … kenapa ngeliatin kayak gitu?” tanya gue.
Diubah oleh dasadharma10 30-03-2016 01:52
JabLai cOY memberi reputasi
1


